Halo,
Pagi ini aku bangun tidur dengan tergesa-gesa. "Masih tengah minggu," pikirku. Tapi semua lari-lari kecilku dan gerutu pelanku dalam kamar lamur perlahan dengan jadwal pagi ini yang menuliskan bahwa hari ini aku cuti. "Oh, ternyata aku cuti," gumamku lagi dalam pikiran. Biasanya, aku sangat menghargai cutiku. Sebagian besar dari mereka habis untuk hal-hal krusial, dalam kamusku, hal itu ada plesir sendirian ke tempat yang jauh. Vakansi. Traveling. Cuti hari ini berbeda dibandingkan cuti-cuti biasa, cuti ini kupakai untuk menganggur saja, untuk merasakan ketidakharusan beraktivitas. Tapi karena aku sudah bangun pagi dan membuat kopi, mungkin sedikit kejujuran yang ikut kutuang di dalam cangkir tak dosa-dosa amat jika kutumpahkan.
Dalam pengharapan mendalamku, aku ingin menikmati hari ini bersamamu.
Dalam bungkamku, aku ingin sekali mengajakmu pergi ke luar, sebelum awan mendung Desember kembali memenuhi langit dan membasahi kita saat akhirnya memutuskan keluar.
Dalam menit-menit yang telah terlewati pagi ini, ada jari-jariku yang lari menelusuri percakapan kita yang tidak kamu balas sejak semalam.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semalam, kita bertengkar untuk kesekian kalinya padahal kita bukan siapa-siapa. Mungkin aku yang bukan siapa-siapa buatmu, tapi buatku kamu tidak begitu. Kamu kesal dengan sikapku yang masih intervensif terhadap ruang pribadimu dan tiada yang bisa mengalahkan kesalku terhadap diriku sendiri atas sikapku yang begitu ekspektatif, berharap semua keterbukaanku dan penjunjungan tinggiku atas dirimu setidaknya berbalas. Buatmu, aku tak pantas melakukannya. Buatku, aku tak pantas melakukannya. Tapi pada akhirnya, perasaan kesal sendiri bahwa hal-hal tak berbalas ini tak akan pernah berbalas dan kesukarelaanku untuk terus ada walau tak dibalas ini tidak kunjung berhenti. Betul-betul terpatri di otakku malam tadi, manusia memang seram sekali jika dipenuhi harapan – dalam hal ini manusia seram itu adalah aku.
Lalu di menit-menit terakhir dari gelut yang menghasilkan blokiran sosial mediaku, kamu bertanya kenapa aku tidak bisa biasa saja terhadapmu. Aku sedang ada di luar malam itu, berusaha menahan tangis yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi jerit putus asa, memelankan suara, kemudian berkata,
"Setiap hari aku bangun di pagi hari, berharap semua perasaan ini bisa dianulir, dihentikan, menguap begitu saja. Aku harap aku lupa saja, lalu kita bisa biasa lagi. Tapi ternyata, pergi bersamamu masih jadi hal yang kutunggu dan kunikmati, waktu yang lama bisa jadi sebentar ketika ada kamu. Pesanmu masih jadi hal yang kutunggu setiap hari. Jika kamu memulai percakapan, maka aku akan membalas dengan secepat mungkin. Jika kamu tidak ada kabar, hariku akan kosong dan minim arti, tapi aku bisa apa? Aku cuma bisa untuk selalu berusaha ada saat kamu butuh dan menyesuaikan saat kamu tidak butuh."
Kamu menghela napas di ujung telpon sana dan bertanya, "Lalu kamu maunya apa?"
"Aku tidak mau apa-apa. Pun kalau aku mau apa-apa, kamu tidak akan mengikutiku. Aku yang selalu berusaha mengikuti maumu karena aku takut dibuang. Aku takut kehilanganmu, tidak seperti kamu takut akan kehilanganku. Aku ada saat kamu butuh dan menempatkan diri selalu saat kamu tidak butuh. Selalu seperti itu dan akan selalu seperti itu," kataku. "Anggap saja aku tamiya dan kamu orang yang memilikiku dan treknya. Kamu pacu dinamoku, menaruhku di trek yang sudah sedemikian rupa kamu buat, dan aku akan terus berlari di dalamnya sampai kamu tak lagi memacuku atau aku kehabisan baterai."
Kamu terdiam.
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sejujur-jujurnya, sepenuh-penuhnya, segila-gilanya, sebodoh-bodohnya sampai suatu saat ditegur Tuhan. Sampai suatu saat keadaan membuat kita tak lagi berpapasan dan tali merah tak kasat mata di kelingking kita ini melonggarkan tautan atau perlahan putus karena terkikis entah apa. Jika kita memang masih berpapasan, mungkin masih ada maknamu yang harus kusesap dan ada maknaku yang masih harus kamu cerna. Jika sudah habis waktunya, mungkin semua akan terasa lebih mudah dan tidak lagi begitu menyakitkan.
Sampai tiba hari dimana aku merelakanmu sepenuhnya, aku hanya ingin mencintaimu dengan sejujur-jujurnya, sepenuh-penuhnya, segila-gilanya, sebodoh-bodohnya. Mungkin hari itu akan datang besok, lusa, bulan depan, atau masih bertahun-tahun nanti, tapi saat ini aku masih mencintaimu.
Mungkin, saat nanti aku merelakanmu sepenuhnya dan kembali pada tulisan ini, aku akan bingung atau bahkan malu melihat cara mencintaiku yang norak sekali. Atau mungkin, perasaan lega bahwa aku tidak lagi mengikat diri secara emosional pada orang yang jelas-jelas membebaskanku untuk pergi. Tapi, saat ini aku hanya ingin mencintaimu dengan sejujur-jujurnya, sepenuh-penuhnya, segila-gilanya, sebodoh-bodohnya.
"Mungkin suatu hari nanti, tidak ada lagi aku yang seperti ini. Dan semoga suatu saat nanti, kamu akan ingat dan rindu aku yang seperti ini," gumamku pelan dan begitu saja malam itu berakhir.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku menyesap sisa-sisa kopi di cangkir, ada sedikit air mata di ujung pelupuk mataku. Pagi lewat begitu cepat, siang sudah bertengger hampir tepat di puncak kepala. Kulihat percakapan kita hanya berakhir di aku dan tak ada tanda ia akan hidup. Lalu seperti biasa, akan kumatikan dataku, sambil berusaha menjalani hari-hari dimana kamu tidak membutuhkanku. Seperti biasa.
Aku bisa menunggu,
entah sampai kapan,
tapi untuk sekarang, aku masih bisa menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar