For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Rabu, 08 Juni 2016

Commuter Line: A Ride Full of Social Phenomenon.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Halo, selamat datang di bulan Juni!
Selamat datang di awal bulan yang menawarkan sejumlah kebahagiaan;
kebahagiaan bagi pekerja yang rekeningnya kembali terisi
kebahagiaan bagi mahasiswa kedokteran yang akhirnya sudah bisa leha-leha!

Ya, I'm officially in my summer holiday.
(Indonesia has only two seasons, but ah nevermind!)
Sebenernya hari ujian terakhir adalah tanggal 21 Mei, tapi berhubung definisi libur gue adalah "sampai beberapa nilai yang penting diumumkan", maka Juni-lah yang menjadi liburan gue.

Ini adalah tahun terakhir gue dapet summer holiday yang sangat menyegarkan sekaligus sangat membodohkan (coba jelaskan gimana bisa ngga membodohkan kalau liburnya hampir 3 bulan) karena tahun depan niscaya gue sudah memasuki dunia per-koasan yang... Yah... Sepertinya akan bebas dari libur yang berkualitas macam ini.

Nggak terasa, gue udah 6 semester ada di bangku kuliah. Sebentar lagi semester 7 yang cuma diisi 2 blok, dimana 1 bloknya 7 SKS. Setelah menanggalkan 2 blok itu, gue akan ujian praktek exit dan kalau lulus gue akan disuruh janji koas -- dan tentunya, wisuda -- karena gue secara sah sudah menamatkan S1.

Masih segar di ingatan gue, gimana waktu itu gue yang masih semester 1 curhat disini bahwa kuliah itu bebas tapi membingungkan, tapi toh tetap gue jalani dengan penuh excitement ala-ala mahasiswa kedokteran baru, dengan sejumlah idealisme pengen punya penelitian yang melibatkan dokter-dokter hebat, pengen spesialis kalau bisa lengkap dengan gelar doktor. Sekarang, gue adalah seorang mahasiswa semester 6, yang menyadari bahwa gue punya cinta yang lain, yaitu menulis, dan rasanya sayang kalau nggak gue terus lakukan dan kembangkan -- dan gue menyadari bahwa scientific writing rasanya tidak akan pernah seindah dan sedominan ini ada di hati gue dibandingkan creative writing atau, ngalor-ngidul writing done in this blog.

Nah, gue menolak pernyataan bahwa gue men-downgrade mimpi gue.
Gue tidak men-downgrade mimpi gue -- I'm just finding who I really want to be.

Intinya I just tought that writing is one of those things I want to bring with me through the life.

*membaca ulang intro*
*kemudian menggaruk-garuk kepala*

Aduh.
Kebiasaan baper di intro, maaf.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Biasanya, pikiran sejenis inilah yang suka muncul di pikiran gue kalau gue naik commuter line.
Sejenis pikiran jam 12 siang saat commuter line sedang sepi dan gue bisa duduk tenang.
Poin plus kalau gue naik commuter line trayek Kota- Bogor -- karena pemandangan sepanjang rel bisa bikin pikiran jadi melantur.

Entah kenapa gue suka sekali dengan Commuter Line sejak pertama kali naik, waktu SMP, kisaran tahun 2007-2008. Waktu itu, tiketnya masih pakai tiket kertas, yang harus ditunjukan ulang ke pegawai yang suka ngecekin tiket di dalam kereta. Jadi kalo tiket itu raib sebelum di-cek petugas, ya wassalam. Dulu, commuter line sepi bukan main, apalagi siang-siang, karena belum populer -- dan goyangannya selalu nyaman, belum lagi super dingin. Dari Stasiun Tangerang ada kereta yang langsung ke Kota, sehingga tiap nyokap mau ke Mangga Dua, pasti gue dengan semangat ikut saking pengennya naik Commuter Line. Inget banget, setiap kereta berhenti di Kampung Bandan, pasti ada sejumlah pengamen yang naik -- kadang ada yang bawa biola dan cello (cello, iya biola yang besar itu). Rata-rata, pengamen yang masuk ke kereta adalah pengamen yang enerjik dan memang musiknya effort banget. Bukan cuma kecrek-kecrek seadanya, tapi literally performing.

Perjalanan dengan Commuter Line semakin sering gue lakukan di kelas 3 SMP -- tujuannya ya ke Kota Tua. Kawasan Kota Tua, untuk gue yang masih SMP waktu itu, adalah salah satu tujuan wisata yang terempuk untuk dikunjungi, selain aksesnya mudah cuma pake Commuter Line, turun di Stasiun Kota, tinggal jalan sebentar, Kota Tua juga nggak minta banyak budget. Segala macem museum bisa dikunjungi dan murah -- bahkan gratis untuk Museum Bank Indonesia. Kota Tua adalah tempat wajib kunjung buat anak SMP di zaman gue -- gak gaul kalo belom ngebolang ke Kota Tua. Kira-kira, sampe SMA kelas 1 gue masih hobi ke Kota Tua, tapi seiring waktu Commuter Line semakin ramai dan kita harus mengakali jam pulang kerja.

Perjalanan dengan Commuter Line jarang gue lakukan di sisa-sisa masa SMA, tapi di akhir SMA menjelang kuliah, Commuter Line jadi transportasi sehari-hari ke Depok. Saat itu, Commuter Line ticketing-nya udah pakai tap kartu dan gue sempet kaget (karena udah lama nggak naik Commuter dan tiba-tiba udah ada transisi dari tiket kertas konvensional menjadi kartu) dan sempet capek karena perubahan trayek dan keharusan untuk ganti-ganti kereta, belum lagi Commuter Line semakin beken dan jadi rame banget di jam pergi dan pulang kerja.

Momen ternyesek saat naik Commuter Line adalah waktu itu...
Pas masih sering ke Depok tahun 2013 -- pas banget bulan puasa, gue pulang dari Depok jam setengah empat. Waktu itu gue masih bodoh sama trayek dan tujuan kereta versi terbaru. Gue main naik aja kereta dari Bogor, intinya ke arah Jakarta-Tangerang lah. Gue gak crosscheck lagi kereta itu stasiun akhirnya kemana -- harusnya gue naik yang ke arah Duri. Walhasil. gue baru sadar ketika jam 5 kurang dan gue sedang melihat matahari remang-remang di Monas.

"Gue kok kayaknya tadi pagi gak lewat sini..."

Ternyata kereta yang gue naiki adalah yang ke arah Kota dan gue langsung meloncat keluar di Gondangdia. Saat mengincar kereta balik ke arah Manggarai, gue baru percaya bahwa rush hour di Jakarta bukanlah bohong belaka -- berpepesan dengan orang asing, saking dempetnya sampe nggak perlu pegangan itu benar adanya. Gue bertahan sampe Manggarai dan lanjut naik kereta ke Duri, dan sampe Tangerang jam setengah 8 malam. Itu adalah ternaas gue naik kereta -- mostly karena gue reckless dan malas bertanya. Gue akhirnya cuma bisa liatin orang buka puasa di kereta sementara gue lupa beli minum buat batalin puasa. Emang, malas bertanya bikin sesat di jalan.

Setelah kejadian itu, gue masih tetap mencintai Commuter Line -- bahkan setelah tahu rush hour-nya yang begitu menyiksa, setelah beberapa kali kehilangan kartu, dan ditahan di Stasiun Kota karena kartu Flazz nggak bisa tap out akibat gue lupa memperkenalkan kartu gue ke mesin tap di stasiun awal. Gue akan terus menggunakan Commuter Line karena Commuter Line menyajikan pemandangan dan suasana yang nggak bisa ditemukan kalo gue naik kendaraan lain. Selain itu, fenomena sosial yang terjadi di atas Commuter Line unik-unik.

So, jump into my mind, shall we?

Neng, ikut Abang naik Komuter yuk!

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semua jenis manusia ada
Commuter Line adalah salah satu transportasi yang biayanya murah. Gue naik kereta dari BSD sampe Bogor yang paling ujung aja cuma sekitar Rp 7000,00 -- kalau pake kartu harian, biaya kartu Rp 10.000 + Rp 7000,00 -- seharusnya bukan moda transportasi yang mahal jika dibandingkan dengan bis AC, hal ini yang membuat semua jenis manusia ada di Commuter Line -- mulai dari kaum pekerja yang sibuk dengan earphone di telinga, muka yang ditutupi masker, kadang juga nggak berhenti-berhenti ngeliatin hp yang batrenya udah dicharge, sehingga jam 8 malam pun batrenya masih penuh, ditambah lagi dengan kaum mahasiswa yang kerjanya baca selembaran kertas kalo masa-masa UTS, kadang malah ada yang sambil buka laptop kalau suasana Commuter Line cukup kondusif. Nggak lupa juga kalangan anak-anak sekolah, anak-anak main, ibu yang membawa anak banyak, sampai lansia.

Intinya, semua jenis manusia dari semua range umur dan tingkat sosial ekonomi ada di atas Commuter Line karena Commuter Line cakupannya luas, murah, cukup nyaman (dalam jam-jam tertentu), dan bersih (ini patut dikasih 4 jempol -- ditambah jempol orang lain kalo bisa).

Ujian moral
Naik Commuter Line itu memberikan banyak ujian moral. Pasti setiap orang yang pernah naik Commuter Line pernah merasa capek banget sama kehidupan dan rasanya pengen banget dapat duduk di Commuter Line terus duduk sambil dengar musik -- syukur-syukur kalo bisa tidur. Buat gue, dapet seat di Commuter Line itu adalah salah satu karunia Tuhan yang luar biasa, apalagi setelah seharian capek, plus kalo itu di rush hour.

Terus gimana kalo pas lagi enak-enak duduk sambil denger musik, tiba-tiba di beberapa stasiun berikutnya ada orang yang bawa anak kecil dan butuh duduk, sementara lo lagi pewe banget? Apakah lo akan pura-pura tidur? Nutup muka sambil berharap ada orang lain yang rela ngasih tempat duduk untuk orang itu? Nah, pergolakan batin deh ah.

Malaikat berbisik,
"Kamu jangan pura-pura nggak liat. Ayo berdiri, kasih, apa ruginya sih memberi?"
Setan berteriak,
"Yaudah sih, lo kan lagi capek -- you deserve a seat! Lagian ini bukan kursi prioritas kok!"

Disitulah moral lo dituntut untuk memilih, mau lanjut pura-pura tidur dan membiarkan orang lain bertindak atau dengan penuh kerelaan melepaskan karunia Tuhan tersebut untuk orang lain yang lebih membutuhkan -- dan mendapat karunia Tuhan dalam bentuk lain yang seringkali tidak diperhitungkan: senyuman orang yang dikasih tempat duduk.

Ujian kesabaran
Emang naik Commuter Line penuh ujian dan tempaan kadang-kadang, tapi dari situ ada sedikit pelajaran untuk lebih memanusiakan kita. Selain ujian moral, ada juga ujian kesabaran terutama kalau kamu harus lewat Stasiun Manggarai dimana kadang kereta bisa berhenti lamaaaaaaaaa banget. Anggep aja kalo kamu kuliah di UI, kesiangan, dan ada UAS -- kebayang dong gundah gulananya nungguin kereta boleh masuk Stasiun Manggarai?

Pernah suatu hari gue mau ke Bogor. Gue udah tidur-bangun-tidur beberapa kali belom jalan juga dari tempat semula. Lain kesempatan, gue udah selesai ngerangkum 1 presentasi Power Point saat kereta akhirnya diperbolehkan masuk ke Stasiun Manggarai. Manggarai, oh Manggarai, ada apa gerangan?

Saking akrab sama Stasiun Manggarai sampe gue tau gambar clueless ini adalah Stasiun Manggarai.

Selain itu, momen sabar di Commuter Line adalah saat lo akhirnya dapet duduk di Commuter Line walaupun agak sedikit berdempetan dengan orang lain. Tiba-tiba kereta berhenti di salah satu stasiun dan masuklah seseorang. Dia melihat celah di antara lo dan orang sebelah lo, walaupun celah itu cuma sekitar 5 cm. Begitu ia melihat celah tersebut, dia langsung mengeluarkan manuever "butt-first" landing di celah 5 cm itu sambil bilang "Misi ya" atau kadang "Geser dikit dong". Intinya sih maksa duduk padahal lo dan orang-orang sekitar udah merasa kurang nyaman sekalipun tanpa dia. Biasanya pelakunya adalah kaum yang sama dengan yang suka dimasukin Dagelan karena suka pasang lampu sign ke kiri padahal mau belok ke kanan.

No offense, still.



Wanita bukan kaum lemah
Mungkin poin ini akan sedikit terlihat ofensif, tapi percayalah, ini hal yang sering gue amati di Commuter Line. Untuk orang-orang yang masih suka menganggap remeh perempuan, gue dengan sangat senang mengundang mereka naik Commuter Line.

Di Commuter Line, gue sering melihat ibu-ibu terutama yang abis borong barang di Mangga Dua atau Tanah Abang bawa belanjaan segede-gede umat yang bisa dia duduki kalau emang nggak dapet tempat duduk. Belanjaan segede umat itu di bawa sendiri -- tanpa bantuan lelaki. Kadang ibu-ibu yang berbelanja ini suka bikin geng gitu terus bawa belanjaan bareng-bareng.

Di jam-jam rush hour, lo juga harus merasakan berdesakan masuk atau keluar dari/ke gerbong wanita karena perempuan-perempuan ini powernya luar biasa kalau masalah keluar masuk gerbong kehormatan ini. Kadang, ketika orang belum selesai keluar dari kereta, kaum-kaum ini sudah mendesak lo dari belakang untuk buruan masuk ke kereta. Sebenernya, budaya seperti ini harus dikoreksi sih, soalnya bahaya banget dorong-dorongan -- kayak tawuran aja gitu. Kurang anggun juga nggak sih?

Tapi apa coba yang nggak dilakuin demi dapet tempat duduk di Commuter Line?

Makanya, kadang gue prefer naik di gerbong campur apalagi kalo rush hour karena gue orangnya slow banget, jadi daripada bikin orang sebel terus gue ditenggelamkan dalam lautan manusia, mendingan gue menyingkir aja gitu...

Geng Kereta
Masih lekat di ingatan gue waktu sering naik dari Stasiun Tangerang jam 6 pagi, terutama kalo di gerbong wanita -- suka ada segerombolan ibu-ibu dengan umur dan kenampakan bervariasi (menandakan bahwa latar belakang pekerjaan mereka berbeda satu sama lain) yang entah bagaimana bisa, saling kenal, dan suka saling tag tempat duduk di kereta. Canggih, satu tempat duduk panjang bisa saling kenal dan ngobrol dengan akrabnya. Kalau ada temennya yang masuk lagi di stasiun selanjutnya, maka mereka akan saling menyapa dan berdempetan supaya temannya bisa duduk. Kadang juga, salah satu di antara mereka ada yang bawa bekel lalu dibagi-bagi ke temen se-geng-nya. Mungkin inilah yang disebut solidaritas saudara seperkeretaan.

Pre-Order
Masih berkaitan dengan solidaritas saudara seperkeretaan, kadang naik Commuter Line bisa disambi dengan berbisnis. Caranya mudah, cukup kenalan dengan orang-orang di kereta, menawarkan produk (biasanya makanan), lalu kalau suka transaksi bisa di atur.

Lagi-lagi fenomena ini terjadi di Stasiun Tangerang; gue ngeliat seorang ibu-ibu ngasih makanan bungkusan ke orang lain dan dikasih duit sama orang yang dikasih makanan tersebut. Terus gue liat yang lain menimpali "Makasih ya Bu, nanti saya pesen lagi!". Kejadian ini berlangsung awal-awal masih kuliah dan merupakan bentuk konvensional dari sistem pre-order yang sekarang sering banget ditemukan di Instagram.

Sejuta cerita dari sejuta strangers
Kalau commuter line kondisinya sedang kondusif dan suasananya sedang syahdu, biasanya suka banyak oknum yang menceritakan cerita hidupnya. Hal ini sering terjadi, baik pada gue, atau kepada orang lain -- dimana ceritanya kedengeran sama gue, bukan karena gue nguping tapi karena emang kedengeran. Banyak cerita senang, sedih, mengharukan, memilukan, memusingkan, dan kadang membuat lo ingin pindah gerbong saja untuk mencari ketenangan.

Tapi hati-hati, sekali gue pernah denger seorang nenek-nenek cerita sama gue. Nenek-nenek ini sendirian, naik dari Stasiun Tanah Abang dan duduk di sebelah gue. Kemudian dia menyapa gue dan gue balas dengan senyuman (daripada dibalas dusta, ya kan?). Nenek-nenek ini cerita ke gue A-Z mengenai kehidupannya, mulai dari gimana dia bisa di Jakarta, cucunya durhaka, dia sedih, sampe akhirnya curhat dia mau kemana dan ngga punya uang lagi -- ujungnya gue merasa ditodong karena dia mendempet-dempet gue dan menyodorkan tangan sama gue. Akhirnya karena merasa gak enak dan kepalang basah terjebak dalam posisi tersebut, dan diliatin orang-orang... Gue kasih beberapa. Awalnya doi kurang puas tapi gue bilang gue cuma punya segitu, kan gue pakai kartu Commuter Line jadi ngga perlu bawa cash. Akhirnya dia pergi dan gue liat dia duduk di gerbong lain sambil menghimpit orang selanjutnya.

Ah, ini sih dibalas dengan dusta beneran.

Pemandangan dan suasana spesial
Soal pemandangan dan suasana, Commuter Line punya beberapa poin yang memenangkan hati gue -- terutama kalo soal pemandangan trayek Bogor - Kota. Pemandangan dari rel yang ada di ketinggian, seperti di Monas dan Gondangdia, selalu bisa bikin hati gimana gitu. Mungkin apa yang gue rasakan beda dengan yang dirasakan pekerja Ibu Kota yang pulangnya selalu naik trayek ini, tapi for me, it's a kind of thing.

Foto ini di ambil kira-kira tahun 2014 dan bertepatan dengan momen HUT Republik Indonesia -- sayang banget benderanya ngga berkibar full. Kurang jago aku, kak.



Selain itu gue juga suka Stasiun Kampung Bandan. Iya, yang stasiunnya ada di in the middle of nowhere... Kehalangan ilalang-ilalang dan dari kejauhan bisa liat Alexis dan gerbang Ancol, juga bisa liat ITC Mangga Dua.

Tentu saja yang membuat gue suka sama Stasiun ini bukanlah karena bisa liat Alexis dari kejauhan, sungguh bukan. Suasananya yang tenang dan menurut gue stasiunnya artistik, itu yang jadi alasan gue suka sama stasiun Kampung Bandan. Entahlah, some people tell me I have weird preferences sometime...



Tapi, kalo soal artistik, tentu yang paling memenangkan hati ya... Pasti Stasiun Kota. Stasiun tua banget ini, udah sepuh. Opa dari segala stasiun yang masih berdiri sampai sekarang dan bentuknya masih dipertahankan. Berasa balik ke zaman dulu rasanya kalo masuk ke stasiun ini. Suasananya adem, mungkin juga disponsori dengan langit-langit yang tinggi sehingga sirkulasi lebih bagus.

Di sini, banyak kejadian-kejadian aneh yang pernah gue alami deh pokoknya. Mulai dari ditahan di pintu keluar karena Flazz gue gagal tap out (my fault, karena gue nggak mengenalkan Flazz gue ke mesin di Stasiun pas tap in), sampe berkeliling stasiun galau mau naik kereta atau naik busway aja saking kesorean dan waktu itu masih takut sama rush hour sampe diliatin satpam dikira anak hilang (waktu itu gue masih kurus sehingga dikira anak kecil).





-----------------------------------------------------------------------------------

Jadi...
Jadi...
Kamu kapan jadi sama dia?

Eh salah.

Jadi, itulah alasan kenapa gue suka sama Commuter Line. Selain murah, nggak macet (ya iyalah orang dia sendiri yang pake rel -- kecuali di deket Manggarai yha!), dan nyaman maksimal di saat-saat tertentu, Commuter Line menawarkan banyak hal untuk diobservasi khususnya buat gue, orang yang suka mengamati hal-hal yang sebenernya nggak perlu diamati banget. Gue selalu merasa menjadi bagian sebuah proses modernisasi ketika naik commuter line karena orang-orang di negara maju sana menggunakan kereta sebagai moda transportasi utama dan di satu sisi, selalu merasakan atmosfir yang beda dan sedikit bau-bau kemelankolisan dibalik goyangan gerbong yang dipadu dengan pemandangan di luar jendela, ditambah sedikit musik di telinga.

Sekali lagi, yang gue tulis di atas mungkin bersifat agak ofensif buat sebagian orang, but I think that's what I observed in real world. Please don't mind because I don't really mean to offend people. Tapi, alangkah baiknya kalo kita bisa terus melakukan perbaikan supaya Commuter Line lebih nyaman bahkan di rush hour sekalipun, iya apa iya?

Salam solidaritas saudara seperkeretaan.

Love,

Your writer

4 komentar:

  1. Kok gw yg sering naik commuter line jakarta bogor gk pernah ngeliat lu ??? Ah sudahlah mungkin gw teralihkan oleh kaum prioritas tempat duduk (mamah muda, mbak2 hijab dan dedek gemes )

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue kalo naik yang ke/dari Bogor biasanya hari Sabtu Nov hahaha, pulang malem lagi. Kereta malam jugijagijug

      Hapus