For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Sabtu, 21 Maret 2015

Acting like newly hipsters: Getting closer to Galeri Nasional and Museum Nasional.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Apa kabar semuanya?
I hope you are good and do good things too :)

Honestly this is kind of awkward... Menulis 2 kali dalam periode yang berdekatan, just like when I was younger in junior high school, when there were less homeworks to do and less obligatory things. Jujur aja -- if you throw me a greeting "How are you?", I will say "Not really good", yah tapi sayangnya nggak ada yang nanya...

Ini minggu ke 5 dalam blok dan gue berada dalam nervousness yang bener-bener raising to the highest level -- nyaris ke level tertinggi. Sebagai mahasiswa FK, gue akui ujian 5 minggu sekali cukup membuat hati gue pegel. Terngiang masa-masa indah gue setiap mulai blok baru: pulang kuliah makan-makan, bercanda-canda, lari-lari di parkiran sambil ketawa-tawa, ngeliatin capung di langit... Pokoknya everything about first and second week dari setiap blok itu adalah suatu keindahan tersendiri. Dan sekarang gue terlempar ke minggu ke 5, dimana semua orang pada baper dan over sensitif; dimana tengah malem timeline path dan line gue rame dengan mereka-mereka yang curhat lagi belajar dan nggak ngerti-ngerti; dimana gue merasa terlalu letih untuk terjaga dan terlalu takut untuk tidur; dimana barusan gue menyadari bahwa jerawat mulai tumbuh di muka gue; dimana gue sangat berhasrat untuk duduk di perpustakaan sampe malem tapi apadaya takut di begal. Ini semua karena week kelima.

Salahkan saja week 5, biar ramai! *ala Ada Apa dengan Cinta?*

Ditambah lagi, gue sekarang berkecimpung dalam blok ginjal, saluran kemih, dan alat kelamin pria.
Ya, sepasang benda berukuran 8-12 cm yang terletak di pinggang lo adalah benda yang sangat gaib. Mungkin nggak segaib sepasang benda berisi udara yang mengisi rongga dada lo (paru) -- tapi yang jelas, ini barang aneh, Karena sekalinya rusak, dia bisa bikin lo memilih -- mau abis umur atau abis uang. Sekalinya rusak, barang ini mampu membuat lo gendut, tulang lo patah, napas lo sesak, tiba-tiba koma, dan jantung lo berhenti. Ginjal. Sepasang barang yang membuat hati gue ketar-ketir karena komplikasinya banyak mulai dari ujung rambut sampe ujung kaki...

Bisa bayangin nggak, gimana kalo kompleksnya ginjal dan saluran kemih digabung sama alat kelamin pria?
Jadinya out of focus, maunya ngomongin kelamin doang dan everything sexual.
Ditambah lagi temen sekelompok gue kali ini didominasi cowok-cowok yang curious mengenai hal-hal berbau tersebut, sementara ceweknya cuma bertiga... Hm.

Tapi dibalik semua kesulitan dan kegaiban blok ini gue jadi menyadari satu hal.
Satu hal esensial.
Bahwa manusia diciptakan multi talenta dan punya akal untuk bertahan hidup.
Dan secara tidak langsung gue sedang bertahan hidup dengan menulis blog -- karena gue sedang memayungi diri gue dari rasa stress dan jenuh kuliah. Stress dapat memicu peradangan yang bahkan nggak lo sadari dalam tubuh lo, dan diam-diam membunuh lo. ((TSAHHH))

Buat beberapa orang, pembunuh stress itu adalah rokok. Buat beberapa orang lain, pembunuh stress adalah alkohol. Tapi buat gue pribadi, menulis blog ini adalah great stress reliever buat gue -- rokok dan alkohol versi gue; same effects but less harmful.

Jadi apa alkohol dan rokok versi Anda?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kapan sih gue bikin intro nggak panjang?
.
.
.
.
.

Jadi, setelah blog, gue masih punya 2 hal lagi yang menjadi rokok dan alkohol versi gue, which going somewhere and taking good pictures. Dengan 3 kombinasi ini, fragilemelancholy bisa tetap berjalan dan gue juga bisa tetep waras.

Demi menjaga eksistensi blog ini dan kewarasan gue, di suatu Jumat yang tidak diduga-duga, gue pergi ke Ibukota tercinta dengan perencanaan minim, sama temen-temen kampus gue. Yang sering baca blog gue pasti bosen ngedenger gue ke Jakarta lagi, ke Jakarta lagi. Sekali lagi gue tegaskan, bahwa gue mencintai Jakarta dengan stabil -- dengan seluruh kemacetannya, dinamikanya, lampu-lampunya, keramahan dan ketidakramahannya, dan segenap coreng morengnya. It feels like I can't get enough of Jakarta in my whole life.

Jadi, Jumat itu gue pulang cepet dan gue merasa emang udah saatnya untuk sedikit escape dari Tangerang. Beberapa kali batal bertualang ke Bogor, dan hari itu gue lagi merasa nggak mampu untuk naik commuter line. Setelah browsing dan mendapati beberapa foto instagram temen, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke Galeri Nasional.

Gue pergi ke sana bertiga dengan temen-temen gue; Ayla Zahari, a natural-born explorer yang tahan berpergian dan berjalan jauh menggunakan sandal jepit dan William Wanane, a friend from East Indonesia who likes Starbucks and walking so much -- kalo aja otot manusia nggak punya limit, pastilah William akan berjalan ke kedua kutub di bumi. Terakhir gue ke Galeri Nasional, gue ngeliat pameran foto City of Waves, dan setelah gue tinjau schedule, pameran kali ini bertema Tribute to Pangeran Diponegoro : Aku Diponegoro. Berbekal schedule dan instagram temen, berangkatlah gue menyongsong Galeri Nasional.

Ke Galeri Nasional, malesnya adalah jalannya jauh. Gue turun di deket Masjid Istiqlal dan harus berjalan di bawah terik matahari jam 12 siang dengan jarak yang jauh untuk sampe ke Galeri Nasional. Setelah bersusah payah dan nyebrang hebring, terlihatlah pelataran Galeri Nasional. Galeri Nasional stayed the same: putih, bertugu, dan setengah di renovasi. Bagian depannya masih gersang.

William sempat meragukan skill gue untuk memilih tempat wisata, namun insting, schedule, dan banyaknya tag location di Instagram nggak pernah salah -- hari itu, pameran Aku Diponegoro, emang layak banget untuk dikunjungi. Orang bilang pergi ke tempat pameran itu bikin bosen, tapi Aku Diponegoro, hari itu dipenuhi generasi muda yang antusias -- baik antusias mengamati detil karya seni (Contohnya adalah William, yang bisa memandangi satu karya seni selama 10 menit/lebih), atau antusias mencari tempat baru untuk selfie.

Segala jenis generasi muda ada di sana, dalam bungkus yang berbeda; ada yang pake seragam sekolah, ada juga yang pake baju-baju unyu ala foto BTS dengan gaya yang siap banget difoto. Maafkanlah gaya bicara saya yang agak sedikit skeptis, tapi sungguh, gue merasa era selfie membawa dampak yang cukup baik buat pameran-pameran kesenian dan museum -- museum dan pameran mulai meninggalkan stigma "membosankan" dan generasi muda jadi punya good place to spend some quality time.

Here are the pics to prove my excitement of Aku Diponegoro:










Sampe sini disuruh baca X-ray.......







Gue mengakui bahwa semakin hari, seniman Indonesia semakin dinamis, bergairah, dan penuh ide -- sehingga pameran bertajuk Aku Diponegoro yang awalnya terkesan kolot (pardon my usage of word) dan "sejarah-banget", menjadi sesuatu yang nggak membosankan dan out of the box -- dan irresistibly unique. Satu-satunya yang terkesan ancient dan sakral di pameran ini adalah adanya sebuah ruangan gelap yang dingin banget, yang isinya tempat duduk dan segala properti perang milik Pangeran Diponegoro -- mulai dari pedang, tombak, hingga tunggangan kuda, lengkap dengan dupa di samping tiap objek dan taburan bunga melati. Di depan ruangan hitam itu tertulis "Dalam ketenangan, mungkin Anda yang memiliki indra keenam bisa merasakan dan berkomunikasi dengan arwah Pangeran Diponegoro.". Gue kemudian duduk di dalem ruangan itu sama Ayla dan bukannya merasakan kehadiran arwah, tapi malah merasakan dinginnya AC. Belum pernah gue merasakan syahdunya duduk di bawah AC dengan wangi melati dan dupa yang menusuk hidung.

Sisa waktu di pameran gue habiskan dengan memeriksa keaslian uang di suatu ruangan yang disinari sinar-sinar khusus, karena gambar yang dipamerkan cuma bisa dilihat kalo disinari sinar itu -- dan sisa waktu gue juga dihabiskan dengan mencari-cari William yang ternyata duduk dengan syahdu dalam ruangan hitam sambil memandangi pedang. Pas gue ngomel karena dia susah dicari, dia dengan polosnya berkata, "Barangkali gue bisa berkomunikasi dengan arwah Diponegoro."

Perjalanan gue lanjutkan dengan penuh nestapa -- berjalan di bawah teriknya sinar matahari jam setengah 2 siang, melintasi Monas, untuk sampai ke Museum Nasional. Alasannya adalah William suka dan ngebet banget ke museum itu, padahal ini bukan pertama kalinya. Akhirnya demi membahagiakan sang ketua angkatan, William Wanane, gue dan Ayla nurut berjalan di belakang sang ketua. Gue agak sedikit curious dengan museum ini karena terakhir kali gue ke museum ini adalah 2 tahun yang lalu dan kabar terakhir yang gue denger tentang museum ini adalah bahwa ada beberapa koleksinya yang kecurian.

Sampe di Museum Nasional, memang preface-nya ada yang berbeda. Ada monumen baru yang ditambah di depannya -- kayak pusaran. Pusaran yang mendistorsi waktu, kalo imajinasi gue bilang. Masuk ke sana, masih sama murahnya, Rp 5000,00, tapi tatanan ruangannya agak sedikit berbeda. Letak prasasti agak berbeda, plus kalo ditelusurin lebih jauh, ada ruangan yang memamerkan peninggalan purba jaman dulu, mulai dari sarkofagus, dolmen, tengkorak, sampai perhiasan, dan batu-batuan (eh apa gue yang baru liat?). Menelusuri ke belakang, ada lagi kumpulan desain rumah tradisional Indonesia yang terbuat dari kayu, bambu, dan bahan-bahan alam lainnya.






Gue pun berbelok ke tempat pameran perdaerah. Hari itu fokus gue adalah lebih mengenal wilayah timur Indonesia, karena ada temen gue yang berasal dari Timur yang lagi ikut. Akhirnya sisa waktu gue habiskan dengan memotret (khususnya Kerajinan Papua) dan memilih favorite items gue. Here are my favorite things that I would like to accept as my birthday gift....










Setelah akhirnya beberapa tahun nggak ke museum ini, gue menyadari ada banyak sekali yang belom gue liat, entah baru, atau entah emang guenya males jalan-jalan sampe pojokan museum. Akhirnya sisa sore gue habiskan dengan duduk selonjoran di kursi yang ada pahatan manusia berdiri tumpang tindih ala Papua dan merasakan sekujur kaki gue rasanya pegel nggak karuan. Gue mulai menghitung: gue tadi turun di halte Juanda, nyebrang, mengelilingi Istiqlal, nyebrang begitu banyak jalan sambil lari-lari ala film India, dan jalan-jalan di dalem Galeri Nasional. Setelah dari Galeri Nasional, gue kembali memutari setengah Monas untuk sampai ke Museum Nasional... What. Semua gue lakukan dengan berjalan, nggak seperti yang biasa gue lakukan dengan AR (la Francaise cousine -- sepupu Prancis) dimana kita setengah jalan, setengah naik kendaraan, setengah berdiri, namun lari-lari hebring ketika ngeliat tempat duduk kosong, dan sama-sama kesel kalo nggak dapet duduk, tapi berpura-pura kalem.

Setelah terantuk-antuk dan terpuaskan dahaganya, akhirnya gue digusur sama pihak museum karena udah jam 4 sore dan museum udah mau tutup. Seumur-umur baru sekali ini di museum sampe digusur karena mau tutup...

Gue, Ayla, dan William kembali luntang-lantung di jalan dan gue harus menunda niat gue untuk naik bis Double-Decker-nya Jakarta karena William nggak mau karena tingkat atasnya nggak terbuka (What.) dan karena betis gue udah meronta-ronta ingin pulang. Setelah diguyur hujan (padahal siangnya panas banget), akhirnya kita bertiga melompat ke bis dan mendapati bis penuh bukan main.

Dan mendapati bahwa hari ini hari Jumat.
Jam 5 sore.
Jam pulang kerja.
Hujan.

Yang tandanya adalah --> eternal traffic jam alias macet selamanya.
.
.
.
.
.
.
But actually we could make it. Dengan Ayla yang duduk bener-bener di samping pintu masuk, sehingga pas abang-abangnya buka pintu dia mau jatuh. Dengan William yang ngalah duduk sama gue sehingga satu-satunya pihak yang sangat capek adalah William, yang harus berdiri 1,5 jam berdesak-desakan :") Thank you William, walaupun lo nggak mau nemenin gue naik bis tingkat karena alasan yang sangat irasional (Kenapa juga double-decker atasnya harus terbuka kalo Jakarta panas banget?), tapi terkadang lo unyu juga...
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Begitulah kisah perjalanan Annisa Dina The Explorer. Dengan ransel. Tanpa peta. Dengan fellas.
I am looking for more adventure next time! -- sedang merencanakan mau ke Baduy sama Ayla. Jadi please if you find some good offers about Baduy and you read this post, I am waiting for you and your information! Just let me know! :)

Oh ya, in the real end, mohon doanya ya untuk ujian blok kidney.
Semoga... Semoga.........
*whispering in heart*
Aamiin!



Thank you for the pray and for reading!
I love you. :)

2 komentar:

  1. nggak nyangka kalo jepretan di museum bisa sebagus gitu ;__;
    biasanya cuma asal jepret doang sih, tapi ini keren.

    jadi pingin ke museum dan belajar ngejepret...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu efek museumnya juga yang fotogenik, hehe makasih ya :)
      Kalo emang kamu mau belajar jepret di museum, sebaiknya pilih yang objeknya menarik (misal: galeri nasional pas pameran-pameran tertentu) supaya mood kamu untuk ngejepret jadi bagus, hehe! Itu berlaku buatku :p
      Bon courage ya Meutia! :))

      Hapus