Hello,
How are you? Hope you are in the healthiest and the best state of mind and (general) health. Gue rasa, skipping months from a post to another (but always keeping in mind on when to write) has its perks. Walaupun I feel like less and less myself these days, tapi kadang ada waktu-waktu tertentu bengang-bengongku yang ngang-ngong ngang-ngong dan beberapa keimpulsifan dalam hidupku berfaedah dalam mewarnai hidupku. Tahun 2023 ini sedikit (atau banyak?) di luar kendali, penuh random ideas dan random acts, walaupun di beberapa titiknya kita hancur lebur, terburai, dan berantakan (Just like Nadin Amizah's song "Menangis di Jalan Pulang" – selalu jadi lagu yang membuat kita nangis bombay). Salah satu hal-hal yang sering gue pikirkan beberapa bulan belakangan yang sepertinya bagus untuk ditulis adalah travel (like I always did, but this year was very special, indeed) dan salah satu rubrik yang sesuai dengan judul post ini: "You Work So You Can Afford Your Childhood Dream", karena seperti banyak hal yang dialami orang-orang dewasa (secara umur, bukan selalu secara mental), gue rasa motivasi untuk terus bekerja, selain untuk memenuhi kebutuhan primer, adalah untuk fulfilling desires. Beberapa orang bekerja to seek honors, to be recognized, tapi yang paling sering gue temui sehari-hari adalah orang yang kerja untuk mewujudkan childhood desire yang merupakan kumpulan wishlist masa kanaknya yang belum terpenuhi. Beberapa temen kerja buat bikin PC gaming bagus, beberapa temen lagi kerja terus koleksi Gundam, Hot Wheels, atau Tamiya.
Kalo ditanya dari dulu naksir mainan apa, jawabannya Sylvanian House, tapi gak pernah kepikiran mau beli soalnya space-consuming hehe Gambar diambil dari sini, terima kasih! |
Kalau ditanya kenapa Annisa Dina bisa jadi Annisa Dina yang sekarang, gue rasa jawabannya adalah,
"Gak tau, udah dari kelas 3 SMP kayak gini."
Kelas 3 SMP adalah sebuah era yang kayaknya gak akan pernah gue lupa sekalipun misalnya tua nanti amit-amit gue kena Alzheimer ataupun demensia. Orang dengan Alzheimer atau demensia cenderung lupa dengan short-term dan working memory, tapi bisa recall hal yang sangat lampau. It left a trail in my heart – I still remember how I would like to dress, to speak, to interract with people, even I still remember my character and my spirit in those old days. Kelas 3 SMP adalah masa-masa gue punya temen deket banget, mulai dibolehin untuk explore kesana-kesini naik kendaraan umum (atau mungkin sebenernya gak boleh sih, tapi guenya aja yang nekat – ya, katakanlah ini titik awal gue nekat melancong ke sana kemari DAN kebablasan sampe sekarang), membaca banyak buku (dan menulis banyak hal), dan tentu saja titik pertama kenalan dengan kamera.
Kamera pertama gue adalah digital camera Canon warna pink, Canon Powershot A430. Sebenernya bukan kamera yang diberikan khusus untuk gue sih, ini kamera nyokap yang nganggur dan gue ambil aja dengan sepengetahuan beliau, lalu keterusan gue pake. Sejak 2009 akhir, kamera ini sering banget ada di tas gue dan sering juga gue umpetin di kolong lemari kalo ada bocoran mau razia hari itu. Padahal hari-hari gue relatif simple – cuma berangkat sekolah, sekolah, les/kerja kelompok di rumah temen/main di rumah Iyan, terus pulang, tapi semua gue abadikan dengan baik di kamera kecil itu dan beberapa gue post di Facebook kalau memang memorable banget. I was a very passionate person back then, I was very excited all the time – I faced everyday just like a dog seeing its dearest owner, full of excitement and love for life.
Hobi memotret yang gak jelas dan tidak profesional ini (fun photography, I always told people) gue bawa ke jenjang SMA. Di SMA, gue ikut klub fotografi dimana mayoritas temen-temen gue menggunakan SLR. Sebenernya dari dulu pas sama temen-temen SMP udah banyak yang pakai SLR, tapi pas SMA gue kebelet banget punya SLR karena 1) Temen-temen dan pembina fotografinya pake SLR, 2) Kalau ada acara hunting foto dan ada pelajaran pas hunting pasti belajarnya feature-feature yang ada di SLR, kayak teknik panning, ngatur shutter speed, aperture, dan lainnya. Kamera digital gue can't do such thing. Beberapa kali gue mengajukan ke bokap nyokap untuk bantu patungan beli SLR kayak Canon 1000D (kelas termurah SLR waktu itu), tapi mereka bilang buat apa. Kebetulan waktu itu nyokap ke Batam dan pengen beli kamera baru tapi digital, nyokap menjatuhkan pilihan ke Nikon Coolpix L-series yang gue lupa seriesnya, mungkin sekitar L100 atau L120.
Pengen cari sample photos pake Nikon ini tapi kumpulan foto-fotonya entah ada di hard disk yang mana... |
Sebagai anak yang waktu itu uang jajannya terbatas dan harus PP Jakarta-Kab. Tangerang tiap hari (uang jajan gue abis buat ngojek dari Kebon Jeruk sampe Srengseng kalo lagi telat, udah gak sempet naik Kopaja dan kena drama ngetem), gue manut aja dengan apa yang gue punya. Gue bertahan ikut fotografi sampe kelas 2 SMA dengan kamera Coolpix, sampe akhirnya suatu hari, habis hunting foto di Ragunan, bokap bilang beliau gak setuju dengan hobi fotografi gue dengan alasan-alasannya, tapi pas itu bokap ngomong agak keras. Setelahnya, gue kaget dan sedih dibilang kayak gitu, tapi berhubung most of time jadwal hunting fotografi selalu di hari libur dan gue capek untuk selalu PP Jakarta, gue akhirnya kendor. Jadi, gue mundur dari fotografi ya karena 1) Gue capek mencocokan waku dengan jadwal latihan (yang mana gak teratur juga tapi emang dasar guenya aja capek PP Jakarta di hari libur), 2) Keterbatasan equipment, 3) Omongan orang tua bahwa fotografi gak berkontribusi apapun dalam karir/kesuksesan masa depan.
Gue tetep menggunakan Nikon Coolpix L itu untuk waktu yang lama, tapi kebanyakan hanya digunakan saat libur/saat tamasya/saat ada acara sekolah. Gak kayak pas SMP yang dikit-dikit foto, sekarang gue foto kalau ada momennya, tapi langsung gue edit dan gue masukin di blog kalau itu memang spesial banget. Gue pakai Nikon Coolpix sampe pas gue kuliah semester akhir, bahkan ko-as awal. Setelahnya, lebih banyak gue simpen karena udah kepalang capek ko-as dan seiring waktu fungsi digital camera sudah mulai tergantikan dengan handphone. Waktu gue ke Bandung untuk internship pun (2019), kamera itu masih gue angkut juga ke Bandung walaupun jarang dipake dan masih berfungsi baik. Jadi, Nikon Coolpix gue pakai dari sekitar tahun 2011-2019 – cukup lama untuk ukuran sebuah kamera digital yang memang awalnya bukan pilihan gue. Dari sini, gue berpikir mungkin memang gue orangnya bisa aja bertahan menggunakan/menjalani sesuatu yang bukan pilihan gue/tidak gue senangi/tidak gue kehendaki. Walaupun sekali waktu (atau sering) ngeluh, pada akhirnya tetep dijalanin aja bertahun-tahun.
Salah satu selfie alay bersama temen SMA waktu kelas X di Kota Tua. Spotted my beloved Nikon L-series yang panjang umur. |
Ya intinya, sampai sekarang Coolpix gue bahkan masih bisa memotret dengan baik, cuma LCDnya rusak sebagian karena sepertinya ketimpaan barang berat waktu pindahan dari Bandung ke rumah circa 2021.
Dari 2019 sampai 2021 gue belum mikirin kamera lagi karena 1) Sibuk internship, 2) Sibuk jaga sampingan serta kerjaan sampingan yang lainnya (yang tau-tau aja, hehe), 2) Sibuk ngelamar kerja ke RS (interview tiap 3 hari sekali hehe, mendaratkan surat lamaran ke RSJ yang ada di pegunungan itu sekitar 2x – berkendara dari Jatinangor ke Cisarua hehe), 3) Sibuk pisah sama Bandung dan kembali ke ritme serba cepat ibukota, 4) Sibuk resign dan cari kerjaan baru lagi, 5) Sibuk menyesuaikan diri di tempat kerja (yang ternyata gue kerja sampe sekarang). Banyak ya kesibukanku yang gak penting. Tapi, pada akhirnya, di sebuah malam di tahun 2021, gue tanpa sadar checkout satu kamera yang memang sudah gue riset dari lama (detail kenapa bisa checkout sebaiknya tidak usah diceritakan), dan akhirnya my next and current digital camera is Sony Alpha 6000.
Sebenernya, ketika melirik Sony Alpha 6000, gue juga sangat mempertimbangkan Fujifilm. Gue mempertimbangkan Fuji dari segi, 1) Retro body (ya namanya manusia ya bund boong kalo gak duluan liat fisiknya), 2) Fuji bisa diset filter jadul-jadul analog vibe. Tapi entahlah, sekarang jadi keterusan sama Sony Alpha 6000. Jikalau boleh jujur, gue belum merasa "nyatu" sama Sony Alpha 6000. I feel like lacking chemistry between us – gak tau apa karena checkoutnya begitu impulsif dan tiba-tiba, atau karena segera setelah membeli kamera gue dihadapkan dengan banyak problem dan ketidakseimbangan mental sehingga masih belum banyak latihan sama kamera itu (ya seperti pepatah yang gue bikin secara mandiri, kalo lo gak banyak pertanyaan berarti lo gak ngerti – the less exposure, the less chemistry), atau mungkin karena fungsi kamera digital memang banyak tergantikan dengan smartphone, apalagi untuk utilisasi kamera digital yang untuk tujuan non-profesional seperti gue (foto gue di galeri BANYAK banget kayak gado-gado segala genre ada) sehingga untuk gue yang kadang males bawa berat dan menarik perhatian, memotret dengan smartphone ringan, tidak ribet, dan tidak mencolok. Tapi despite all the blabbers I throw about me and my Sony Alpha 6000 don't have the chemistry (Is it yet? Is it forever?), here are some of my favorite results from Sony Alpha (enhanced, just very little):
Semua keimpulsifan memilih Sony Alpha 6000 terjadi pada Agustus 2021 dan di bulan Oktober 2022, tiba-tiba berhembus kencang keinginan gue untuk menekuni analog. Sejak 2021 mulai ngeliat banyak orang sekitar main analog dan dengan rutin mengunjungi halaman second IG khusus analog mereka, sambil mikir "Apa mulai main analog ya?". Beberapa kali tanya-tanya temen soal analog: Kamera apa yang jadi rekomendasi untuk pemula dan yang paling penting: Berapa cost untuk main analog, mulai dari beli film, cuci cetak, sampai kemungkinan service. Beberapa temen bilang, "Wah kacau sih cost-nya, tapi nagih, mesti mikir baik-baik kalo emang mau main karena lumayan berat ke kantong," menilik harga roll film yang makin merangkak naik. Maju mundur, ngeliatin komunitas analog hunting bareng, maju mundur lagi, ngefollow-followin toko analog, akhirnya pecah telor di Oktober 2022 kewujudan beli Kodak Ektar H35 dan di akhir bulan yang sama dibeliin bokap nyokap Kodak I60 dengan ucapan, "Maaf ya dulu sering anggep hobi fotografi kamu gak penting, sekarang yang penting tekunin aja apa yang disukai dengan sebaik-baiknya."
Bermain analog dengan plastic cam seperti Kodak Ektar H35 dan Kodak I60 menyenangkan, ringkas, enteng, dan sangat aesthetically pleasing sebagai pencitraan/properti. Kodak Ektar H35 adalah sebuah kecintaan absolut buat gue. Dengan double frame, gue bisa maksimalin 1 roll 36 exp jadi 72 exp dengan hasil cetakan yang cakep dan cukup tajem. Kodak Ektar H35 adalah andalan gue kemana-mana saat jalan-jalan karena mungil, super enteng, dan ekonomis. I60 gue lebih sering diem di rak tapi beberapa kali gue bawa terutama kalo mau foto malem hari, karena flashnya lebih terang (dan baterai lebih tahan lama) dibandingkan flash dan kapasitas baterai Ektar H35.
Dasar manusia gak pernah puas, setelah beberapa bulan pake analog plastic cam, gue mulai sensing titik-titik dimana gue gak nyaman dengan plastic cam, di antaranya, 1) Gak bisa banyak eksplorasi roll film (terbatas pada film C-41 yang enteng dan gampang dikerek dengan sprocket gear atau film-film dengan removed remjet. Padahal film ECN-2 lebih banyak pilihan yang murah), 2) Berfoto dengan plastic cam berarti harus siap dengan pin and shoot alias gak bisa ngutak-ngatik shutter speed, aperture, ISO, fokus, jadi ya apa yang dijepret gak bisa diatur, 3) Karena gak bisa ngutak-ngatik setting, penggunaan flash menjadi sangat penting. Dengan plastic camera, kalau mau hasilnya bagus tanpa flash, berfotolah di bawah terik sinar matahari yang 11-12 sama gurun – karena di kondisi berawan, mendung, apalagi malam ya pure harus bergantung sama flash. Foto indoor? Wajib flash. Foto indoor tapi ada penerangan alami/buatan? Biar aman, tetep flash. Sangat gak cocok dengan kepribadianku yang mau motret ini itu tapi gak mau narik perhatian. Akhirnya, kebersit juga untuk liat-liat kamera analog SLR/rangefinder.
Suatu hari yang gabut, gue pergi ke Senayan Trade Center sore-sore setelah beberapa minggu ngestalk akun IG yang jualan kamera analog. Yang empunya toko hari itu lagi pergi, tokonya dikunci, sekitar 2 jam gue tunggu di depan tokonya sambil ngeliatin segala jenis kamera analog mulai dari SLR, rangefinder, sampe TLR. Akhirnya abang yang punya toko dateng, gue ngobrol sebentar soal maksud gue kesana dan cerita sedikit soal background fotografi (yang amat sangat sedikit dan just for fun), dan concern soal budgeting. Gue langsung nembak, "Masnya bisa gak pilihin saya kamera yang kira-kira mas liat bakal cocok sama saya? Yang lightmeter-nya nyala dan punya padanan lensa yang kiranya bakal berguna buat saya". There he handed me 3 cameras to pick: Canon AE1, Nikon FE, dan Nikon F3 all black. Gue langsung bilang enggak sama Canon, karena gue selalu pikir gue Nikon-person (huek) dan gue langsung memilih FE walaupun Nikon F3 was damn legit (Always up to all black cameras!) – karena F3 berat banget di tangan gue dan gak tau kenapa gue merasa akan melakukan banyak hal saja dengan Nikon FE (My hopeless romantic-love at the first sight Libra trait contributes a lot to this and every other aspect of my life), akhirnya kurang dari 30 menit milih-milih I finally bought my first analog SLR camera.
Kapan hari gue cuma bisa termenung liat etalase toko sambil nunggu pemilik tokonya dateng |
Memakai analog SLR camera gak sepenuhnya keren karena banyak momen-momen tolol dan sedih juga (dan memalukan juga) yang gue alami. Memakai kamera jadul, second-hand, dan sebenernya butuh basic knowledge of photography pasti ada tantangannya sendiri. Di hunting pertama, kamera gue tiba-tiba ngefreeze, gak bisa ngokang, gak bisa ngeshoot juga, udah panik-panik ngechat seller, ternyata cuma perkara baterai habis dan semua bisa di-solve ketika shutter speed diputer ke arah manual dulu. Di Yogya, udah keren-keren mau nyobain film baru dan udah ngambil foto banyak banget 1 roll eh ternyata roll filmnya gak nyangkut dengan bener di sprocket gear dan pas dicuci cetak satu roll kosong semua isinya. Pernah juga dapet foto yang banyak light leak karena backdoor gue gak rapet pada sisi tertentu (tapi bisa gue akalin dengan cara menekan sisi backdoor yang gak renggang). Lebih naas lagi, setelah vakum motret selama 2 bulan gue niat mau bawa Nikon FE ke Vietnam tapi gak gue cek dulu kondisi kameranya, pas sampe Vietnam, kameranya rusak sama sekali gak bisa dishutter dan gak bisa dikokang. Gue pikir masalah batre lagi kan, tapi setelah gue ganti batre tetep gak bisa juga. Dengan sedih hati di Vietnam gak motret sama sekali pake analog. Balik-balik ke Indonesia, gue meet up sama seller di Low Light Bazaar dan kata seller gue "Timer kameranya gak sengaja ke on, terus pas mau di off, komponen dalem kameranya macet dan jadi ngefreeze semuanya. Namanya kamera jadul sih kak bisa aja mekaniknya udah macet-macet."
Oh to feel all the light leaks on the film... |
Semua pertemuan di Low Light Bazaar membuat kamera gue dibawa kembali oleh seller gue untuk diberikan ke kenalannya buat service. Seller gue tidak menjanjikan juga bisa sembuh karena kamera gue FE yang artinya "Fully electric". Potensi untuk gak sembuhnya besar banget dibanding Nikon seri F atau FM yang masih "Fully manual". Sempet sedih dan coba-coba cari pengganti, akhirnya setelah 1.5 bulan kamera gue kembali dengan sehat walafiat ditambah dengan pemasangan lightseal baru jadinya udah gak lightleak. Beruntung banget punya seller yang gak ngilang gitu aja ketika kita yang bodoh dan buta ini udah gak tau mesti ngapain lagi :"))
Sekarang bener-bener merasa puas dan content dengan kamera yang dipunya, after all I own a digital camera (which still very relevant and still considered powerful, walaupun tangan gue gak jago-jago makenya), I also have pocket analog cams (2 Kodaks with both full frame and half frame format), an SLR analog camera, and a polaroid. Kalau memang punya rezeki di masa depan dengan pemasukan yang di atas rata-rata sehingga tidak harus memusingkan atau bahkan memilih antara hobi dengan perut, gue berharap bisa punya kamera TLR dengan film format 120 mm. Tapi let me dream a bit longer karena walaupun mungkin pada akhirnya kamera tersebut dapat terbeli, gue tidak yakin gue memiliki waktu yang cukup untuk berlatih dan dana untuk beli filmnya. Another note to myself, I should stop jumping from one hobby to another without digging profoundly into it; I should learn how to keep a spark instead of burning one roughly and straight shutting it down (dalam segala aspek kehidupan sih, bukannya cuma hobi aja sebenernya – karena konsistensi adalah kunci).
Intinya, di akhir post ini gue merasa sangat lega dan senang karena setidaknya bisa menyelesaikan sesuatu yang sudah lama sekali ditunda-tunda. Walau gue gak tau apakah post ini merupakan sebuah upaya yang bertujuan dan bermanfaat atau tidak, gue merasa plong aja gitu. If you are reading this and currently struggling with procrastination and aimless actions, I hope you can find purpose and being, in the mean time.
In the very end of this post, I'd like to ask things that maybe you've asked to yourself frequent amount of times and to remind you: What keeps you going?
With loving heart,
Dina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar