For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Sabtu, 23 April 2016

Dina's Medical Travel Journal

Selamat subuh semuanya.

Hah iya, masih subuh ini.
Eh.
Malah yang ngazanin subuh malah belum bangun ini...

So, it's already tanggal tua on April huh? Feels just like yesterday I made a post, yet three months had passed. Sometime a real life can be so possessive and you can do nothing with it, because it's always better to have one than have nothing :)

-------------------------------------------------------------------------------------

Jadi, kalau ada yang pengen tau (kalo ada yang pengen tau, I repeat...), 3 bulan terakhir ini sedang berkecimpung dalam mahasiswa-last-year-business. Nah, di kampus gue itu bukan skripsi. Karya ilmiah yang berbau-bau skripsi udah gue kelarin di semester 5 kemarin. Mahasiswa-last-year-business gue adalah menerjunkan diri untuk mengedukasi beberapa keluarga yang ketemu di puskesmas, ikut ke rumahnya dan berkunjung beberapa kali, untuk mengedukasi keluarga tersebut atas penyakitnya. Ya, so you can guess what I've been doing for these last three months is duduk di puskesmas sambil nanya keluhan orang dan mencari subjek yang cocok untuk diedukasi, ikut ke rumahnya, maintain contact dengan mereka, dan terus follow up di kunjungan-kunjungan berikutnya.

My last 3 months were spent di Puskesmas terjauh yang bisa dipilihin kampus gue. Gue jadi inget pas semester 3 dulu, pas awal banget ada mata kuliah ini, gue selalu berdoa supaya dapet puskesmas yang jauh -- dan doa gue selalu terwujud. Semester 3, gue dapet puskesmas di daerah perbatasan Serpong dan Cisauk, semester 4 gue dapet puskesmas di wilayah bandara Soekarno-Hatta (kesanaan lagi, masih jauh), dan semester ini, telur gue beneran pecah -- gue dapat puskesmas terjauh dan perjalanan ke sana kadang bisa jadi some kind of pain, karena memang lama dan macet. 2 jam perjalanan gue habiskan untuk absen di puskesmas ini dan menjelajah gang-gang sempitnya, perkampungannya, sawah-sawahnya.

Walaupun kadang perjalanan ke puskesmas-puskesmas tersebut membuat jiwa gue terkuras, tapi I tell you, time spent for traveling never wastes you. Selalu ada sisipan cerita-cerita nggak terduga di balik jarak. Misalnya, di semester 3 gue dapat puskesmas di perbatasan Serpong dan Cisauk; di hari pertama tugas, saat masih lugu, cupu, dan nggak tau apa-apa, gue diajak naik ambulans sampai pedalaman Cisauk dengan background musik dangdut koplo. Sampai jalan nggak lagi rata, di kanan kiri hutan bambu yang akhirnya berganti dengan sawah -- menjelajah kenyataan bahwa di dunia ini, sekalipun di wilayah yang sebenernya nggak jauh-jauh amat dari kota, masih ada lumayan banyak anak malnutrisi dan posyandu-nya jadi lahan sengketa.



Berada di sana, membuat lo sadar bahwa ada banyak kesenjangan yang tidak terlihat begitu jelas di kota, tapi disitu semua jadi nyata. Saat berjuta-juta orang menghabiskan waktunya dengan berdiet, berpantang, atau malah memuntahkan lagi makanannya yang sudah dimakan dengan membabi buta, masih ada yang udah tau butuh nutrisi, tapi makanannya nggak ada.

Dan yang paling mengesankan hati adalah keramahan para staffnya dan pasiennya. Daerah pinggir menyimpan banyak orang yang ramah dan sederhana, dan menyimpan abundant of people who comes to puskesmas. Ketika kita tanya keluhannya apa, mereka akan jawab dengan senang hati meskipun kita mahasiswa -- apa sih mahasiswa? Kita masih ada dalam kasta sudra di dunia medis, tapi mereka mau jawab pertanyaan kita -- itu priceless, dan banyak kisah seperti itu mengingat banyaknya orang yang periksa ke puskesmas.

Dulu, jaman BPJS belum terlalu hits seperti sekarang, banyak orang yang prefer untuk langsung ke rumah sakit yang lebih besar (minimal rumah sakit umum lah) untuk periksa, tapi di pinggir kota, puskesmas sudah menjadi lini pertama, sehingga emang gue nggak pernah kekurangan orang untuk diajak "ngobrol". Hal ini kontras dengan teman-teman gue yang memang dapat puskesmas dekat kampus yang katanya "Sepi abis. Gabut. Gatau mau ngapain.".

Plus, para staff yang luar biasa baik, yang menghargai jarak dan waktu yang rela kita arungi buat berada di sana -- dokter yang ramah, kepala puskesmas yang ramah juga, sampai staff yang sebisa mungkin menunjang kegiatan. Contoh pas itu tugasnya harus ke Posyandu, sementara jarak dari situ ke Posyandu jaraknya mungkin 8 kilometer dan jalannya nggak bagus (literally nggak ada jalan, yang ada tanah dan batu), dan nggak mungkin jalan kaki atau jalan sendiri; mereka anter sampai kita puas di Posyandu-nya. Itulah, keramahan orang-orang jauh yang nggak bisa gue dapat kalau gue nggak mau sedikit lebih effort.

Di semester 4, gue kembali menemukan hal-hal unik. Padahal puskesmas gue berada di sekitar bandara internasional Soekarno-Hatta, ya idealnya wilayah bandara adalah wilayah yang lumayan maju. Nah, kan di sekitaran Soekarno-Hatta banyak aliran sungai tuh. Kalo emang niat nelusurin sungai itu, lo bakal ketemu spot dimana anak-anak banyak berenang, di dekatnya ada ibu-ibu asik cuci baju, dan di deketnya lagi ada gazebo buat buang air besar. Masih ada yang menggunakan sungai langsung untuk kebutuhan sehari-hari; I am fine with that fact. Satu yang mengganjal gue, kenapa spot berenang-mencuci-BAB itu harus berdekatan? Itu, yang nggak bisa gue terima.

Lagi-lagi di sana, gue menemukan banyak keramahan, dari staff, khususnya dari kepala puskesmas-nya. Belum lagi kalau yang jaga kakak-kakak ko-as, duh, seneng. Udah dibolehin masuk, dijelasin, dikasih tau penyakitnya apa, terapinya apa -- aku mah jadi merasa seperti curut gitu, kecil nggak berdaya, menyadari bahwa ilmu 4 semester dikulitin dari buku dan jurnal nggak akan pernah sama kualitasnya dengan ilmu 3 semester ditenggak dari pengalaman nyata. Dulu, di buku-buku gambar ukuran A3 pas SD suka ada tulisan-tulisan mutiara bahwa "Practice makes perfect", nah I swear it's true.






Di semester 6, setelah 1 semester rehat belajar di lapangan untuk bikin karya tulis, akhirnya gue mendapatkan mata kuliah berbau-bau petualangan lagi dan kali ini, beneran puskesmas terbombastis gue -- puskesmas terjauh dan terpelosok dari semua puskesmas yang jauh dan pelosok yang pernah ada di daftar puskesmas yang menjalin kerjasama dengan kampus gue. Puskesmas itu letaknya di pedalaman Tangerang. Perjalanan kurang lebih 2 jam ke Puskesmas (pergi/pulang doang, bukan pulang-pergi) dan macet, serta berbelok-belok. Tapi sampe sana, banyak banget pasiennya dan mereka ramah-ramah. Range penyakitnya luas -- mulai dari penyakit common seperti hipertensi atau diabetes mellitus, sampe penyakit-penyakit yang akan jarang sekali ditemui di pasien-pasien perkotaan. Di sana, segala penyakit yang dianggap "penyakit masa lalu", "penyakit purba", "penyakit kuno", "penyakit jarang" menjadi nyata -- dan memang masih ada. Jadilah di saat orang-orang bikin laporan kasus dan membina orang-orang hipertensi dan diabetes mellitus, gue dan teman-teman se-grup gue membina orang yang sakit kusta dan sekelompok orang dengan penyakit-penyakit lain yang prevalensinya rendah di perkotaan; mengikuti kehidupan mereka, berkunjung, tenggelam dalam rutinitas mereka, mengaji rumah mereka dari aspek kesehatan lingkungan dan juga mengaji keadaan ekonomi mereka.

I have been wondering -- cuma di pelosok perkotaan aja udah segitu variatif penyakitnya -- gimana dengan mereka yang tinggal di pelosok Indonesia; di mana setiap orang pasti pernah kena malaria, anak-anaknya cacingan, atau mungkin ada filaria dalam badannya -- dan setumpuk penyakit lainnya yang nggak ada di Jawa? Mungkin sampai waktunya datang, gue yang harus bisa memantaskan diri supaya layak bertemu dengan orang-orang dengan 'penyakit-penyakit terlupakan'.





Intinya, I might have been jealous sometime to my friends -- yang dapet Puskesmas deket, bisa follow up kapan aja, dan ngga perlu perencanaan sedetil mungkin dan effort sebesar mungkin untuk bisa ketemu pasien follow-up-nya. Mereka punya banyak waktu untuk belajar, mereka bisa arrange dengan mudah, sementara gue di jalan aja habis 2 jam, belum otw ke rumah pasiennya, dan sebagainya. But well, I had nothing to lose -- dengan keramahan, ilmu, dan sedikit bau petualangan, gue baik-baik saja. It's really mind-blowing anyway -- dan rasanya terkadang kayak difasilitasi untuk escape dari keseharian yang itu-itu aja. Nggak bohong, kadang capek, kadang iri, tapi the travel sure brings more impression. Dan akhirnya kemarin gue udah selesai uji presentasi tentang keluarga "didikan" gue ini dan alhamdulillah, gue baik-baik saja.

So, should I arrange some medical-escape in near future?
Well, the question is worth of time to answer! ;)

(Well, idk why: awalnya gue mau buat intro doang, terus keceplosan terus ngomongin petualang ke fasilitas kesehatan di pelosok-pelosok -- jadilah gue bikin satu post aja deh *cry*)

Thank you for reading.

Love,
your soon-to-have-lots-lots-lots-of-year-end-exams writer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar