Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh!
Selamat pagi
semuanya!
Gimana?
Sehat? Sentausa?
Jatuh cinta?
:))
Dalam kondisi gue
(kalo ada yang tertarik nanya), status gue sekarang adalah seorang mahasiswa
yang rentan terkena obesitas, karena sekali lagi gue tegaskan: libur telah
tiba. Nggak ada perkuliahan jam 7 pagi, nggak ada lari kebirit-birit ke lantai
6 karena udah mepet masuk kelas, nggak ada ujian blok, dan nggak ada tugas, ah
holiday is pretty. Alhamdulillah, semua nilai udah keluar dan sekali lagi
alhamdulillah, liburan tahun ini dapat berlangsung tanpa kendala. Ini semua
menjawab kenapa oh kenapa gue bisa update 2 blog post dengan waktu yang
berdekatan ;)
Jadi, rutinitas gue
belakangan ini ya, cuman gitu-gitu aja. Sempet ngurus wisuda dan sekarang lagi
ikut kelas tambahan bedah sekalian nambah pengetahuan anatomi, sisanya gue
habiskan di rumah berusaha menuliskan sesuatu atau ngescroll handphone yang
nggak setiap saat ada perubahan. Setiap Senin-Rabu-Jumat, gue akan masuk
laboratorium dan mulai membedah jam 9 pagi dan jam 12 siang selesai. Sisanya,
saya serahkan pada orang-orang sekitar mau ngajak kemana atau balik lagi ke
rumah melakukan hal-hal yang nggak bisa dilakukan saat ada perkuliahan:
Streaming film (lagi
berusaha menamatkan film layar lebar bersekuel Before-nya Ethan Hawke)
Baca manga (... Dan
berusaha menghindar dari tipu daya cover komik Yaoi)
Youtube-an sampe
melenceng kemana-mana (... Awalnya nyari lagu asik kemudian nyasar ke
BuzzVideo)
Gue melakukan ini
terus-terusan, setiap hari di saat libur seperti ini sehingga gue sangat fed up
dengan kondisi gue. Janji aerobik gue terbengkalai dan memungkinkan gue untuk
bertambah gemuk -- gue merasa harus melakukan sesuatu yang lebih dari membersihkan
kamar. Akhirnya, setelah gue menemukan feed salah seorang teman gue di
instagram, gue mengajak temen kuliah gue, Ayla (scroll down to my museum and
gallery trip and you'll find her), untuk bernekat ria mencapai objek feed temen
gue tersebut.
Ialah Leuwi Hejo di
Sentul yang menggerakan hati gue dikala gue nge-scroll feed instagram. Gue
jarang tersentuh dengan objek-objek feed instagram gue -- tapi yang ini lain,
gue segitu tertariknya sampe ngajakin seluruh temen gue ke sana. Mungkin gue
sedang haus petualangan. Udah berkoar-koar dan dengan sepersuasif mungkin, tapi
nggak ada hasil karena beberapa dari mereka ada yang mager, ada yang nggak
pasti, dan ada yang keberatan karena masih kuliah. Terkadang, libur lebih cepat
dari orang-orang menjadi nestapa tersendiri buat gue karena nggak ada yang bisa
diajak jalan, dan ketika orang ngajak jalan, gue udah masuk kuliah. Yeuuu
sedih.
Tadinya gue mau
pergi sendiri ke sana, bermodalkan motor Supra tahun 2000-an milik gue dan
google maps. Kemudian gue nanya jalan sama temen gue ini, Ayla, dan tiba-tiba
dia bilang mau ikut. Emang terkadang kalo masalah jalan-jalan, yang mendadak
bisa jadi sementara yang terencana malah lebih rentan batal. Jadilah 2 minggu
yang lalu kira-kira, gue berangkat jam 9 pagi dari Karawaci, menuju daerah
antah berantah dengan motor matic.
Melewati jalanan
Serpong - Parung nggak mudah dan nggak akan pernah mudah kalo pemerintahnya
cuman setengah hati menangani kondisi jalan. Di awal jalanan menuju Parung, gue
nyebur ke lubang berisi air berwarna cokelat, yang merupakan kombinasi air yang
tertampung di lubang plus akumulasi jatuhan tanah dari truk-truk yang emang
bawa tanah. Di pertengahan perjalanan menuju Parung, jalanan mulai bagus tapi
kanan-kiri jalan sangat sepi dan di beberapa bagian nggak ada lampu. Ini warning sign buat gue kalo emang mau pulang
lewat Parung dengan selamat, lebih baik jangan saat matahari udah nggak ada.
Soal pemandangan sih tetep indah ya; sawah di beberapa bagian, bahkan ada bukit
yang keliatan dari kejauhan, dan hawa-hawa gunung mulai terasa. Di akhir
perjalanan menuju Parung, jalanan mulai rusak lagi dan akhirnya sampailah gue
ke jalan raya Parung - Bogor dan disitu langsung kebut sekebut-kebutnya karena
jalannya lumayan bagus.
A long way to go.
Gue sampai ke daerah Jungleland jam setengah 12 siang saat matahari lagi
nyengir-nyengirnya. Saat enak-enak nyetir tiba-tiba......... Ban motor kempes.
Bocor. Ugh. Tertunda lagi perjalanan. Btw, ini foto pemandangan saat gue lagi
nunggu ban ditambal. Pada dasarnya Sentul masih alami banget ya, cuman di
depannya ketutupan perumahan elite, sehingga penduduk aslinya ketutupan.
Setelah ban selesai
di tambal, tibalah shift gue untuk nyetir. Gue mulai melintasi
tanjakan-tanjakan yang ada. Kalo menurut jalan, Hutan Gunung Pancar belok ke
kanan sementara Leuwi Hejo masih lurus, nanjak ke atas. Awalnya tanjakan sama
sekali nggak menyiksa; medan gue biasanya medan perkotaan, penuh kemacetan,
dengan jalanan yang nggak nanjak, nggak nurun -- all plain, dan minim lubang,
dan AWALNYA gue merasa jalanan nanjak ini nggak seberapa. Setelah sekian lama
gue perhatikan kenapa jalanan makin menanjak dan berliku... Kenapa juga nggak
ada pembatas jalan sama sekali... Gue mulai ketar-ketir.
Klimaks dari
kekhawatiran ini terjadi ketika gue berada di akhir sebuah tanjakan -- yang
merupakan sebuah turunan ekstrim sekitar 70-80 derajat dengan ujung turunan
berupa jalan yang rusak dan berbatu. Turunan itu bermuara ke sebuah sungai
berbatu yang lagi-lagi nggak dilapisi sama pembatas jalan. Di tengah sungai
itu, ada jembatan kayu. Untuk sampe jembatan kayu itu, setelah turunan gue
harus sedikit memiringkan stir gue ke kanan, karena kalo gue telat belokin
stir, gue akan masuk ke sungai. Jadi... Gue harus:
Menuruni turunan
70-80 derajat
Ngerem saat
menghadapi jalanan yang berbatu di bagian bawahnya
Puter stir sedikit
ke kanan untuk masuk jembatan -- sebelum kita trespass sungai berbatu
Darah berdesir di
dalam pembuluh darah gue. Adrenalin gue mulai diproduksi secara berlebihan.
Ayla berbisik,
"Cuy lo yakin nggak?"
Gue menelan ludah
dan mulai memasrahkan diri kepada gravitasi.
Gravitasi membawa
gue turun, awalnya pelan, lalu lama-lama semakin kenceng.
Gue buru-buru
menarik rem, sampe remnya sendiri hampir pol dan untungnya nggak telat
membelokan stir ke kanan dan masuklah gue ke jembatan kayu yang
ber-"klotak-klotak" hebat; perpaduan antara kekuatan gravitasi dan
gaya gesekan. Setelah melewati jembatan, tangan gue gemeteran dan gue minta
ganti shift.
Setelah itu medan
kembali penuh tanjakan dan akhirnya kita sampe. Jam 1 siang. Sampe!
Rasanya pingin
nangis terharu sambil cium tanah sekitar.
Masuk ke wilayah
Leuwi Hejo dan Curug Barong, ada retribusinya. Kalo nggak salah 10 ribu per
orang. Harga yang cocok bagi situs wisata yang terlihat sedang membenahi diri;
begitu masuk gue liat orang-orang sedang menyemen jalan setapak dan menggiring
kabel listrik. Dari pos, masih harus jalan lagi sekitar 500 meter - 600 meter,
tapi jangan di samain sama jalan ke alfamart deket rumah, soalnya 500 meternya
itu penuh tanjakan dan turunan di atas tanah yang masih minim pijakan dan lebih
banyak tanahnya. Tapi tetep aja sih, pemandangannya worth it -- mungkin emang
nggak seindah kalo lo hiking beneran: ke Papandayan, Ceremai, atau Semeru, tapi
over all, oke lah.
Setelah berjalan,
gue mulai menemukan percabangan. Kalo ambil jalan ke kanan dan masih kuat
nanjak, gue akan bertemu Curug Barong. Sementara, kalo gue ambil jalan ke kiri
dan turun, gue akan bertemu Leuwi Hejo. Gue mulai galau. Di satu sisi, gue
nggak mau miss a thing tapi di satu sisi kaki gue masih menggeleyar lemas
ngeliat turunan ekstrim. Setelah berunding dengan beberapa mas-mas pecinta
alam, akhirnya mereka bilang "Yang terkenal Leuwi Hejo-nya kok Mbak,
lagian Curug Barong sepertinya kurang aman kalo mau dipake berenang."
Jadi gue memutuskan
mengambil jalan melandai ke kiri.
Setelah berjalan
sebentar, mulai terdengar jelas suara gemerisik air. Akhirnya gue menemukan
aliran air sungai.
Lah. Kok nggak
sesuai ekspektasi...
Setelah gue ketemu
aliran sungai, gue melepas sepatu (I just brought a pair of converse, no
sandals, payah) dan mulai memasukan kaki. Aih, enaknya. Kaki gue kembali dingin
setelah beberapa jam terakhir sibuk naik turun mempertahankan motor.
Tapi tetep aja nggak
sesuai ekspektasi dan rasanya seperti nggak worth the effort.
Mana curugnya... |
Terus ada
bapak-bapak nyamperin gue dan bilang,
"Neng, mau
duduk di sini aja? Ini mah bukan Leuwi-nya. Leuwi-nya di sana, harus lewat
jembatan bambu dulu...," bapak itu nunjukin jembatan dari bambu yang
langsingnya bukan main.
Beberapa saat
kemudian, gue, dengan meng-hold kamera seberusaha mungkin mendapatkan
pemandangan dan berusaha untuk nggak jatuh karena jembatannya tipis banget dan
kayak bergoyang-goyang. Di bawahnya, bebatuan Leuwi Hejo menambah semarak
derasnya sungai.
"Ayo Din,
buruan!"
Ketika gue nyebrang
dan menoleh kekanan, gue akhirnya menyadari bahwa effort gue terbayar.
Gaung suara air
terjun menyapa telinga gue, air menghantam batu yang angkuh, dengan kejernihan
yang luar biasa jernih. Nggak terlalu banyak orang siang itu dan gue nggak
jemu-jemu memandangi Leuwi Hejo yang ternyata cantik dengan air bening
kehijauannya.
Setelah nyebrang
jembatan yang super kurus, sekurus model Victoria's Secret itu (...), dan
berjalan sedikit, sampailah gue ke pusat eksistensi dari Leuwi Hejo: air terjun
yang kasar menampar batu-batu besar, dengan air sedalam paha yang super bening.
Gue dan Ayla buru-buru lepas semua yang bisa dilepas (dalam kasus gue: Cuma
sepatu) dan mulai main air. Berhubung nggak ada yang bisa di deskripsi lagi
dari main air, jadi gue akan berusaha membawa keindahan Leuwi Hejo ke dalam
bentuk gambar:
Kegiatan bermain air (not literally main air karena gue hanya nangkring di atas batu -- I cursed myself for not preparing any kind of sandals and additional clothes) berlangsung sampe jam 2 siang dan setelah itu gue sama Ayla harus kejar setoran balik ke Tangerang. Emang selalu bener kata orang bahwa pulang pasti lebih cepet dibandingkan pergi. Abis ngeliat Leuwi Hejo, kaki gue rasanya jadi jauh lebih ringan dibandingkan pas pergi. Dengan kondisi kaki yang lebih ringan dan curiosity yang terbayar, pemandangan kanan-kiri jalan jadi keliatan 100x lebih baik. Tadinya, pas pergi yang bisa terlihat di mata gue cuman jalan setapak bertanah yang naik turun, tapi pas pulang my eyes could see better, kanan kiri jalan terlihat indah bahkan sarang laba-laba dan lumut yang ada di antara semak-semakpun juga bisa keliatan, begitupun sungai-sungai kecil nunjauh di pojok pandangan sana. Daun terlihat lebih hijau, langit terlihat lebih abu-abu, ilalang terlihat lebih kuning, riak air terdengar lebih jelas.
All in high
definition, baby.
Akhirnya tanpa
terasa sightseeing yang terasa begitu nikmat ini harus berakhir di pos
retribusi dan gue harus kembali memikirkan perkara pulang ke rumah. Karena akan
lebih dominan menurun, gue serahkan stir pada Ayla untuk ronde pertama, secara
gue masih paranoid sama turunan dahsyat tadi. Ayla nyetir sampe pinggiran Kab.
Bogor dan dilanjutkan dengan gue. Akhirnya kita nyari jalan pulang yang beda
karena Ayla takut ada hantu kalo lewat Parung, berhubung di Parung jalanannya
super sepi karena di kanan-kirinya sawah, jalannya juga jelek, dan nggak ada
lampu (dan dari semua hal yang bisa ditakutin, kenapa Ayla harus milih
hantu...).
Gue sama Ayla yang udah separuh jalan menuju Parung harus balik lagi
ke deket Sentul untuk masuk ke jalan menuju Depok, di jam setengah 5 sore.
Acara perpulangan ini akhirnya disponsori oleh gue yang gila-gilaan ngebut
selagi masih bisa ngebut di jalanan panjang menuju Depok, digantikan dengan Ayla
yang nyari-nyari jalan tikus di tengah kemacetan senja, dan sampe di daerah
Ragunan ban kita kempes lagi (LAGI) dan terpaksa harus keluar dari medan
pertempuran menuju rumah.
Setelah itu,
perjalanan dilanjutkan lagi oleh Ayla yang kelelahan dan gatau jalan pas udah
sampe Pondok Indah, digantikan dengan gue yang nyetir dari Pondok Indah sampe
Sate Padang Karawaci. Jam 9 malem, gue makan dengan kalap karena hari ini cuman
keisi air putih sama sedikit gorengan di tempat Sate Padang kesukaan gue.
Untuk tambahan, gue rindu sekali sama Karawaci malam itu.
Untuk tambahan, gue rindu sekali sama Karawaci malam itu.
Mungkin memang
fungsi traveling adalah untuk membuat kamu rindu akan rumah.
Mungkin jarak memang
bisa membuat sesuatu terasa lebih berarti.
Maybe
a space is needed sometime so that we can miss something.
Karena perasaan
rindu nggak selamanya salah untuk dirasakan, kan?
-------------------------------------------------------------------------------------------
Ah penghujung blog yang sangat baper :")
Oh ya, berhubung udah waktunya, jadi gue turut mengucapkan:
Semoga puasa tahun ini membawa berkah dan pelajaran tersendiri bagi kita, ya.
Semoga juga bulan puasa ini yang udah lama nggak bersilaturahmi tiba-tiba nge-line ngirim "Hi" atau ngirim sticker makanan.
Semoga yang biasanya sibuk setengah mati tiba-tiba nelpon pas sahur dan bilang "hari ini bukber yuk."
Semoga yang awalnya dijauhkan menjadi didekatkan.
Semoga yang awalnya menghilang kemudian ditemukan.
Semoga yang jadi alumni bisa kembali reuni.
Semoga keajaiban Ramadhan tahun ini bisa kembali menjadi nyata.
--------------------------------------------------------------------------------
Love you reader!
Tons of love,
Writer
-------------------------------------------------------------------------------------------
Ah penghujung blog yang sangat baper :")
Oh ya, berhubung udah waktunya, jadi gue turut mengucapkan:
Semoga juga bulan puasa ini yang udah lama nggak bersilaturahmi tiba-tiba nge-line ngirim "Hi" atau ngirim sticker makanan.
Semoga yang biasanya sibuk setengah mati tiba-tiba nelpon pas sahur dan bilang "hari ini bukber yuk."
Semoga yang awalnya dijauhkan menjadi didekatkan.
Semoga yang awalnya menghilang kemudian ditemukan.
Semoga yang jadi alumni bisa kembali reuni.
Semoga keajaiban Ramadhan tahun ini bisa kembali menjadi nyata.
--------------------------------------------------------------------------------
Love you reader!
Tons of love,
Writer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar