For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Sabtu, 30 Agustus 2014

- 2408

Ada banyak orang yang wira-wiri di hidup lo.
Ada yang cuma numpang lewat dalam durasi tertentu.
Ada yang nebeng dalam durasi yang lebih lama.
Ada juga yang memutuskan berlabuh dan tinggal.

Tapi pasti ada satu orang itu.
Yang awalnya cuma noktah kecil di hidup lo -- yang nggak pernah menyeruak di benak lo saat lo nggak fokus, namun tiba-tiba dia sanggup membuat relung-relung hati lo beresonansi.
Dan ketika sadar hal itu terjadi, bayangan wajahnya meletup begitu saja di pikiran lo, hampir setiap saat.
Walau awalnya cuma sekedar lirikan ramah dan senyum yang simpatik tanpa ada maksud menggoda.
Walaupun awalnya cuma sekedar 3 huruf "hai" yang terucap lewat SMS.

Ada satu orang itu.
Yang dengan mendadaknya menjungkirbalikan hidup gue.
Yang mendadak membuat suasana asing di SMA menjadi sedikit lebih ramah terhadap gue. Yang mendadak membuat jarak 30 kilometer antarkota antarpropinsi terasa menjadi 3 jengkal. Yang mendadak membuat gue bersemangat naik bis setiap harinya hanya untuk bertemu 1 wajah itu.

Satu orang itu membuat jalanan Jakarta yang macet sanggup untuk gue nikmati, membuat banjir sanggup gue arungi, dan membuat tangga Kopaja sanggup gue lompati. Satu orang itu membuat gue merasa halang rintang menuju Jakarta terasa bagai debu dan gue sanggup melakukan apapun untuk bisa kembali ke pangkuan ibukota.

Satu orang itu selalu membuat gue bertanya, dengan gayanya yang anak baik-baik dan simpatik, dengan banyaknya surat cinta yang dia dapet, kenapa malah gue yang dia berikan tumpangan gratis saat pulang sekolah? Kenapa malah gue yang dihujani segala kebaikannya? Kenapa gue yang dekil, urakan, dengan muka yang selalu maskeran sama debu ini yang seolah-olah 'menang selangkah' dibanding yang lainnya?

Satu orang itu benar-benar menjungkirbalikan hidup gue di hari berhujan itu.
Satu orang itu benar-benar membuat gue percaya bahwa lagu Almarhum Chrisye ternyata nggak bohong, bahwa masa-masa paling indah itu masa-masa di sekolah dan bahwa kisah kasih paling indah ya kisah kasih di sekolah.
Nunggu satu orang itu pas pulang sekolah. Bilang sama guru mau ke toilet padahal mau liat dia olahraga di lapangan. Curi-curi pandang pas lewat di lorong sekolah.

Hari-hari berlalu dan akhirnya satu orang itu harus meninggalkan gue di sekolah.
Sekolah nggak pernah terasa sama seperti sebelumnya. Sepi, hampa, ada sedikit motivasi yang terkikis. Nggak ada lagi bohong sama guru untuk ngelirik dia olahraga. Nggak ada lagi objek curi-curi pandang di lorong sekolah. Tapi satu orang itu nggak pernah benar-benar meninggalkan gue -- dia selalu ada, saat gue nggak bisa kimia dia masih setia ngajarin, saat gue nggak bisa jalan dia masih bela-belain nganterin, saat gue sibuk dia masih ada untuk nungguin gue selesai. Gue nggak pernah benar-benar merasa sendiri dalam hidup gue, sampe gue takut untuk kembali sendiri.
Karena ternyata ketidaksendirian terasa begitu nyaman.
Gue nggak perlu seisi dunia untuk nemenin gue, gue nggak perlu sejagat raya peduli sama hari gue -- gue hanya butuh beberapa orang, atau bahkan satu orang itu yang bisa mendengarkan dan bisa mengerti.

Hari-hari terus bergulir dan tiba saatnya untuk gue siap-siap ninggalin sekolah. Sampe saat-saat terakhir gue berpacu dengan waktu, dia ada di samping gue. Saat gue belum makan dan kelaperan, dia ada di depan bawain makanan layaknya mas-mas delivery yang dihubungin lewat telepati. Saat gue mulai jenuh dengan hidup, dia ada di sana nemenin gue minum teh sambil makan chiki, cuma untuk ngobrol, cuma untuk berbagi.
Ternyata untuk berbagi cerita nggak perlu menu mahal dan tempat yang fancy, hanya butuh orang yang tepat.

Sampe akhirnya gue secara resmi meninggalkan Jakarta dan kembali ke hometown, dia ikut menggeret dirinya masuk ke kota gue -- dan masih setia menemani gue. Dia masih setia mendengarkan keluhan gue tentang beratnya jadwal gue, omelan gue waktu diselak penguji pas lagi presentasi, dan juga menghapus air mata gue pas gue merasa gagal ujian. Saat hari-hari gue sibuk sampe rasanya bernapaspun nggak sempet, dia masih hadir di LINE gue, menyapa, dengan ucapan selamat pagi dan semangat yang sama. Saat malam-malam begitu melelahkan dan gue nggak bisa lagi terjaga, dia di sana mengucapkan selamat malam walau waktu-waktu sharing jadi semakin terkikis.

Satu orang itu yang bersedia mengurut kepala gue saat gue masuk angin terus pusing-pusing nggak karuan kayak emak-emak. Satu orang itu juga bersedia membopong gue ke dokter saat gue nggak sadar. Satu orang itu bersedia mengantar-jemput gue saat gue demam tinggi dan jalan aja rasanya berat. Satu orang itu yang jagain gue saat nggak ada yang bisa jaga gue di rumah sakit -- nyuruh makan, jagain kamar saat gue lagi bolak-balik ke toilet, bawain infusan gue, sampe nungguin periksa dokter dan ikut masuk ke ruang periksa saat kondisi gue bener-bener nggak bisa diajak kompromi.

Satu orang itu selalu mengajak gue berekspektasi ke arah mendatang -- bukan ekspektasi dangkal semacam jadi mama papa, mau punya anak berapa, mau punya cucu berapa -- tapi master plan untuk kehidupan. Semacam checklist to be accomplished dalam jangka beberapa tahun. Ternyata, sangat nyaman punya orang yang mau mendengarkan, mau mengerti, mau hadir, dan mau diajak berencana.

Dan gue menyia-nyiakannya walaupun gue sangat menyayanginya.

Dan sekarang garis-garis Nebula yang selama ini dia ukir dalam semesta gue perlahan-lahan menguap menjadi debu kosmik yang terpecah belah.


Mungkin post ini klise untuk kamu, dan untuk siapapun yang membacanya.
Tapi aku pikir ini cara terbaik untuk mengungkapkannya -- karena manis itu dimulai dari sini, dan disinilah aku ingin mengakhirinya dengan manis.
Di blog.

Selamat tanggal 24, Fir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar