Selamat sore.
Semoga semua sehat-sehat selalu ya dan selalu berada dalam kondisi fisik, mental, emosional, dan finansial yang membuat kita bisa merasakan bahwa hidup itu penuh kebahagiaan dan pertolongan.
Sekarang, gue punya peraturan baru dalam menulis: Instead of telling you "Long time no write, long time no see, been long since the last time I touch this blog, etc", awalan pos akan gue ubah dengan penggambaran tentang dimana gue mengawali menulis posting dan tanggalan; sisanya biar menjadi misteri saja tentang kapan dan bagaimana sebuah post bisa selesai – karena belakangan ini, seseorang mengajarkan gue bahwa "no matter what you do the next, the most important is initiation, the start, bibitnya, awalannya, you name it". Lucu ya, ada banyak orang yang tidak peduli where to start dan yang penting adalah what you go through and the way you try to fix things along the way, tapi orang ini kayak, "Yang penting inisiasi dan niatnya apa.". So yeah, let's try this thing up.
Jadi, ketika gue menginisiasi penulisan blog post kali ini, gue sedang duduk mojok di salah satu kafe di Yogyakarta. Di 0 KM Yogyakarta, di dalam gedung pos yang megah warna putih besar itu. Gue duduk di depan rak berisi mesin tik beraneka rupa, kamera jadul, brankas zaman dulu, menghadap ke etalase besar berisi pajangan kartu pos berbagai zaman, perangko, dan kamera jadul (!!!) mulai dari Canon sampai Rolleiflex. Di dalam ruangan yang sama, ada berbagai pigura foto hitam putih jadul. Toko kopi ini gue temukan secara insidental lewat search tab Google dengan frame berpikir "I need a place to sit, not far from Malioboro so when the clock hits around 8 PM, I'll be walking on Malioboro street as my last glimpse of current Yogyakarta trip to finally on board with a 9.30 PM train to Jakarta.". Hari ini tanggal cantik, 12/12/22 – di sebelah gue, handphone gue berdering mengabarkan sale 12.12; no new message. I am still alone as fuck.
Still talking about this person, I got asked, "Kenapa Yogya lagi, padahal baru bulan Oktober?"
"Are you meeting someone on Yogya?"
Mungkin kalo ditanya kenapa Yogya lagi, jawabannya banyak. Mungkin karena kota ini nyaman sesuai slogannya "Berhati Nyaman" terutama untuk pelancong yang memutuskan berkelana sendirian (terlebih lagi perempuan yang memutuskan untuk jalan-jalan sendirian). Mungkin juga karena Yogyakarta punya banyak destinasi yang mudah dicapai dan seolah gak kelar-kelar karena list tempatnya ada lagi ada lagi. Tapi mungkin menurut satu bagian paling kecil di hati gue, di bagian paling sentimentil tai kucing, Yogyakarta itu adalah sebuah kota yang sudah pernah membantu gue untuk get over momen-momen menyedihkan di tahun 2014. I still remember those days not quite vividly, but I remember the feelings – menangis mendengar lagu Taylor Swift yang Clean di Pantai Pok Tunggal di Gunung Kidul sambil ngeliat gebetan kelas berat tahun ini ignoring me just to chase her dream girl in who studied in UNS Solo (which was his close friend). These days I am still skipping Taylor Swift's "Clean" cause I know I would never be "Gone was any trace of you, I think I am finally clean" just like the lyric.
Oke Dina, berhenti menye-menye.
Jadi, despite of my heartbroken pieces that ever healed once or twice in the land of the Sultan, gue tetep akan kembali ke Yogya karena merasa banyak hal yang belum kelar dieksplor di Yogya. Bulan Oktober kemarin, gue bener-bener disiram hujan non-stop dan lebih banyak ke gunung (salah satu pengalaman berharga dalam hidup: Kejebak ujan deres di Kaliurang atas dengan angin superkenceng, neduh di emperan warung tepi sawah karena terlalu takut kesamber petir di tengah sawah), sekarang gue berharap bisa eksplor ke arah selatan untuk memantai (bahasa awam: Pergi ke Pantai) serta agenda yang paling penting dalam perjalanan ini adalah ikut tour sepeda lagi tapi di tempat yang berbeda. Setelah merangkai beberapa wishlist, gue tiba-tiba sok ide mikir "Kenapa gak sekalian ke Solo aja ya? Kan deket terus ada KRL Yogya-Solo, sekalian nyicip bukan? Lagian gue terakhir ke Solo sekitar 2012." – dan boom, jadilah ide melancong ke Solo di tengah-tengah Yogya trip terbentuk.
So yeah, maybe I'll just narrow things in place/chronological/the way something make me feels order supaya gak gitu ngalor ngidul. Setelah sekian banyak fafifu wasweswos pada intro yang kelewat personal dan sentimentil, mari kita berbicara mengenai liburan kali ini:
Kereta Bandara YIA-Stasiun Tugu
Orang bilang, kita gak bisa memiliki semua hal dalam hidup. Kadang kita punya waktu, tapi gak punya uang. Kadang kita punya uang, tapi gak punya waktu. Kadang kita gak punya uang dan gak punya waktu. Dalam kasus gue di traveling kali ini, gue gak begitu punya banyak uang tapi gue lebih gak punya waktu. Walaupun gue sangat menyukai moda transportasi kereta dan sudah berpikir masak-masak untuk berangkat naik kereta, pada akhirnya gue menyerah dengan keterbatasan waktu dan keinginan untuk semaksimal-maksimalnya punya waktu di Yogya. Akhirnya gue naik pesawat dan mendarat di YIA alias bandara nunjauuuuh di sana di Kulon Progo. Di bulan Oktober, jadwal kereta bandara dan kedatangan gue di Yogya terlalu jauh jaraknya jadi gue pake bis Damri dan memakan waktu kira-kira 2 jam terus gue diturunin di Ringroad entah dimana. Sekarang syukurlah jadwal kedatangan gue mepet sama kereta bandara, jadi sekalian deh nyicip kereta.
At the first glance, jarak antara terminal kedatangan dan tempat naik kereta jauh banget ya bunda. Kasian juga kalo yang mau naik kereta lansia atau orang yang gak kuat jalan jauh; seinget gue di Soetta gak segitu jauh antara stasiun kalayang dengan tempat kedatangan/keberangkatan tiap terminal. Sampai di stasiun, gue mengantri beli karcis pake mesin ticketing yang bayarnya bikin deg-degan. Banyak orang-orang juga bingung dan banyak yang datang berbondong-bondong dengan sanak saudara, anak kecil, menandakan bahwa keberadaan kereta bandara ini sangat diapresiasi. Ya iyalah, jarak Kulon Progo dengan Stasiun Tugu yang bisa ditempuh 2 jam naik bis bisa diirit jadi 40 menit aja. Kalo naik bus-pun cuma sanggup sampe pinggiran ringroad yang entah dimana (atau mungkin gue aja yang salah milih bis) tapi dengan kereta lo bisa sampe ke jantungnya Yogya. Sangat menguntungkan. Harga tiketnya Rp 20.000 saja dan jadwal kedatangan dan keberangkatannya aku drop juga di sini ya bunda, supaya blog-ku ada faedahnya sedikit dan informatif, serta lebih dari sekedar misuh dan menye.
Diambil dari website DPMPTSP Kulon Progo |
Singkat cerita, gue naik ke kereta dengan aman sentausa, bengong dengerin lagu sambil liat pemandangan di samping rel. Pemandangan mostly persawahan Kulon Progo, jalan-jalan keci pedesaan, hati tentram banget liatnya. Sedikit gerimis, tapi gue harap trip kali ini tidak dipenuhi badai seperti trip Oktober kemarin. Gue sampai ke Stasiun Tugu dalam hitungan 40 menit kurang lebih dan naik ojek online dari depan Stasiun Tugu. Sedikit curi-curi pandang ke peron KRL Yogya-Solo dan wondering apakah untuk naik kereta itu harus pakai KTP, karena rencana KTP gue mau gue barter dengan motor, seperti biasa. Sekilas tanya sama petugas, kalau naik KRL Solo-Yogya gak perlu pake KTP, cukup pakai kartu tap tapi bukan e-money alias kartu tap model commuterline Jakarta zaman dulu yang kudunya beli di loket. Gak papa, we progress at a very satisfying rate, actually – progress is progress.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Chendela dan Sapulu Coffee
Sejak bergaul dengan orang-orang yang menggunakan Airbnb untuk nginep-nginep (gak sih, sebenernya gue bergaul sama mereka udah dari SMP tapi sekarang mereka jadi duta Airbnb atau gimana, gue gak ngerti), Airbnb menjadi pilihan pertama gue untuk mencari penginapan karena selain bisa merasakan harga yang kadang lebih murah (tergantung season dan availabilitas kamar juga), gue merasa menggunakan Airbnb terasa eksklusif dan intimate untuk pengalaman bonding dengan si empunya homestay karena 1) Kadang unit yang disewakan merupakan properti personal seseorang, dikelola mandiri, 2) Si empunya properti juga tinggal di situ, 3) Unit yang disewakan jumlahnya terbatas, bahkan mungkin bisa cuma 1 unit.
Gue selalu mencari penginapan di area Kraton karena 1) Nyaman untuk jalan-jalan, 2) Tenang, 3) Gampang kemana-mana, 4) Gue suka rumah tua. Tempo hari gue waktu Oktober gue nginep di daerah Prawirotaman yang memang banyak makanan sih tapi gue rasa tidak begitu nyaman untuk jalan kaki dan agak jauh untuk ke pusat kota. Gue nginep semalem di daerah Prawirotaman, Hotel Adhisthana (can't lie tho the hotel was awesome and pleasant! Sebenernya suka banget bobo di sana), kemudian karena lagi peak season dan gue cuma dapet semalem, besokannya gue pindah ke sebuah homestay di Kraton. Modelnya ada yang model dorm dan kamar sendiri-sendiri, gue pilih kamar yang sendiri tapi shared bedroom. Kesan: Sangat nyaman, walaupun kamarnya sederhana tapi interiornya kekinian, sejuk (karena ventilasi dan di dalem kamar dikasih AC dan kipas angin juga), ada 2 common rooms tempat baca buku dan kumpul, tempat duduk di resepsionis juga nyaman, hijau dan unik (plus ada kucing). Ramah tamah dan kebaikannya luar biasa, gue pagi-pagi udah berangkat untuk sepedaan di Nanggulan, pas balik homestay langsung diingetin buat makan, plus gue boleh nitip koper gue sampai keberangkatan sore/malam balik ke Jakarta supaya gue setelah checkout bisa melancong dulu tanpa bawa koper dulu. Untuk yang baca blog gue dan barangkali tertarik, namanya Snooze Hostel. Gue nginep di sini bulan Oktober; tempatnya di Kraton, Jl. Mangunnegaran Kulon, di belakang sentra gudeg Wijilan.
Oke, balik lagi ke perjalanan Desember, gue memutuskan menyewa unit Chendela di Airbnb selama kurang lebih 4 malam karena 1) Lokasinya di Kraton, 2) Kamarnya lucu banget, 3) Rumah tua (required), 4) Di depannya ada kafe. Gue sampai di Chendela siang menjelang sore dan langsung disambut yang punya homestay (pasangan fotografer yang memang sudah lama resides di Yogya), ngobrol, dan juga diurusin sama yang ngurus homestay. Di homestay-nya ada kucing (poin plus banget buat gue) dan ada kafe yang gak gitu besar, tapi agak Bali style. Sore itu kafe belum terlalu rame. Tamu homestay saat itu cuma gue dan sepasang bule yang sadly sedang rehat traveling post kecelakaan motor. Untuk kamar bisa dilihat sendiri ya, lucu banget beneran, kalo ada budget gue pengen banget renov kamar jadi kayak gini tapi karena gue orangnya berantakan jadi gak guna juga, mungkin akan end up barang gue berserakan dimana-mana.
I think I only talk about the pros of staying in Kraton, cons-nya mungkin adalah sulit kalo mobilitas lo bawa mobil. Lahan parkir terbatas dan harus parkir di bahu jalan. Gue gak tau kebijakannya gimana kalo lo sewa mobil terus mau parkir di depan homestay lo di Kraton, tapi kalo bawa motor so far aman. Rata-rata homestay bisa afford parkir motor dan di Chendela parkiran motor memang terbuka tapi setiap malam ada yang jagain. Bahkan gue sering banget kelupaan gak ngangkut helm ke kamar dan disimpenin sama yang jaga. Gue dengan jam pergi gue yang aneh banget selama 4-5 hari di Yogya jadi ledekan sama si keeper homestaynya katanya "Saya baru kali ini nemu tamu pergi jam 4-5 pagi buat beli tahu Walik terus motret subuh di Malioboro", ya emang gue se-random itu! Nanti jam 7-an gue balik ke homestay, mandi, breakfast, tidur sebentar, terus pergi lagi. Jam 8-9 malam pasti udah di homestay lagi dan udah mau bobo. Selama di Yogya belum berani yang keluar malem banget karena takut klitih. Oh ya berikut gue kasih juga foto typical breakfast gue selama di Chendela. Tehnya enak.
Kafe dengan kearifan lokal
Landing di Yogya, gue langsung ke homestay, ke rental motor, terus keliling cari kafe karena masih ada kerjaan. Seperti yang sering diomongin di Twitter, kafe di Yogya tuh banyaaaaaak banget alias pin lokasi di Google tuh penuh sama kafe. Karena gue di Yogya, gue pikir gue gak mau ke kafe yang biasa, it was either gue di kafe yang lokasinya di rumah tua (doain gue bisa punya rumah tua deh soalnya rumah tua is definitely my fetish) atau tempatnya etnik. Akhirnya gue search di Google dan ketemu kafe di pedaleman gang gitu, di dalem kompleks pendopo. Nama kafenya de Ngokow Coffee Roastery and Tea Club di Pendopo Ndalem Pujokusuman. Selain kafenya ada di rumah tua dan penuh perabot tua, di depan kafenya ada pendopo dengan banyak gamelan dan sanggar tari, pas itu kebeneran banget perempuan-perempuan segala usia lagi latihan tari. Gue ambil tempat yang pemandangannya langsung ke arah latihan tari, jadi bonus banget sambil buka laptop, sambil liat orang nari, dan dari kafe sama sekali gak ada musik karena sanggar tari lagi mainin musik gamelan. Menurut gue, gamelan is very relaxing and awesome, kecuali lo dengernya pas lo di tengah hutan apalagi pas naik gunung...
Jujur ini pengalaman baru di Yogya dan gue sebelumnya tidak pernah menyangka akan rilek maksimal memilih kafe yang etnik di Yogya. Definitely will come back for this kind of moment in the future.
Pulangnya, gue laper dan pengen makan tempe mendoan, akhirnya gue cari tempe mendoan sampe perbatasan Bantul (!!!), abangnya jualan di pinggir jalan tapi rame banget dan jam setengah 8 malem udah mau sold out – ya emang saya orangnya se-random itu aja sih.
Kafe di tengah hutan
Hari kedua di Yogya, rencananya adalah menelusuri Bantul karena kunjungan ke Yogya kali ini pengen panas-panasan aja sih sebenernya setelah Oktober kemarin lebih banyak ke gunung dan hujan-hujanan pula. Sebelum ke Bantul, gue tanya dulu rekomendasi baiknya makan/minum di mana di Yogya sama temen gue, Nuy. Nuy adalah orang Tangerang yang separuh napasnya ketinggalan di Yogya bersama dengan kenangannya masa kuliah. Nuy juga seorang jiwa yang artistik dan suka bikin kerajinan kulit, foto prewed, serta strolling hunting foto. Kalau mau tau profilnya Nuy, bisa klik di sini ya, orangnya baik banget dan salah satu temen multitalenta yang udah bisa bikin produk kerajinan kulit, bisa motret mulai dari wisuda, prewedding, sampe foto produk. Salah satu tempat ngopi yang direkomen Nuy sebenernya jauh sebelum gue berangkat ke Yogya adalah Kopi Tempuran. "Tapi emang rada ngumpet gitu, agak di hutan-hutan, cuma bagus deh mepet kali," begitu kata Nuy waktu kita lagi ngopi di suatu coffeeshop di Tangerang Kota habis hunting foto di Pecinan Tangerang. Sambil nunggu sore dan suasana sejuk buat memantai, akhirnya gue memutuskan untuk ke kopi Tempuran dulu.
Kopi Tempuran gak gitu jauh dari pusat kota, gak jauh dari ringroad sih sebenernya (gak tau deh ringroad yang mana, tapi gue tau sih kalo itu adalah ringroad), tapi emang lokasinya agak blusuk. Harus ngelewatin hutan bambu dulu lurus terus dengan jalanan yang agak bopak sampe akhirnya ketemu deh bangunan bentuk segitiga berkaca besar. Kafe ini terletak di riverside alias pemandangan outdoor langsung menghadap sungai dan berhubung sore itu cerah dan tempat duduknya sejuk karena banyaknya pohon, gue memilih kursi outdoor yang langsung menghadap sungai. Ada sih kursi indoor tapi gak banyak, lebih banyak outdoor. Untuk menu, gue gak pesen signature-nya; cukup minuman awam sejuta orang kalo mau bingung minum apa yang non-coffee alias green tea latte, gue juga gak pesen makanan karena menimbang bakal perjalanan jauh ke Bantul pantai, takutnya nanti pengen buang hajat di jalan – maaf ya gue gak bisa kasih banyak review makanan, tapi kalo soal suasana outdoor, emang juara sih, bisa planga-plongo di pinggir kali, di bawah teduhnya pohon, sambil main kucing (kucing di sini banyak banget dan udah di steril rata-rata – bisa gak sih gue bersikap objektif menilai tempat yang ada kucingnya???). Cocok lah kalo lagi pengen ke tengah hutan tapi gak gitu jauh-jauh banget dari kota, asal ke sininya mungkin siang jelang sore atau sore, karena kalo malem ya serem bos jalannya.
Bantul's Beaches! Goa Cemara dan Pandansari
Setelah kenyang dengan green tea latte, gue meregangkan otot, peretekin leher, tangan, dan jari tangan untuk long riding ke pantai-pantai Bantul. Gue start jalan dari Kopi Tempuran jam setengah 4 sore. Perjalanan ke Bantul panjang melewati jalan yang lurusssssssss terussssss saja sampai ngantuk dan jengah, oleh karena itu gue berhenti di beberapa tempat sembari foto-foto menggunakan kamera analog yang kubawa pada saat itu: Kodak I60. Yuhu, gue udah terjun ke analog beberapa bulan terakhir, masih sangat jauh dari kata berbakat, hasil foto gue jelek dan sering blank/kebakar/underexposed berat tapi ke sanalah uangku berlari belakangan ini. Mungkin next time gue bakal cerita kenapa gue memutuskan bermain analog (yang sangat menghabiskan uangku tapi aku ketagihan).
Gue mulai mencium aroma laut sekitar jam 5 kurang, saat mulai masuk ke jalanan Bantul yang lurus dan sepi. Sekilas, jadi inget pembicaraan terakhir sama Nuy, kalo sekarang ada tur sepeda di Bantul, terus jadi mikir dengan kondisi jalanan Bantul weekdays yang sepi, lurus, dan bagus ini nampaknya sangat worth untuk bersepeda di Bantul suatu saat nanti. Nuy merekomendasikan pantai Goa Cemara sebagai pantai yang sepi dan bagus buat planga-plongo daripada ke Parangtritis atau ke Gunung Kidul (asli gue pengen banget ke Gunung Kidul tapi rasanya mustahil deh pada solo trip ini). Kayaknya emang tujuan tur gue bulan Desember ini adalah planga-plongo maksimal dan get lost in the moment deh. Pantai Goa Cemara sendiri adalah sebuah pantai yang dipenuhi banyak pohon cemara udang yang saling berdekatan, membentuk atap, jadi seperti goa (or at least that's what I read from internet, thank you Google). Pasirnya putih, cukup bersih, tidak hitam seperti Parangtritis. Gue duduk dan memotret sambil denger lagu di pinggir pantai, selfie, dan memperhatikan orang sekitar yang tidak terlalu ramai. Karena gue kesusahan hidupnya selfie-selfie sendiri, akhirnya segerombol mahasiswi nawarin untuk bantu motretin gue dan akhirnya kenalan. Mereka mahasiswi fakultas kedokteran hewan UGM yang kelasnya lagi cancel terus karena gabut, mereka iring-iringan naik motor ke pantai. Gue pikir mungkin akan menyenangkan sekali kuliah di daerah yang banyak wisata alamnya, mungkin kalo dulu gue kuliah di Yogya, tiap ada kelas cancel atau tiap males kuliah gue mungkin udah kesana-kemari menelusuri Yogya dan sekitarnya. Tidak menutup kemungkinan gue akan ke Solo setiap minggu.
Senja makin tenggelam, gue diajak segerombol mahasiswi ini untuk ke pantai sebelah Goa Cemara, namanya Pantai Pandansari. "Mbak, kita ke pantai sebelah yuk, lihat dan naik mercusuar," kata Yasmin, salah seorang mahasiswi yang menginisiasi kenalan hari itu. Gue dengan senang hati mengikuti ketika diajak. Sayang seribu sayang, ternyata mercusuar Sambas itu gak bisa dinaiki lagi. "Yah Mbak, dulu mantanku pernah update foto dari atas sana lho padahal," kata Yasmin. Dalam hati gue bilang memang harusnya mantan itu gak perlu jadi referensi hehe. Akhirnya gue bersama keempat mahasiswi FKH itu planga-plongo dan ngobrol aja di tepi pantai Pandansari, ngomongin adulting dan gimana rasanya kerja. "Aku gak sabar mau kerja biar kayak Mbaknya bisa pergi kemana-mana kayak girlboss", kata mereka. "Ya, tapi jadi dewasa tuh sepi ya, sekarang aku mau ajak temenku pergi tapi cutinya gak bisa samaan, kalo nunggu-nunggu terus gak akan jadi, makanya aku pergi sendiri. Pada akhirnya, ketika punya uang dan punya waktu, kita mungkin gak punya temen buat berbagi," kata gue asal (gak tau sih sebenernya asal atau beneran dari hati, I felt so genuine telling them that).
Intinya, hari itu cuaca cerah, gue banyak berfoto dengan menggunakan kamera dan analog, selfie gue bagus-bagus, gue planga-plongo denger musik di pinggir pantai, gue kenalan dan ngobrol sama orang, pulangnya dapet temen, mana hasil foto yang difotoin mereka juga bagus-bagus – wah gue merasa komplit sekali, hati gue beneran sejuk.
Bakmi Jawa Mbah Gito
Pulang dari memantai di Bantul, gue laper banget. Tapi namanya juga gue, selalu tiba-tiba punya keinginan kuat, impuls meledak, yang harus diwujudkan – nyaris mirip orang ngidam. Malam itu, gue pengen makan bakmi Jawa. Sebenernya gue punya preferensi Bakmi Jawa sejak Oktober kemarin, yaitu Bakmi Jawa Gunung Kidul yang jualan di pinggir jalan Sultan Agung deket Pizza Hut, tapi karena gue sudah mendengar Bakmi Jawa Mbah Gito yang mahsyur namanya, jadilah gue berpikir untuk nyoba.
Agak jauh sih dari Bantul ke Mbah Gito, tapi nggak papa, gue kan impulsif orangnya. Gue sampe Mbah Gito kira-kira jam setengah 8 malam dan karena sendirian, bisa langsung masuk walaupun agak nyampur duduknya sama orang lain. Tempatnya agak unik ya, gubukan, banyak wayang, dengan nuansa kayu. Secara personal gue selalu suka dengan tempat yang punya ethnic vibe. Di Mbah Gito gue pesan sepiring Bakmi Jawa Rebus (personal favorite) dan tentu saja teh poci dalam ketel tanah liat pake gula batu. Beuh, wajib kudu harus mesti kalo ke Yogya makan bakmi-bakmian minumnya teh poci pake ketel tanah liat dan gula batu – kurang afdol rasanya kalo gak minum pake itu.
Honest review, I don't have Godly tastebuds dan gue gak bisa masak (kalau kredibilitas komentar soal makanan juga tergantung dari kemampuan memasak si pengkritik, berarti gue sangat tidak kredibel sehingga semua komen gue soal rasa makanan invalid), Mbah Gito cukup bisa dinikmati, secara ambience tempatnya-pun menyenangkan, tapi bukan yang sangat wah. But since my tastebuds is very very extraordinary dan faktor yang mempengaruhi makanan bukan cuma perihal rasa, mungkin wajar Mbah Gito punya tempat spesial di hati beberapa atau banyak orang yang membuat kunjungan ke sana menjadi wajib setiap sowan ke Yogya.
Soto Bathok Mbah Katro Sambisari
Setelah Bantul Beach Day yang diakhiri makan bakmi Jawa, gue cuma pengen males-malesan rasanya. Akhirnya keesokan harinya gue menghabiskan sepagian cuma ada di Chendela sambil males-malesan, tentu saja masih dengan breakfast yang sederhana tapi menggoda. Mulai agak siangan, gue tanya sama Nuy lagi kira-kira bisa kemana ya hari ini. Nuy kasih ide makan Soto Bathok Mbah Katro di Sambisari terus sorean ke Candi Sambisari, lanjut sunset-an di Tebing Breksi. Wah ide yang sangat bagus untuk aku yang tidak punya ide sama sekali. Kalo dipikir-dipikir, selama di Yogya gue gak pernah begitu eksplor daerah menuju Prambanan sana karena tiap ke Yogya gue cuma pikir it's either mountain or beach (sebenernya gue ke semua tempatpun seperti itu – it's better alam-alam or nothing at all).
Gue akhirnya berangkat ke Soto Bathok siang menjelang sore tanpa melihat dan membaca Google review dan pas sampe sana ternyata 5 menit lagi tutup. Soto ini ternyata buka dari pagi (mungkin sekitar jam 6 atau 7 pagi) dan tutup jam 16-an. Gue melas-melas sama abangnya supaya boleh pesen, janji gue gak bakal nyusahin atau bikin telat tutup karena gue makannya cepet. Gue pun menyanggupi makan soto panas-panas dengan cepat. Akhirnya, kemelasan gue membuahkan hasil dan gue jadi customer terakhir di hari itu. Soto Bathok, sesuai namanya, disajikan di dalam batok kelapa yang dibakar bersama sotonya untuk menghangatkan soto. Tipe sotonya bening, dengan condiments berupa tauge, seledri, nasinya dicampur sama soto. Biar afdol, pesen juga menu gorengannya seperti tempe dan sate-satean (sate telur puyuh, usus, ya gitulah biasa). Yang mau gue puji dari tempat ini adalah sambelnya seger dan tempenya in between tipis dan agak tebel tapi garing (dan asin). Wah sebagai si pecinta asin dan tempe yang in between tebel dan tipis, mencampur tempe dengan sambel lalu memasukannya ke mulutku sambil menyeruput kuah soto adalah sebuah movement yang sangat menyentuh hati. Ditambah suasana tempat makan yang dikelilingi sawah ijo, udah ngunyahnya dapet, matanya juga dimanja. Balik lagi, sama seperti belajar harus melibatkan semakin banyak modalitas sensorik, makan juga paling enak kalau 5 semua indra terpuaskan. Buat gue, makanan bisa rasanya so-so atau moderately good tapi jika ambience, scenery, serta mood dan momennya tepat, I would reminisce the food forever ^_^
Wisata Candi-Candian
Berkunjung ke Jawa tidak lengkap kalau belum ke candi, alias candi bener-bener ada dimana-dimana di Jawa. Selama ini gue selalu gemar berwisata candi karena gue suka menebak-nebak apakah candi yang gue lihat adalah, 1) Candi Buddha atau Hindu, 2) Candi yang pernah gue pelajari di pelajaran sejarah waktu SMA (I was quite a history head back then in high school. I loved social subjects kecuali ekonomi. Of kors karena ekonomi melibatkan angka), 3) Kalau ini candi yang pernah gue pelajari, I would love to recall in whose era it was built. Gue suka mengamati relief di dinding candi dan menginterpretasikannya secara bebas (kalo sangat tertarik ya gue search) dan umumnya pemandangan sekitar candi pasti juga bagus. Gue rasa orang dulu sudah tau tempat mana-mana yang scenic untuk bikin tempat peribadatan. Selain itu wisata candi juga murah.
Gue selalu pengen nonton Sedratari Ramayana di Candi Prambanan tapi di hari yang outdoor, dimana latar belakang panggungnya adalah Candi Prambanan itu sendiri. Selama ini Sedratari Ramayana outdoor show dilakukan di weekend dan umumnya bentrok dengan jadwal gue. Rasa-rasanya Candi Prambanan dan Candi Borobudur gak akan gue kunjungi kali ini. Jadi, gue tanya ke Nuy destinasi wisata yang gue sambangi tipis-tipis, kata Nuy kalo gue keburu makan soto bathok, di deketnya ada Candi Sambisari, Candi yang didirikan lebih rendah dari tanah sekitarnya. Awalnya gak kebayang gimana maksudnya, tapi karena kompleks Candi Sambisari tinggal ngesot dari Soto Bathok, akhirnya gue paham juga maksudnya Nuy; candinya ngebelesek di bawah permukaan tanah seperti gambar ini.
Karena kompleks percandian sudah mau tutup (gue datang 15 menit sebelum tutup) akhirnya gue cuma sebentar di sana. Last men standing di kompleks candi itu adalah gue dan rombongan ibu-ibu yang masih asik banget selfie dengan berbagai posisi di tangga candi, di sebelah patung, senderan di dinding candi. Gak lama, gue pergi dari sana dan bingung mau kemana. Akhirnya karena tiba-tiba gue pengen menikmati angin sepoi sore karena cuaca sedang indah-indahnya dan pengen sunset-an dari ketinggian (karena kemarin gue ke arah pantai), gue pikir gue mau ke arah Tebing Breksi karena udah kepalang nanggung. Di perjalanan menuju Breksi, gue yang lagi planga-plongo nyetir tiba-tiba melihat candi di pinggir jalan alias Candi Kalasan. Di sini bener-bener meleng dikit langsung liat candi, begitu pikir gue. Akhirnya gue menepi di depan warteg untuk ngeliat Candi Kalasan. Asli, gue rasanya mau ralat pernyataan gue "Kayaknya tempat candi selalu pemandangannya indah deh" karena pemandangan dari Candi Kalasan adalah warteg dan rumah warga. Yah, yaudahlah ya. Tapi sekali liat Candi Kalasan ini mirip candi Hindu tapi ternyata candinya corak Buddha (oke terus kenapa).
Karena gue tiba-tiba kepingin ke ketinggian untuk menikmati sore dan senja, gue searching di deket Tebing Breksi ternyata ada candi juga, way upper than Tebing Breksi, namanya Candi Ijo. Akhirnya setelah menemukan tujuan, gue gas ke Candi Ijo yang bener-bener masih di atasnya Tebing Breksi. Gue terus ngegas tanpa mikir dengan motor beat rental gue yang gak tau deh terakhir di servis kapan. Gue emang selalu gak mikir sih kalo nanjak, baik naik motor atau kalo jalan kaki summit di gunung. Pokoknya gas terus no looking back.
Jalanan lengang karena weekdays, gue sampe di Candi Ijo di momen yang pas. Matahari bersinar terik tapi terhalang awan, sehingga teduh dan suasana jadi syahdu banget. Suhu dingin ditambah dengan angin sore semilir. Gue parkir di warung yang lokasinya di semi-tebing (atau lereng) yang menyediakan banyak kursi untuk duduk dengan pemadangan yang breathtaking. Mas yang punya warung bilang, "Bagus ya mbak pemandangannya? Hari ini cuacanya lagi bagus. Mending mbak ke candi dulu, nanti pulangnya baru duduk-duduk di sini. Di atas lebih bagus lagi kalau cuacanya begini. Takut sebentar lagi loket tiket tutup.". Jam menunjukan pukul 16.30 sih.
Gue beli tiket masuk yang sama sekali tidak mahal (wisata candi mana pernah mahal kecuali kelas Borobudur atau Prambanan, mungkin bisa agak mahal). Untuk ke candi, masih harus naik undakan tangga dulu yang agak curam karena candinya letaknya tinggi. Sampe ke candi wah emang pemandangannya bagus sih, bisa liat Jogja dari ketinggian, siluet bukit-bukit sekitar, sawah penduduk, bahkan bisa liat tebing breksi dari kejauhan. Bisa menikmati pesawat-pesawat lalu lalang, mengecil, lalu menghilang karena lokasi yang masih relatif dekat dengan bandara Adi Sutjipto. Candinya sendiri terdiri dari 3 candi kecil dan 1 candi besar. Candi besar bisa dimasuki sekitar 4-5 orang tapi di dalemnya damp, super lembab dan gelap. Gue menghabiskan sore dengan duduk di pinggiran kompleks candi sambil menikmati matahari senja. This place is definitely lovely to spend sunset time, of course in weekdays. Not too crowded, plus when the weather is fine, it feels so great.
Setelah kenyang menikmati senja dan menanggalkan semua kedukaan yang gue bawa dari Jakarta untuk sementara, gue kok laper ya. Akhirnya gue memutuskan untuk balik ke warung dan menikmati pemandangan lereng bukit dari kursi di warung. Warung ini jual makanan juga yang berbau cemilan Jawa (?), di antaranya ada tempe mendoan dan tahu walik. Karena gue udah sering makan tempe mendoan dimana-mana (bahkan landing di Yogya pun malam pertama gue langsung ngidam dan nyari tempe mendoan sampe ke arah Bantul – which I didn't spesifically tell you here), gue mencoba tahu walik. Tahu walik pada dasarnya adalah tahu pong atau tahu Sumedang yang isinya dikerok terus bagian dalemnya dibalik jadi di luar dan kemudian bagian dalemnya ini disumpel adonan daging dan aci (lebih banyak acinya), penyajiannya dibarengi sama sambel kecap komplit dengan cabe merah-cabe ijo-bawang merah di kecapnya. Mungkin karena saat itu gue laper, pemandangannya indah, dan suasananya enak, tahu walik yang gue makan jadi enaaaak banget dan jadi salah satu makanan yang sekarang punya tempat spesial di hati gue. Terbukti sampai akhir perjalanan Yogya gue kali ini, gue kerap kali beli tahu walik di waktu senggang (favorit gue jualan di Jl. Kapten Laut Samadikun Yogyakarta dimana tukang tahu walik itu buka 24 jam dan gue sering beli jam 4/jam 5 pagi sampe di notice penjualnya. For me food experience is not just about taste, it also includes the feelings and memories that you come to remember in each bite.
Sepedaan di Kotagede
Highlight dan kegiatan favorit gue di Yogya belakangan ini selalu soal bersepeda. Oktober kemarin, gue ke Yogya buat sepedaan bersama Moana Bike Tour di Nanggulan dengan view bukit dan persawahan, sekarang pengen coba pemandangan lain nih. Moana menyediakan beberapa spot sepedaan, di antaranya Nanggulan, Royal Route Kraton, Kotagede, dan Borobudur. Berhubung gue belum pernah jalan-jalan ke Kotagede dan sedang mood bersepeda di perkotaan dengan trek yang cukup panjang dibanding trek lainnya, gue memilih rute Kotagede. Gue selalu tertarik ikut acara yang sifatnya open karena selain lebih murah, bisa kenal dengan orang baru (walaupun udah gak segetol dulu ikut-ikut open trip atau open nanjak bareng karena semakin tua energi kita makin dikit buat basa-basi dan haha-hihi sama orang yang baru dikenal). Seperti biasa, gue pilih hari weekdays, pagi hari, dan niatnya mau pilih sepeda lipet, tapi ternyata kalo medan perkotaan adanya model sepeda MTB. Di hari-H, gue akhirnya jadi private tour karena emang adanya gue sendiri sih di hari itu berhubung weekdays dan bukan holiday season. Oh ya, salah satu yang gue seneng dari iklim Yogya ini banyak mahasiswa kerja sambilan. Gue selalu seneng dengan sejenis jasa tour dan travel yang mempekerjakan mahasiswa dan selalu seneng liat mahasiswa kerja sambilan, karena itu hal yang dulu gak bisa gue alami seberusaha apapun gue memperjuangkannya.
Perjalanan di mulai dengan masuk ke gang-gang kecil menuju Kotagede serta susur sungai. Gue baru menyadari di Yogya banyak gang-gang kecil di sisi sungai yang bisa kita susuri naik sepeda/jalan kaki. Di sepanjang sungai, rumah-rumah hampir semua menghadap ke sungai (beneran terasnya ngadep ke sungai). Di ceritain pula sama mahasiswa guide kalo, "Pemerintah Yogya sekarang punya ketentuan Mbak, kalo rumah yang di bantaran sungai harus menghadap sungai. Supaya ada kesadaran kalau sungai di depan rumah harus selalu bersih, supaya bisa lihat setiap hari kondisi sungainya gimana." Not a bad idea tho sepanjang sungainya tidak rawan banjir dan tanah sekitarnya tidak rawan longsor. Tapi memang pinggiran sungai yang gue susuri relatif rapi, bersih, terawat, dengan kondisi sungai yang tidak banyak sampah. Diceritain juga waktu Merapi sempet meletus dahsyat tahun 2010, aliran lava dan material muntahan gunung sampe mengalir ke sungai-sungai yang bentarannya sedang gue jajaki.
Kita sepedaan terus keluar-masuk jalan kecil, sampe akhirnya sampe ke daerah Kotagede. Daerah Kotagede ini adalah bekas ibukota kerajaan Mataram Islam, yang nantinya terpecah jadi separuh bagian kesultanan Yogyakarta dan sebagian lagi Kasunanan Surakarta. Di ceritakan juga konsep-konsep tata ruang di Kotagede pakai konsep Catur Gatra; yang pertama dibikin adalah rumah raja, kemudian alun-alun (tempat raja berinteraksi dengan rakyatnya), pasar (pasar yang paling terkenal di Kotagede ya Pasar Legi; fenomena pasar yang jualan setiap kalender Legi), dan rumah ibadah (karena basicnya adalah kerajaan Mataram Islam dengan sedikit ke-Hinduan, pengaruh Islam-nya kuat, jadi rumah ibadah yang mencolok adalah Masjid Agung Kotagede, perpaduan antara bangunan fungsional Islam dengan corak Hindu). Sistem tatanan kompleks rumah di Kotagede unik. Satu rumah yang terlihat besar ternyata kalau dibuka pintunya isinya rumah-rumah dengan jalanan kecil di depannya. Di satu kompleks rumah umumnya ada kayak pendopo 1 buah (kadang bernuansa joglo atau European-style kolonial) dan rumah-rumah lainnya umumnya masih joglo. Diterangin juga sama guide-nya kalo pintu masuk si empunya rumah beda dengan pekerja rumah tangga.
Perjalanan 11-12 km dengan bersepeda cukup menyenangkan tapi cukup menguras tenaga karena medan ke arah dan pulang dari Kotagede cukup nanjak dan nurun. Cuaca sangat cerah (wah kebalikan dari hari bersepeda di Nanggulan yang ujan-ujanan Oktober lalu) dan banyak kendaraan bermotor seliweran. Bersepeda kali ini bener-bener beda dari pas di Nanggulan, tapi I guess it's the perks of cycling in the city. The traffic, the vehicles, and also the chance of getting hit by motor vehicles... Hahaha. Overall, it was satisfying and full of historic info (termasuk detail-detail Panembahan Senopati kemungkinan memperistri Nyi Roro Kidul just blew up my mind). Next kalo bisa sepedahan di Yogya lagi mungkin mau ikut Basikal With View sepedaan di Bantul (okay, throw it into your wishlist, darling).
The rest of Yogya days were well-spent around Chendela dan komplek Kraton. Sebutlah Taman Sari dan Malioboro. Been years since my last visit to Tamansari, gue menyempatkan ke sana karena terakhir ke sana ya sekitar 2017. Tiket masuk sudah keren pakai QRIS (I guess we all have to use QRIS even in simplest task, don't we?) dan untuk kamera gue rasa ada biaya tambahan saat bayar tiket masuk (or not, gue lupa). Sedikit berekspektasi Tamansari akan sepi di saat weekdays, tapi ternyata rame-rame juga dengan orang berselfie di setiap sudut dan mengantri untuk berfoto di spot-spot tertentu (let people enjoy their happiness, Dina). Ada beberapa kawasan yang ditutup sejak pandemi seperti Sumur Gumuling, tapi sekarang menjelajah Tamansari = berpetualang menyusuri kawasan perkampungannya secara meluas. Jadi, sesuatu yang baru yang gue notice dari Tamansari adalah mereka develop site atraksi baru seperti Istana Air (Water Castle) yang jaraknya beberapa puluh/ratus (?) meter dari Umbul Binangun yang notabene adalah trademark-nya Tamansari. Gue gak tau apa ini bener-bener baru, tapi yang jelas gue baru tau sekarang ada Istana Air. Afdolnya, pergi ke Tamansari – sama seperti ke atraksi turis bersejarah lainnya – ya didampingi dengan tour guide agar dapat semaksimal-maksimalnya informasi dan ditunjukin daerah-daerah yang mungkin tidak diketahui orang awam, tapi berhubung kita cuma mau sight-seeing singkat (dan motret) dengan waktu yang serba sempit, akhirnya gue putuskan tidak dengan tour guide walaupun tour guide ada banyak dan terlihat mau mendampingi. Akhirnya gue mengikuti arah kemana orang pergi untuk menemukan Istana Air dan ya berhasil. Istana Air masih berupa puing-puing dengan dinding yang menjulang tinggi serta langit-langit yang bolong, lokasinya terletak lebih tinggi dibanding perkampungan sekitar. Dikatakan Istana Air karena letaknya yang tinggi, dari kejauhan bangunan ini (Gedhong Kenongo) seperti dikelilingi oleh air dulu. Sekarang masih tinggal puing dan katanya sedang menunggu waktu untuk restorasi.
Ada ya orang yang jam 4 subuh kebangun dan gak bisa tidur lagi, akhirnya memutuskan untuk beli tahu walik dan subuh-subuh duduk di Alfamart deket RS PKU Muhammadiyah, sambil makan tahun walik dan nunggu matahari sedikit terbit. Jalan-jalan di Malioboro jam setengah 6 pagi saat langit masih gelap merupakan pengalaman yang cukup menarik. Melihat orang-orang berangsur menggelar lapak di pinggiran pasar Beringharjo sampai lapaknya jadi padat hiruk pikuk di jam 7 pagi. Hmmm, cukup lama juga gue planga-plongo di sana. Berbicara lagi soal Malioboro, malam terakhir di Yogya-pun gue habiskan di Malioboro. Saat inisiasi penulisan blogpost ini, gue duduk di sebuah kafe di kantor pos Yogya, membawa hanya 1 ransel berisi laptop dan kamera, sementara tas besar sudah gue titip di loker stasiun (would love to recommend you melancong di Yogya tanpa bawaan, titip aja di locker room (yang ada shower room-nya juga) dengan rate sekitar 90 ribu/12 jam) – kemudian jam 8 malam gue terbirit-birit mengarungi hiruk pikuk Malioboro menuju stasiun untuk kembali ke Jakarta.
Sebelum landing di stasiun juga gue masih sempat-sempatnya cari kartu pos di toko Ciamis (tempat kesenian dan souvenir) dan ngobrol sama yang punya toko ("Toko ini punya kakek saya, sekarang saya yang pegang. Sudah berdiri dari 1940-an Mbak. Namanya Ciamis, karena kakek saya dari Ciamis.") walaupun waktunya sempit. Akhir kata bisa landing tepat waktu (dan malah kecepetan sih, karena keretanya terlambat dari jadwal) serta balik ke Jakarta dengan sentosa dan sekaligus sedih karena harus menghadapi masalah-masalah lagi di ibukota.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akhirnya post ini sampai pada penghujungnya (yang sebenernya belum ujung dari perjalanan sih karena in between Yogya days gue sempet ke Solo semalem, pas banget pas Kaesang lagi nikahan di Solo dan Pura Mangkunegaran rame banget, well but maybe let's talk about it later!). I can say from this post I really enjoy being on trip alone – just me, myself, and I. Rasanya sangat bebas menentukan mau makan apa, mau kemana, mau bangun jam berapa, dan mau naik apa tanpa memikirkan kemaslahatan bersama. Di sela-sela waktu bengong bisa mikirin hidup, chaosnya, serta kontemplasi apa yang salah dan harus dibenerin. Would definitely go on another solo trip if I could, tapi kalau kelak ada pasangan yang mau menemani melancong kemana-mana dan dengannya kebisuan juga bisa jadi momen manis (tidak usah memaksakan pembicaraan karena sometime we need some silence and spaces between us), gue bener-bener all in. Doain ya semoga gue selalu bisa menemukan cara untuk berkelana dan mengembara, serta selalu bisa afford it in a comfortable way, hehe.
Semoga harimu (dan hidupmu – serta hari dan hidupku juga) menyenangkan dan fulfilling.
Penuh sayang,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar