For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Kamis, 05 Juli 2018

Menjawab Pertanyaan Seputar Koasistensi: Koas itu makhluk apa?

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!
Selamat malam semuanya, senang sekali akhirnya kubisa menulis lagi.

Lagi-lagi harus vakum menulis berbulan-bulan (oke, 2 bulan, jangan lebay) karena emosi kurang stabil akibat stase pediatrik (anak) dan kekurangan energi fisik dan mental untuk menciptakan konten. Stase anak merupakan salah satu stase terluar biasa sepanjang sejarah per-koasan gue (definisi dari kata luar biasa bisa beragam ya...) dan salah satu stase yang gak akan gue lupakan karena pasien anak itu kompleks, sulit digali datanya, ringkih, dan selalu harus diobservasi ketat karena the game might change in sudden dan you lost. Semoga 10 minggu yang gue dedikasikan sedikit berarti untuk generasi bangsa ke depannya, contoh mengurangi tingkat cerebral palsy pada anak yang kejang-kejang atau kelak membuat anak yang lahir dengan extreme premature memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang bisa keep in pace dengan anak yang lahir normal.

Makhluk ringkih :(

Setelah melewati fase hidup segan mati tak mau, akhirnya entah bagaimana caranya gue lulus dan bangkit hidup kembali. Gue mengepak segala barang yang perlu dan pindah tugas ke sebuah RS di ibukota untuk stase besar selanjutnya: Bedah. Bedah adalah salah satu stase yang cukup gue segani karena gue sedikit trauma dengan kamar operasi waktu stase obgyn. Gue akui, gue cukup sering membuat pegawai kamar operasi sebal, gerah, gelisah, was-was, panik karena gue clumsy dunia akhirat. Kikuk. Gugupan. Tremor. Apalagi kalau asistensi. Gak jarang, operator operasinya sendiri (baca: dokter yang akan membedah) ikut shalawatan kalo gue yang ikut operasi. Segitunya... Tapi gue bertekad untuk "gak papa gue diomelin terus waktu asistensi, yang penting diagnosis bener, dan pasien gue dapat dioperasi sesuai indikasi. Do no fault, do no harm."

My new workplace has this street with some florists around. Can you guess where?

Maka, masuklah gue ke stase bedah, perkenalan dan familiarisasi dengan lingkungan baru, orang-orang baru, cara kerja baru -- tapi semua terasa enjoyable dan gue suka tempat baru gue. 10 minggu di bedah, gue dibimbing guru-guru yang luar biasa baik, sabar (banget!), dan lucu (LHA INI YA BANGET-BANGET) serta petugas kamar operasi yang menyenangkan -- ya walaupun presentasi kasus, ujian, bimbingan, operasi semua bisa serba mendadak dan gue kudu bertransformasi jadi atlet lari sepanjang waktu, tapi I ain't complaining much. Life was kinda enjoyable.



Sebagai seorang manusia biasa yang tidak lepas dari pelukan teknologi, tentunya aku suka meng-instastory a.k.a snapgram mengenai kehidupan ini.  Beberapa ada yang nanya sih soal koas dan entah kenapa gue tergelitik untuk membuat suatu post yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena kadang banyak persepsi keliru soal koas/dunia kedokteran.


Jadilah... Inti dari post ini.
Yaudah dari pada panjang lebar tidak tentu arah -- sama kayak gebetan dunia maya kamu yang tiap hari nge-chat dan tiap malem video call tapi tetep nggak mau ngajak kamu ketemu -- let me answer some of the questions!

P.S: Most questions came from my personal DM responding to my daily instastory/snapgram content.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Q: Sekarang jadi dokter dimana?
A:
Sebenernya ada sedikit perih di hati walaupun nggak ada bagian yang luka ketika mendapat pertanyaan seperti ini. Di satu sisi seneng sih orang ngeliatnya udah kayak dokter, tapi ya gimana, secara kapabilitas dan lisensi, saya belum jadi seorang dokter. Biasanya pertanyaan kayak gini gue jawab "Hehehe belom dokter, masih koas" dan akan dilanjutkan lagi dengan pertanyaan

"Koas itu apa sih? Bukannya lo udah pernah update foto wisuda? Terus kenapa wisuda kalo emang belom jadi dokter?"

Okay inhale, exhale, mari kita jelaskan dimana status dan kedudukan kita.

Jadi, seperti mahasiswa pada umumnya, mahasiswa kedokteran akan menjalani kuliah yang normalnya 3,5 - 4 tahun dan kemudian membuat skripsi. Selulusnya sidang skripsi, mahasiswa kedokteran akan menjalani wisuda, sama seperti mahasiswa jurusan manapun di bumi ini. Ketika lulus, gelar yang didapat adalah Sarjana Kedokteran (S.Ked). S.Ked ini adalah sebuah pertanda bahwa ilmu kedokteranmu sudah lulus secara teoritik, tapi secara praktek, instingmu belum terasah. Kalau memang mau jadi researcher ilmu kedokteran murni (seperti anatomi, fisiologi, dll) atau mau banting stir ke jurusan lain, inilah saatnya stop. Jangan lanjut. Jangan paksa. Btw, nama setelah sarjana adalah Blablabla, S.Ked.


Sarjana kedokteran yang mau beneran jadi dokter dan siap ditempa El Nino dan La Nina kehidupan kemudian akan melanjutkan pendidikan (masih di kampus yang sama) yang biasanya dinamakan kepaniteraan klinik atau koasistensi. Kepaniteraan klinik itu adalah tempatnya kita latihan, mengasah insting, mencocokan teori dengan realita (walaupun sering juga teori dan realita tidak sejalan), belajar komunikasi dua arah yang baik, serta memoles attitude (lagi-lagi, it's all about attitude) supaya layak jadi dokter. Nah, sarjana-sarjana kedokteran yang menjalani kepaniteraan klinik / koasistensi itulah yang disebut koas.

Setelah melewati serangkaian prosesi dalam kepaniteraan klinik, koas ini nantinya akan di'wisuda' lagi, lengkap dengan pengambilan sumpah dokter atau Hippocratic Oath. Setelah disumpah, maka gelar S.Ked gue tidak lagi dipajang dan dipertimbangkan, karena nama dan gelar sudah berganti menjadi dr. Blablabla.

Koas adalah sejenis makhluk yang stand by di panggil kapan saja -- menjadikannya makhluk diurnal dan nokturnal sekaligus.

Q: Kemarin gue ke RS terus diperiksa-periksa sama yang pake jas putih pendek kayak jas lo. Bilangnya asisten dokter gue, apa tuh nama lainnya... Koas? Lo periksa pasien gitu-gitu juga? Lo biasanya ngapain aja?
A:
Basically, memang tugas-tugas inti kita untuk mempertajam insting dan practical skill itu adalah dengan periksa pasien. Yak, jadi pertanyaan ini ada benarnya. Kita periksa pasien mulai dari tanya karakteristik penyakitnya sampai pemeriksaan fisik, bahkan pemeriksaan penunjang (ambil darah, bikin apusan darah untuk lihat di mikroskop, celup urine, periksa feses) juga kita harus bisa melakoni. Jadilah jobdesk regular seorang koas adalah periksa pasien dimanapun, di poli, di bangsal, di UGD, dan pada umumnya mengikuti dokter (yang sedang diikutinya) kemanapun dokternya pergi.

Tapi sebenernya kita juga punya side job lainnya, yaitu menyenangkan atasan dan klien (ea, kosakata khas makhluk yang tadinya ingin jadi pekerja korporat) -- artinya menyenangkan dokter yang kita ikuti dan pasien. Kadang kita merangkap jadi teman bicara dan diskusi dokternya. Nggak harus soal pelajaran, tapi apa aja -- point of view dalam kehidupan in general, politik, olahraga (bahkan ngomongin rekomendasi tempat makan dan juga kamera yang bagus) dan hal-hal lainnya yang super fun dan pasti tidak terduga. Selain itu, kadang koas jadi tempat curhat pasien... Kalo koasnya suka ngobrol atau ngedengerin cerita, pasti follow up pasiennya lama. Nggak jarang pasien yang suka ngobrol di follow up paling belakangan supaya ngobrolnya bisa maksimal. Tapi nggak papa sih, kadang koas-koas jenis ini (pendengar yang baik dan penerima curhat) sangat disayang pasien, mulai dari ditawarin ngemil sampe ditawarin jadi menantu (I KID YOU NOT).

Di sini, para koas dapat mengobrol dan bahkan ditawari menjadi menantu oleh pasien.

Q: Kok lo nggak bisa pergi siang ini? Kan semalam lo abis jaga, emang nggak ada liburnya?
A:
MOHON MAAAAVV sebelumnya. Karena kami adalah kumpulan makhluk yang secara teknis tidak hanya bekerja, melainkan juga belajar dan belajar tidak pernah kenal waktu, jadilah habis jaga malam di malam weekdays (misal, jaga Senin malam, Selasa malam, Jumat malam -- you name it, weekdays), besoknya kami beraktivitas seperti biasa. Tetap bertugas di pos masing-masing (poli, bangsal, kamar operasi, atau dimanapun). Setelah jam kerja siang selesai (atau setelah disuruh pulang oleh dokter yang kita ikuti), baru kita pulang.

Kadang ada yang cukup nekat juga ambil 2 hari jaga berturut-turut (dulu, waktu gue masih agak mudaan juga kuat ambil 2-3 hari jaga berturut-turut), tapi bisakah kamu bayangkan:
Senin pagi aktivitas biasa sampai siang
Senin sore sampai Selasa pagi jaga
Selasa pagi aktivitas biasa sampai siang
Selasa sore sampai Rabu pagi jaga
Rabu pagi aktivitas biasa sampai siang
Kemudian mati suri

Ya kurang lebih seperti itu.

Tapi tetep kalau jaga Sabtu malam, ya Minggu paginya lepas jaga, libur. Atau kalau di rumah sakit yang aktivitasnya cuma Senin-Jumat dan Sabtu dihitung libur, kalau jaga Jumat malam, ya Sabtu paginya lepas jaga, langsung libur.

Thank you for this awesome gif, Giphy!

Q: Din, ambil spesialis apa? Lo jadi spesialis bedah ya sekarang?
A:
Ini termasuk pertanyaan yang paliiiing sering ditanyakan orang.

Tidak begitu banyak yang tahu bahwa hierarki pendidikan kedokteran di Indonesia tidak sesimpel itu. Masih banyak yang mengira, kalau memang dari awal mau jadi spesialis bedah, pasti orang itu akan langsung ambil spesialis bedah. Masih juga banyak yang mengira bahwa kalau mau jadi dokter yang jago semuanya, dia ambil spesialis dokter umum. Banyak.

Respon gue tiap orang nanya "sekarang udah spesialis ya?"
Trust me, I wish I could... :")

(Thank you for this awesome gif, Buzzfeed!)

Jadi teman-temanku (atau siapapun yang membaca ini), let me tell you things.
As a doctor, you must understand human's body from head to toe.
Dokter spesialis mata enggak cuma belajar tentang mata, karena banyak penyakit mata yang merupakan hasil dari kerusakan anggota tubuh lain, misalnya orang diabetes yang penglihatannya berkurang karena kerusakan pembuluh darah yang merawat syaraf mata. Begitupun spesialis THT, kulit, dan lainnya.

Untuk menjadi dokter spesialis, seseorang harus menjadi sarjana kedokteran dulu, kemudian dia menjadi koas, lalu menjadi dokter umum, kemudian kuliah lagi ambil spesialis yang diinginkan, menjadi residen (sejenis koas, tapi spesialis), lalu baru menjadi dokter spesialis. Itu pathway-nya.
Jadi, walaupun nggak semua dokter umum akan menjadi spesialis, tapi dokter spesialis PASTI sebelumnya adalah dokter umum.

Dan nggak ada such thing seperti spesialis dokter umum.

Hehe!

Dan gue pernah menjelaskan hal seperti ini kepada teman-teman gue. Kemudian, mereka bertanya lagi...

Q: Lo kan tadinya di spesialis mata, anak, terus sekarang ke bedah, emang pindah-pindah gitu ya? Berapa lama?
A:
As explained before, karena sebagai seorang dokter harus tahu head to toe, jadilah kami memang pindah-pindah bagian. Bagian ini nama lainnya adalah stase atau rotasi. Rotasi mata, rotasi anak, rotasi bedah. Stase mata, stase anak, stase bedah. Stase ini ada yang 10 minggu (atau 9 minggu, tergantung kebijakan institusi pendidikan) dan ada yang 5 minggu (atau 4 atau 3 minggu, tergantung kebijakan institusi pendidikan). Stase yang 10 minggu kita namakan stase mayor, stase yang 5 minggu kita namakan stase minor.

Stase mayor: Penyakit dalam, kebidanan dan kandungan, anak, bedah, ilmu kesehatan masyarakat
Stase minor: Syaraf, gigi dan mulut, anestesi, mata, kulit, telinga hidung tenggorokan, forensik, radiologi, penyakit jiwa.

Nah untuk bisa ikut ujian negara khusus dokter, kita harus lulus semua bagian tersebut. Pindah-pindah deh.

Salah satu stase favorit gue: Ilmu Kesehatan Masyarakat!
Ketemu banyak pasien dengan latar belakang macem-macem,
ngeliat bahwa medical practice bisa bener-bener beda dari literatur. Everyday was full of surprise.

Q: Perasaan tiap diajak pergi susah banget jaga terus, gajinya pasti banyak...
A:
Walaupun pertanyaan ini tidak mengandung tanda tanya dan sepertinya lebih ke arah pernyataan dibandingkan pertanyaan, bomat aku tetep mau ngasi respon.

Sebagai koas yang bekerja dan belajar -- kami nggak dapet gaji. Malah harus bayar SPP ke kampus. Bobot kami lebih berat ke belajar dibandingkan ke bekerja, karena secara teknis kami masih dibimbing dan masih berlindung di belakang dokter spesialis yang menjadi guru kami. Jadi, tolong jangan menyakiti hati koas manapun dengan pertanyaan (atau pernyataan) yang berbau gaji-gaji seperti ini. HAHAHA!

Siapa hayo yang pulangnya malem tapi bukan lembur (melainkan rutinitas yang tidak bisa dinegosiasikan)?

Q: Habis lulus, berarti langsung jadi dokter-dokter yang dikirim ke daerah ya?
A:
Habis lulus, maksudnya lulus apa nih? Lulus koas? Lulus ujian negara? Lulus disumpah? HAHA
Oke, jadi habis lulus koas, kita masih harus ujian negara, namanya Ujian Kompetensi Dokter Indonesia, kerennya disingkat UKDI. Setelah melewati tes tertulis berbasis komputer dan ujian praktek OSCE, kita baru disumpah. Habis disumpah, kita internship.

Orang mengira internship itu harus ke daerah, but no. Bisa kok tetep di deket rumah atau dimanapun yang kamu mau -- mau backgroundnya city light, fireflies, mau ketemu Frambusia, Malaria, Filariasis, atau cukup mau ketemu kejang demam sederhana -- it's all on your hand. Tinggal putuskan kamu mau kemana, selama tempat yang kamu tuju masih ada slot, there you are!

Cuma untuk beberapa tempat yang populer, misalnya Bali, Jakarta, you name it, memang agak susah ya untuk apply. Senior-senior kita menyarankan kalau memang mau di tempat yang banyak di tuju, usahakan kamu sedang berada di warnet dengan kecepatan internet yang adekuat untuk bersaing dengan beratus-ratus (atau beribu?) teman sejawat doktermu yang sama-sama mau di tempat itu. Jadi kalau misalnya pingin selalu ketemu keluarga dan nggak mau LDR sama pacar, masih bisa sih.

Tempat internship is all yours to choose: Mau tiap hari bangun viewnya gunung, laut, hutan, atau wajah orang-orang terdekat?
Akhirnya, post ini harus selesai di sini.
Ya emang harus selesai sih, gue ada pre-test tapi tetap saja I choose to fill this blank space first.

Ya jadi itulah kompilasi pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan orang-orang soal fakultas kedokteran dan mengenai per-koas-an (plis jangan terpuntir ngomongnya) a.k.a kepaniteraan klinik, serta bagaimana hidup sebagai koas atau dokter muda. Semoga tulisan ini bisa memberikan insight bagi banyak orang dan kalau bisa menjadi suatu pencerahan untuk dedek-dedek gemes yang tahun ini sudah harus masuk kuliah tapi masih bingung/hilang arah/galau-galau sedap mau ambil jurusan kedokteran atau enggak.

I hope this post is not too scary for those dedek-dedek gemes yang mau masuk kedokteran.
Sumpah nggak serem kok kedokteran itu, cuma harus agak sabar kalau ritme hidupmu lebih lambat dari teman-teman sekitarmu yang ambil jurusan lain. Kalau tiap tahun tercetak ribuan dokter se-Indonesia dan mereka bisa sukses jadi dokter, you can do it too, dedek gemas!

Terima kasih sudah membaca.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Love,
Your coass writer


Ps: Jika masih tetap galau/hilang arah/menjadi butiran debu setelah membaca posting ini dan masih ingin tahu soal fakultas kedokteran (atau masih butuh diyakinkan), you can drop some comments below, simply e-mail me in nisaadina.18@gmail.com, or just hit my instagram DM on account @adinanisa. Cheers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar