For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Senin, 08 Februari 2016

One Of A Kind Jakarta In The Middle of The Sea: Pulau Pari!

Selamat sore, semuanya.

Halo, dari bulan Februari yang mulai menampakan lebih banyak air hujan dibandingkan sinar matahari... I hope you're not in some kind of gejala sakit di musim pancaroba -- I hope you're good as gold!

Oh ya, ngomong-ngomong cuaca, menurut ramalan cuaca yang gue saksikan hari Sabtu kemarin, seminggu ini akan lebih banyak mendung dan hujannya dibandingkan dengan sinar matahari -- jadi bagi mereka yang mencuci bajunya sendiri apalagi tinggal sendiri, coba dipikir-pikir lagi untuk keluar biaya laundry daripada panik cucian nggak kering dan nothing to wear to kampus dan bagi para pengendara motor, keluarkanlah perlengkapan additional kalian: jas hujan, sandal jepit, rencengan plastik, dan juga se-set pakaian ganti supaya tetep bisa tampil, seenggaknya rapi, di kala cuaca nggak bersahabat (hai, kita senasib!).

Dan khususnya bagi pengendara motor jadul yang mesinnya nggak bisa kedinginan, siap-siap ganti busi dan tenaga buat kick starter, antisipasi kalo-kalo motor (kita) kehujanan lama, apalagi kalo banjir dan kelelep air.

Akhirnya, setelah melalui liburan tahun baru dan momen-momen pembulatan tekad untuk mewujudkan serenceng resolusi yang belum juga terwujud entah sejak tahun berapa, gue kembali memasuki ranah perkuliahan. Tiba di semester 6 adalah sesuatu yang campur aduk buat gue -- antara excited karena semester genap artinya just 6 months away to 3 months holiday, sedih juga karena libur 3 bulan tahun ini adalah yang terakhir buat gue, sekaligus deg-degan karena tinggal 2 semester lagi ngampus, dan takut, karena udah mulai dipanggil mahasiswa tua oleh dosen-dosen dan masa-masa ko-as semakin mendekat.

What.
Ko-as.

It feels like it was just yesterday me being busy registering my name on every university entrance test I could afford. It feels like it was just yesterday me learning medicine -- yet, here I am. Standing in my last year.

Kemarin ada yang berdoa gitu deh, biar cepet jadi sarjana kedokteran terus ko-as, terus sekarang dia malah ketakutan giliran udah dibilang "mahasiswa tua menjelang ko-as".

Lah.
Seperti biasa lah, pemilik Fragile Melancholy suka sekali curhat di muka, tapi nggak suka bayar di muka (eh!).
Jadi, daripada gue curhat ngga karu-karuan sampai isi post ini worthless, jadi yuk cao!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gue nggak pernah bosan menceritakan soal Kepulauan Seribu, ya?

Buat yang udah baca blog gue dari dulu-dulu, mungkin ada yang protes kali ya gue ngepost tentang Kepulauan Seribu terus. Tapi gimana dong, Kepulauan Seribu selalu menarik sih, karena walaupun berada di gugusan pulau yang sama di utara Provinsi DKI Jakarta, setiap pulau memiliki karakteristik, landmark, dan suasana yang berbeda-beda; mulai dari Pulau Pramuka yang menurut gue nggak terasa laut sama sekali dan paling komplit fasilitas pendidikan dasarnya, pulau kecil bernama pulau Kelor yang terus menerus kena abrasi dan ada bekas benteng yang sering dijadiin site pre-wedding,  pulau Onrust yang banyak kuburan Eropa-nya, dan Pulau Cipir yang ada bekas rumah sakitnya dan spot asik untuk menikmati matahari senja -- baru segitu aja pin di peta Kepulauan Seribu.

Kali ini, gue menapakan kaki di Pulau Pari, lagi-lagi mendadak dan tanpa banyak ba-bi-bu, serta dibalut kemalasan packing. Gue berangkat pagi banget dan tentunya sampe di Pulau Pari pagi banget juga. Dari entrance, nggak ada yang beda dari Pulau Pari -- standar Kepulauan Seribu; gapura sederhana seperti memasuki daerah perkampungan. Terlihat 2 sepeda bertengger manis di jalanan sekitar pelabuhan.


Setelah mengamati kucing kawin di depan gapura dan luntang-lantung sementara waktu karena nggak tau homestay-nya dimana dan harus nunggu orang untuk menjemput dan membimbing gue, akhirnya gue dijemput dengan satu moda transportasi umum di Pulau Pari yang rupanya seperti ini:

Courtesy of motorgrobak.weebly.com. Thank you, Google!

Yap, motor gerobak adalah salah satu moda transportasi di Pulau Pari. Iya, yang biasa buat angkut galon Aqua atau gas Elpiji. Cuma, bedanya di gerobak Pulau Pari udah dipasang kursi-kursi yang saling berhadapan. Satu motor gerobak bisa dihuni 10 orang masih bisa plus koper-koper. Akhirnya yang ibu-ibu dan nenek-nenek naik ke motor gerobak, sementara gue memutuskan untuk berjalan kaki.

Di depan gapura tadi, langsung ada sekolah SD-SMP Satu Atap. Gue dan mas-mas pemandu sempet ngobrol sih.
"Kenapa SD-SMP nya satu atap? Terus SMA-nya dimana?"
"Yah Mbak, penduduknya nggak banyak kok, jadi bisa dijadiin satu, lagipula kita kan pulau kecil aja. Kalau SMA, adanya hanya di Pulau Pramuka, Mbak."
"Terus tiap hari naik kapal gitu Mas ke pulau Pramuka? Keren banget ke sekolah naik kapal gitu, nggak naik Kopaja."
"Nggak Mbak, kalau SMA biasanya ngekos di Pulau Pramuka, selain lebih praktis, lebih aman, lebih hemat biaya juga."
Mungkin mas-masnya dalam hati bilang, rese amat si Mbak, baru dateng udah banyak nanya.

Dari sana, gue berbelok dan menyusuri garis pantai Pulau Pari dan menemukan bahwa pantai-pantainya berpasir putih dan banyak ditumbuhi pohon, juga mangrove. Airnya jernih. Sekali liat, pasti sadar Pulau Pari nggak sama dengan Pulau Pramuka. Pulau Pramuka nggak seelok ini walaupun sama-sama berada di gugusan Kepulauan yang sama.


Ternyata jalan dari gapura ke homestay lumayan jauh. Gue dapat homestay yang agak ke dalam dan saat itu homestay emang sedang full-booked karena sedang musim liburan. Baju-baju yang basah dan berpasir pasti jadi atribut khusus di jemuran setiap homestay. Secara kenampakan luar, homestay di Pulau Pari sama dengan homestay di Pulau Pramuka -- sederhana dengan arsitektur rumah biasa, yang bener-bener rasa tinggal di Jakarta banget. Inilah khas-nya kalo jalan-jalan ke Pulau Seribu -- Pulau Seribu adalah wisata yang pengalaman nge-lautnya less luxurious tapi tetep komplit. If you want to get fancy, Pulau Seribu is not your league. Tapi kalau mau cari pengalaman melaut yang murah, sederhana, tapi bisa dapet komplit dan pemandangannya bagus, Pulau Seribu sempurna.

Karena homestay masih dalam persiapan, akhirnya gue pergi-pergi keliling pulau. Kata orang-orang sekitar, main attraction dari Pulau Pari adalah Pantai Pasir Perawan. Penasaran, akhirnya gue pergi ke arah-arah orang pergi. Pantai Pasir Perawan lumayan juga jaraknya kalau ditempuh dengan berjalan kaki dari homestay gue. Gue awalnya sempet bingung dimana pantainya, soalnya kiri-kanan semuanya ilalang dan nggak ada suara debur-debur ombak sama sekali. Sama sekali nggak berasa kalo lagi di pantai -- satu-satunya tanda kalo gue ada di sebuah pulau di tengah laut adalah gue merasa kaki gue menapak di atas pasir.

Ternyata Pantai Pasir Perawan memang layaknya seorang 'perawan'. Udah di portal, di kasih gapura, plus dikasih penjaga gapura yang bertugas menarik retribusi. Perlindungan ekstra!
Untuk masuk ke pantai Pasir Perawan, setiap orang dikenakan retribusi Rp 5000 kalau nggak salah yang berlaku untuk sehari masuk wilayah pantai. Kalau hari ini kamu udah bayar goceng dan kamu pulang nggak balik-balik lagi sampe besok, pas besok kamu kesana lagi, kamu harus bayar lagi goceng, dan surprisingly penjaga pos retribusi inget siapa aja yang udah bayar atau yang belum bayar.

When you're lost in a little island, just go where people go!

Mana rasa pantainya coba kalo sekitaran isinya ilalang sama semak?

Layaknya seorang "perawan", banyak penjaganya!

Masuk ke dalam Pantai Pasir Perawan, gue disuguhi pantai yang tenang tanpa ombak yang kasar menampar. Izinkan gue menjabarkan, karena menggambarkannya sungguh tidak mudah:

Jadi, jenis pantai dari Pantai Pasir Perawan ini adalah pantai dengan tinggi pasir yang fluktuatif. Pada umumnya, pantai-pantai itu semakin ke tengah semakin dalem kan, karena pasirnya semakin landai dan rendah. Nah, this is not the characteristic of Pasir Perawan. Tinggi pasirnya bener-bener fluktuatif. Lo bisa berjalan ke tengah dan tiba-tiba pasirnya menanjak dan membentuk pulau di tengah. Ini gambar yang gue ambil dari tepi pantai. Jadi di tengah-tengah air, ada pulau sendiri gitu dan ada gazebo-gazebo lucu yang nggak-Pulau-Seribu banget -- ngeliatnya bikin pengen monopoli gazebo buat jadi objek foto pribadi.

Rasa Bali, atau Rasa Lombok?

Dunia milik berdua -- yang lainnya mah ngontrak doang.

Selain pasir yang fluktuatif dan ada pulau kecil di tengah, salah satu fitur lain dari Pantai Pasir Perawan adalah kumpulan pohon Mangrove-nya yang besar-besar dan lagi-lagi membentuk pulau-pulau tersendiri. Keadaan Mangrove yang berkumpul membentuk geng-geng ini dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk menawarkan jasa keliling kebun Mangrove dengan perahu kayu. Selain menawarkan untuk mendayungkan perahu ke kebun Mangrove, para penduduk lokal juga menyewakan kayak untuk 2 orang dengan syarat nggak boleh sampai kebun Mangrove -- alasannya simpel, karena mendayung di Kebun Mangrove tidaklah semudah itu dan mereka nggak mau ada yang stuck -- plus, hal terburuk adalah ketika si pendayung panik, kayak jadi nggak stabil, dan bikin pendayung-pendayungnya jatuh, sementara pendayungnya nggak bisa berenang -- atau mungkin pantatnya kram kayak Patrick waktu di suruh berenang di laut. We'll there's no Larry in Pantai Pasir Perawan!

Ya, sebenernya sih nggak dalem-dalem banget airnya di daerah Kebun Mangrove, paling mentok 2 meter, kata Abangnya. Tapi nggak tau ya, gue suka rancu dengan orang-orang yang besar di laut atau orang-orang yang jago berenang. Kadang mereka bilang "dangkal kok!" dan pas gue tanya berapa exact-nya "paling cuma 5 meter atau 10 meter kok". Lah, lu lepas, gue kelepek-kelepek, Bang!

Jadi, inilah tur singkat menjelajahi kebun Mangrove:



Eh tapi kayaknya bener sih nggak dalem-dalem banget...

Setelah keliling kebun mangrove, gue balik ke homestay. Jam menunjukan hampir tengah hari, dan melihat agenda kegiatan, kegiatan berikutnya adalah...
.
.
.
Snorkeling!

Jadi, dibawah teriknya mentari siang, rencana berikutnya adalah snorkeling. Spot snorkeling ada 3, tapi yang paling bagus itu satu spot di daerah APL (Area Perlindungan Laut). Setelah gue browsing juga, it turned out gue tahu bahwa APL adalah spot terbaik snorkeling di Pulau Seribu. Gue pernah snorkeling di Pulau Air and it was good. Makanya gue penasaran dengan APL, sebagus apakah sampai dinobatkan spot terbaik snorkeling di Pulau Seribu?

Ini nih tanda-tanda kalo udah deket sama APL. Ada kayak kapal kandas di tengah-tengah laut.

Dari atas perahu aja udah tempting!

Dan akhirnya gue menceburkan diri,

Pemandangannya luar biasa. Terumbu karang berbagai jenis, warna, dan ukuran terhampar di bawah kaki. Ikan warna-warni melintas seolah nggak peduli, Satu kelebihan lagi di APL, terumbu karangnya benar-benar tinggi dan besar sampe lo bisa duduk di atas-nya dan badan lo muncul di permukaan air. Makanya perahu-perahu yang mengantar pengunjung harus ekstra hati-hati, jangan sampe kapal atau jangkar merusak apa yang ada di bawah. Sebelumnya, gue mohon maaf nggak bisa melampirkan foto underwater apapun karena foto-foto underwater semuanya corrupt data dan nggak bisa dibuka! Termasuk foto gue lagi pegang bendera Indonesia yang ada tulisan Happy New Year dan foto sepupu-sepupu gue jadi primadona para ikan laut dan dikelilingin karena ngasih makan ikan. Sedih. 

Tapi it's so important to admit that APL was awesome. Beneran. Secara terumbu lebih berwarna, ikan lebih banyak dan juga lebih banyak jenisnya, APL memenangkan hati gue lebih dari Pulau Air. Betah banget snorkeling di APL, nggak terasa udah sore aja.

Sore, gue mandi dan mengejar sunset dari spot sunset terlegendaris se-Pulau Pari. Ialah spot LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dijadikan tempat nongkrong sepulau kalau sunset, dikarenakan matahari bener-bener dengan vulgar memamerkan dirinya menuju peraduan di tempat ini. Lagi-lagi, perjalanan dari homestay ke LIPI agak-agak jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki, makanya biasanya sepeda udah termasuk paket kalau berlibur di Pulau Pari -- jadilah gue ke LIPI naik sepeda bersama dengan orang-orang sepulau yang naik sepeda juga. Seketika, pelataran LIPI yang tadinya kosong adem ayem, malah cenderung spooky karena letaknya adalah di paling ujung Pulau Pari, jadi penuh sepeda orang sepulau.

Dari pintu gerbang ini, kita masih harus berjalan ke dalam dan melintasi wisma-wisma milik LIPI. Dari deretan wisma-wisma LIPI, masih harus jalan lagi sampai ketemu gapura kedua. Di sini emang doyan banget nempatin multiple gapura di segala tempat :')

Gapura 1

Gapura 2 -- almost there!




Trivia lagi, dong. Jadi, salah satu yang menarik dari Pulau Pari adalah pasang surut airnya yang terlihat nyata sekali. Disini, manusia manapun akan mengangguk-ngangguk mengenai teori pasang surut, karena emang nggak bisa digeleng-geleng -- orang keliatan banget. Jadi, pattern pasang surut di Pulau Pari sangat unik. Siang, air-air masih menggenang dan masih bisa kamu pakai buat renang, beranjak sore, air surut. Ini pemandangan jam 5 sore. Surut ini bisa berlangsung sampai tengah malam. Dini hari, air mulai merangkak naik lagi sehingga ketika kamu bangun pagi, air sudah menggenang seperti biasa dan Pantai Pasir Perawan atau pantai manapun di Pulau Pari akan kembali menjadi pantai.



Kapan lagi liat surut yang sedemikian nyata?

A good thing about this surut thing is: kamu bisa foto di tengah-tengah, dimana saat daytime tertutup air.



Indah.

Salah satu fitur dari Pulau Pari adalah banyak banget bintang lautnya! 
Saling bertumpuk, mulai dari yang ukuran kecil sampai ukuran besar 
(I swear, ada yang segede binder yang besar!)

Senja berlangsung lebih pelan dan lama di LIPI sini dan setelah sunset selesai, semua orang kembali ke parkiran dan mengambil sepedanya, berduyun-duyun berjalan pulang. Jalanan LIPI ketika malam nggak banget pokoknya -- di kanan kiri banyak pepohonan dan semak-semak tinggi, dan hanya ada sedikit lampu jalanan. Kalau bisa, nggak mau deh pulang malem-malem dari daerah LIPI.

Malamnya, kehidupan pantai di pulau kecil tentunya bisa ditebak -- entah tidur atau barbeque dengan sajian laut. Maka, gue mengawasi orang berduyun-duyun berjalan ke Pantai Pasir Perawan untuk barbeque-an -- gue bukan penyuka makanan laut, jadi the party wasn't addressed for me. Gue hanya gembira melihat euforianya, api yang berkobar, dan asap-asap yang walaupun gue tahu baunya enak. tapi toh gue nggak akan suka lauknya.

Pulang dari pengamatan pembakaran barbeque, gue menunggu jam mengarah ke angka 12. It was a special day, it was. Percayalah, berada di tengah lautan manapun, seindah apapun, dengan fasilitas terlengkap seperti apapun, akan terasa agak kurang kalau orang yang kamu tunggu-tunggu ada di Bogor, entah terjaga bermain game atau baca komik, di tengah-tengah hujan malam hari -- sementara kamu ada di tengah laut dengan lembabnya hawa lautan yang cukup mematikan kalau nggak ada AC.

Selamat ulang tahun dari Pulau Pari untuk orang Bogor!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Paginya, gue bangun subuh dan mendengar suara gerimis.
Terlalu terbangun untuk bisa tidur lagi, akhirnya dengan sabar gue menunggu hujan reda.

Setelah hujan reda dan matahari mulai muncul, gue buru-buru naik ke sepeda. Anggap aja: gue mau menyesap bau udara pagi di tengah laut yang bercampur hujan, di dalam suasana yang agak sepi. Gue tau hujan adalah antidot untuk orang Indonesia -- dimana hujan menyebabkan mager luar biasa. Jadi kesempatan ini gue pergunakan untuk keliling disaat gue yakin jalanan masih sepi.

Bener kan, sepi! Inilah jalanan Pulau Pari. 
Rasanya hampir sama dengan menjelajah pemukiman di gang kecil di Jakarta kota. 
Bedanya cuma, disana kamu napak di tanah dan disini kamu bisanya ngeliat pasir.

Entah Gapura keberapa yang gue temui di Pulau Pari...
Iya deh Pantai Keren dan Seksi.

Karena sepeda sudah terlalu mainstream...

Seorang Ibu sedang menyapu di Pantai Keren dan Seksi.
Salah satu fungsi retribusi di setiap pantai adalah untuk kebersihan juga,


Jalanan ke LIPI. A view from my-driving-self.
Coba gih jalan disini malem-malem. Gue sih nay...

Jalanan menuju LIPI part 2.

Sekilas mengintip kehidupan penghuni asli Pulau Pari di pagi hari -- saat wisatawan masih lelah tertidur.

Setelah menghabiskan pagi dengan menelusuri pojok-pojok Pulau Pari, gue kembali lagi ke Pantai Pasir Perawan untuk mencicipi rasanya berenang di pantainya karena kemarin emang nggak pengen berenang. Seperti yang sudah gue jelaskan sebelumnya, masuk ke Pantai ini per harinya harus bayar retribusi -- tapi ada beberapa penyelenggara tour dan travel yang biasanya sudah mengurus retribusinya sehingga wisatawan bisa bebas masuk. Just make sure kalau pemilik jasa tour dan travel kamu dikenal baik oleh penjaga pos retribusinya. Lumayan sebel juga sih kalau misalkan mau ke pantai dengan niatan mau langsung nyebur berenang sehingga nggak bawa duit sama sekali, dan tiba-tiba di depan pantai dicegat suruh bayar retribusi dan harus ngambil duit lagi di homestay yang lumayan jauh dari pantai. Jangan lupa bawa uang receh, makanya, sengebet apapun mau berenang!

Berenang di Pantai Pasir Perawan rupanya asik juga buat orang yang nggak bisa berenang kayak gue, karena emang dangkal dan airnya lumayan jernih. Nggak sejernih itu, tapi enak aja masih bisa ngeliat ke sekitar ketika menyelam. Lumayan lama juga gue berenang -- dikompilasi dengan ketabrak kayak orang dan momen-momen "Oh Tuhan kaki gue nggak napak; pasir mana pasir" karena sefluktuatif itu tinggi pasir di Pantai Pasir Perawan... Dari tengah-tengah air gue melihat banyaknya tenda di tepi pantai -- para turis baru berdatangan dan kemah di tepi pantai. Mungkin lain kali bisa dicoba berlibur tanpa homestay; instead, grab a tent.

Di tengah hari, gue akhirnya melaju pulang dengan speedboat terpaling terombang-ambing dan ternampar ombak sepanjang sejarah gue naik speedboat. Ombaknya agak besar, cuma syukurlah, it wasn't a bad weather dan dengan begitu, gue bisa dengan aman damai sentausa memaparkan sedikit kisah Jakarta di tengah laut, di blog ini :)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ya. Begitulah kisahku,

Mau tau gak sebenernya ini kisah kapan?
Ini kisah bulan Desember akhir.
.
.
.
Maaf, masih suka nunda nulis karena kuliah benar-benar menyita atensi dan procrastination is the real struggle.
Hope I still write some kind of enjoyable writing!

Love,
Your soon-to-be-in-exam writer.

1 komentar:

  1. waow lokasinya menarik kak, harus jadwalin nih kesana.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat website yukk disini saja. terimakasih

    BalasHapus