For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Selasa, 03 April 2012

Sum-Ut Made Me Semaphut! Part 1

Horas!


Semua ini berawal dari jam pelajaran TIK di akhir bulan lalu, dimana tiba-tiba pas lagi pelajaran, emak dengan ekstrimnya nelfon dan nanya apakah gua free akhir bulan minggu depan, alias bulan Maret. Gua cuma angkat bahu, dan tiba-tiba... Sudah diputuskan kalo gua akan merantau ke sarangnya Bataknese... Medan. Dengan sejujurnya gua bingung, ada motivasi apa dibalik rencana perjalanan ini, padahal gua gapunya sanak sodara disana dan gapernah ada keperluan mendesak untuk kesana.


Namun dibalik semua itu, gua resah.


Karena, menurut standar pengukuran jauh dekatnya suatu tempat menurut gua, Medan itu jauh. Jauh sekali. Yang gua jadikan patokan dalam standarisasi pengukuran jauh tidaknya suatu tempat adalah jarak dari Jakarta ke Yogya. Itu baru jauh. Tapi Medan rasanya jauh banget... Jauh sekali... Karena Medan ada di utara Pulau Sumatera yang notabene berbentuk panjang secara vertikal. Ditambah, yang bikin makin geregetan karena gua harus pergi di akhir bulan yang sakral - di tanggal 24 yang sakral gua ada di lain pulau.


Akhirnya, semua perdebatan nurani ini berujung pada Kamis malem yang gua habiskan dengan manyun di ruang tunggu airport. Gua ngelirik handphone setiap sepersekian detik, mengharapkan ada satu SMS yang masuk dan bilang "Babay Gonna Miss You" dan dengan manyunnya gua menghela nafas mendapati bahwa SMS itu gakunjung masuk dan tambah melengos lagi pas tau kena delay.


Sampe akhirnya di ujung kemanyunan dan kemelengosan, tiba-tiba ada bapak-bapak yang gebrak meja petugas bandara sambil marah-marah karena pesawat delay. Halo pak... Emang yang kena delay situ doang? Please, just have a seat, and relax. We're all annoyed here, not just you...


Tapi terbukti, semprotan dari bapak-bapak itu punya efek besar ke penumpang yang lain. Akhirnya penumpang boleh keluar dari ruang tunggu, bahkan sebelum pesawatnya ada. Akhirnya, penumpang berdiri di tengah-tengah lapangan bandara yang luas, nenteng koper, sambil diterpa angin, nunggu bis bandara yang ga dateng-dateng. Sedih... Ngedumel... Gaada sms masuk...


Tiba-tiba emak menghamburkan ratapan pilu di hati gua. Oke ini agak hiperbola.

"Biasanya lancar-lancar aja naik pesawat, giliran sama kamu kok jadi kacau begini ya?"


Ya, pilu, pilu...


Dan setelah delay dan galau batin yang mendera jiwa, akhirnya gua terbang menuju asingnya Medan.


Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya gua sampe di Bandara Polonia, Medan. Jam setengah 12, almost midnight. Bandara Polonia ukurannya relatif lebih kecil dari Soekarno-Hatta. Sekeluarnya gua dari Bandara, tiba-tiba gua berasa ngetop di kalangan supir taxi. Bagaikan seleb, gua langsung dikerubungin supir taxi dengan bujuk rayu supaya taxinya disewa. Tapi berhubung nunggu jemputan, gua dan nyokap bergeming. Terduduk-duduk di kursi luar bandara. Malem itu begitu banyak nyamuk, nyamuk Medan. Dan gua ngaktifin hp lagi dan gaada sms apapun yang masuk. Tiba-tiba, gigitan nyamuk Medan terasa lebih ngilu lagi.


Abis dijemput, gua pergi ke hotel kecil di deket bandara. Besoknya, gua menyadari bahwa gua akan pergi dengan sebuah grup yang berisi ibu-ibu Puskesmas, temen-temen emak. Bener-bener, hampir semua anggotanya cantik, alias perempuan. Gaada makhluk berjakun atau berkumis, atau berjenggot. Satu-satunya yang ganteng cuma salah satu anak dari ibu-ibu itu. Jadi, perjalanan ini sangat minim kaum adam.



Dan juga gua menyadari kalo ternyata acara ini adalah "Wisata Kuliner" Sumatera Utara. Apa???? Apa gasalah liat gua??? Berkali-kali gua ternganga dan kedap kedip mencari kenyataan, tapi jadwal itu penuh dengan "makan", "santap", dan sederet nama-nama makanan lain. Gua??? Orang dengan selera makan lenje seperti gua ikutan wisata kuliner??? Bahahaha pasti ini bercanda... Gimana bisa... Orang lidi kayak gua ikut wisata kuliner...


Pentor?
(Bentor)

Dan gua juga menyadari bahwa spot jalan-jalannya bukan cuma Medan. Gua kira gua bakal muter-muter cuma di Medan, gataunya beberapa jam setelah gua menyadari bahwa gua bakal ikut wisata kuliner, gua bergerak menuju Danau Toba.


Yes, Toba Lake is surely a lake in the middle of the mountains. And in the middle of Toba Lake, there will be an island named Samosir Island. That's sort of information I've got from people. Jadi karena Danau Toba itu ada di tengah-tengah gunung, niscaya gua akan mengalami perjalanan yang lebih mengguncang mental.


Flowers and Home

Be careful to walk across the street, sweetheart!

Perjalanan ke Danau Toba butuh waktu berjam-jam, lebih dari 6 jam, dengan kontur jalanan pegunungan yang meliuk-liuk dengan tajam yang (niscaya) bakal bikin mabok berat. Baru niscaya... Keep Positive Thinking! Dan perjalanan menantang medan pegunungan ini akan dilalui dengan kijang krista dengan driver bernama Pak Hasibuan, asli Medan.


Untuk mencapai Danau Toba, pertama-tama gua ngelewatin Desa Sibolangit, desa yang ada di dataran tinggi dan jalannya meliuk-liuk. Baru kali ini, disini, gua ngeliat rumah penduduk dan gereja hidup berdampingan, selang-seling. Baru 2-3 rumah, udah ada GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) lagi. Dan seterusnya begitu. Pemandangan ini gabisa gua nikmatin dan gua resapin karena gaya selip menyelip kecepatan super tinggi driver mobil. Nyaris setara dengan kemampuan selip menyelip motor Valentino Rossi, cuman bedanya ini mobil.


Baru gua sadari, ada banyak kuburan di sepanjang jalan. Di depan rumah, di tengah sawah, atau di rerumputan, pasti ada kuburan. Baru pertama gua liat, kalo kuburan-kuburan itu dilengkapin sama gereja-gerejaan kecil atau rumah adat karo. Biasanya kuburan keluarga yang kayak gitu.


Hebat, standing applause buat Sumatera Utara. Di balik modernnya hidup sekarang, masih ada masyarakat yang hidup damai di satu tempat yang damai, plus masih tersisa banyak lahan untuk "tempat tidur" layak buat orang yang udah meninggal. Saat warga DKI Jakarta kesusahan setengah mati nyari lahan kuburan karena lahan-lahan udah dialih fungsi jadi mall, disini begitu banyak lahan untuk menghormati mereka yang udah wafat. Saat praktek jual beli lahan kuburan di Jakarta merebak saking miskinnya lahan kuburan sampe-sampe kuburan harus disewa jauh-jauh hari, disini semua hidup damai, selaras.


Gaya F1-nya Pak Hasibuan mendadak bikin was-was lebih lagi. Sambil erat-erat memegang handphone dan memeluk boks-boks nasi Padang dan lontong sayur di samping gua karena takut bakal jatoh dan bikin tempat duduk gua kotor. Ditengah galaunya cara Pak Hasibuan buat driving, inbox gua-pun bikin galau. Ya, karena sms itu tak kunjung berbalas.


View from warung

Gua mampir ke tempat jagung bakar buat mengistirahatkan para driver yang harus terus dijejelin minuman sakti yang bisa membuat ilmu sakti mereka bertahan lama. Kopi, untuk konsentrasi mengarungi kontur pegunungan. Gua ngemil jagung bakar, sesudahnya gua disuruh ngabisin lontong sayur. Lontong sayur khas Medan yang katanya uenak nak nak, tapi menurut gua ini adalah penyiksaan perut gua yang mungil. Akhirnya dengan cengar-cengir, gua masukin lontong sayur itu ke mulut.


Perjalanan di lanjutin. Pak Hasibuan kembali menggila dengan jurus maut selang-seling salip dan dengan penuh haru gua menahan segala beban boks nasi Padang. Sambil mengalami kelok-kelok terdahsyat dalam perjalanan gunung, yang bahkan lebih parah dari jalur Pangandaran-Yogya, ibu-ibu di dalem mobil mulai mengkonsumsi manisan jambu yang seger... ijo... dan enak.


Photobucket

Photobucket

Ini adalah tempat dimana kita bisa ngeliat siluet Danau Toba dan Pegunungan di sekelilingnya dari ketinggian. It costed so much money, and they asked money for each car and the amount of people inside. Tapi dibalik harga, biasanya ada kualitas. Walau terbilang boros, tapi sarananya bagus, ada taneman yang bagus-bagus, bunga-bunga warna-warni, dan siluet Danau Toba yang indah.


... Indah, dan gua mendadak dapet melancholy atmosphere. Melankolis bikin miris. Tiba-tiba galau ngeliat handphone masih kosong. Well, is it wrong to expect someone we love to be on our side in a such beautiful place? No, because expecting can't be so wrong.


Cuma setengah jam disana, dan tiba-tiba acara santap nasi Padang pun terjadi. Oh please... Jangan makan lagi... Rasanya energi gua masih cukup penuh buat diisi lagi. Tapi gua ngeliat manfaatnya, mungkin kalo gua makan, gua gausah repot-repot nyelametin boks itu dari tikungan dahsyatnya Pak Hasibuan... Akhirnya dengan setengah hati gua makan (lagi).


Photobucket

Photobucket

Ada air terjun di daerah Njuah-juah, yang jatuh indah dari dinding tebing. Karna di Jakarta gaada air terjun di sisi-sisi jalan tol, sontak semua histeris yang ujung-ujungnya bikin pengendara lain gedek karena pada nekat turun buat foto-foto di air terjun. Tapi gua, sebagai orang yang di cap "Tukang foto" akhirnya turun untuk memfoto.


Abis itu perjalanan di lanjutin lagi ke daerah Dairi. Cerita tempat wisata rohani gitu, ada lima icon dari major religions di Indonesia: Islam dengan masjidnya dan miniatur ka'bah, Kristen dengan gereja dan penggambaran peristiwa yang dialamin dalam sejarah kekristenan, Buddha dengan viharanya, dan Hindu dengan Pura. Tapi gua rasa, Kristen lebih lengkap. Gaheran, kan mayoritas penduduk disini mungkin Kristen. Makanya, lengkap - ada Gua Bunda Maria, Yesus disalib, Bahtera Nabi Nuh, dan yang lainnya.


Tapi karena cuaca sangat panas, gua gakeluar buat foto, oke agak sedikit keluar dari jalur mental tukang foto...



Photobucket

Perjalanan lanjut lagi dan lagi.


Karena siluet Danau Toba dan birunya danau itu yang berdiri angkuh diantara gunung-gunung mulai terjamah.

Kalo tadi gua naik-naik untuk mendaki ke gunung, sekarang harus turun gunung. Capeknya triple.


Sepertinya gua layak memberikan statement kalo jalanan ini bener-bener thing of experts. Harus jago. Karena jalanan ini menungkik, berbelok-belok ditepian tebing dan banyak batu-batu longsor yang sebenernya nyita jalan yang udah masuk kategori "kecil". Dan baru-baru ini gua denger ada keluarga Jendral yang mobilnya terjun bebas dari tebing ini. Kalo jalanan ini adalah khusus expert, pastilah pak Hasibuan adalah the Father of the Expert.


Karena pak Hasibuan dengan ganasnya: berbelok tajam tanpa menurunkan kecepatan, berkendara di tepi jurang sambil menelfon, berkendara di tepi jurang sambil merokok, nyetel musik dangdut remix keras-keras, dan semuanya dilakukan dengan kecepatan yang bahkan membuat pembalap manapun merasa minder.

Ibu-ibu memekik ketakutan dan dia cuma cengar-cengir sambil bilang:

"Dulu pas saya bawa truk juga begini." ...... Jadi...


.... Jadi selama ini....


Akhirnya setelah melewati jalanan hebat itu, gua sampe di Pulau Samosir. Wow. Gua kira tadinya Samosir ada di tengah Danau Toba, ternyata gaterlalu di tengah juga, paling ga masih bisa ditempuh pake jembatan yang gaterlalu panjang. Akhirnya, di lepas daratan Samosir gua merasakan syahdunya senja.

Angin bertiup. Langit memerah. Kangen mendera.


Apa ini angin yang sama dengan yang ada di Jakarta?


Tomorrow's gonna be 24...


Sambil nunggu kapal yang lagi-lagi kena delay (setiap ada gua selalu delay, kayaknya...), gua memperhatikan anjing-anjing yang cari makan, orang-orang jualan ikan, dan anak kecil penjaga toilet umum. Sampe akhirnya kapal itu dateng dan gua langsung minta operator menyajikan suara doi tepat di kuping.


"Halo? Lagi dimana?"

"Aku lagi di kapal, dari Samosir mau ke Prapat."


maybe love can make the sounds of the lake's water movement in the dark seems less exciting...


Danau Toba di malem hari rasanya gakejamah, gakegrepe, dan gelap. Sampe sana gua udah capek stadium nyaris terakhir karena beban perjalanan yang nguras tenaga secara emosional, berkat cara nyetir sang driver, the Father of the Experts. Saking capeknya, gua tidur diem walaupun mimpi serem. Entah, mungkin ada penghuni Toba yang mau kenalan atau apa... -_- Yang jelas paginya dengan semangat-semangat gua terbangun dan merentangkan tangan, semuanya, karena tanggal 24 telah tiba!


19 bulan, tapi beda pulau. Agak miris meringis sebenernya, but love is about keeping faith and keeping close emotionally in the distance kan? Iye love, tapi kangen ya tetep kangen. Titik.


Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket


Photobucket

Photobucket

Photobucket

Makan Mangga Kenyot khas Sumut yang harus dilobangin, dipencet-pencet pake tangan, terus diisep. Yang paling aneh dari semua ini, mangganya mendadak cair. Sementara airnya ngucur terus, dagingnya sedikit, dan biji buahnya gede.

Plus, jajanan tradisional khas yang gua lupa namanya apa, tapi rasanya lembut, manis.

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Ini objek wisata Batu Gantung.
Batu Gantung ini ada di daerah tebing, dan menggantung bebas tanpa penyangga apapun selain bagiannya yang nempel di tebing. I wonder when it will fall down...

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Jadi, di Danau Toba gacukup lama. Dan akhirnya balik lagi ke Medan.
Hahaha padahal baru Danau Toba, tapi entah kenapa gua nulisin blog ini udah kayak mau bikin kitab... -_- Ya, maybe next time disambung lagi dengan acara Ngubek-Ngubek Medan...

Semoga saja.

Thanks for reading,
XOXOHHH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar