For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Rabu, 03 September 2014

Truth's Exposed!

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Ah first, let me say few things: I am so glad to (officially) get back here!
Sangat menyenangkan, akhirnya gue kembali meng-grepe-grepe blok ini setelah sekian lama nggak nulis post yang lumayan panjang. My campus' life starts to make me heavy -- that's a sign that a should post something on blog.

Second, I am sorry for this late ----- super late congratulation, of course: IED MUBARAK! Haha, udah sebulan lebih umat muslim (in this case, me too) nggak melaksanakan rutinitas khas Ramadhan, seperti sahur terngantuk-ngantuk sambil mencet-mencet remote TV nyari acara sahur yang joget-joget dan finally mendarat di channel Quraish Shihab, seperti menghindari TV dan mall-mall di siang hari supaya nggak melakukan hal nista semacem ngiler liat iklan, dan juga buka-buka bersama, yang sayang sekali availability gue rendah tahun ini, dan rutinitas sholat teraweh -- walau terkadang bikin terkantuk-kantuk maksimal, tapi entah mengapa sangat gue rindukan.

Secara pribadi gue menganggap bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh keajaiban. Ibadah terasa jauh lebih mudah dibanding hari-hari di bulan lainnya, menghindari hal-hal jelek semacem gosip juga terasa lebih enak, dan yang paling ajaib dari bulan Ramadhan adalah walaupun gue nggak makan lebih dari 12 jam, badan gue malah jadi nambah subur (intinya naik 5 kilo). Ajaib bukan?

Selain itu bulan Ramadhan membawa atmosfir syahdu gitu -- semua orang saling maaf-maafan, yang dendam-dendaman pada baikan, atau at least di postpone dendamnya. Selain itu bulan Ramadhan membawa mereka yang hilang datang kembali ke hidup kita -- temen yang tadinya super duper sibuk dan kalo diajak main fail terus tiba-tiba ngajak bukber, mantan yang tadinya benci tiba-tiba sms mohon maaf lahir batin, temen SD, SMP, SMA pada rame bikin grup LINE, terus ngundang bukber-bukber cantik sarat nostalgia, dan bikin hati tergerak untuk ziarah ke mereka yang alamnya udah beda. Ramadhan, somehow, is my favorite month, dan gue minta maaf untuk semua reader (if there's any), if I ever hurt your heart directly or indirectly, sengaja nggak sengaja. Semoga Ramadhan yang kemarin membawa banyak perubahan dan penerangan dalam hidup :)

Nggak terasa jari gue udah pegel akibat nulis 3 paragraf tentang Ramadhan.
Yuk skip ke inti!

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jadi intinya, seminggu setelah lebaran berakhir, berakhir pula liburan gue.
Saat warteg disinyalir masih tutup dan saat banyak asisten rumah tangga masih galau mau balik apa nggak, gue sudah kembali menghadapi realita setelah 3 bulan berada dalam dekapan hangat liburan.
It was weird somehow, otak gue jadi agak membolot dan believe it or not, gue nyaris lupa apa yang gue pelajarin 1 tahun terakhir, so I should make some loud recalls just to gain my memories back.

Setelah berduel dengan ilmu dasar, akhirnya gue masuk di part mengenali sejumlah penyakit dan anomali dalam tubuh... FINALLY! Setelah setahun gue bergulat dengan normal state tubuh, niscaya gue akan dijejelin segala macem keanehan -- dimana kenormalan dan keabnormalan saling bertumpu tumpang tindih. Daaaaaan the beginning of anomalies starts from muscle and skeleton. Officially welcoming Musculoskeletal block in my life.

Dengan post ini juga, gue ingin menyambut secara resmi Clinical Exposure 2 ke dalam kehidupan gue. Jadi, di kampus gue, di fakultas jas putih, ada satu mata kuliah bernama Clinical Exposure. Clinical: Klinik. Exposure: Paparan. Jadi, Paparan Klinik. Maksud dari mata kuliah ini sungguhlah sangat mulia, gue rasa: diharapkan dengan mata kuliah ini, para calon pemakai jas putih akan mengetahui kalo dunia medis bukan cuma lu tau mentok dari buku -- karena terkadang realita dan buku akan berjalan di direksi yang berbeda. Lo baca di buku gejalanya begini, di kenyataannya gejalanya nggak begitu-begitu amat. Di buku, gejalanya sedetil-detilnya, pas terjun ke masyarakat, pasiennya nggak kooperatif dan ngambek kalo ditanya-tanya. Selain itu, harapan dari mata kuliah ini adalah para mahasiswa udah terbiasa untuk nulis laporan kasus sehingga pas ko-as nggak termehek-mehek lagi pas disuruh laporan.

Di Clinical Exposure semester lalu, gue dan temen-temen seangkatan, semuanya ditempatin di rumah sakit yang sama -- di RSUS Lippo Village, cuma disuruh observasi departemen-departemen di rumah sakit dan nggak perlu nulis laporan kasus. Tapi Clinical Exposure (yang mulai saat ini akan gue singkat menjadi CE) semester ini terlihat lebih 'garang' dan 'menantang' (walau sebenernya agak ribet sih): jadi satu angkatan bakal dipecah jadi beberapa kelompok dan masing-masing kelompok bakal dikirim ke Puskesmas yang berbeda.

Gue, sebagai mahasiswa-pulang-ke-rumah (alias nggak ngekos) merasa sangat comfortable sekaligus bosan karena kampus gue begitu dempetnya dengan rumah. Kurang adventurous gitu. Tapi gue, sebagai orang yang mager, merasa males juga kalo kejauhan dari kampus. Pas gue liat pembagian Puskesmas untuk CE, gue agak bingung ngeliat nama Puskesmasnya, seperti daerah antah berantah. Temen gue yang lain, semua dapetnya deket kampus. Karena terlalu kepo sama Puskesmas ini (Puskesmas S, begitulah gue sebut), akhirnya gue search di google map -- tadaaaaaaa! Alamatnya di Jalan Raya Cisauk.

Setiap gue inget Cisauk, gue inget Gunung Salak. Dengan itu gue jadi inget Tragedi Sukhoi dan tentu saja teringat Aqua. Bagi yang nggak tau Cisauk dimana, coba liat bungkus Aqua, atau let me say that Cisauk is kind of borderline between Tangerang and Bogor. Wilayah perbatasan. Ke Selatan dikit, Bogor, dan ke utara dikit jadi Serpong. Uhm -- dan itu jauh dari kampus gue!

Gue melakukan observasi naik motor dan it took me 1,5 hours to reach the place. Jalanannya nggak buruk so far, cuman banyak truk dan rutenya panjang. Di kanan kiri banyak pangkalan pasir. Agak sedikit cemas membayangkan gimana hari Selasa pagi dalam 1 semester ini gue bisa sampe dengan tepat waktu... Harus jalan jam berapa dari rumah... Selama perjalanan kesana pikiran gue sibuk menyiasati gimana gue nggak kelabakan setiap kali ada CE. Setelah jauh ke Selatan, gue mulai celingak-celinguk cari Puskesmas dan ternyata kelewatan karena plang Puskesmasnya sendiri, udah agak karatan dan ditutupin pohon pula. Alamak! But I am a type of a person who strongly has an intuition for things, and so far my heart tells that this CE sure will be great.

Di hari Selasa pagi, dengan manisnya gue dan temen-temen sekelompok mendarat di Puskesmas S 15 menit sebelum time masuk. Sampe-sampe di Puskesmas gue dan semuanya ngelus perut ngeliat tukang bubur jualan -- mahasiswa masa kini banget, sarapan cuma kopi doang, sok-sokan nggak sarapan. Berasa sopir truk yang lagi lintas Sumatera. Tapi masa iya udah pake jas terus ngeceng makan bubur tanpa izin sama yang punya Puskesmas? Maka, dengan berat hati gue meninggalkan pesona abang-abang bubur dan kembali ke realita gue punya setumpuk PR yang harus dibawa balik ke kampus.

Jadwal hari ini ke Posyandu, observasi prosedur dan sebagainya. A-Z about Posyandu lah. Kita udah cengar-cengir minta ditunjukin Posyandu-nya, eh ibu-ibu tata usahanya malah manggil satpam sama ngasih kunci ambulans. Cengar-cengir yang tadi berubah jadi kebingungan.
"Posyandu kita ada Desa sebelah. Jauh, nggak mungkin jalan kaki. Nggak ada angkot. Dan jalanannya jelek, mobil yang pendek (like what my friend owns) nanti rusak kalo lewat sana. Naik ambulans aja ya, nanti dianter sama Bapak yang tadi."

Hari pertama CE naik ambulans? Wow, seenggaknya ini di luar ekspektasi gue.

Dengan malu-malu campur penasaran dan campur seneng, kita naik ke ambulans (eh kita? Gue aja kali ya, lo nggak?). Yah, walaupun sebenernya tipe ambulans yang gue naiki adalah tipe ambulans masa kini: mobil APV yang diilangin kursinya dan diganti tempat tidur portable dan ada wastafelnya, excited feeling couldn't be denied. Baru mesem-mesem duduk di ambulans, tiba-tiba si Bapak ngegas dan rumor-rumor orang yang pernah naik ambulans tuh terbukti: ambulans tuh kalo jalan sradak-sruduk, ngegas sana sini, serem banget. Si Bapak ngegas dengan nggak stabil dan menimbulkan gerakan menggoncang perut. Tangannya nyentuh music player dan akhirnya di dalam ambulans yang ngebut, terdengar sorak sorai musik barat yang di remix sama sentuhan jedag-jedug a la Pasar Malem Indonesia: semacem musik party koplo.

Hari pertama CE naik ambulans dan disetelin musik party koplo? Ini di luar ekspektasi gue juga.

Perjalanan terasa sangat lama dan gue merasa bagai Ninja Hattori:
Mendaki gunung, melewati lembah, sungai mengalir Indah ke samudera... Bersama teman bertualang!
Oke, skip that rude imagination.
Gue melewati wilayah pedesaan dimana rumah satu dan rumah lain cukup berjauhan, dengan infrastruktur dan khususnya dalam hal ini jalanan yang bener-bener nggak kondusif untuk melaju kencang, tapi toh akhirnya di trabas juga sama ambulans. Terus masuk ke pedesaan, tiba-tiba gue ada di tengah hutan bambu yang di kanan kiri semuanya bambu. Gue merasa agak deg-degan for a while, gimana kalo ada semacem algojo keluar dari rimbunnya bambu kayak di film thriller, tapi untung musik party koplo mempunyai efek morfin yang menenangkan. Keluar dari hutan bambu kemudian gue melewati jalanan yang cuma muat 1 mobil -- pinggirannya curam dan langsung menghadap perairan atau sawah yang berair gitu. Entahlah. Intinya indah dan gue masih bisa melihat matahari bersinar buram-buram di kejauhan.



Akhirnya gue tiba di salah satu Posyandu. Sebenernya gue agak ragu itu Posyandu -- nggak ada plangnya, dan nggak ada siapa-siapa. Tapi toh tiba-tiba si Bapak nurunin kita dan bilang udah sampe, ya kita turun.
Sesudah kita turun si Bapak melambai pergi dan ditinggalah kita di tempat asing, sendiri, tanpa supervisi.
Dengan senyum dan semangat mahasiswa (oke, silahkan bayangkan sendiri) we tried our best. Melihat kondisi lokasi yang sepi, kita nanya ke salah satu ibu-ibu. Beginilah statementnya.

"Saya bidannya. Ini rumah saya."
----------------- kita masih agak tenang menyikapinya.
"Oh disini program posyandunya sebulan sekali di rumah saya ini."
------------------ kita mulai kepo. "Sebulannya hari ini kan ya, Bu? Orang-orang kok belum dateng ya?"

"Sebulannya kemarin."
------------------- WUT.
"Posyandunya udah kemarin. Harusnya hari ini ada di Desa sebelah..."
------------------- Rasanya pengen gebuk tanah... "Yaudah, apa kita jalan aja ya Bu?"
"Kalo jalan bisa 2 jam, Neng. Jalanannya naik turun lagi..."
------------------- Rasanya kayak tiba-tiba dihisap Black Hole dan eksistensi gue lenyap tanpa jejak.

"BAPAAAAAAAAAKKKKKK!!!!" dalam hati kami menjerit.
Hanya Tuhan yang tahu betapa kerasnya ratapan hati kami.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah berjuang keras menghubungi pihak Puskesmas dan menghubungi si Bapak (yang ternyata nggak aware dan khilaf kalo dia punya handphone) akhirnya ambulans datang lagi. Sebelum ambulans dateng, kita udah sempet nanya-nanya dan semua to-do list udah kelar karena Ibu ini menjelaskan dengan baik mengenai Posyandu. Sempet cerita-cerita juga. Nggak sangka sih, dengan perjalanan gue ke desa-desa ini mata gue agak sedikit melek. Di Senayan sana, sejumlah orang berdebat, ngatur anggaran, dan sekaligus tidur atau minum Starbucks setelah rapat. Tapi entah mengapa gue nggak bisa melihat hasil dari bedebat dan mengatur anggaran itu di daerah gue ditugaskan. Anak-anaknya (0-60 bulan) masih ada yang malnutrisi (13 dari 100) entah apakah emang hidupnya terlalu susah atau memang kurang edukasi tentang nutrisi anak. Belum lagi program edukasi ibu-ibu jadi terhambat karena dananya macet. Dan the saddest part was when I asked kenapa nggak ada plangnya.

"Posyandu kami lahan sengketa. Sebenernya gedung posyandunya disana (sambil nunjuk). Tapi karena itu tanah orang, jadilah ditutup, dan rumah saya yang menampung."

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

I deeply try talking with honesty to you, guys, whoever reading this.
Di luar sana, ada begitu banyak membenci dokter. Matre lah, nggak bener lah, atau stigma lainnya yang melekat pada dokter, yang masyarakat sendiri yang melabeli. Beberapa orang hanya menggunjing, tapi beberapa lainnya mencoba memidanakan. Salah satunya adalah seorang wanita yang sepertinya akan mencalonkan diri (dan dicalonkan) menjadi menteri kesehatan periode ini -- yang sempat mengungkapkan statement bahwa dia lebih prefer menegakan hukum memidanakan dokter yang menerlantarkan pasien dibanding menegakan UU tentang pemberian ASI eksklusif. Agaknya beliau bilang, ASI esklusif bukan hal yang terlalu mesti-banget untuk ditegakin, sebaliknya beliau begitu ngotot memidanakan 'teman sejawat' (beliau juga dokter), dan adalah beberapa statement kontroversial yang beliau lontarkan, salah satunya dokter lebih jahat dari polisi. Bagi yang berminat, bisa kok search di Google. (klik gambar di bawah and you'll find out).



I want to lead you this way: apa sajakah faktor yang membuat seorang dokter 'menerlantarkan' pasien?
A) Dokternya malas.
B) Pasien nggak punya uang.
C) Infrastruktur yang dimiliki tempat praktek nggak memadai untuk si pasien.

Dokter malas, itu nggak sesuai kode etik karena tugas seorang dokter adalah mengabdi kepada masyarakat. No money matters, just sincerity. Pasien nggak punya uang? Harusnya nggak jadi problem karena selain di kode etik dokter nggak boleh ngoyo soal bayaran, seharusnya akses pembayaran kesehatan dari pemerintah bisa mengantarkan masyarakat kecil ke pusat kesehatan. Tapi namanya dunia, penuh twist -- bukan hanya hitam dan putih, bukan hanya satu kausa, bukan hanya 2 pilihan.

Pada kenyataannya, tanpa bermaksud manyalahkan pihak manapun atau mendukung pihak manapun, sebaiknya semua dokter nggak digeneralisasikan dalam suatu stigma yang sama: karena masih banyak dokter yang bekerja penuh dedikasi di Indonesia. Pada dasarnya, sehat memang mahal -- dan bukannya orang yang kurang mampu nggak boleh sakit, cuma anggaran untuk kesehatan belum bener-bener memadai. Kenapa gue bilang sehat itu mahal? Karena gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri obat jamur yang diminum aja nyampe ratusan ribu. Obat jantung? Sampe 600 ribu. Kalo anggaran kesehatan molor, yang punya rumah sakit pasti nangis darah nalanginnya.

Belum lagi masalah infrastruktur: contoh, waktu musim sakit DBD-tipus, gue susah banget mencari bed untuk rawat inap. Itu baru kasus yang non-darurat. Gimana kalo pasien dalam keadaan kritis dan bener-bener butuh ICU, dan bed-nya nggak ada? Satu-satunya jalan adalah bilang ke keluarga pasien kalo rumah sakit itu nggak mampu nampung lagi dan ujung-ujungnya beberapa pihak merasa diterlantarkan. Pintu pertama masyarakat dalam berobat pasti Puskesmas dan infrastruktur Puskesmas belum begitu menunjang, pastilah mereka ke rumah sakit umum, dan according to my experience, rumah sakit umum bed-nya seringkali penuh, begitu pula ICU-nya. Nah.

Saya nggak akan memberikan konklusi, tapi saya nggak ngomong secara pointless. Like I said before, life is not only about black and white, not only 1 cause, and not only 2 choices to be decided. I lead you this way, doesn't mean I don't allow you to look from the other side. You think, you decide, you judge which one is right :)

Udah ah serius-seriusnya, masih muda!
Hahaha!

So after I thought for things for a while, akhirnya ambulans bermusik party koplo datang lagi dan si Bapak mengangkut kita-kita untuk dibawa Posyandu yang sesungguhnya. Perjalanan tidak mengenakan dan bener kata-kata Ibu tadi, rutenya panjang, nanjak, nurun, dan berbatu -- dan mungkin bakal menguras terlalu banyak energi (dan mungkin air mata) kalo diarungi pake kaki. So far, pemandangan di kiri kanan jalan masih begitu alami dan seketika kampus terasa begitu jauhnya -- dan seolah gue gaakan menemukan perkotaan dalam radius 100 kilometer. Karena informasi Posyandu udah lengkap, di Posyandu sesungguhnya kita cuma observasi, liat, foto, dan menelaah buku Ibu dan Anak, yang sekarang ilustrasinya bagus dan bener-bener berisi Home Medicine dasar yang harus dikuasi Ibu-Ibu. Whoever participated in the making of the book was awesome.


Posyandu yang hanya berbentuk seperti pos 1 bilik itu penuh dengan ibu-ibu yang ngebawa anaknya. Seperti biasa, digawangi 1 bidan dan 1 asisten pencatat yang merupakan warga desa yang sukarela. We stayed for a while till we realized we didn't have much time, jadi kita balik ke Puskesmas lagi dengan sumringah -- dan senyum letih namun sumringah itu seketika buyar ketika kita baru inget belom dapet kasus sama sekali buat dijadiin laporan.

Alamak... Kalo nggak hectic dan chaotic, berasa kurang hidup ya!


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah gue panjang lebar mengemukakan pendapat gue, tentu saja gue disini masih seorang mahasiswa -- yang pada akhirnya masih harus melanjutkan studi dan kehidupan, khususnya apabila kehidupan itu diwarnai dengan laporan studi kasus dan studi biostatistik (capek-capek lari ke FK masih ketemu juga sama standar deviasi... Nggak ngerti lagi). Perjalanan gue masih sangat panjang dan tentunya mungkin suatu hari gue mungkin akan berpikir dengan pola yang berbeda, dengan sudut pandang lainnya. Namun kegiatan CE yang bener-bener kita sendiri yang izin, kita sendiri yang nentuin mau kemana, cukup menyadarkan gue bahwa realita di luar sana sangat (jauh) berbeda dari teori dan segala ilustrasi buku-buku, baik buku pelajaran ataupun buku keterampilan klinis.

Oh ya, ada 1 artikel yang sangat gue suka. (click)

“Daripada tinggal di Jakarta praktik pagi sampai sore, kerjaan hanya itu-itu saja. Cuma ketemu batuk pilek, batuk pilek, cuma sekali-kali dapat demam berdarah, sekali-sekali dapat penyakit kelamin. Tapi di daerah yang terpencil, akan sangat terasa kita jadi dokter beneran,” kata Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi di gedung Kemenkes, Jakarta, Senin (28/04/2014).
Menkes mengatakan, ketika memilih sebagai dokter PTT dan mengabdi di daerah terpencil, maka harus mencurahkan kerja dan bakti mengobati dan melayani masyarakat yang bahkan penyakitnya jarang di kota besar. Selain mengobati, lanjut Menkes, dokter juga harus ikut membangun perilaku hidup bersih dan menjaga kesehatan yang masih sangat minim pada masyarakat.

Yah, semoga kesampaian ya.
Tapi sebelum waktu itu datang, boleh dong minta doanya untuk ujian blok Muskuloskeletal? :))
//Wish me luck!


Thank you for your kind attention.
Have a good night and blessed life!

I do really love readers (of course if there's any ;))!



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar