For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Jumat, 14 September 2018

Java's Dearest Rain Forest: Pangrango

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!

Selamat siang semuanya –  Selamat hari kejepit nasional bagi khalayak yang menunaikan dan selamat beraktivitas selayaknya hari Senin bagi yang tidak merayakan. Teruntuk koas yang sedang rotasi di stase-stase besar, selamat berjaga malam dan selamat jaga libur besok...

*menyayat hati para koas : project done*

Hari ini, gue termasuk kaum yang sedang merayakan ibadah libur – bukan dalam rangka harpitnas, tapi dalam rangka dapet libur seminggu dari perkoasan (oke, jangan salah baca). Akhirnya setelah terpaan stase-stase besar di tahun lalu (dimana jaga malam dan jaga libur sudah menjadi makanan sehari-hari), gue memasuki fase-fase stase kecil, seperti forensik dan radiologi, yang rotasinya nanggung cuma 3 minggu, sehingga memungkinkan koas fana sepertiku mendapat sempilan hari libur.

Yang kusayangkan cuma kenapa ada hari libur nasional di tengah-tengah minggu liburku – kenapa tidak di minggu depan saja saat aku sudah masuk stase agar aku dapat additional holiday. Lol.

So, right now, I am sitting on a chair quite far from Indonesia, with sore hands, back, and feet, sleepy as hell, but just because I have this fire on heart to tell things around, I keep sitting and typing. I just got back from a mountain (yes, a mountain, kid you not) pasca menunaikan ibadah rekreasi dan hiking. Hm, where should I start?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

It was just in July when I started to hike mountains. Bisa dibilang pendakian pertama gue tidak buruk, malah cenderung menyenangkan, menambah teman, minim sore legs dan injured anatomies, dan setiap hari setelah pulang, gue selalu ada semacem dorongan untuk "kapan ya gue bangun di atas gunung lagi". Maka dari itulah sepulang dari gunung, gue selalu menyempatkan menabung sepeser demi sepeser, menghindari mengambil uang yang sudah ditabung hanya untuk keperluan perintilan khas cewek, dan melakukan riset dan semacam pembulatan determinasi mau ke gunung mana aja.

Make it short, akhirnya gue memiliki niat untuk menyelesaikan beberapa gunung di Jawa. So the previous hiking brought me to 2665 m.a.s.l, which was really kind to my feet. Setelah menempuh angka 2000-an m.d.p.l, gue merasa sepertinya harus mulai mengenal yang 3000-an m.d.p.l. Setelah melakukan research, keputusan gue jatuh pada gunung Gede atau Pangrango – yang berujung pada gue memilih Pangrango. Pilihan jatuh ke Pangrango karena menurut beberapa referensi katanya banyak pemandangan sepanjang jalan, misalnya Telaga Biru, Hot Spring, dan beberapa air terjun. Gue tidak mendapatkan banyak deskripsi soal pemandangan Gede (terkecuali untuk Eidelweiss-nya, dimana Pangrango juga punya Eidelweiss di Mandalawangi), jadi begitulah asasku dalam memilih gunung kali ini. Jalur pendakian yang dipilih adalah melalui Cibodas.

Gue kembali mendaftar open trip dengan teman sehidup semati sepergunungan, Ayla, dan tidak lupa bersama 2 rekan kami yang berjenis kelamin pria. Intinya kita berempat, masuk ke dalam grup open trip, yang ternyata kali ini setelah ditotal, cuma berjumlah 8 orang termasuk kita dan guide-nya. Agak kontras dengan Pendekatan Massal ke Papandayan tempo hari dimana pesertanya sampai 30 orang (well, I kid you not), tapi yasudah kita jalani saja.

Gue akui, kepergian gue yang sekarang agak ugal-ugalan; gue sedang sibuk mengakhiri masa magang di rumah sakit yang sekarang gue tempati, sehingga gue harus pak-pak barang dari kosan, ujian akhir, plus masih jaga-jaga malam karena stase gue mewajibkan jaga malam (well, a hardcore ENT department, of course!), ditambah lagi kepergian gue ke gunung ini bersambung dengan kepergian gue selanjutnya bersama keluarga ke sebuah negara tetangga. Fix, turun gunung pegel-pegel, langsung lari ke bandara untuk kejar pesawat.

A sneak peak for the next post?

Jadi, bukannya rutinin lari dan latihan fisik lainnya, yang ada gue modar karena tiap hari harus berurusan dengan berkendara PP dari tempat tinggal sementara yang lebih jauh ke rumah sakit (because I can't afford kosan for longer) dan stuck di kemacetan ibukota. Setiap hari kerjaku cuma malas-malasan dan H-1 naik gunung, gue jaga malam pula. Sungguh daebak dan reckless.

Jadilah hari Jumat sore, dengan penuh ketetapan hati dan segala sisa energi yang gue punya (post jaga malem juga), gue berangkat nyetir motor sendiri dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur, ke Kampung Rambutan – hulu dari segala open trip. Karena cuma 8 orang peserta, menunggu tidak perlu waktu lama sehingga dalam 1 jam, kita udah cao. Btw, rombongan ini minim peserta cantik, alias cuma ada 2 orang perempuan saja. Well...

Terkantuk dan termolor se 2018 – tidak butuh waktu lama hingga bis sampai di Ciawi jam setengah 12 malam. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkot sampai ke sekitar Taman Nasional Gede Pangrango, dan kita sampai sekitar jam setengah 2 pagi. Setelahnya tentu saja makan lalu tidur, yang berkontribusi pada penambahan berat badanku. Jam 5 pagi, kami semua mulai menembus dinginnya hawa pagi pegunungan, menuju kegelapan hutan Taman Nasional Gede Pangrango.


Dari hasil perabaan kaki dan headlamp, trek awal berbatu (tipe batu kali yang tersusun asal) di antara tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh rapat. Trek berbentuk tangga dan terus menanjak, sehingga untuk makhluk jelata yang tidak berolahraga terlebih dulu sepertiku ya cukup bikin ngos-ngosan. Sekitar jam 6 pagi, matahari mulai naik dan trek mulai terlihat. Rombongan lain mulai terlihat bergerombol, rupanya mengerumuni salah satu atraksi di sepanjang trek pendakian: Telaga Biru.


 Perjalanan lanjut sampai akhirnya jalanan setapak berbatu berubah menjadi geladak panjang yang menurut gue, extra indahnya (karena selain mendatar, view-nya juga bagus sekali).  Siluet gunung Pangrango berdiri gagah di kejauhan.


Setelah melewati geladak (atau apa ya istilahnya?) kita kembali masuk ke dalam rimbunnya hutan dan diterpa trek tangga berbatu yang terus menanjak without mercy. Tapi karena masih stamina awal, nggak banyak keluh kesah yang keluar.  Sepanjang jalan banyak vegetasi unik yang membuat pendaki yang lewat sedikit terdistraksi dari trek yang terus menerus menanjak.


Setelah 4 jam dihantam jalan menanjak dan vegetasi rapat khas hutan hujan yang akhirnya membuat kita agak letih, akhirnya terdengar suara air terjun di kejauhan dan mulai ada plang tulisan "hati-hati jalanan licin". Kita disambut hot spring, jadi modelannya kayak air terjun berisi air panas, yang harus kita lintasi dengan tali. Btw, sisi sebelahnya langsung menuju ke jurang dan trek masih batu-batuan yang tersusun lebih longgar (jadi harus semi lompat-lompat dari satu batu ke batu lain, di pinggir jurang – well ok).


Gue akui, perjalanan dari Telaga Biru sampai ke Hot Spring ini cukup menyiksa batin karena rasanya lama banget, trek nanjak dengan ribuan tangga batu (? Oke hiperbolis), dan juga pemandangan di kanan kiri terlalu seragam. Di hot spring, agak emosi jiwa juga karena tali yang dikhususkan buat berpegangan malah ngelondoy nggak karuan, nggak kenceng, sehingga sulit dijadiin pegangan juga.

Karena batu-batu di hot spring cenderung tersusun menanjak, maka ada rasa sedikit aman. Gak lama setelah hot spring – ya kira-kira 10 menit dengan kecepatan jalan gue, dan 5 menit dengan kecepatan jalan orang yang sudah pernah hiking, kita melewati Kandang Batu. Tempatnya luas, jalannya rata dan lempeng, kadang orang suka berkemah disini juga. Tapi destinasi berkemah kita adalah di Kandang Badak, so the show must go on.



Setelah dimanjakan trek sekitar Kandang Batu yang tidak begitu menyiksa, akhirnya realita kembali datang. Batu-batu yang semakin asimetris tapi terus membuat trek menanjak kembali berdatangan. Di beberapa tempat, memanjat is necessary thing to do, karena trek mulai kombinasi dengan akar dan tanah yang gap-nya tinggi-tinggi. Langit mulai gelap, rintik gerimis mulai turun. Tapi, there is always a blessing in disguise, kita masih disuguhkan pemandangan air terjun di sisi jalan dan sejenak feeling okay with anything.


Langit muram dan gerimis turun, tapi gak ada satupun yang buka ponco. Untungnya, gak lama kemudian, kita sampai ke basecamp Kandang Badak. Ternyata weekend kemaren basecamp bisa jadi serame itu. Tapi kalau memang masih mau blusukan ke ujung-ujung, masih cukup tempat kosong untuk mendirikan tenda. Di se-antero basecamp, hanya ada 2 tukang jualan kopi, gorengan, dan pop mie, kontras dengan pendakian gue sebelumnya dimana banyak warung-warung. Ini pun bentuknya bukan warung, tapi abangnya berkemah di tenda dan dagangannya diemper di luar tendanya. Satu hal yang gue salut, abang-abang ini cukup telaten dengan sampah-sampah mereka. Sampah-sampah bekas pop mie dan bekas ngopi orang bener-bener ditiris dengan baik dan dikumpul sampe nggak bersisa di sekeliling.


Hujan berhenti, gelap pun datang. Akhirnya malam tiba. I was feeling all sore terutama di daerah selangkangan (idk why I always felt troubled there whenever I took the long road, betis dan dengkul malah fine-fine aja). Masakan gunung malam itu adalah ayam goreng, tempe goreng, dan pecel. Gue selalu suka masakan apapun di atas gunung. Rasanya jadi 1000000x lebih enak. Ritual ngopi di gunung-pun kembali gue laksanakan, rasa kopinya-pun naik kualitas. Surprisingly, malam di Pangrango setelah siang-sore yang berhujan tidak sedingin itu. Tidur malam bisa dilakukan comfortably karena suhu tidak terlalu dingin. Malam itu cerah – bintang bertaburan di langit,  I could even see the reddish Mars. Menurut berita, banyak benda langit bisa terlihat di bulan September ini, contohnya Mars. Tidak gue abadikan karena gue ngeliat bintang waktu gue perjalanan ke WC.

Jam 3 pagi, gue terbangun dengan perasaan (dan selangkangan) yang terasa lebih baik karena menggunakan berton-ton balsem (oke, hiperbolis lagi) dan siap-siap untuk summit. Menurut itinerary, summit butuh waktu 2 jam dari tempat berkemah ini.

Di awal perjalanan, kanan kiri terasa sangat gelap. Jalanan banyak terhalang batang pohon yang mengharuskan kita menunduk, memanjat, bahkan tiarap dalam gelap. Medan dibentuk tanah dan akar. Gue mulai bisa mendengar anggota kelompok gue lainnya (yang terdiri dari pria-pria yang lebih tua dan lebih berpengalaman naik gunung) bergumam. "wah medannya fisik banget sih ini". Di detik-detik gue harus pasang banyak pose dan kuda-kuda untuk meneruskan perjalanan, gue selalu berpikir adalah sebuah kesalahan besar pergi ke gunung tanpa latihan fisik dan proper stretching. I was not in my best physical state – dan sekarang, it's too late to go back.

Jam 4, jam 5, jam 6, waktu berlalu – kemudian matahari terbit dan mulailah gue melihat medan yang gue lewati dengan penuh kesadaran. Medan akar, tanah, celah sempit di antara tanah, batang pohon besar dan kecil melintang, tanjakan yang harus dipanjat, sekarang terlihat lebih nyata. Waktu gelap tadi gue halu aja main hantem, panjat, merunduk, melompat tanpa bener-bener ngeh di depan gue sebenernya ada apa. Tapi, ketika matahari terbit, well the fact was kinda mocking me, "Rasain lo nggak olahraga dulu sebelum naik gunung!". Well, I made mistakes…


Celah sempit sekali boskuuuu!
Jam 6 pagi, gue masih 3/4 jalan menuju puncak Pangrango sementara matahari sudah cukup tinggi dan terang. Dari jauh, terlihat siluet Gede dan asap dari kawahnya, di kelilingi awan-awan. Kata beberapa orang, Gede dan Pangrango umumnya merupakan gunung muram yang lebih sering diselimuti kabut daripada dikelilingi awan. Tapi hari itu, awan bertengger cantik di sekitar gunung Gede. I felt mesmerized, I felt small.


Jam 7 pagi, akhirnya gue mencapai puncak Pangrango di ketinggian 3019 m.d.p.l – 3000-an m.d.p.l pertama yang gue lakukan tanpa banyak persiapan fisik dan membuat gue sangat menyesal karena sepanjang jalan terganggu oleh kaki yang nyerinya khan maen. 3000-an m.d.p.l yang syahdu, dengan sinar matahari adekuat dan awan-awan yang tenang berarak memberikan feel negeri di atas awan. Gunung Gede di kejauhan terlihat lebih tandus dengan kepulan asap dari kawahnya. Dengan mesra gue memeluk tiang bertuliskan Puncak Pangrango 3019 m.d.p.l, setengah meratapi bagaimana cara gue turun dari ketinggian 3019 m.d.p.l ini.


Tidak lama setelah scene negeri di atas awan, keadaan berubah menjadi berkabut dan sinar matahari serta syahdunya awan pergi entah kemana. Akhirnya, setelah itu kita pergi ke Mandalawangi, Tegal Alun-nya Gunung Pangrango yang dipenuhi dengan bunga abadi Eidelweiss. Sampai di Mandalawangi, yang terlihat adalah hamparan Eidelweiss yang tertutup kabut cukup tebal dan diterpa angin kencang yang rasanya cukup freezing. Gigi gue gemeretak diterpa kabut dingin. 20 menit saja di Mandalawangi, akhirnya kita turun gunung melalui trek yang sama dengan trek kita summit.



Setelah pendakian gunung kedua kalinya, gue baru menyadari bahwa mungkin datang tidak sesulit pulang dan menanjak tidak sesukar turun – mungkin melawan gravitasi tidak sesulit menurutinya. Turun dari puncak, kita kembali disambut akar dan tanah, sekarang bercampur dengan hujan, dan tanah jadi liat dan becek. Gue mulai mengandalkan kemampuan leluhur – bergelayut, berjalan dengan 4 ekstremitas, pokoknya semua kaki tangan kerja untuk membopong diri balik dari ketinggian 3019 m.d.p.l. Gue bisa liat mereka yang udah pro berlomba-lomba lari dari puncak dan segampang itu turun (kayak tinggal merosot aja effortlessly) sementara aku si anak newbie culun masih "eh kalo nginjek ini  jatoh nggak ya", "eh dahannya patah", "eh kepleset", "eh dengkul soak" dan segala kata hati lainnya yang tidak usah kuungkapkan agar tidak terlihat cemen. Walhasil, kayaknya waktu summit dan turun gue gak beda-beda jauh amat.

Tapi ternyata pulang dari puncak ke basecamp, masih kalah perjuangannya dibandingkan pulang dari basecamp ke dasar.  Di perjalanan pulang, kaki gue luka-luka karena sepatu mungkin ukurannya pas sehingga ujung-ujung jari terlalu tertekan ke sepatu saat turun dan ketika gue ganti sendal, jari-jari gue malah kehantem batu-batu yang ada, plus kaki kiri gue agak keseleo karena hiperekstensi pergelangan kaki. Tungkai kanan udah geter-geter gak jelas karena fatigue, kaget karena jalanan turun terus. Ya gitu deh, naik salah turun salah – pemandangan yang indah jadi nggak kewiri akibat kaki udah sakit dan panik karena pas azan magrib gue masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, masih di jalan turun. Walhasil, naik ke basecamp butuh waktu 7 jam, turun pun butuh waktu 6 jam. Sama aja lamanya…

Oke.
Jadi, moral of this post yang sangat ingin aku tuturkan pada khalayak ramai adalah:
  1. Always do extensive research about the mountain. Beberapa orang suka hutan hujan tropis yang lebat, dimana pegunungannya sedang 'tidur' atau tidak aktif lagi, tapi perjalanan ini menyadarkan gue bahwa gue lebih prefer gunung aktif yang berpasir dan gue cukup mendamba savanna gersang.
  2. Jangan lupa tanya sebanyak mungkin opini orang yang pernah ke gunung tersebut. Jangan opini tunggal. Akan ada perbedaan opini di antara orang-orang, yang dari orok udah ke gunung, akan bilang "trek gampang, cenderung bosenin" dan yang baru jajal naik gunung akan bilang "wah bersahabat sih treknya tapi tetep aja sulit, cuman worth it kok". Kumpulkan sebanyak mungkin opini.
  3. SELALU DAN SELALU LATIHAN FISIK SEBELUM NAIK. Ini jadi pelajaran buat gue banget, karena akibat minim latihan fisik, chance cedera lebih banyak, stamina turun, plus nyusahin orang, dan jadi nggak enjoy sama pengalaman yang satu ini. Padahal Pangrango cantik juga loh kalo diliat-liat.
  4. Kalo beli sepatu gunung, jangan terlalu ngepas. In this case kaki gue ukuran 36,5 tapi sepatu gue 37, dan masih tergolong ngepas. RIP ujung-ujung jari kaki gue waktu turun gunung.
  5. Istirahat dan jangan maksain. Kalo misalnya kaki udah fatigue, geter-geter gak jelas, duduk. Karena kalo kaki udah kram, pikiran jadi kemana-mana, nggak konsen sama trek, dan jadi ngelantur. Faktor ini yang bikin entah celaka atau nyasar (hampir ngalamin soalnya, thank God I have my own savior).
  6. Bawa P3K yang lengkap. Counterpain or any given koyo is a must.

Jadi, sebelum akhirnya aku bikin novel mengenai Perjalananku ke Pangrango, I think we better finish this now for good – because this post is already long enough!
To make it short, gue nggak kapok naik gunung karena pendakian ini dan pendakian kedua gue ke Pangrango ini sure contains lessons and a lot of reminders for me.

Misty

Selanjutnya, kemana lagi ya –
Prau, Merbabu, Semeru?
Well, we'll see!

I hope this post is useful, have a great day everyone.
Love,
Your co-ass writer.

1 komentar:

  1. And remember, the goal is not the summit, but to get back home safely ;)

    Hope you have a smoother trip on your next mountain, and keep writing !

    BalasHapus