For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 24 April 2016

Dina's Arabian Nights

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!

Selamat malam semuanya. Hope you're doing well, especially di tanggal tua seperti ini.
*melihat dompet*
*isinya struk semuanya*
*struknya isinya beli aqua sama promag*
*nangis*

Jadi adalah sebuah keajaiban gue memiliki niat  untuk ngepost dalam waktu berdekatan. Keajaiban ini disponsori oleh selesainya satu beban gue karena udah selesai ujian presentasi keluarga binaan dan juga sebagai buah kebingungan gue mau belajar apa karena materi blok ini banyak. Daripada grumpy dan ngalor ngidul terus -- awalnya buka google buat cari anatomy of nose, jadi nonton anatomy of hell, dan awalnya buka youtube buka cari video fisiologi voice-box, ujungnya jadi nonton The Voice -- sudahlah, gue lebih baik melakukan sesuatu yang produktif seperti menulis blog.

Jadi, dalam durasi 3 bulan keabsenan gue dari blok ini, nggak banyak hal yang bisa diceritakan -- tapi bukannya nggak ada sama sekali, sih. Jadi intinya, 2 bulan lalu (oke basi banget), gue abis diekspor ke suatu negara yang masya Allah, muka semua penduduk laki-lakinya beda tipis sama Zayn Malik, bikin pengen nyanyi Pillowtalk terus.

Ialah Saudi Arabia, tempat persinggahan gue selama kurang lebih 9 hari -- tempat yang selama ini cuma gue liat di atlas dunia atau paling banter ngeliat di sejadah. The journey was out of the blue, actually, but it had been done. The journey itself left more trails in my soul rather in my eyes -- there were lots of thoughts crossing my minds and I couldn't focus on my sight, because my heart was lots opened than my eyes, there.

Saking out of the blue-nya perjalanan ini, gue packing 1 malam sebelumnya dan melupakan banyak hal untuk dibawa, termasuk kamera yang appropriate. Biasanya gue akan bawa kamera edisi perjalanan gue, Nikon, tapi karena kemarin motivasinya ke Arab adalah untuk ibadah, jadilah gue cuma bawa kamera digital kecil Sony, yang resolusinya jauh lebih kecil. Gue nggak mengira bakal banyak hal yang gue miss disana -- dan gue menyesal kenapa nggak bawa kamera yang lebih bagus. Di luar dugaan, Arab di bulan Februari udaranya nyaman dan sangat cocok untuk berpergian dan scenery-nya lebih bagus dari yang gue duga -- Arab is more than a qibla of a religion, a home of billion souls, and a ground of Moslem tears... It is naturally gorgeous!

Jadi singkat cerita, gue flight ke Arab sekitar 9 jam (well, I guess more) dan mendarat di Jeddah dengan selamat. Waktu itu jam 3 sore di Jeddah dan walaupun matahari sedang cerah-cerahnya, udaranya sama sekali nggak panas. Dari Jeddah, gue cao ke Madinah Al Munawarrah, the city of lights-nya Arab (eh ini beneran loh, bukan gue yang ngarang) dengan bis selama 6 jam. Hawa Madinah bikin menggigil serasa di Puncak, karena memang letak geografisnya yang berada sekitar 620-an mdpl, lumayan tinggi kalau dibanding dengan Mekkah dan Jeddah yang kira-kira cuma 200-an mdpl.

Berada jauh sekali dari rumah, jujur, adalah hal yang kurang nyaman -- despite all the given facilities. Jam 3 pagi, gue bangun dari tidur dan mengintip ke jendela, melihat orang-orang sudah keluar, di jalanan, ngobrol, dan berjalan ke arah masjid Nabawi, yang nggak jauh dari hotel. Jam setengah 4 pagi, gue ikut membaur dengan kerumunan orang yang berjalan satu arah -- semuanya ke masjid. Jam 4 disana dikategorikan sebagai "a bit late to go to mosque" dan jam setengah 5 kesana, you shall pray outside. Agak sedikit terkesima juga -- karena sebagai orang Indonesia, gue jarang melihat orang yang sebelum shalat iktikaf dulu di masjid sampai 1 jam sebelum waktu shalat. Maklum, ini pertama kalinya gue ke Arab.

Yang menarik dari fenomena shalat berjamaah, terutama di waktu subuh ini adalah kumpulan pedagang yang dagangnya bener-bener pagi banget dan semangat banget. Mereka akan buka warung jam 4 pagi atau malah lebih awal, ngemper menggelar pelataran dagangnya di jalan, menurunkan dagangannya dari kursi roda (yes, kursi roda!), dan mulai berdagang dengan semangat menggunakan separuh Arabian dan Indonesian language untuk menjerat pelanggan.

"Syahrini, dilihat dulu, Syahrini. Halal! Lima real, lima real, halal!"
"Assalamualaikum, Syahrini. Tiga lima belas real, halal!"

Dagangan yang dijajakan bervariasi -- mulai dari gamis, pashmina, parfum, jam tangan, sampe cokelat. Semua seru berdagang -- setengah ricuh. Plus, gue sampe bingung, entah apa yang dilakukan Syahrini pada orang Arab sampe semua wanita Indonesia dipanggilnya Syahrini.

Keseruan berdagang ini semua akan berhenti mendadak begitu azan pertama berkumandang (ya, di sini azannya bisa 2 kali). Semua dagangan akan ditinggalkan, just like that, dan mereka akan berbondong-bondong ke masjid. Setelah sholat, tiba-tiba dunia yang mute akan di un-mute lagi dan kericuhan berulang lagi. Setelah kericuhan dan keseruan berdagang kembali, timbul keseruan lainnya -- yaitu saat trantib muncul. Semua orang langsung panik beresin dagangan, ukhti-ukhti berhijab hitam panjang bercadar membenahi dagangannya ke atas kursi roda dan berlari-lari mendorong kursi roda dengan paniknya sampe sepatunya kadang tertinggal.
Setiap hari ritmenya sama seperti itu di Madinah.

Satu lagi yang gue salut dari orang-orang Madinah, mereka ramah sekali. Pedagang terutama. Mereka salut dengan orang Indonesia yang bisa berbahasa Arab, walaupun mereka bisa bicara bahasa Indonesia, un petit peu (sedikit). Kalau mereka nemu yang bisa bicara bahasa Arab, nggak pelit, dan nggak liat-liat doang tapi memang niat beli, mereka akan kasih diskon yang baik atas nama brotherhood. Sebelum nawar dan sesudah selesai transaksi, selalu "Assalamualaikum". Hati wanita mana yang nggak teduh; udah ganteng-ganteng, ramah, setiap negur ngucap salam dulu, begitu kita ngomong bahasa Arab dikasih diskon pula. Duh!

3 hari di Madinah, ada beberapa hal yang gue highlight selain suasana berdagangnya sih, di antaranya adalah bagaimana suatu perasaan cinta dan kagum dapat menembus dimensi apapun -- contohnya kekaguman dan kecintaan muslim terhadap Nabi Muhammad, dan gue yakin ini applied di agama dan kepercayaan manapun terhadap sebuah figur yang lekat terhadap agama tersebut.

Gue berpikir dan belajar banyak hal dari pemandangan di sekitar -- dari setiap Al-Qur'an yang diciumi sesudah dibaca di waktu Subuh, dari setiap sujud di karpet hijau Rhaudah. dari setiap salam yang dilontarkan saat melihat kubah hijau -- dan sejauh apapun kecintaan dapat menembus dimensi-dimensi, doa dapat melaju lebih jauh dari itu.

Selain itu, di Madinah gue sempet ditahan masuk ke dalam masjid (oh God this is totally embarrassing, but I really didn't do anything!) karena pas inspeksi tas gue dapet penjaga yang ngerogoh tas gue sampe dalem banget, ibarat ngerogoh usus 12 jari lah pokoknya, dan menemukan ada tas kamera kecil yang nggak ada kameranya. Saat itu, kamera memang gue tinggal di hotel dan tasnya tertinggal dalam tas gue. Gue sampe disuruh balik lagi dan akhirnya masuk lewat pintu lain yang penjaganya ngga terlalu strict dan itu tas kamera gue kantongin aja dalem celana. Sampe di Arab pun gue masih kontroversial ya.

Yang ketiga, yang paling berkesan dari Madinah buat gue adalah, burung daranya! Super banyak, super indah, dan super capture-able -- but not with the camera I brought :( Gue nggak menyangka di Arab burung daranya seindah dan se-instagrammable gitu, sehingga tertimbunlah penyesalan gue ngga bawa kamera yang descent. Gelar pemandangan burung dara terindah jatuh ke pelataran masjid Quba. Masjid ini warna putih, nggak terlalu besar, namun indah, dan banyak burung daranya! Serasa dreamy banget nggak sih.



Overall, Madinah is sure something for me. Suhu yang sejuk, atmosfir yang nyaman, orang yang ramah, udah ke Jabal Uhud juga, plus Masjid Nabawi yang luar biasa indah. Masjid Nabawi bener-bener terbagus lah. Jujur kulebih suka arsitektur masjid ini daripada Masjidil Haram, walaupun lebih sakral masjidil haram ya. Tapi mohon maaf nih -- ku ngga punya foto arsitektur dalam yang bener-bener baik karena memang ku ngga pernah bawa kamera ke dalam sana. Lah ntar kan ribet kalau ketangkep.







3 hari di Madinah, the journey must go on -- selanjutnya adalah ke inti perjalanan dan tujuan semua muslim kalau ke Arab: Mekkah. Perjalanan dari Madinah ke Mekkah kira-kira 6 jam dan gue hanya berhenti sekali di Masjid Bir Ali (another beautiful mosque!) untuk ambil miqat, itupun jaraknya 5 jam dari Mekkah.

Sampai di Mekah sekitar jam 9 malam -- Mekkah bener-bener satu hal yang berbeda dari Madinah. Suasananya, suhunya, pemandangannya bener-bener beda. Suasananya ya kayak di kota metropolitan gitu sih, penuh hiruk pikuk, banyak kendaraan juga. Suhunya hangat karena memang cuma 200 mdpl aja. Di Mekkah juga bisa lihat perumahan-perumahan sederhana sampai yang agak dibawah standar. Jarak dari hotel ke masjidil haram dekat, dan sampai sana, orang-orang langsung ibadah umrah.

Kompleks Masjidil Haram dan sekitarnya sedikit terasa seperti Jakarta karena memang dikelilingi gedung tinggi -- such as Zam-Zam Tower dan "Arabian Big Ben", Zam-Zam Clock yang indah di malam hari. Masjidil Haram walau arsitekturnya nggak se-mengagumkan Masjid Nabawi, tetap masjid termegah, terbesar yang pernah gue masuki. Di Istiqlal aja gue nyasar gimana gue sendirian di Masjidil Haram...

Masjidil Haram selalu penuh dengan kemungkinan ramai dan gue nggak berdaya aja kalau kesana lagi rame-ramenya. Jadi, kalau misalnya pengen kesana, gue akan nonton siaran live Kabah dari tv, menakar apakah segitu rame atau nggak, dan kalau gue rasa nggak rame, gue akan kesana. Biasanya jam nggak ramenya adalah jam 10-12 malam, jadilah jam segitu gue "bertamu" ke rumah-Nya. Basically memang lebih bagus kalau ke sana nggak pake nakar-nakar rame atau nggak, cuma gue rasa, tetap suasana yang lebih sunyi dan lebih tenang itu, pastinya lebih khusyuk. Tapi tetep sih, rame atau nggak, I always felt some kind of chills down to my spine when I saw the holy black box where billions souls face their tears to:


Selain bertamu setiap malam, gue juga ke beberapa tempat lain sih, misalnya ke Jabal Nur dan Jabal Tsur (Jabal = Gunung), Padang Arafah, dan ngelewatin spot-spot haji lainnya. Tapi, tetep, yang berkesan buat gue adalah Padang Arafah, mostly karena cerita dibaliknya sih.

This is according to Islam's culture and story and no offense to other version of stories from the point of view of other beliefs ya...

Jadi, setelah Adam dan Hawa jatuh ke bumi, mereka terpisah jauh. Bertahun-tahun dihabiskan dengan kesendirian dan pencarian, sampai akhirnya malaikat Jibril memberitahukan mereka untuk berjalan ke suatu arah, yang di ujungnya ternyata mempertemukan mereka. Akhirnya, di Padang Arafah, mereka bertemu dan kata-kata yang pertama di ucapkan oleh Hawa begitu melihat Adam adalah "Arafa ya'rifu" atau kalah diterjemahkan kira-kira "I know you". Setelah itu mereka berdua berdoa disana agar tidak pernah dipisahkan lagi.

Masya Allah, what a romance.


Jadi setelah sekitar 4 hari berada di Mekkah, gue turut menyadari banyak hal sih -- since it is more about belief, I don't have much thought to say here. Tapi memang, beda deh antara Mekkah dengan Madinah. Orang-orangnya berbeda, crowdnya berbeda, namun intensitas kesejukan rohaninya memang lebih besar. Di sana kamu bisa lihat kesenjangan tipikal perkotaan-perkotaan dan kendaraan yang berlalu lalang, nggak kaya Madinah yang lengang.

Dari Mekkah, gue berangkat ke Jeddah dan sampai dalam waktu 1-2 jam kira-kira. Deket ya ternyata, jadi kemaren ke Madinah itu ibaratnya kayak muter jauh banget. Maka, pemandangan terakhir yang gue lihat sebelum pelataran Bandara King Abdul Azis adalah rumah-rumah mewah dan pertokoan elit di Jeddah (lewat doang, masuk sih nggak) dan pesisir Laut Merah yang warna birunya luar biasa cantik, lengkap dengan masjid terapung. Karena durasi, maka gue nggak turun dan hanya lewat aja naik bis -- sempet foto sih, cuma you know my cam lah -- nggak bisa diburu-buru dengan speed di atas bis, jadinya blurrr semua.

Jadilah gue ber-assalamualaikum ria dengan Arab setelah dengan tentram menghabiskan waktu 9 hari disana. Pulangpun masih terjadi kehebohan karena setelah 30 menit mengudara, pesawat terpaksa balik lagi ke Jeddah karena alasan medical condition beberapa penumpang -- tapi alhamdulillah, aku sampe dengan aman sentausa di Indonesia dan pulangnya langsung makan sop. So happy -- karena sefancy apapun liburanmu, seindah apapun, nggak akan senyaman rumah, dan tujuan traveling itu sendiri adalah mengingatkan bahwa rumahmu pantas untuk dirindukan, se-tidak sempurna apapun ia.

Jadi, inilah kompilasi foto-foto yang berhasil terselamatkan dari ke-blur-an:




I am looking forward for a chance to re-visit Arab, with a better soul and also with nice traveling mate!
Semoga di masa depan masih bisa menjelajahi Arab sebagai destinasi baik wisata mata (hati) dan wisata mata (fisik). Aamiin!

Love,
your maybe-she's-a-sassy-one-she-posted-about-this-when-people-had-visited-this-so-many-times writer

Hehe!

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

3 komentar:

  1. Halo annisa! Saya suka bgt sama tiap postingan blog kamu dan hasil foto yg selalu kamu post di blog ini.. Hehe boleh ga saya tau kamu pakai kamera apaaa?
    Trimakasih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo! Terima kasih banyak ya :)) Saya biasanya pake Nikon Coolpix L110, tapi kalo di post ini saya pake Sony Cybershot DSC-S2000, sama-sama! :)

      Hapus
  2. Kepribadianmu banyak tercermin di tulisanmu, saya terhibur. Semoga suatu saat bisa mengobrol.

    BalasHapus