For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Sabtu, 13 April 2024

Flaneuring Abroad: Hanoi, Vietnam

Halo, selamat sore.

It's Monday, the first (working) day of the week (If you ask me, I'd say the first day of every week is Sunday). I did not really have a pleasant working day today, but at least the second I typed the first alphabet in this post, I am duty-free. So I sit in the corner of a coffee shop (a personal favorite despite of long distance I should take into effort to go here; every people who know me quite well will know – or even will spot me themselves) and just type flooding words. It's a rare day to have me in such writing mood – well, I think I can make at least 2 paragraphs.

Sudah cukup berbahasa Inggris, jadi mengutip dan meneruskan sebuah statement yang gue buat di post tempo hari soal kamera analog:

"Tahun 2023 ini sedikit (atau banyak?) di luar kendali, penuh random ideas dan random acts, walaupun di beberapa titiknya kita hancur lebur, terburai, dan berantakan (Just like Nadin Amizah's song "Menangis di Jalan Pulang" – selalu jadi lagu yang membuat kita nangis bombay). Salah satu hal-hal yang sering gue pikirkan beberapa bulan belakangan yang sepertinya bagus untuk ditulis adalah travel (like I always did, but this year was very special, indeed)"

Jadi, berdasarkan dengan (banyak, alias bacot) statement ini, gue memutuskan untuk menulis kembali sebuah pengalaman traveling yang bener-bener spontan, random, tidak terlalu direncanakan, tapi at some points sangat memorable. Jadi semuanya (baik secara budget, durasi, dan itinerary) diputuskan dengan tidak seksama tapi dalam tempo sesingkat-singkatnya – tujuannya? Tentu saja negeri komunis yang merupakan impian untuk dijelajahi: Vietnam.

Banyak orang tanya, kenapa Vietnam? Kenapa gak Singapore atau Bangkok? Kalo ditanya kenapa sebenernya gak ada alasan pasti, cuma dari dulu penasaran seperti apa satu negara komunis di Asia Tenggara karena pada dasarnya gue selalu penasaran sama praktek dan aplikasi komunisme dalam kehidupan sehari-hari (mungkin kalo gue nulis tahun 1965, gue udah raib kali ya). Alasan lainnya sih klasik, karena melihat landscape-nya (terutama Hanoi) yang banyak gedung tua yang bagus buat difoto (dengan analog tentu saja), karena kursnya lebih tinggi kurs Indonesia (IDR 1000 = VND 600 perak), dan AirBnB nya tergolong bagus-bagus dan murah. Gue rasa sebagai turis gue tidak akan hidup melarat bin nelangsa banget di Vietnam.

Singkat cerita, suatu pagi gue lagi tidur-tiduran unmotivated di kamar sambil nunggu jaga siang, saat itu mood gue sedang jelek. Kemudian, gue terbersit aja pengen liat-liat Pinterest Vietnam, dan in a minute less than an hour, gue sudah selesai booking pesawat dan AirBnB buat di Vietnam. Bener-bener gak ada gereget-geregetnya kecuali kegundahan "Eh gila duit segini nih?". Tapi karena udah kebelet liburan dan alhamdulillah ada tabungan, gue menenangkan diri "Everything will be just fine" (walaupun later enggak sih). Untuk kota tujuan, gue niat menghabiskan waktu ke Hanoi dan ke Ho Chi Minh. Kalo ditanya kenapa gak ke kota lain kayak Da Lat, Hoi An, atau Sa Pa, jawabannya adalah karena 1) Gue kurang riset aja alias main Pinterest dan Tiktok gue gak jauh, jadi gue gak ngeh dengan pesona-pesona kota tersebut, 2) Waktu gue terbatas, gue hanya punya waktu sekitar 6 hari untuk berlibur, ditambah gue tidak berniat liburan yang tergesa-gesa mengejar destinasi, dan tidak berniat menggunakan tur, jadi gue pikir cukuplah untuk santai-santai di Hanoi dan Ho Chi Minh dengan waktu yang gue punya, dan 3) Belakangan (sekitar bulan Mei itu) gue lagi suka denger lagu Luke Hemmings yang judulnya "Saigon", jadi gue ingin experiencing denger lagu itu di Ho Chi Minh atau well-known as Saigon.

Sampai H-3 gue masih gamang untuk berangkat, karena selain karena beberapa alasan personal ternyata gue sempet terbersit, "Gila juga ya gue, cewek sendirian, mau solo traveling ke Vietnam, mana gue gak ngerti bahasanya lagi, duit juga ngepas banget". Tapi pada akhirnya, setelah meninjau berbagai hal dan budget yang sudah terlanjur dikucurkan, pada akhirnya setelah jaga malam, gue langsung berangkat mengejar pesawat Scoot ke Singapore. Yes, I was using transit flights (kayaknya jarang juga penerbangan yang langsung dari Indonesia ke Vietnam) dan akan menghabiskan kurang lebih 16 jam di Singapore sebelum akhirnya bertolak ke Hanoi.


Sepertinya segala sesuatu yang terjadi setelah lepas landas dari Cengkareng akan gue ceritakan dalam bentuk poin aja deh biar lebih runut dan sehat untuk pikiran gue dan pembaca. Sedikit bercerita juga soal Singapore, karena with this trip, I kinda changed my mind about Singapore. So, will you just please follow me?

Singapore

I never liked Singapore so much in my life (sorry Singaporeans) because I thought being in Singapore is expensive. Last time I was in Singapore (Circa 2019) was not a bad trip, but not pleasant either. Gue menginap di sebuah hostel/losmen di sekitar Little India, berjalan-jalan sekitar Merlion (tipikal turis banget gak sih), menonton pertunjukan fountain di sekitar Marina Bay Sands maghrib-maghrib, makan malam di sekitar Little India (dengan roti Cane super tipis seharga IDR 40 ribu), lalu besoknya belanja di Bugis, dan langsung cao ke Kepulauan Riau. Jujur, karena bersama rombongan dan banyak acara, serta naik bis carter terus, gue belum pernah sepenuhnya merasakan membaur dengan warlok dan mencicipi transportasi umum serta pedestrian lane-nya Singapura.

Gue landing di Changi siang menjelang sore hari dan langsung dipanggil ke ruang imigrasi sama petugas imigrasi Changi karena katanya data gue tidak sesuai antara passport dan KTP. Setelah menjelaskan berbagai hal ke petugas imigrasi dalam bahasa Inggis berlogat khas gue yang biasanya membuat orang bilang "Lo mending nulis bahasa Inggris aja deh daripada ngomong", akhirnya gue dibebaskan. Belum kelar juga, koper gue ilang (gue memutuskan untuk ambil koper gue dulu karena beberapa barang yang perlu ada di sana), setelah minta tolong petugas bandara buat cari, ketemu – dan pada akhirnya bisa keluar Changi. Setelah keluar Changi, lagi-lagi gue bersikap seperti orang klabing alias kelayapan bingung, gue langsung cari stasiun MRT airport yang ternyata ada miles below the ground. Modal searching dan tanya-tanya temen soal Singapore, gue langsung membeli EZ Link dan dengan singkat membaca peta rute MRT. Gue akan menginap di daerah Boat Quay, capsule hotel murah mixed dorm karena toh gue juga bakal flight pagi keesokan harinya untuk ke Vietnam.

The most effective way to make me fall in love with a city is not its scenery, but it's the pedestrian lane and comfortable public transportation. Gue nyeret-nyeret koper dengan 1 backpack di punggung dengan cukup nyaman di dalam MRT walaupun dengan posisi berdiri. Gue 2 kali switch lane, salah satunya di Dhoby Ghaut yang besarrrrr banget dan jarak tempuh jalan kakinya cukup panjang dan jelimet di antara stasiun MRT lain yang gue amati, tapi so far perjalanannya cukup menyenangkan walaupun dengan gembolan yang banyak. Gue sampai ke stasiun Clarke Quay dan jalan kaki menuju hostel sekitar 600 meter – terpapar dengan pedestrian lane Singapore yang rapi, apik, serta pantulan cahaya matahari sore yang scenic. Sambil jalan kaki, gue mikir, "I never dreamed of having solo trip like this, but this is pleasant and I am thankful for it."

Sampe di hostel, gue disambut dengan baik oleh resepsionis dan ditunjukan kamar mixed dorm bersama masyarakat segala bangsa. Kamar mixed dormnya nyaman dan AC-nya dingin. Begitu mau unpack beberapa barang, ternyata koper gue ke lock dan gak bisa dibuka sampe akhirnya dibuka paksa sama resepsionis laki super helpful. Akibat drama guncang-guncang dan bulak-balik koper, akhirnya gue baru berangkat jalan-jalan sekitar jam setengah 7 malam.

Itinerary gue di Singapore simple sedari awal: 1) Gue mau main sepeda dengan Hello Ride (sebuah aplikasi rental sepeda di Singapore), 2) Gue mau jalan kaki dan motret, preferably di Chinatown, 3) Gue mau makan di Tongue Tip Lanzhou Beef Noodles di Chinatown, karena itu halal. Jadilah gue jalan-jalan sampai ke sekitar Raffles Place, memotret sedikit night scape di sekitar Singapore River (tapi gak ke Merlion dong) kemudian bersepeda muter-muter cuma sampe sekitar Chinatown bolak-balik sampe deket Fullerton Hotel, sebelum sepedaan makan Lanzhou Beef Noodles dulu. Tidak lupa duduk bengong menghayati makna hidup di Elgin Bridge, Anderson Bridge, dan Riverwalk sekitarnya, karena esensi penting dalam solo trip pertamaku ini adalah melamun.





Trip sederhana selama sekitar 16 jam di Singapore ini cukup mengubah pandangan tentang Singapore. Di luar segala kemahalannya (tapi menurut gue Lanzhou Beef Noodles yang gue makan cukup affordable dan worth the price – I am not really into the taste tho. Edible but not a favorite; pokoknya gue gak bisa tuh jadi culinary blogger karena lidah gue konvensional), Singapore menyenangkan dengan semua akses pejalan kakinya. Pedestrian lane layak, transportasi umum juga menyenangkan (MRT doang sih belom coba bus), sebenernya cukup menyenangkan melancong dengan kaki di Singapore. Bersepeda di Singapore juga cukup menyenangkan, kecuali bagian harus share lanes sama bus yang sewaktu-waktu bisa menepi di suatu halte.



Paginya, dari sekitar Clarke Quay ke Airport memakan waktu sekitar 45 menit-1 jam, cukup hemat waktu mengingat kita orang yang tidak punya transportasi pribadi dan bergantung pada transportasi umum dengan switching lanes 3 kali. Selesai sudah trip singkat ke Singapore, sekarang waktunya terbang ke Hanoi!

Hanoi

Seharusnya gue belajar geografi terlebih dahulu sebelum memutuskan ke Vietnam. Gue baru menyadari ketika sedang flight bahwa Vietnam adalah negara yang memanjang ke bawah alias flight ke Hanoi lama banget karena Hanoi ada di utara-nya Vietnam (sementara Singapore ada di sebelah selatannya). Jadilah gue restless menunggu kapan landing karena being in a long flight made me uneasy. Setelah flight hampir 4 jam akhirnya gue landing di Noi Bai International Airport. Airport ini tampak sederhana (untuk ukuran airport ibukota ya) dan dipenuhi dengan petunjuk dalam bahasa Vietnam (ya iyalah ini di Vietnam, mau ekspektasi apa hah). Sampai ke gerbang imigrasi langsung disambut petugas imigrasi yang bajunya giving PNS vibe (karena warnanya yang mirip baju PNS kita) tapi at the same time very giving communist aura (semua serupa, se-template). Proses pemeriksaan cukup cepat dan tidak banyak ditanya (gak drama kayak di Changi kemarin tuh). Keluar dari Noi Bai gue langsung cari bus bandara menuju pusat kota Hanoi (gue akan tinggal di sekitar Hoan Kiem). Bus yang gue gunakan adalah bus bandara no. 26 trayek Airport - City Center, dengan tarif VND 35.000 (sekitar 35.000 rupiah secara kasar). Bus bandaranya nyaman, dingin, dan lega.


Jarak tempuh dari bandara ke pusat kota sekitar 40 menit dan siang itu terik pol ditambah jalanan dari bandara menuju kota lagi perbaikan, vibe-nya kayak lagi di Dadap lah (orang Tangerang sekitar bandara pasti tau vibe Dadap-Prancis). Setelah melewati jalan-jalan yang kayaknya habis dihantam meteor, akhirnya masuk juga ke wilayah perkotaan. Lanskap Hanoi dengan gedung-gedung tuanya mulai keliatan dan yang bikin gue geli di dalam hati adalah lalu lintasnya yang koboy banget. Di perempatan yang ada lampu merahnya, semua tetep melanggar aturan, dan saling serobot-serobot mau jalan duluan, terutama motor. Semua hal itu gue masih saksikan dari dalam bis.


Salah satu alasan kenapa gue memilih Vietnam walaupun akses transportasi umumnya tidak sebaik Singapura mungkin karena adanya pilihan untuk ngojol alias Ojek Online. Salah satu pertimbangan gue ke Vietnam itu adalah karena ada Grab dan ada GoViet (yep, as you can guess, sekongsi sama Gojek). Karena gue merasa lebih easy pake Grab (buka app Grab di Vietnam dan langsung keluar bahasa Vietnam semua), gue pake Grab selama di Vietnam. Setelah turun dari bus, gue pun melanjutkan perjalanan dari City Center ke AirBnB dengan Grab. Untuk jarak tempuh sekitar 4-5 km kena sekitar 16.000-20.000 VND, ya kurang lebih sama deh sama di Indonesia.

Mencari alamat di Hanoi buat gue susah-susah gampang karena 1) Lingkungan yang padat penduduk dan masuk gang, 2) Bangunan yang slim tapi bertingkat-tingkat (satu properti bisa dihuni beberapa keluarga berbeda), 3) Kendala bahasa (ya udah pasti sih). Jangan bangga bisa baca peta di Singapore atau negara lain yang penataan bloknya rapi dan tidak banyak gang – boleh cukup bangga kalo bisa langsung nemu alamat di Hanoi. Untuk mencapai AirBnB gue, gue akhirnya memutuskan untuk turun dari ojol (karena ojolnya pun gak nemu) dan menyusuri jalan sambil bawa koper, tentu saja sembari buka Google Maps. Di Google Maps tertera ETA yang sebentar dan titik yang tidak jauh dari tempat gue berdiri. Berusaha banget gak nanya sama warlok soalnya sekalinya nanya malah ditawarin pake ojek dia seharga 50 VND (padahal di peta gak ada 200 meter). Pas akhirnya disusuri, AirBnBnya beneran deket cuma mesti masuk gang dikit aja. Sebaik-baiknya gue (akan) meromantisasi Vietnam di dalam post ini, rasanya gue perlu mengimbau soal scam di Vietnam soalnya cukup sering nih turis ngeluh di scam di Vietnam. Sebagai orang Asia Tenggara, baiknya kita lebih jago lah ngadepin scam dibanding bule-bule.


Nguyen Van Tho – dan AirBnB unitku yang bener-bener klasik.

Nguyen Van Tho adalah jalan besar di daerah Old Quarter yang penuh dengan bangunan gaya kolonial yang berdasarkan sejarah sudah dibangun mulai dari 1920-1940 lalu direstorasi dan dijadikan hunian. Umumnya tipe rumah di sini adalah elongated tube house, yang secara lebar sempit tapi memanjang ke atas dan ke belakang. Konsep bangunannya bener-bener ruko alias rumah-toko, semurni-murninya definisi ruko (gak kayak di Indo recently, ruko ya cuma -ko-nya doang, alias gak boleh dihuni),  lantai 1 sebagai toko dan lantai 2 dst sebagai hunian. Unit AirBnB gue ada di lantai 3, lantai 1-nya berfungsi sebagai toko nail art dan lash extention, lantai 2-4 berfungsi sebagai hunian (tapi gue gak pernah liat orang lain ada di lantai). Untuk menuju lantai 2, kita masuk lewat bagian belakang gedung yang harus melewati gang dulu, kemudian harus naik tangga sempit dan melalui koridor tiap lantai yang lebarnya cuma muat 1 orang. Agak pengap dan spooky, tapi unit ini murah banget di AirBnB, gue bayar hanya sekitar Rp 125.000/malam, ada AC, toilet dalam (ya toiletnya gak bagus-bagus banget) tapi ada water heater, dan yang paling penting ada balkon. Gak ada dapur, tapi ada kulkas, teko listrik – lumayan lah buat seduh mie cup. Gue kurang peduli sih unit tua berhantu atau gimana, tujuan gue adalah sebisa mungkin merasakan atmosfir lokal di Hanoi. Ini gue kasih gambarnya aja ya biar kebayang.





Pemandangan di luar jendelaku

One of my Hanoians dream: Bisa ngopi di balkon

Elongated tube house dengan tangga kayu yang cuma muat 1 orang

Gue landing di kasur unit AirBnB sekitar jam 14 siang waktu Vietnam (yang surprisingly sama dengan waktu Jakarta) dalam kondisi keringatan berat dan ternyata lagi ada heat-wave parah-parahnya se-Asia Tenggara dengan Indonesia merupakan negara yang paling tidak terdampak. Hari itu Hanoi 31 derajat. Akhirnya gue putuskan buat tidur siang dulu, unpacking sambil nunggu sore hari dan cuaca lebih adem. Saat unpacking dan test kamera analog, gue menyadari bahwa kamera analog Nikon FE gue tidak bisa digunakan sama sekali dan saat itulah rasanya gue mau nangis pasalnya: 1) Gue beli banyak film dan semuanya gue bawa ke Vietnam, karena memang tujuan gue mau motret analog di Vietnam, 2) Kamera SLR analog itu berat. Rasanya sedih dan lemes banget pas tau kamera gue gak bisa motret, tapi show must go on karena udah di Vietnam.

Selanjutnya gue akan bagi cerita dalam konteks tempat dan aktivitas aja deh supaya lebih terarah.

Sore-sore bengong di pinggir Danau Hoan Kiem

Karena hidup gue hampa banget tanpa kamera (or at least yang hampa cuma pikiran gue saat itu sih, bukan the entire life), gue memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekitar danau Hoan Kiem, karena sejujurnya gue gak punya itinerary khusus di Hanoi. Murni pengen bengong aja mencicipi kehidupan di negara komunis. Matahari sudah mulai lebih teduh sekitar jam 4 sore dan gue naik grab bike ke Danau Hoan Kiem. Jarak antara Danau Hoan Kiem ke AirBnB gue sekitar 1.6 km, sebenernya tidak terlampau jauh kalaupun mau jalan santai, tapi karena takut heat stroke, yaudah.

Sore di tepi danau Hoan Kiem ramai dengan orang-orang bercengkrama, ada yang duduk di kursi yang sudah disediakan, ada yang duduk di jalanan, dan ada juga yang duduk di dingklik-dingklik punya pedagang kaki lima. Gak tau kenapa pedagang kaki lima di Vietnam terlihat lebih tertata dibandingkan di Indonesia – untuk level jualan seperti starling, pedagangnya pun seperti harus repot membawa dingklik-dingklikan (nih gue kasih ilustrasinya; yang biasa buat duduk kalo kita lagi nyuci baju pake tangan di ember).


Kalo liat dingklik begini bawannya mau nyuci gak sih?

Highlight dari danau Hoan Kiem sendiri ada bangunan di tengah, namanya Thap Rua (Tortoise Tower), lengkap dengan Ngoc Island dan Ngoc Son Temple di atasnya, yang disambung sama jembatan merah (Huc Bridge). Ngoc Son dibuat sebagai tempat memuja dewa Taoism yang membawa kebahagiaan dan kemakmuran (Van Xuong De Quan) dan sebagai tempat rememberance (atau kenangan? penghargaan? you name it) untuk Jenderal Tran Hung Dao. Selain penuh dengan warna merah (jembatan merah, ornamen merah – simply karena tempat ini nama lainnya adalah Jade Mountain Temple), kuil ini lekat juga dengan kura-kura. Alkisah, Jenderal Tran Hung Dao dulu kala bisa menang lawan bangsa Mongol berkat pedang yang dianter sama Dewa Kura-Kura, jadilah di sekitar Hoan Kiem ini ada bangunan Tortoise Tower. Selain itu juga, di danau Hoan Kiem ini pernah ada 4 kura-kura (atau penyu?) soft-shell raksasa dan jasadnya diawetkan lalu dipajang di dalam Ngoc Son Temple. Penyu yang paling terakhir mati di tahun 2016. Gue tidak masuk ke dalam karena sore itu Ngoc Son Temple rame banget dan gue puyeng abis kena heatwave, jadi aku hanya bisa provide pemandangan sekilas dari luar ya ^_^

Thap Rua; Tortoise Tower


Jade is everywhere

Book Cafe di Hanoi (dan kucing, tentu saja)

Setelah bengong-bengong di Hoan Kiem dan senja berganti malam, akhirnya gue memutuskan untuk nongkrong di tempat lain karen udah berjam-jam melihat air. Saat itu pikiran gue cuma mau cari tempat yang tenang buat baca buku sambil duduk dan minum kopi. Sebenernya Vietnam (Hanoi) sejauh yang gue amati, mirip-mirip sama Jogja lah alias dikit-dikit coffee shop, gak sulit menemukan coffee shop bahkan di sekitar Hoan Kiem. Tapi, karena beberapa waktu lalu gue pernah baca artikel soal nikmatnya Book Cafe di Vietnam, gue jadi tertarik untuk ke book cafe, mumpung lagi mood baca buku juga dan butuh suasana yang tenang. Akhirnya setelah searching, akhirnya gue menjatuhkan pilihan pada sebuah book cafe yang entah dimana, namanya Blue Bird's Nest Book Cafe. Selain karena ingin baca buku, gue juga melihat bahwa di dalam cafenya pelihara kucing. Seperti biasa, cafe dengan kucing always gains my interest.

Gue naik Grab menuju Blue Bird's Nest dan tiba-tiba kata abangnya "Sudah di titiknya ya" – tentu saja dengan bahasa Vietnam. Kenapa gue bisa tau itu artinya "Sudah di titiknya ya"?, karena gue menebak saja dan abang itu berhenti di suatu gang yang sepi dan kosong. Setelah berkali-kali jalan ganti-ganti arah dan Google Maps udah bilang "You have arrived", ternyata baru sadar tokonya ada di dalem gang yang harus masuk ke dalam gang lagi alias dalem banget. Saat itulah gue merasa gue seperti mencari alamat di daerah belakang Kota Kasablanka yang bergang-gang.


Cafe yang gue datangi sunyi dan tidak terlalu penuh dengan buku, tapi koleksinya cukup banyak – ada buku berbahasa Vietnam dan buku berbahasa Inggris. Tersedia tempat duduk menggunakan kursi dan ada juga yang lesehan dilengkapi dengan meja pendek dan bantal-bantal dengan sarung rajutan yang lucu. Kucingnya cuma 1 tapi cuek banget (tipikal kucing aja sih cuek tapi mau aja kalo dielus). Untuk minuman, standar aja sih, ada Vietnamese Coffee, ada Green Tea Latte, ada juga tea in a pot yang harganya jauh lebih terjangkau. Jika digambarkan harga beverages di sana kisaran VND 26.000-40.000 yang artinya gak jauh beda sama coffee shop di Indonesia. Tempatnya nyaman, tenang, semua orang self-conscious dan hening dalam kesibukannya sendiri, bener-bener cuma ada bunyi musik yang gak terlalu keras sama kipas doang (iya, ini bookcafe ber-ac dan berkipas). Gue menemukan beberapa buku yang bagus, dengan salah satu buku beneran masuk ke hati saat dibaca. Here I give you the pic.



Btw, gue lihat semua buku di sini dikasih label harga and if I could assume, sebenernya semuanya boleh dibeli kayaknya. Harga buku kecil-kecil yang gue lihat sekitar 50.000-65.000 VND (sekitar 45 ribu rupiah startnya). Gue sempet menimbang untuk membeli satu buku sih, tapi karena gue pikir gue trip masih lama, takut berat-beratin koper. Well, I guess part of traveling is being conscious about what to pick and what to leave along the way ya, hiks.

Train Street (Kepagian, tapi karena aku tidak suka desek-desekan bersama turis lain)

Salah satu highlight dari Hanoi adalah adanya rel kereta api (dan tentunya kereta apinya yang melintas) yang terletak di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Nama turisnya Train Street, relnya sendiri memanjang dari jalan Phung Hung, Dien Bien Phu, dan Le Duan, tapi kalo ikut Google Map, titik paling ramai ada di sekitar Phung Hung. Di sekitar Phung Hung, banyak kafe-kafe yang berdiri persis di pinggir rel kereta api dengan pilihan seating yang bervariasi: Mau di lantai 2, di balkon yang langsung menghadap ke rel kereta? Atau di sisi rel kereta itu sendiri, dimana anda bisa beneran face to face sama kereta yang melintas? Gotta pick one spot.

Bermodalkan Google dan iman takwa, gue melakukan riset jadwal melintasnya kereta. Sebenernya agak tricky, mengingat berdasarkan beberapa informasi yang gue baca, train viewing activity baru berlangsung lagi setelah vakum sekian lama karena pandemi. Akhirnya, gue membaca salah satu laman web dan mendapati bahwa jadwal sightseeing kereta lewat adalah di sekitar jam 9 pagi. 

Di screenshot dari wanderlicious.co.uk

Disadur dari wanderlicious.co.uk, thank you!

Gue jalanlah ke tempat tersebut di pagi hari, memotret sekitar rel kereta sambil harap-harap cemas bisa lihat kereta melintas. Kafe sekitar masih tutup, sama sekali gak ada yang buka. Gue malah disuguhkan pemandangan aktivitas warlok, ada yang berangkat kerja naik motor di pinggir rel kereta hampir nabrak pot orang, ada yang lagi main sama anjingnya, ada yang ngasih makan burung, dan lain-lain. Setengah jam gue di sana, kereta tidak kunjung lewat. Sudah lewat dari jadwal yang ditentukan, akhirnya gue memutuskan untuk pergi tanpa menunggu kereta. Setelah gue pergi, gue baru sadar hari itu adalah hari Jumat dan jadwal sightseeing keretanya ada di malam hari... Ini mah fix gue yang bodoh aja gak sih, pantesan aja kafenya tutup semua. Mungkin warlok yang liat gue juga mikir, "Fix ini turis sesat dan bodoh, mana gak nanya pula".

Moral of the story: Selalu riset, riset, dan riset dengan sebaik-baiknya.
(Dan please lah walaupun lagi liburan jangan sampe disorientasi waktu)



Maison Centrale (Emang tujuan gue kesini museum date, date-nya sama diri sendiri tapi)

Tujuan ke Vietnam sebenernya adalah ke museum sih dan belajar sejarah. Ada 2 negara Asean yang so far pengen gue datengin karena tertarik sama sejarahnya: Vietnam dan Kamboja (Kamboja? Khmer Merah? Count me in). Akhirnya tanpa banyak ba bi bu sesudah makan Pho pertama dalam hidup, gue pergi ke Maison Centrale.

Maison Centrale adalah penjara di tengah kota, nama Vietnamnya sendiri adalah Hà tù Hỏa Lò. Dulunya penjara ini dibuat untuk tahanan politik bangsa Vietnam yang pengen Vietnam merdeka dari penjajahan Prancis, tapi di perang Vietnam, penjara ini dipake buat tahanan Amerika Serikat yang jadi musuh Vietnam Utara pas itu. Awal masuk, sebagai turis yang tidak bisa bahasa Vietnam sama sekali, gue langsung dibekali (sewa) audiobook sama dikasih lembaran peta museum gitu. Isi museumnya ya sebenernya standar aja, mulai dari baju-baju tahanan, peralatan makan tahanan (termasuk menu apa saja yang dikasih selama ditahan, yang pastinya jumlahnya sedikit banget dan gak manusiawi, menunya pun ogah banget), kamar tahanan (termasuk kamar tahanan yang paling gak manusiawi, alias pas masuk kamar tahanan itu hawanya gak enak banget; I always assume that rooms like this is not really haunted but they just possess a lot of negative energy that lingers for even centuries yang tiap kita masuk bisa bikin bergidik gitu lho), jenis senjata dan alat penyiksaan yang dipake (guillotine, anyone?), dan cerita pendek-biografi beberapa tokoh penting yang pernah ditahan di Maison Centrale.





Puncak terakhirnya adalah di halaman belakang, ada dinding yang isinya ilustrasi perang berupa pahatan, dan di sana disediain dupa dan altar buat sembahyang bagi yang mau mendoakan pahlawan dan leluhurnya. It's always heartbreaking to witness war remnants, why were we doing it at the first place?

Toko buku paling estetik di Hanoi (katanya) dan paling instagrammable: Nha Sach Mao

Karena heat wave-nya gak gitu berasa di hari kedua di Hanoi, akhirnya gue bener-bener hopping the city di hari kedua. Perjalanan lanjut ke Nha Sach Mao, sebuah toko buku estetik yang direkomendasikan berbagai situs traveling bule di Google. Sebenernya gue sangat menghindari touristy place apalagi yang direkomen bule atau diklaim sebagai instagrammable, karena ada kemungkinan 1) Rame, 2) Harga barang yang dijual di upmark, 3) Overrated alias gak sebagus itu. Tapi karena siang itu weekdays, gue gabut, dan sepertinya jarang papasan dengan bule selama gue di Hanoi, jadi gue pikir kenapa gue gak coba aja ke toko buku itu sambil cari buku bacaan.

Seperti biasa, mencari alamat di Hanoi itu drama banget, nyaris kayak alamat palsu. Nyari toko buku ini pun bikin gue keliyengan di tengah terik matahari jam 2 siang, karena Google Map berkali-kali bilang "Your destination is on the right" tapi gue gak nemu apa-apa. Dilewatin, malah makin gak ketemu. Ternyata, yang dimaksud Google dengan "Your destination is on the right" itu adalah ada gang di sebelah kanan gue, terus di sebelah kanannya lagi ada tangga, gue harus naik tangga, masuk lorong lagi, kemudian toko bukunya ada di sebelah kanan.

Dari luar, toko bukunya kecil dan penuh dengan literatur Vietnam, alias gue jadi bingung "Anjir mau beli apaan kalo semuanya bahasa Vietnam". Menelusur lebih lanjut ke dalem, ternyata toko bukunya gede, bukunya banyak (ya kalo bukunya dikit banyakan jual daging, ya berarti toko daging ya, bukan toko buku hehe), dan juga ada tangga yang superestetik tempat orang-orang mengambil foto secara Instagrammable.

Ternyata setelah ditelusur, nyelip juga buku-buku bekas dengan bahasa selain bahasa Vietnam, misalnya gue nemu buka Minna No Nihongo alias Let's Study Japanese, buku yang gue cuma punya fotokopiannya selama belajar bahasa Jepang kemarin (well, I have done so many things in last few months, and learning Japanese was one of them duh, but no progress duh). Karena tidak ada buku yang bisa dibeli, maka gue memutuskan hanya melihat-lihat saja. Mungkin karena mereka instagrammable dan banyak banget turis yang dateng cuma buat foto-foto (kayak gue), mereka menyediakan kotak donasi sukarela. Intinya sebenernya lucu aja sih toko bukunya, tapi akan lebih lucu lagi kalo ada yang bisa gue baca dan gue beli, hiks.




Wisata Gereja ke St. Joseph Cathedral

Dari dulu, kalau ditanya mau tamasya abroad ke mana, gue akan menjawab banyak negara berbeda. Sekali waktu bakal jawab Jepang, sekali waktu lagi jawab Prancis, sekali waktu pernah jawab Maroko atau Mesir, tapi salah satu negara yang paling konsisten ingin sekali gue kunjungi adalah Vatikan. Iya, Vatikan. Rumah dari Paus atau Pope. Pusat per-Katolikan. Kalo ditanya kenapa mau ke Vatikan, jawabannya selalu antara "suka liat katedral" atau "kebanyakan re-read dan rewatch film Angels and Demons-nya Dan Brown". 

Karena gue buta Hanoi dan hanya mengandalkan Google untuk lompat dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya gue cari ada atraksi turis apalagi di sekitar gue. Munculah St. Joseph Cathedral Hanoi di search tab gue. Sambil jalan-jalan sore dan membakar lemak menjelang makan malam, gue memutuskan untuk berjalan kaki saja menyusuri gang-gang kecil Hanoi menuju ke Katedral ini.

Katedral ini tinggi, besar, dengan arsitektur neo-gothic, dibangun sekitar abad ke 19. Katedral ini adalah pusat keuskupan Vietnam, jadi semua gereja, kapel, parish di Vietnam pusatnya di sini. Ada bel besar di puncak katedral yang bunyi setiap jam, menyenangkan aja dengernya. Di depan katedral, ada halaman yang cukup luas dengan beberapa bunga dan patung Regina Pacis. Jalanan di depan katedral ramai dan sibuk (juga ribut, ribut klakson) sekali. Gue gak masuk ke dalem karena gak ada yang masuk juga. Baca di Google, main entrance hanya buka saat jamnya ibadah dan di luar itu hanya side entrance yang buka. Gak lama sih jalan-jalan di sskitar katedral ini, tapi cukup bikin gue mikir apa nanti pas ke Ho Chi Minh juga wisata gereja ya? Soalnya ada beberapa katedral di Ho Chi Minh yang terkenal, misal Pink Church dan Notre-Dame Cathedral yang gambarnya wira-wiri terus setiap gue (berusaha) bikin itinerary Vietnam; but I guess I'll manage later.


Makan apa di Hanoi?

Makan sushi vegetarian di Hanoi

Akibat gue duduk di sebelah orang Vietnam yang makan sushi di book cafe, jadilah gue pengen makan malem pake sushi. Searching sana-sini, mana ya sushi yang affordable dan kira-kira isiannya tidak membuat aku gatal-gatal atau sesak napas (Hint: You can kill me using seafoods), dan akhirnya ketemu satu outlet sushi di deket jalan pulang menuju AirBnB yang namanya SushiLAB, sebuah outlet sushi semi-vegetarian yang membuatku tidak takut alergi karena kebanyakan isinya sayur. Sebenernya dari segi harga setelah intip-intip di Google ya tidak murah juga (FYI, makanan yang berbau internasional di Hanoi tidak pernah murah, so far yang gue liat paling murah sekitar VND 70.000, lain kalo lo makan di warung lokal Hanoi, harga seporsi Pho mungkin masih bisa dapet di angka VND 20.000-30.000). 

Tempatnya mungil dan seluruh orang dengan berbagai ras dan etnis rasanya ada di dalem sana, mulai dari bule sampe Aseans. Surprisingly karyawan tokonya muda-muda dan sangat ramah serta helpful menolong gue yang sudahlah 1) Tidak bisa bahasa Vietnam (tapi bisa bahasa Inggris, FYI banyak orang Vietnam yang juga gak jago-jago banget bahasa Inggris, sehingga kalo ngomong Inggris-pun mesti pake isyarat badan), 2) Tidak familiar dengan istilah dan bahan makanan vegans. Semua menu terlihat tempting sih, tapi kan lucu kalo gue gak tau ingredients-nya ternyata zonk. Maka dengan bahasa singlish campursari dan separo aksi tarzan, gue berusaha mendapat info apa aja isi menunya dan mana yang kira-kira enak.

Gambar diambil dari Happycow.net. Terima kasih!

Gue memilih duduk di luar toko sambil ngeliatin jalanan. Jam 9 malem gini udah agak sepi, kerasa bedanya sama sore tadi –  gak ada lagi motor-motor yang berisik klakson-klakson, salip sana sini, orang-orang berkerumun. Jalanan cenderung gelap, jadi agak serem juga kayaknya kalo pulang jalan kaki. Berikut kukasih lihat menu SushiLAB dan makanan yang kupesen aja deh, soalnya gak bisa banyak berkata-kata udah capek kena heatwave dan laper banget karena bingung makanan Vietnam apa yang kira-kira gak bikin kaget perut Indonesiaku yang tidak eksploratif ini. Tapi beneran SushiLAB ini edible banget untuk lidahku yang kagetan dan ngambekan ini, pokoknya rasanya enak. Jadi, kalo misalnya lo ke Hanoi dan lidah lo suka bersifat sulit kayak gue, makanan ini bisa lah jadi opsi untuk makanan non-Vietnam yang dapat dikonsumsi saat traveling –  review di TripAdvisor dan Google-pun bagus.



Makan Pho Noodle (Tapi halal, warung Indonesia pula)

Setiap ada orang yang tau gue menulis blog, gue selalu ditanya, "Nulis blog apa? Makanan ya?". Ada kalanya gue merasa menjadi food blogger ada suatu hal yang terhormat, sedikit lebih tinggi kastanya dibanding travel blogger. Tidak semua orang bisa menyisihkan budget untuk travelling tapi semua orang bisa makan – apalagi makanan-makanan kaki lima yang rasa enaknya luar biasa, seperti yang direview Alm. Pak Bondan Winarno. Sebagai keponakan dari Om-Tante yang hidupnya terlibat dengan grup-grup makan seperti JalanSutera, gue tentu saja berkesempatan mengikuti beberapa acara makan-makan dengan grup ini, tapi tidak juga gue mewarisi bakat untuk menerima dan menilai makanan. Gue yang cenderung picky eater dan "akan selalu ke restoran yang gue pernah makan di sana dan memesan menu yang sama persis", tidak pernah berpikir bahwa gue akan pantas menjadi food reviewer dalam bentuk apapun.

Tentu saja gue dan ke-picky-an gue dalam soal makan ini berimbas kepada masalah makan di luar negeri. Secara, gue gak makan seafood, gue gak makan kambing, babi, kelinci, kobra, biawak, anjing... Banyak banget makanan yang gue hindari. Gue juga cenderung menghindari makanan yang berbau tajam (kecuali duren) walaupun kalo masalah kebersihan gue gak terlalu picky (tapi tetep gue rasa gue gak bisa makan streetfood di India). Jadilah semua hal ini membuat gue sulit makan di negeri orang apalagi yang core-nya bukan Melayu. Berhubung gue di Vietnam dan harus makan Pho, akhirnya gue mencari resto yang menjual Pho. Gak tau kenapa gue gak nemu Pho yang sepertinya akan cocok di gue, akhirnya dalam upaya terakhir, gue jalan-jalan aja sambil nunggu laper, dan akhirnya ketemu restoran Indonesia di Hanoi, namanya Batavia Restaurant. Gue bukan tipe orang yang walk-in ketika nemu sesuatu, biasanya gue Googling dan nanya dulu via Google ke shop owner/DM Instagram, jadi saat itu gue ngobrol dulu lewat Google Message untuk memastikan tokonya sudah buka atau belum (karena waktu itu jam 8 pagi) dan liat menu virtual dulu baru dateng (ribet banget gue ya).

Batavia Restaurant ini letaknya ada di daerah Ba Dinh, Hanoi – deket Ho Chi Minh stilt house dan Kebun Raya Hanoi (Hanoi Botanical Garden), bener-bener seberang-seberangan sama atraksi turis ini. Berupa kios kecil, ber-ac, rindang tertutup pohon dan teduh. Gue masuk, memilih duduk tepat di samping jendela sambil menikmati morning in Hanoi. Karena baru buka, menu yang ada terbatas karena kata pemiliknya "Siap-siap dulu, jarang yang dateng jam segini" alias emang saya tamu Indon kurang asem aja hehe, tapi pas gue tanya Pho, "Pho sih ada soalnya bahannya simpel."

Jujur, ini kali pertama gue makan Pho dan ada aja orang yang mikir, "Kenapa pengalaman pertama malah makan di tempat fusion padahal udah di negaranya". Maybe it's because, I don't know since when, I am a type of person who put comfort on the top of every experience. Kalo bisa dibuat lebih nyaman, kenapa harus dibuat menyengsarakan? Kalo yang fusion bisa lebih diterima, kenapa harus makan yang autentik? For some people I might seem like someone who doesn't willing to try something new, but then again, I think I can rate my comfort threshold. I am not that type who's willing to try again food that I perceive as bad – jadi kalo emang kesan pertama gue buruk, gue bukan tipe yang akan nyemplung lagi dan nyari "Mana ya hal baiknya? Mungkin kemarin gue belum nemu aja", tapi tipe yang "Oke, gak enak. Gak mau coba lagi". Wah bener-bener bukan food reviewer material gue ini.

Yang kedua, buat gue makanan is not solely about the taste, the portion, and the price – for me eating is like a personal experience. I will remember food that tastes great, tapi gue juga tipe yang sangat mem-value suasana, kejadian, makan sama siapa, interaksi dengan manusia sekitar dan state of mind gue saat makan. That's why I always picked a soft spot to eat whenever I can – biasanya yang sambil bisa observasi orang (misal di meja bar atau dekat jendela). Sambil menunggu Pho, gue sambil minum teh memandangi jalanan Hanoi dari jendela, dan tidak lama Pho gue datang bersama dengan cakwe dan sambal.



I can infer that basically all Pho should taste like this: Light, not too strong, and soothing. Mungkin di beberapa tempat Pho disajikan dengan lebih banyak daging, lebih banyak toge atau cilantro, dengan broth yang lebih thick, tapi pada harkat martabatnya gue percaya Pho seharusnya seringan itu untuk dimakan dan cocok jadi hangover food atau makanan orang maag (sayang sekali tidak berkesempatan untuk mewujudkan Pho sebagai hangover food HAHA). Setelah makan Pho pagi itu, gue merasa gue sepertinya akan mencoba Pho-Pho di tempat lain (tapi preferably yang fusion aja dulu sih karena takut kagok) just because the taste are mild but hearty dan karena semuanya tentang momen makan Pho pertama kali overall menyenangkan. 

Makan makanan India/Pakistan di Hanoi

Udah kehabisan akal bingung mau makan apa lagi di Hanoi yang kira-kira halal dan bisa cocok dengan perut Indonesiaku yang sangat picky, akhirnya memutuskan untuk makan makanan yang berbau timur tengah. Setelah lama duduk di pinggir jalan sambil scroll Google Review dan TripAdvisor, akhirnya nemu restoran yang kira-kira jual makanan halal affordable dan lokasinya gak jauh dari tempat yang sebelumnya gue kunjungi (Katedral St. Joseph), namanya Himalaya Indian/Pakistan Restaurant Hanoi. Perlu disclaimer sekali lagi (dan akan saya disclaimer berulang-ulang kali) bahwa makanan asing di Hanoi harganya lebih mahal daripada makanan lokal (untuk rasio harga:porsi), jadi gue yang liburan tidak berorientasi pada kuliner akan berpikir ratusan kali untuk menentukan makan dimana based on their prices.

Saat gue masuk restoran, cuma ada gue aja dan 2 karyawan restoran. Gue liat menu rata-rata harga kisaran >100.000 VND. Anggaplah 1 VND = 600 perak IDR, jadi harga makanan start dari 64-65 ribu rupiah ya. Gue akhirnya pesen garlic cheese naan sebagai base karbohidrat (supaya kenyang) dan lauknya pesen chicken seekh kabab. Rasanya oke dan nyaman di perut, dihidangkan dengan 2 jenis saus. Ada 1 saus yang entah apa itu tapi gue gak suka rasanya, but overall it was nice experience to eat there. Karyawannya juga ramah, sambil nunggu makanan, gue diajak ngobrol dengan bahasa Inggris yang walaupun pada beberapa poin sulit dimengerti tapi tetap bisa gue terjemahkan dengan bahasa tubuh (what I could comprehend: Turis Indonesia sering makan di sini, minggu lalu ada banyak turis Indonesia ke sini, "saya baru tahu Bali itu bagian dari Indonesia", dan percakapan lainnya), dan they let me eat peacefully when the food arrived. It's always great to receive warmth from locals when you are miles away from home, no matter how introvert you are.



Nongkrong di Warkop Vietnam sambil minum Kopi Vietnam dan baca buku tentang komunisme

Ke Vietnam tapi gak minum kopi sama aja kayak ke Bali tapi gak beli baju barong (iya gak sih? Iya aja lah ya), cause they don't name Vietnam drip with VIETNAM if it was not from VIETNAM. Long story short, gue baca-baca dulu sejarah Vietnam drip pas masih di Singapore dan mendapati bahwa kopi baru dikenal di Vietnam sekitar abad 20, waktu banyak pastor dari Prancis migrasi ke Vietnam dan awalnya padanan kopi di Vietnam itu susu, tapi karena susu susah didapet di Vietnam dan mesti impor dari Eropa sementara impor susah banget mesti nyebrang samudera pake kapal, akhirnya dibuat terobosan bahwa susu yang dibawa ke Vietnam adalah susu yang sudah dikurangi kadar airnya, alias bahasa kerennya adalah condensed milk. Cara nyeduh kopi Vietnam dari zaman dulu juga khas, dia pakai alat khusus namanya Phin, sejenis alat bikin kopi dengan filter-filter multiple dari bahan stainless steel (cukup segitu yang kutahu karena aku dokter, bukan barista HEHE).

Sample of Phin from amazon.com

Being sotoy, I guess coffee in Vietnam is almost a sacred cult. Tempat kopi menjamur dimana-mana (seperti yang pernah saya jelaskan, kalau menurut jokes Twitter Yogyakarta udah penuh banget sama coffeshop, maka Hanoi lebih dari itu, alias tiap berapa meter lo bisa nemu coffeeshop), tempat kopi tidak lagi menyediakan outdoor seating dengan kursi normal, tapi juga setengah ngemper sampe trotoar-trotoar bahkan ke jalan dengan bangku-meja-dingklik, dan tiap malem minggu kayaknya gak ada coffeeshop yang nganggur, sesederhana apapun coffeshop-nya. Setelah 2 hari muter-muter Hanoi naik ojol (gak seluruh Hanoi sih, tapi lumayanlah) dan berjalan kaki, gue sudah mulai memetakan tempat kopi mana saja yang kayaknya rame dan ambience-nya menyenangkan, dan pilihan gue jatuh pada Kalina Cafe di persimpangan jalan dan masih sekitar danau Hoan Kiem (seolah eksistensi Hanoi-ku berpusat pada danau ini deh).

So I was enjoying my last night in Hanoi strolling around Hoan Kiem, malam itu bertepatan dengan serangkaian festival kebudayaan Vietnam di banyak tempat, jadi gue place-hopping kesana dan kemari merekam dan memotret perempuan berpakaian Ao Dai dan menyanyikan lagu Vietnam (gue gak tau lagu tradisional atau modern), dan berakhir di Kalina Cafe. Di Kalina Cafe, gue milih outdoor seating, pesen ca phe sua da (ca phe = cafe = kopi, sua = milk, da = iced – iced coffee with milk), sambil baca buku tentang komunisme yang kupilih eksklusif dari Tokopedia-nya BatuAkik Bookstore untuk melengkapi perjalanan komunisku ke Vietnam. Nikmat banget hidup leyeh-leyeh doang di depan coffeeshop sambil baca buku, sesekali observasi orang-orang sekitar dan kondisi jalan. Berikut beberapa footage dari malam terakhirku ngopi di Hanoi.

Awesome, blooming cafe culture in Vietnam


Dingklik dan selonjor in outdoor seats community


Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap trend, sebenernya selalu penasaran sama Egg Coffee Vietnam tapi gue sama sekali gak nyoba karena ya aku bukan orang yang eksploratif ya soal lidah :') 

Wah sebuah perjalanan yang tidak jelas, bukan? Setelah gue baca-baca ternyata gue se-absurd dan se-hilang arah itu di Hanoi. Untunglah gue traveling sendirian, karena kalo traveling sama orang lain apalagi sama orang yang ultimate foodie, gue pasti udah dimusuhin. Gak ada tuh cobain makan Pho yang recommended dan legend, makan Banh Mi pun enggak. Beberapa hal yang masih pengen gue lakukan kalo gue dapet kesempatan lainnya untuk ke Hanoi adalah: 1) Menonton Water Puppet Show di Thang Long Water Puppet Theater, 2) Duduk lebih lama di Dong Kinh Nghia Tuc Square, 3) Minum Egg Coffee, 4) Train Street dan bener-bener motret keretanya pas lewat, 5) Makan di Warung Zaynab – merasakan hidangan Vietnam in halal version yang lebih merakyat (penasaran, soalnya liat deh Google Review-nya; ini so far Google Review terbanyak dengan total bintang 4 untuk resto halal di Hanoi)


By the way, butuh waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan posting ini. Percaya gak, kalo gue mulai nulis post ini di bulan Oktober 2023 dan kemudian memutuskan melanjutkannya di bulan Maret 2024 (sementara perjalanannya sendiri Mei 2023)?

After all, sangat senang bisa menulis lagi, hanya saja mungkin ada sedikit ketidakcocokan pada intro dengan outro post ini. Semoga siapapun yang melintas bisa memetik satu dua hal dari postingan yang super duper mega ultra telat ini.

Salam hangat selalu,