For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 21 Juni 2015

Leuwi Hejo: A Waterfall Next To Town.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Selamat pagi semuanya!
Gimana?
Sehat? Sentausa? Jatuh cinta?
:))

Dalam kondisi gue (kalo ada yang tertarik nanya), status gue sekarang adalah seorang mahasiswa yang rentan terkena obesitas, karena sekali lagi gue tegaskan: libur telah tiba. Nggak ada perkuliahan jam 7 pagi, nggak ada lari kebirit-birit ke lantai 6 karena udah mepet masuk kelas, nggak ada ujian blok, dan nggak ada tugas, ah holiday is pretty. Alhamdulillah, semua nilai udah keluar dan sekali lagi alhamdulillah, liburan tahun ini dapat berlangsung tanpa kendala. Ini semua menjawab kenapa oh kenapa gue bisa update 2 blog post dengan waktu yang berdekatan ;)

Jadi, rutinitas gue belakangan ini ya, cuman gitu-gitu aja. Sempet ngurus wisuda dan sekarang lagi ikut kelas tambahan bedah sekalian nambah pengetahuan anatomi, sisanya gue habiskan di rumah berusaha menuliskan sesuatu atau ngescroll handphone yang nggak setiap saat ada perubahan. Setiap Senin-Rabu-Jumat, gue akan masuk laboratorium dan mulai membedah jam 9 pagi dan jam 12 siang selesai. Sisanya, saya serahkan pada orang-orang sekitar mau ngajak kemana atau balik lagi ke rumah melakukan hal-hal yang nggak bisa dilakukan saat ada perkuliahan:
Streaming film (lagi berusaha menamatkan film layar lebar bersekuel Before-nya Ethan Hawke)
Baca manga (... Dan berusaha menghindar dari tipu daya cover komik Yaoi)
Youtube-an sampe melenceng kemana-mana (... Awalnya nyari lagu asik kemudian nyasar ke BuzzVideo)

Gue melakukan ini terus-terusan, setiap hari di saat libur seperti ini sehingga gue sangat fed up dengan kondisi gue. Janji aerobik gue terbengkalai dan memungkinkan gue untuk bertambah gemuk -- gue merasa harus melakukan sesuatu yang lebih dari membersihkan kamar. Akhirnya, setelah gue menemukan feed salah seorang teman gue di instagram, gue mengajak temen kuliah gue, Ayla (scroll down to my museum and gallery trip and you'll find her), untuk bernekat ria mencapai objek feed temen gue tersebut.

Ialah Leuwi Hejo di Sentul yang menggerakan hati gue dikala gue nge-scroll feed instagram. Gue jarang tersentuh dengan objek-objek feed instagram gue -- tapi yang ini lain, gue segitu tertariknya sampe ngajakin seluruh temen gue ke sana. Mungkin gue sedang haus petualangan. Udah berkoar-koar dan dengan sepersuasif mungkin, tapi nggak ada hasil karena beberapa dari mereka ada yang mager, ada yang nggak pasti, dan ada yang keberatan karena masih kuliah. Terkadang, libur lebih cepat dari orang-orang menjadi nestapa tersendiri buat gue karena nggak ada yang bisa diajak jalan, dan ketika orang ngajak jalan, gue udah masuk kuliah. Yeuuu sedih.

Tadinya gue mau pergi sendiri ke sana, bermodalkan motor Supra tahun 2000-an milik gue dan google maps. Kemudian gue nanya jalan sama temen gue ini, Ayla, dan tiba-tiba dia bilang mau ikut. Emang terkadang kalo masalah jalan-jalan, yang mendadak bisa jadi sementara yang terencana malah lebih rentan batal. Jadilah 2 minggu yang lalu kira-kira, gue berangkat jam 9 pagi dari Karawaci, menuju daerah antah berantah dengan motor matic.

Melewati jalanan Serpong - Parung nggak mudah dan nggak akan pernah mudah kalo pemerintahnya cuman setengah hati menangani kondisi jalan. Di awal jalanan menuju Parung, gue nyebur ke lubang berisi air berwarna cokelat, yang merupakan kombinasi air yang tertampung di lubang plus akumulasi jatuhan tanah dari truk-truk yang emang bawa tanah. Di pertengahan perjalanan menuju Parung, jalanan mulai bagus tapi kanan-kiri jalan sangat sepi dan di beberapa bagian nggak ada lampu. Ini warning sign buat gue kalo emang mau pulang lewat Parung dengan selamat, lebih baik jangan saat matahari udah nggak ada. Soal pemandangan sih tetep indah ya; sawah di beberapa bagian, bahkan ada bukit yang keliatan dari kejauhan, dan hawa-hawa gunung mulai terasa. Di akhir perjalanan menuju Parung, jalanan mulai rusak lagi dan akhirnya sampailah gue ke jalan raya Parung - Bogor dan disitu langsung kebut sekebut-kebutnya karena jalannya lumayan bagus.

A long way to go. Gue sampai ke daerah Jungleland jam setengah 12 siang saat matahari lagi nyengir-nyengirnya. Saat enak-enak nyetir tiba-tiba......... Ban motor kempes. Bocor. Ugh. Tertunda lagi perjalanan. Btw, ini foto pemandangan saat gue lagi nunggu ban ditambal. Pada dasarnya Sentul masih alami banget ya, cuman di depannya ketutupan perumahan elite, sehingga penduduk aslinya ketutupan.



Setelah ban selesai di tambal, tibalah shift gue untuk nyetir. Gue mulai melintasi tanjakan-tanjakan yang ada. Kalo menurut jalan, Hutan Gunung Pancar belok ke kanan sementara Leuwi Hejo masih lurus, nanjak ke atas. Awalnya tanjakan sama sekali nggak menyiksa; medan gue biasanya medan perkotaan, penuh kemacetan, dengan jalanan yang nggak nanjak, nggak nurun -- all plain, dan minim lubang, dan AWALNYA gue merasa jalanan nanjak ini nggak seberapa. Setelah sekian lama gue perhatikan kenapa jalanan makin menanjak dan berliku... Kenapa juga nggak ada pembatas jalan sama sekali... Gue mulai ketar-ketir.

Klimaks dari kekhawatiran ini terjadi ketika gue berada di akhir sebuah tanjakan -- yang merupakan sebuah turunan ekstrim sekitar 70-80 derajat dengan ujung turunan berupa jalan yang rusak dan berbatu. Turunan itu bermuara ke sebuah sungai berbatu yang lagi-lagi nggak dilapisi sama pembatas jalan. Di tengah sungai itu, ada jembatan kayu. Untuk sampe jembatan kayu itu, setelah turunan gue harus sedikit memiringkan stir gue ke kanan, karena kalo gue telat belokin stir, gue akan masuk ke sungai. Jadi... Gue harus:
Menuruni turunan 70-80 derajat
Ngerem saat menghadapi jalanan yang berbatu di bagian bawahnya
Puter stir sedikit ke kanan untuk masuk jembatan -- sebelum kita trespass sungai berbatu

Darah berdesir di dalam pembuluh darah gue. Adrenalin gue mulai diproduksi secara berlebihan.
Ayla berbisik, "Cuy lo yakin nggak?"
Gue menelan ludah dan mulai memasrahkan diri kepada gravitasi.

Gravitasi membawa gue turun, awalnya pelan, lalu lama-lama semakin kenceng.
Gue buru-buru menarik rem, sampe remnya sendiri hampir pol dan untungnya nggak telat membelokan stir ke kanan dan masuklah gue ke jembatan kayu yang ber-"klotak-klotak" hebat; perpaduan antara kekuatan gravitasi dan gaya gesekan. Setelah melewati jembatan, tangan gue gemeteran dan gue minta ganti shift.

Setelah itu medan kembali penuh tanjakan dan akhirnya kita sampe. Jam 1 siang. Sampe!
Rasanya pingin nangis terharu sambil cium tanah sekitar.

Masuk ke wilayah Leuwi Hejo dan Curug Barong, ada retribusinya. Kalo nggak salah 10 ribu per orang. Harga yang cocok bagi situs wisata yang terlihat sedang membenahi diri; begitu masuk gue liat orang-orang sedang menyemen jalan setapak dan menggiring kabel listrik. Dari pos, masih harus jalan lagi sekitar 500 meter - 600 meter, tapi jangan di samain sama jalan ke alfamart deket rumah, soalnya 500 meternya itu penuh tanjakan dan turunan di atas tanah yang masih minim pijakan dan lebih banyak tanahnya. Tapi tetep aja sih, pemandangannya worth it -- mungkin emang nggak seindah kalo lo hiking beneran: ke Papandayan, Ceremai, atau Semeru, tapi over all, oke lah.

Setelah berjalan, gue mulai menemukan percabangan. Kalo ambil jalan ke kanan dan masih kuat nanjak, gue akan bertemu Curug Barong. Sementara, kalo gue ambil jalan ke kiri dan turun, gue akan bertemu Leuwi Hejo. Gue mulai galau. Di satu sisi, gue nggak mau miss a thing tapi di satu sisi kaki gue masih menggeleyar lemas ngeliat turunan ekstrim. Setelah berunding dengan beberapa mas-mas pecinta alam, akhirnya mereka bilang "Yang terkenal Leuwi Hejo-nya kok Mbak, lagian Curug Barong sepertinya kurang aman kalo mau dipake berenang."



Jadi gue memutuskan mengambil jalan melandai ke kiri.
Setelah berjalan sebentar, mulai terdengar jelas suara gemerisik air. Akhirnya gue menemukan aliran air sungai.

Lah. Kok nggak sesuai ekspektasi...
Setelah gue ketemu aliran sungai, gue melepas sepatu (I just brought a pair of converse, no sandals, payah) dan mulai memasukan kaki. Aih, enaknya. Kaki gue kembali dingin setelah beberapa jam terakhir sibuk naik turun mempertahankan motor.
Tapi tetep aja nggak sesuai ekspektasi dan rasanya seperti nggak worth the effort.

Mana curugnya...

Terus ada bapak-bapak nyamperin gue dan bilang,
"Neng, mau duduk di sini aja? Ini mah bukan Leuwi-nya. Leuwi-nya di sana, harus lewat jembatan bambu dulu...," bapak itu nunjukin jembatan dari bambu yang langsingnya bukan main.

Beberapa saat kemudian, gue, dengan meng-hold kamera seberusaha mungkin mendapatkan pemandangan dan berusaha untuk nggak jatuh karena jembatannya tipis banget dan kayak bergoyang-goyang. Di bawahnya, bebatuan Leuwi Hejo menambah semarak derasnya sungai.
"Ayo Din, buruan!"



Ketika gue nyebrang dan menoleh kekanan, gue akhirnya menyadari bahwa effort gue terbayar.
Gaung suara air terjun menyapa telinga gue, air menghantam batu yang angkuh, dengan kejernihan yang luar biasa jernih. Nggak terlalu banyak orang siang itu dan gue nggak jemu-jemu memandangi Leuwi Hejo yang ternyata cantik dengan air bening kehijauannya.

Setelah nyebrang jembatan yang super kurus, sekurus model Victoria's Secret itu (...), dan berjalan sedikit, sampailah gue ke pusat eksistensi dari Leuwi Hejo: air terjun yang kasar menampar batu-batu besar, dengan air sedalam paha yang super bening. Gue dan Ayla buru-buru lepas semua yang bisa dilepas (dalam kasus gue: Cuma sepatu) dan mulai main air. Berhubung nggak ada yang bisa di deskripsi lagi dari main air, jadi gue akan berusaha membawa keindahan Leuwi Hejo ke dalam bentuk gambar:








Kegiatan bermain air (not literally main air karena gue hanya nangkring di atas batu -- I cursed myself for not preparing any kind of sandals and additional clothes) berlangsung sampe jam 2 siang dan setelah itu gue sama Ayla harus kejar setoran balik ke Tangerang. Emang selalu bener kata orang bahwa pulang pasti lebih cepet dibandingkan pergi. Abis ngeliat Leuwi Hejo, kaki gue rasanya jadi jauh lebih ringan dibandingkan pas pergi. Dengan kondisi kaki yang lebih ringan dan curiosity yang terbayar, pemandangan kanan-kiri jalan jadi keliatan 100x lebih baik. Tadinya, pas pergi yang bisa terlihat di mata gue cuman jalan setapak bertanah yang naik turun, tapi pas pulang my eyes could see better, kanan kiri jalan terlihat indah bahkan sarang laba-laba dan lumut yang ada di antara semak-semakpun juga bisa keliatan, begitupun sungai-sungai kecil nunjauh di pojok pandangan sana. Daun terlihat lebih hijau, langit terlihat lebih abu-abu, ilalang terlihat lebih kuning, riak air terdengar lebih jelas.
All in high definition, baby.











Akhirnya tanpa terasa sightseeing yang terasa begitu nikmat ini harus berakhir di pos retribusi dan gue harus kembali memikirkan perkara pulang ke rumah. Karena akan lebih dominan menurun, gue serahkan stir pada Ayla untuk ronde pertama, secara gue masih paranoid sama turunan dahsyat tadi. Ayla nyetir sampe pinggiran Kab. Bogor dan dilanjutkan dengan gue. Akhirnya kita nyari jalan pulang yang beda karena Ayla takut ada hantu kalo lewat Parung, berhubung di Parung jalanannya super sepi karena di kanan-kirinya sawah, jalannya juga jelek, dan nggak ada lampu (dan dari semua hal yang bisa ditakutin, kenapa Ayla harus milih hantu...).

Gue sama Ayla yang udah separuh jalan menuju Parung harus balik lagi ke deket Sentul untuk masuk ke jalan menuju Depok, di jam setengah 5 sore. Acara perpulangan ini akhirnya disponsori oleh gue yang gila-gilaan ngebut selagi masih bisa ngebut di jalanan panjang menuju Depok, digantikan dengan Ayla yang nyari-nyari jalan tikus di tengah kemacetan senja, dan sampe di daerah Ragunan ban kita kempes lagi (LAGI) dan terpaksa harus keluar dari medan pertempuran menuju rumah.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan lagi oleh Ayla yang kelelahan dan gatau jalan pas udah sampe Pondok Indah, digantikan dengan gue yang nyetir dari Pondok Indah sampe Sate Padang Karawaci. Jam 9 malem, gue makan dengan kalap karena hari ini cuman keisi air putih sama sedikit gorengan di tempat Sate Padang kesukaan gue.

Untuk tambahan, gue rindu sekali sama Karawaci malam itu.

Mungkin memang fungsi traveling adalah untuk membuat kamu rindu akan rumah.
Mungkin jarak memang bisa membuat sesuatu terasa lebih berarti.

Maybe a space is needed sometime so that we can miss something.


Karena perasaan rindu nggak selamanya salah untuk dirasakan, kan?
-------------------------------------------------------------------------------------------

Ah penghujung blog yang sangat baper :")
Oh ya, berhubung udah waktunya, jadi gue turut mengucapkan:

Semoga puasa tahun ini membawa berkah dan pelajaran tersendiri bagi kita, ya.

Semoga juga bulan puasa ini yang udah lama nggak bersilaturahmi tiba-tiba nge-line ngirim "Hi" atau ngirim sticker makanan.
Semoga yang biasanya sibuk setengah mati tiba-tiba nelpon pas sahur dan bilang "hari ini bukber yuk."
Semoga yang awalnya dijauhkan menjadi didekatkan.
Semoga yang awalnya menghilang kemudian ditemukan.
Semoga yang jadi alumni bisa kembali reuni.

Semoga keajaiban Ramadhan tahun ini bisa kembali menjadi nyata.
--------------------------------------------------------------------------------

Love you reader!

Tons of love,
Writer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar