(Dan please lah walaupun lagi liburan jangan sampe disorientasi waktu)
Maison Centrale (Emang tujuan gue kesini museum date, date-nya sama diri sendiri tapi)
Tujuan ke Vietnam sebenernya adalah ke museum sih dan belajar sejarah. Ada 2 negara Asean yang so far pengen gue datengin karena tertarik sama sejarahnya: Vietnam dan Kamboja (Kamboja? Khmer Merah? Count me in). Akhirnya tanpa banyak ba bi bu sesudah makan Pho pertama dalam hidup, gue pergi ke Maison Centrale.
Maison Centrale adalah penjara di tengah kota, nama Vietnamnya sendiri adalah Hà tù Hỏa Lò. Dulunya penjara ini dibuat untuk tahanan politik bangsa Vietnam yang pengen Vietnam merdeka dari penjajahan Prancis, tapi di perang Vietnam, penjara ini dipake buat tahanan Amerika Serikat yang jadi musuh Vietnam Utara pas itu. Awal masuk, sebagai turis yang tidak bisa bahasa Vietnam sama sekali, gue langsung dibekali (sewa) audiobook sama dikasih lembaran peta museum gitu. Isi museumnya ya sebenernya standar aja, mulai dari baju-baju tahanan, peralatan makan tahanan (termasuk menu apa saja yang dikasih selama ditahan, yang pastinya jumlahnya sedikit banget dan gak manusiawi, menunya pun ogah banget), kamar tahanan (termasuk kamar tahanan yang paling gak manusiawi, alias pas masuk kamar tahanan itu hawanya gak enak banget; I always assume that rooms like this is not really haunted but they just possess a lot of negative energy that lingers for even centuries yang tiap kita masuk bisa bikin bergidik gitu lho), jenis senjata dan alat penyiksaan yang dipake (guillotine, anyone?), dan cerita pendek-biografi beberapa tokoh penting yang pernah ditahan di Maison Centrale.
Puncak terakhirnya adalah di halaman belakang, ada dinding yang isinya ilustrasi perang berupa pahatan, dan di sana disediain dupa dan altar buat sembahyang bagi yang mau mendoakan pahlawan dan leluhurnya. It's always heartbreaking to witness war remnants, why were we doing it at the first place?
Toko buku paling estetik di Hanoi (katanya) dan paling instagrammable: Nha Sach Mao
Karena heat wave-nya gak gitu berasa di hari kedua di Hanoi, akhirnya gue bener-bener hopping the city di hari kedua. Perjalanan lanjut ke Nha Sach Mao, sebuah toko buku estetik yang direkomendasikan berbagai situs traveling bule di Google. Sebenernya gue sangat menghindari touristy place apalagi yang direkomen bule atau diklaim sebagai instagrammable, karena ada kemungkinan 1) Rame, 2) Harga barang yang dijual di upmark, 3) Overrated alias gak sebagus itu. Tapi karena siang itu weekdays, gue gabut, dan sepertinya jarang papasan dengan bule selama gue di Hanoi, jadi gue pikir kenapa gue gak coba aja ke toko buku itu sambil cari buku bacaan.
Seperti biasa, mencari alamat di Hanoi itu drama banget, nyaris kayak alamat palsu. Nyari toko buku ini pun bikin gue keliyengan di tengah terik matahari jam 2 siang, karena Google Map berkali-kali bilang "Your destination is on the right" tapi gue gak nemu apa-apa. Dilewatin, malah makin gak ketemu. Ternyata, yang dimaksud Google dengan "Your destination is on the right" itu adalah ada gang di sebelah kanan gue, terus di sebelah kanannya lagi ada tangga, gue harus naik tangga, masuk lorong lagi, kemudian toko bukunya ada di sebelah kanan.
Dari luar, toko bukunya kecil dan penuh dengan literatur Vietnam, alias gue jadi bingung "Anjir mau beli apaan kalo semuanya bahasa Vietnam". Menelusur lebih lanjut ke dalem, ternyata toko bukunya gede, bukunya banyak (ya kalo bukunya dikit banyakan jual daging, ya berarti toko daging ya, bukan toko buku hehe), dan juga ada tangga yang superestetik tempat orang-orang mengambil foto secara Instagrammable.
Ternyata setelah ditelusur, nyelip juga buku-buku bekas dengan bahasa selain bahasa Vietnam, misalnya gue nemu buka Minna No Nihongo alias Let's Study Japanese, buku yang gue cuma punya fotokopiannya selama belajar bahasa Jepang kemarin (well, I have done so many things in last few months, and learning Japanese was one of them duh, but no progress duh). Karena tidak ada buku yang bisa dibeli, maka gue memutuskan hanya melihat-lihat saja. Mungkin karena mereka instagrammable dan banyak banget turis yang dateng cuma buat foto-foto (kayak gue), mereka menyediakan kotak donasi sukarela. Intinya sebenernya lucu aja sih toko bukunya, tapi akan lebih lucu lagi kalo ada yang bisa gue baca dan gue beli, hiks.
Wisata Gereja ke St. Joseph Cathedral
Dari dulu, kalau ditanya mau tamasya abroad ke mana, gue akan menjawab banyak negara berbeda. Sekali waktu bakal jawab Jepang, sekali waktu lagi jawab Prancis, sekali waktu pernah jawab Maroko atau Mesir, tapi salah satu negara yang paling konsisten ingin sekali gue kunjungi adalah Vatikan. Iya, Vatikan. Rumah dari Paus atau Pope. Pusat per-Katolikan. Kalo ditanya kenapa mau ke Vatikan, jawabannya selalu antara "suka liat katedral" atau "kebanyakan re-read dan rewatch film Angels and Demons-nya Dan Brown".
Karena gue buta Hanoi dan hanya mengandalkan Google untuk lompat dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya gue cari ada atraksi turis apalagi di sekitar gue. Munculah St. Joseph Cathedral Hanoi di search tab gue. Sambil jalan-jalan sore dan membakar lemak menjelang makan malam, gue memutuskan untuk berjalan kaki saja menyusuri gang-gang kecil Hanoi menuju ke Katedral ini.
Katedral ini tinggi, besar, dengan arsitektur neo-gothic, dibangun sekitar abad ke 19. Katedral ini adalah pusat keuskupan Vietnam, jadi semua gereja, kapel, parish di Vietnam pusatnya di sini. Ada bel besar di puncak katedral yang bunyi setiap jam, menyenangkan aja dengernya. Di depan katedral, ada halaman yang cukup luas dengan beberapa bunga dan patung Regina Pacis. Jalanan di depan katedral ramai dan sibuk (juga ribut, ribut klakson) sekali. Gue gak masuk ke dalem karena gak ada yang masuk juga. Baca di Google, main entrance hanya buka saat jamnya ibadah dan di luar itu hanya side entrance yang buka. Gak lama sih jalan-jalan di sskitar katedral ini, tapi cukup bikin gue mikir apa nanti pas ke Ho Chi Minh juga wisata gereja ya? Soalnya ada beberapa katedral di Ho Chi Minh yang terkenal, misal Pink Church dan Notre-Dame Cathedral yang gambarnya wira-wiri terus setiap gue (berusaha) bikin itinerary Vietnam; but I guess I'll manage later.
Makan apa di Hanoi?
Makan sushi vegetarian di Hanoi
Akibat gue duduk di sebelah orang Vietnam yang makan sushi di book cafe, jadilah gue pengen makan malem pake sushi. Searching sana-sini, mana ya sushi yang affordable dan kira-kira isiannya tidak membuat aku gatal-gatal atau sesak napas (Hint: You can kill me using seafoods), dan akhirnya ketemu satu outlet sushi di deket jalan pulang menuju AirBnB yang namanya SushiLAB, sebuah outlet sushi semi-vegetarian yang membuatku tidak takut alergi karena kebanyakan isinya sayur. Sebenernya dari segi harga setelah intip-intip di Google ya tidak murah juga (FYI, makanan yang berbau internasional di Hanoi tidak pernah murah, so far yang gue liat paling murah sekitar VND 70.000, lain kalo lo makan di warung lokal Hanoi, harga seporsi Pho mungkin masih bisa dapet di angka VND 20.000-30.000).
Tempatnya mungil dan seluruh orang dengan berbagai ras dan etnis rasanya ada di dalem sana, mulai dari bule sampe Aseans. Surprisingly karyawan tokonya muda-muda dan sangat ramah serta helpful menolong gue yang sudahlah 1) Tidak bisa bahasa Vietnam (tapi bisa bahasa Inggris, FYI banyak orang Vietnam yang juga gak jago-jago banget bahasa Inggris, sehingga kalo ngomong Inggris-pun mesti pake isyarat badan), 2) Tidak familiar dengan istilah dan bahan makanan vegans. Semua menu terlihat tempting sih, tapi kan lucu kalo gue gak tau ingredients-nya ternyata zonk. Maka dengan bahasa singlish campursari dan separo aksi tarzan, gue berusaha mendapat info apa aja isi menunya dan mana yang kira-kira enak.
Gue memilih duduk di luar toko sambil ngeliatin jalanan. Jam 9 malem gini udah agak sepi, kerasa bedanya sama sore tadi – gak ada lagi motor-motor yang berisik klakson-klakson, salip sana sini, orang-orang berkerumun. Jalanan cenderung gelap, jadi agak serem juga kayaknya kalo pulang jalan kaki. Berikut kukasih lihat menu SushiLAB dan makanan yang kupesen aja deh, soalnya gak bisa banyak berkata-kata udah capek kena heatwave dan laper banget karena bingung makanan Vietnam apa yang kira-kira gak bikin kaget perut Indonesiaku yang tidak eksploratif ini. Tapi beneran SushiLAB ini edible banget untuk lidahku yang kagetan dan ngambekan ini, pokoknya rasanya enak. Jadi, kalo misalnya lo ke Hanoi dan lidah lo suka bersifat sulit kayak gue, makanan ini bisa lah jadi opsi untuk makanan non-Vietnam yang dapat dikonsumsi saat traveling – review di TripAdvisor dan Google-pun bagus.
Makan Pho Noodle (Tapi halal, warung Indonesia pula)
Setiap ada orang yang tau gue menulis blog, gue selalu ditanya, "Nulis blog apa? Makanan ya?". Ada kalanya gue merasa menjadi food blogger ada suatu hal yang terhormat, sedikit lebih tinggi kastanya dibanding travel blogger. Tidak semua orang bisa menyisihkan budget untuk travelling tapi semua orang bisa makan – apalagi makanan-makanan kaki lima yang rasa enaknya luar biasa, seperti yang direview Alm. Pak Bondan Winarno. Sebagai keponakan dari Om-Tante yang hidupnya terlibat dengan grup-grup makan seperti JalanSutera, gue tentu saja berkesempatan mengikuti beberapa acara makan-makan dengan grup ini, tapi tidak juga gue mewarisi bakat untuk menerima dan menilai makanan. Gue yang cenderung picky eater dan "akan selalu ke restoran yang gue pernah makan di sana dan memesan menu yang sama persis", tidak pernah berpikir bahwa gue akan pantas menjadi food reviewer dalam bentuk apapun.
Tentu saja gue dan ke-picky-an gue dalam soal makan ini berimbas kepada masalah makan di luar negeri. Secara, gue gak makan seafood, gue gak makan kambing, babi, kelinci, kobra, biawak, anjing... Banyak banget makanan yang gue hindari. Gue juga cenderung menghindari makanan yang berbau tajam (kecuali duren) walaupun kalo masalah kebersihan gue gak terlalu picky (tapi tetep gue rasa gue gak bisa makan streetfood di India). Jadilah semua hal ini membuat gue sulit makan di negeri orang apalagi yang core-nya bukan Melayu. Berhubung gue di Vietnam dan harus makan Pho, akhirnya gue mencari resto yang menjual Pho. Gak tau kenapa gue gak nemu Pho yang sepertinya akan cocok di gue, akhirnya dalam upaya terakhir, gue jalan-jalan aja sambil nunggu laper, dan akhirnya ketemu restoran Indonesia di Hanoi, namanya Batavia Restaurant. Gue bukan tipe orang yang walk-in ketika nemu sesuatu, biasanya gue Googling dan nanya dulu via Google ke shop owner/DM Instagram, jadi saat itu gue ngobrol dulu lewat Google Message untuk memastikan tokonya sudah buka atau belum (karena waktu itu jam 8 pagi) dan liat menu virtual dulu baru dateng (ribet banget gue ya).
Batavia Restaurant ini letaknya ada di daerah Ba Dinh, Hanoi – deket Ho Chi Minh stilt house dan Kebun Raya Hanoi (Hanoi Botanical Garden), bener-bener seberang-seberangan sama atraksi turis ini. Berupa kios kecil, ber-ac, rindang tertutup pohon dan teduh. Gue masuk, memilih duduk tepat di samping jendela sambil menikmati morning in Hanoi. Karena baru buka, menu yang ada terbatas karena kata pemiliknya "Siap-siap dulu, jarang yang dateng jam segini" alias emang saya tamu Indon kurang asem aja hehe, tapi pas gue tanya Pho, "Pho sih ada soalnya bahannya simpel."
Jujur, ini kali pertama gue makan Pho dan ada aja orang yang mikir, "Kenapa pengalaman pertama malah makan di tempat fusion padahal udah di negaranya". Maybe it's because, I don't know since when, I am a type of person who put comfort on the top of every experience. Kalo bisa dibuat lebih nyaman, kenapa harus dibuat menyengsarakan? Kalo yang fusion bisa lebih diterima, kenapa harus makan yang autentik? For some people I might seem like someone who doesn't willing to try something new, but then again, I think I can rate my comfort threshold. I am not that type who's willing to try again food that I perceive as bad – jadi kalo emang kesan pertama gue buruk, gue bukan tipe yang akan nyemplung lagi dan nyari "Mana ya hal baiknya? Mungkin kemarin gue belum nemu aja", tapi tipe yang "Oke, gak enak. Gak mau coba lagi". Wah bener-bener bukan food reviewer material gue ini.
Yang kedua, buat gue makanan is not solely about the taste, the portion, and the price – for me eating is like a personal experience. I will remember food that tastes great, tapi gue juga tipe yang sangat mem-value suasana, kejadian, makan sama siapa, interaksi dengan manusia sekitar dan state of mind gue saat makan. That's why I always picked a soft spot to eat whenever I can – biasanya yang sambil bisa observasi orang (misal di meja bar atau dekat jendela). Sambil menunggu Pho, gue sambil minum teh memandangi jalanan Hanoi dari jendela, dan tidak lama Pho gue datang bersama dengan cakwe dan sambal.
I can infer that basically all Pho should taste like this: Light, not too strong, and soothing. Mungkin di beberapa tempat Pho disajikan dengan lebih banyak daging, lebih banyak toge atau cilantro, dengan broth yang lebih thick, tapi pada harkat martabatnya gue percaya Pho seharusnya seringan itu untuk dimakan dan cocok jadi hangover food atau makanan orang maag (sayang sekali tidak berkesempatan untuk mewujudkan Pho sebagai hangover food HAHA). Setelah makan Pho pagi itu, gue merasa gue sepertinya akan mencoba Pho-Pho di tempat lain (tapi preferably yang fusion aja dulu sih karena takut kagok) just because the taste are mild but hearty dan karena semuanya tentang momen makan Pho pertama kali overall menyenangkan.
Makan makanan India/Pakistan di Hanoi
Udah kehabisan akal bingung mau makan apa lagi di Hanoi yang kira-kira halal dan bisa cocok dengan perut Indonesiaku yang sangat picky, akhirnya memutuskan untuk makan makanan yang berbau timur tengah. Setelah lama duduk di pinggir jalan sambil scroll Google Review dan TripAdvisor, akhirnya nemu restoran yang kira-kira jual makanan halal affordable dan lokasinya gak jauh dari tempat yang sebelumnya gue kunjungi (Katedral St. Joseph), namanya Himalaya Indian/Pakistan Restaurant Hanoi. Perlu disclaimer sekali lagi (dan akan saya disclaimer berulang-ulang kali) bahwa makanan asing di Hanoi harganya lebih mahal daripada makanan lokal (untuk rasio harga:porsi), jadi gue yang liburan tidak berorientasi pada kuliner akan berpikir ratusan kali untuk menentukan makan dimana based on their prices.
Saat gue masuk restoran, cuma ada gue aja dan 2 karyawan restoran. Gue liat menu rata-rata harga kisaran >100.000 VND. Anggaplah 1 VND = 600 perak IDR, jadi harga makanan start dari 64-65 ribu rupiah ya. Gue akhirnya pesen garlic cheese naan sebagai base karbohidrat (supaya kenyang) dan lauknya pesen chicken seekh kabab. Rasanya oke dan nyaman di perut, dihidangkan dengan 2 jenis saus. Ada 1 saus yang entah apa itu tapi gue gak suka rasanya, but overall it was nice experience to eat there. Karyawannya juga ramah, sambil nunggu makanan, gue diajak ngobrol dengan bahasa Inggris yang walaupun pada beberapa poin sulit dimengerti tapi tetap bisa gue terjemahkan dengan bahasa tubuh (what I could comprehend: Turis Indonesia sering makan di sini, minggu lalu ada banyak turis Indonesia ke sini, "saya baru tahu Bali itu bagian dari Indonesia", dan percakapan lainnya), dan they let me eat peacefully when the food arrived. It's always great to receive warmth from locals when you are miles away from home, no matter how introvert you are.
Nongkrong di Warkop Vietnam sambil minum Kopi Vietnam dan baca buku tentang komunisme
Ke Vietnam tapi gak minum kopi sama aja kayak ke Bali tapi gak beli baju barong (iya gak sih? Iya aja lah ya), cause they don't name Vietnam drip with VIETNAM if it was not from VIETNAM. Long story short, gue baca-baca dulu sejarah Vietnam drip pas masih di Singapore dan mendapati bahwa kopi baru dikenal di Vietnam sekitar abad 20, waktu banyak pastor dari Prancis migrasi ke Vietnam dan awalnya padanan kopi di Vietnam itu susu, tapi karena susu susah didapet di Vietnam dan mesti impor dari Eropa sementara impor susah banget mesti nyebrang samudera pake kapal, akhirnya dibuat terobosan bahwa susu yang dibawa ke Vietnam adalah susu yang sudah dikurangi kadar airnya, alias bahasa kerennya adalah condensed milk. Cara nyeduh kopi Vietnam dari zaman dulu juga khas, dia pakai alat khusus namanya Phin, sejenis alat bikin kopi dengan filter-filter multiple dari bahan stainless steel (cukup segitu yang kutahu karena aku dokter, bukan barista HEHE).
|
Sample of Phin from amazon.com |
Being sotoy, I guess coffee in Vietnam is almost a sacred cult. Tempat kopi menjamur dimana-mana (seperti yang pernah saya jelaskan, kalau menurut jokes Twitter Yogyakarta udah penuh banget sama coffeshop, maka Hanoi lebih dari itu, alias tiap berapa meter lo bisa nemu coffeeshop), tempat kopi tidak lagi menyediakan outdoor seating dengan kursi normal, tapi juga setengah ngemper sampe trotoar-trotoar bahkan ke jalan dengan bangku-meja-dingklik, dan tiap malem minggu kayaknya gak ada coffeeshop yang nganggur, sesederhana apapun coffeshop-nya. Setelah 2 hari muter-muter Hanoi naik ojol (gak seluruh Hanoi sih, tapi lumayanlah) dan berjalan kaki, gue sudah mulai memetakan tempat kopi mana saja yang kayaknya rame dan ambience-nya menyenangkan, dan pilihan gue jatuh pada Kalina Cafe di persimpangan jalan dan masih sekitar danau Hoan Kiem (seolah eksistensi Hanoi-ku berpusat pada danau ini deh).
So I was enjoying my last night in Hanoi strolling around Hoan Kiem, malam itu bertepatan dengan serangkaian festival kebudayaan Vietnam di banyak tempat, jadi gue place-hopping kesana dan kemari merekam dan memotret perempuan berpakaian Ao Dai dan menyanyikan lagu Vietnam (gue gak tau lagu tradisional atau modern), dan berakhir di Kalina Cafe. Di Kalina Cafe, gue milih outdoor seating, pesen ca phe sua da (ca phe = cafe = kopi, sua = milk, da = iced – iced coffee with milk), sambil baca buku tentang komunisme yang kupilih eksklusif dari Tokopedia-nya BatuAkik Bookstore untuk melengkapi perjalanan komunisku ke Vietnam. Nikmat banget hidup leyeh-leyeh doang di depan coffeeshop sambil baca buku, sesekali observasi orang-orang sekitar dan kondisi jalan. Berikut beberapa footage dari malam terakhirku ngopi di Hanoi.
|
Awesome, blooming cafe culture in Vietnam |
|
Dingklik dan selonjor in outdoor seats community |
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap trend, sebenernya selalu penasaran sama Egg Coffee Vietnam tapi gue sama sekali gak nyoba karena ya aku bukan orang yang eksploratif ya soal lidah :')
Wah sebuah perjalanan yang tidak jelas, bukan? Setelah gue baca-baca ternyata gue se-absurd dan se-hilang arah itu di Hanoi. Untunglah gue traveling sendirian, karena kalo traveling sama orang lain apalagi sama orang yang ultimate foodie, gue pasti udah dimusuhin. Gak ada tuh cobain makan Pho yang recommended dan legend, makan Banh Mi pun enggak. Beberapa hal yang masih pengen gue lakukan kalo gue dapet kesempatan lainnya untuk ke Hanoi adalah: 1) Menonton Water Puppet Show di Thang Long Water Puppet Theater, 2) Duduk lebih lama di Dong Kinh Nghia Tuc Square, 3) Minum Egg Coffee, 4) Train Street dan bener-bener motret keretanya pas lewat, 5) Makan di Warung Zaynab – merasakan hidangan Vietnam in halal version yang lebih merakyat (penasaran, soalnya liat deh Google Review-nya; ini so far Google Review terbanyak dengan total bintang 4 untuk resto halal di Hanoi)