Selamat siang
semuanya, semoga hari ini merupakan Jumat yang sungguh barokahnya luar biasa.
*religious mode: on*
I think my level of
blogging has reached its peak because right now I am blogging in poliklinik
kulit at midday, while my doctor (a dermatovenerologist, of course) sits just
beside me. Well… I deserve a cheer for this awesomeness.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
So where should I
start?
Orang yang sudah
bertahun-tahun baca blog gue (yes, I have been
blogging for almost 9
or 10 years?), mungkin berpikiran
bahwa blog ini merupakan kombinasi antara curhatan daily life dikombinasikan dengan trashy
poetry dan keisenganku berjalan-jalan. Well, jalan-jalan is my hobby.
Not a fancy kind of traveling, but I am pretty satisfied just to stroll around
a city (with SUCH lack of money), seeing
city lights, and taking pictures that worth a nice caption.
So, as I grow older,
I have determination to go on hiking. I have been wanted to hike since 2015.
Real hiking. To
mountains.
Using proper
equipments. Hiking shoes, not fancy sport shoes. Bringing a great carrier, not
a simple daypack while leaving all things in a hotel room. Spending night in
tent, not a simple strolling in a noon and going back to a proper bed at night.
Gue ingin merasakan wildness membakar jiwa, nyamuk dancing around, or simply
just freezing in the middle of mountain air.
But that simple
dream of mine tidak bisa terealisasi segera.
2015, gue udah di
tahun terakhir kuliah, lagi sibuk-sibuknya dan tobat-tobatnya kuliah
memperbaiki absen yang buruk rupa.
2016, gue udah mepet
tahun koas, mulai sekarang absensi diperketat dan mulai suka ada keharusan
masuk di saat weekend. Plus, di tahun ini gue sedang berada di titik nadir
perekonomian seumur hidup gue.
2017, gue udah resmi
jadi koas, mulai tahun ini, sebagian besar (oke, hampir semua) hidup gue, gue
baktikan untuk menggeser gelar S.Ked ke depan menjadi dr. Di sinilah
ketidaksinkronan hidup itu dimulai; weekdays selalu pulang malem, kalo lagi
nggak pulang malem stamina wasted, weekdays juga ikut tersita job-job koas.
Sangat susah cari waktu untuk sekedar rekreasi ke kota sebelah yang terdekat.
2018, April, gue resmi pindah ke tempat kerja baru yang jam kerjanya lebih nice. I got a proper weekend, a comfortable working hours at weekdays. Rencana naik gunung-pun sudah di depan mata. Tapi namanya naik gunung kan nggak mungkin gue sendirian, jadilah gue ngajak orang-orang. "Yuk temenin gue hiking, weekend ini – Papandayan, Gede, manapun deh yang deket," gue separo memelas saking desperate mau naik gunung. Tapi jawaban orang selalu mirip, "Din, kok baru mau naik gunung sekarang? Orang tuh udah naik turun gunung sampe jenuh, lo baru mau naik. Udah lewat masanya…"
Terakhir kali back to nature sama keluarga di tahun 2016. Sekarang kalau diajak pasti kebentur, "Yah... Aku jaga tanggal segitu..." |
2018, April, gue resmi pindah ke tempat kerja baru yang jam kerjanya lebih nice. I got a proper weekend, a comfortable working hours at weekdays. Rencana naik gunung-pun sudah di depan mata. Tapi namanya naik gunung kan nggak mungkin gue sendirian, jadilah gue ngajak orang-orang. "Yuk temenin gue hiking, weekend ini – Papandayan, Gede, manapun deh yang deket," gue separo memelas saking desperate mau naik gunung. Tapi jawaban orang selalu mirip, "Din, kok baru mau naik gunung sekarang? Orang tuh udah naik turun gunung sampe jenuh, lo baru mau naik. Udah lewat masanya…"
Kesimpulannya, gue
ini telat puber. Dah, gitu aja.
Karena
ngajak-ngajakin orang nggak berhasil, akhirnya gue bertekad kalo gini gue mau
ikut open trip aja sendirian. Nggak papa deh ber-awkward
awkward ria dahulu dengan strangers, tidur setenda sedempetnya dengan
strangers, mungkin pulang-pulang bisa tambah kenalan dan relasi. Begitu niat
impulsif gue sudah membakar 200% jiwa, tiba-tiba temen seperjuangan,
sepermotoran, dan sekamar kosan (I KID YOU NOT) bilang, "Yuk gue ikut" (Ayla was there in my Leuwi Hejo post: click )
I miss my old adventurous days... |
So I ended up
choosing an open trip to Papandayan, setelah meminta advis sana-sini mengenai
"Hm, baiknya gue naik gunung apa ya yang cucok buat entry level". Ketika gue bilang Gunung
Gede, katanya "Ya bagus sih, tapi mending jangan, agak curam-curam".
Ketika gue bilang Gunung Salak, katanya "Nanti lo ilang". Jadilah
mayoritas suara menyarankan gue naik ke Papandayan saja dan menganjurkan gue
untuk beli equipment yang perlu. Hiking shoes
itu wajib kalo enggak mau terpleset, terpelanting, kaki lecet, dan menyusahkan
khalayak serombongan.
Tanggal 13 Juli
malam, gue sama Ayla tergopoh-gopoh memesan gojek sambil bawa carrier untuk
ketemu di Kampung Rambutan. Iya, carrier yang baru dikemas 1 jam sebelum
keberangkatan, karena hari itu begitu hecticnya
sampe kita baru sempet packing sesaat sebelum magrib. Jalanan Jumat malem plus
rush hour, plus jok abang-abang gojek
yang tersita carrier 55 liter yang nemplok dan narik-narik pundak gue, nikmat
sekali rasanya. Sesampainya di Kampung Rambutan, dengan kemampuan navigasi yang
jelek, akhirnya kita bisa menemukan rombongan open trip. Senyum,
salaman-salaman, memperkenalkan diri sambil nuhun-nuhun minta bantuan selama
trip berlangsung, terus duduk. Yes, I know it
was gonna be awkward.
Jam 10 malam, diri
gue ada di jok tengah bis malam ke Garut dengan dangdut koplo mewarnai
perjalanan. Di sepanjang jalan, gue bisa merasakan badan dengan ekstrim
tertarik ke kanan dan ke kiri, tapi ya memang itu sensasi naik bis malam antarkota antarprovinsi so I simply
accepted that dan cuma berharap bahwa I would make it up alive. Jam 4 pagi, gue
tiba di sebuah pom bensin di Garut, dikomando untuk turun bis oleh panitia
–untuk kemudian switch kendaraan berupa mobil pick-up dan beberapa mobil
pribadi jenis APV.
Jam 5 pagi, gue
mendapati diri gue ada di belakang mobil pick-up yang terus menanjak menapaki
jalan pegunungan dan gue bisa lihat lampu-lampu kota Garut dari ketinggian,
semakin memudar ditelan kabut dan jarak. Pipi gue kebas kedinginan tapi gue
puas. Puas – I woke up in a different
city and an adventure was about to come. My epinephrine was rushing out in my
blood. "I should do this often,"
pikir gue.
Jam 8 pagi, gue
mendapati diri gue sudah berada di entrance
Taman Nasional Gunung Papandayan, mencuci muka dengan air yang sebeku itu rasanya, dan duduk melihat
termometer menunjukan suhu 14oC,
bahkan di hari yang cerah.
Jam 9 pagi, gue dan
rombongan berdoa bersama dan mulai start pendakian.
Well,
As a newbie for this
kind of sport, gue melihat gunung dengan pelanga-pelongo norak. Se-amazing itu landscape Papandayan, dengan
beberapa bagian berwarna hijau subur dan beberapa bagian berwarna putih
berpasir.
Sebagaimana reputasi
gunung "beginner level", jalan Papandayan sangat friendly terhadap
para hikers karena sudah ada path-nya, kecuraman nanjaknya-pun masih bisa
ditolelir oleh jiwa-jiwa yang ngaku dokter tapi minim olahraga (baca: GUE).
Sekitar 1 jam trekking, kita sampai ke dekat kawah. Beberapa anggota open trip
izin melanjutkan perjalanan ke basecamp dan gue termasuk yang penasaran ingin
lanjut ke Kawah.
Tanjakan demi
tanjakan, lagu-lagu Payung Teduh berganti Killing Me Inside berganti lagi
dengan berbagai jenis genre lainnya, mulai dari pemandangan clear sampe
berkabut, akhirnya kaki amatir gue berhasil mencapai Pondok Saladah, dearest
basecamp of ours, where we're gonna hit the sack tonight.
Siang sampai sore,
dihabiskan dengan bercengkrama dengan anggota-anggota PENMAS. Games,
doorprizes, and (SUPRISINGLY DESCENT AND
DELICIOUS) lunch were done and given.
(Dengan post ini, gue turut mengucapkan terima kasih
pada segenap panitia PENMAS untuk masakan gunung yang sangat enak. Tidak pernah
kulupa rasa tumis tahu buncis, tempe orek, telor balado, ayam goreng, nasi
liwet, kangkung, nasi goreng, ikan asin, dan sambel yang bener-bener wahgelaseh luar biasa enak!)
Sore menjelang
malam, kita berkelana di sekitar Pondok Saladah and found some edelweiss bushes
in an open wide space.
Night came and the
fire was set in the middle of the field. Stories told, laughters up, and cups
of coffee spent – mulai dari perkenalan superfisial hingga obrolan profunda
seputar kenapa menghabiskan banyak waktu (dan weekend) di gunung. Night was
getting late and I got so drunken in the stories I could barely open my eyes (sorry, my eyes were so amateur starting at 8 pm!).
Akhirnya jam 9 tongkrongan bubar dan gue langsung masuk ke tenda,
mencemplungkan diri dalam sleeping bag karena DEMI
APAPUN JUGA DINGIN BANGET. Gue bahkan tidur dengan menggunakan slayer
saking dinginnya dan takut bangun-bangun gue kena Bell's Palsy. Tengah malam,
gue mendapati gigi temen-temen setenda gue gemerutukan dan badan-badan
menggigil, tapi nggak ada yang bisa dibangunin. Salah satu teman gue bahkan
pake sleeping bag lapis foil saking dinginnya malam itu.
Mulai dari jam 3,
suhu sudah mulai menghangat dan di jam 5.20 beberapa dari kami cao ke Hutan
Mati. Iya, spot andalan Papandayan itu yang katanya instagrammable. Gue
bergegas ke Hutan Mati untuk melawan dingin (yes,
I need to move to keep the heat) dan karena iming-iming "di ujung Hutan Mati ada sinyal loh!".
Yes, after all this time, gue masih menjadi tipikal manusia kota yang nggak
bisa hidup away dari sinyal. Gue butuh sinyal sekali pagi itu dan keberadaan
sinyal sounds so tempting walaupun untuk itu gue harus berdiri di ujung jurang
di Hutan Mati.
Setelah menikmati
pesona Hutan Mati dan berdiri sekitar setengah jam di antara Hutan Mati dengan
jurang demi mencari sinyal (NAMUN SINYAL TETAP TIDAK MUNCUL JUGA SECARA
ADEKUAT, THANKS TO MY CELLPHONE OPERATOR), akhirnya beberapa dari kami ada yang
melanjutkan perjalanan menuju point tertinggi di Papandayan, yakni Tegal Alun,
dan ada yang kembali ke camp. Karena gue adalah golongan orang yang akan ikut kemana saja ketika sudah traveling, maka gue memutuskan untuk ikut ke Tegal Alun
walau sudah diwanti-wanti bisa bikin soak dengkul.
15 menit mendaki,
napas gue mulai kayak orang asma disuruh berenang 3 km di laut bebas. 30 menit
mendaki, napas udah stabil tapi trek makin vertikal. 40 mendaki, yang ada di pikiran gue cuma Tegal Alun tanpa mikir dengkul soak lagi.
1 jam pendakian ke Tegal Alun dengan sibuk mewanti-wanti diri "jangan liat ke belakang, jangan liat ke bawah" karena trek cukup menanjak dan cukup curam untuk gue yang newbie, akhirnya Tegal Alun menampakan dirinya dengan malu, dari balik ranting-ranting dan semak. Sinar matahari jatuh bebas, hangat, membuat gradasi kuning-oranye pada hamparan semak Edelweiss yang luas. Papandayan, rumah abadi untuk bunga abadi…
1 jam pendakian ke Tegal Alun dengan sibuk mewanti-wanti diri "jangan liat ke belakang, jangan liat ke bawah" karena trek cukup menanjak dan cukup curam untuk gue yang newbie, akhirnya Tegal Alun menampakan dirinya dengan malu, dari balik ranting-ranting dan semak. Sinar matahari jatuh bebas, hangat, membuat gradasi kuning-oranye pada hamparan semak Edelweiss yang luas. Papandayan, rumah abadi untuk bunga abadi…
The wind blown my face – not that freezing kind of wind, but warmer – because you were kissed by both the cold mountain air and the warm ray of sunlight at the same time. I took a lap on the bushes, facing mountains, and closed my eyes, enjoying my time being embraced both of the warmth and the cold.
Setelah beberapa jam
menikmati terpaan angin dan kehangatan di Tegal Alun, akhirnya tiba saat
berpijak balik ke bumi. Senyum-senyum itu mulai lamur dari wajah ketika gue
inget trek menanjak tadi harus gue tempuh ulang untuk turun. Walhasil
setelahnya gue pasrah aja merosot-rosot akibat dengkul udah mulai soak.
Singkat cerita, gue
berhasil kembali mencapai basecamp dengan dengkul yang cukup menjerit meminta
belas kasihan (pardon my weakness), bersih-bersih, dan bersiap menggendong
carrier keluar tenda. My last meal up there was nasi liwet dengan tumis
kangkung, tempe, ikan asin, dan sambel yang amazingly tasted like 5-stars
dishes. Omg I would definitely eat and drink coffee again on the mountain.
Setelah kenyang makan liwetan, gue membopong carrier pulang, melintasi Hutan Mati sekali lagi untuk menuruni tangga di sisi kawah. It was a never-ending staircase but the views were so breathtaking. The echoes of complaint from my feet were nothing compared to this kind of megap-megap feeling I had in my heart as the signals popped chaotically in my neocortex of brain, shouting that "YOU SHOULD GO HIKE AGAIN!"
The greatest coffee I ever had in my life. Would to this again someday! |
Setelah kenyang makan liwetan, gue membopong carrier pulang, melintasi Hutan Mati sekali lagi untuk menuruni tangga di sisi kawah. It was a never-ending staircase but the views were so breathtaking. The echoes of complaint from my feet were nothing compared to this kind of megap-megap feeling I had in my heart as the signals popped chaotically in my neocortex of brain, shouting that "YOU SHOULD GO HIKE AGAIN!"
Sampai di gerbang
penanjakan, gue dihantam sedikit rasa kehilangan – kehilangan hawa dingin,
kehilangan pemandangan, kehilangan waktu-waktu dimana gue dipenuhi excitement.
But I know I am going home and bringing things with me, selain baju kotor dan
sepatu dekil, yakni
Bunch of new friends
.
Curiosity fulfilled
.
Some people who miss
me (right in my cellphone!)
.
And one feeling (or belief, if you want it to be
cheesy) that I would definitely wake up on the mountain again, or that I would
start chasing great summits for life.
Well, who knows?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah mengarungi
pedalaman Garut dengan mobil bak (we were not
allowed to take the main road, because it was illegal to ride mobil bak
when we have angkot) selama 2,5 jam (?) dan menempuh berjam-jam kemacetan dan
end up pulang melalui tol Cipularang, gue kembali mencium kasur di kota Jakarta
pukul setengah 2 pagi. 4 jam lagi gue harus bersiap masuk dan hadir di
rutinitas yang biasa, but I was not complaining. I was fulfilled. I was whole.
Dan tidak peduli seketinggalan jaman apapun gue, I would hike again. I don't
care if it's a one-hit wonder feeling or a one-shot romance, I was in love –
and I am gonna go for it.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Senin itu, jam 6
pagi, gue mengawali hari dengan segelas kopi dan memasukan uang ke celengan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Love,
Your (co-ass) writer
PS:
- All pictures were taken with an Xiaomi Redmi 3, plus some enhancement from VSCO.
- Here I also thank all people in PENMAS JILID 2 (Pendekatan Massal Jilid 2 – not Pendakian Massal) and theatreadventure, I hope we'll have some session again someday (or maybe just bump to each other on the street)!
PS:
- All pictures were taken with an Xiaomi Redmi 3, plus some enhancement from VSCO.
- Here I also thank all people in PENMAS JILID 2 (Pendekatan Massal Jilid 2 – not Pendakian Massal) and theatreadventure, I hope we'll have some session again someday (or maybe just bump to each other on the street)!
Coba mainkan yang di Jawa tengah. Jawa barat more Expensive than central.
BalasHapus