For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Sabtu, 22 September 2018

Ancient Part of Malaysia: Malacca or Melaka

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!

Halo, selamat sore semuanya.

Jadi, tulisan ini dibuat di sebuah Sabtu malam (yang kemudian diteruskan ke Minggu malam – dan kemalam-malam lainnya jika sibuk) yang sebenarnya cukup spesial dan tidak biasa, karena gue sedang berada di sebuah kota yang berbeda – lebih konvensional dan minim streelight, tapi tetap sebuah kota – dimana setiap waktunya azan berkumandang, pasti surau-surau akan saling sahut menyahut menyambut waktu solat. Selain merupakan ibukota Provinsi Banten, kota ini mengklaim dirinya bertakwa. Guess where?

Yup! This city has this 'old town' vibes, too!

Jadi, hari-hari Jakarta gue sudah resmi berakhir dan it was great to be in the heart of the town. I miss the crowds, the traffics (I mean it), and the streetlights, and everything happened in between. I miss how it never sleeps, how it erases loneliness at some points. Gue akan nomaden sampai akhir tahun, sampai akhirnya ko-as gue selesai, dan Serang adalah salah satunya. Kembali ke pangkuan Serang, setiap hari rasanya penuh debaran. Dulu waktu stase kebidanan dan kandungan, gue selalu deg-degan kalo harus masuk ruang operasi. Sekarang, setiap malam gue selalu deg-degan takut dapet mayat. Yup, forensic life is coming – and it's nothing like CSI.

Sebelum masuk ke stase forensik, akhirnya gue punya seminggu off yang sudah lama nggak muncul di dunia perkoas-an gue. Liburan seminggu ini gue manfaatkan untuk sambung libur dari pegunungan (Pangrango) ke negeri tetangga. Turun gunung dini hari di hari Senin dengan kedua kaki udah nggak berasa dan 4 jam kemudian kembali brisk walking di bandara untuk ngejar penerbangan…

Yes, Malaysia – with ankles sprained and bruises that appeared out of nowhere on thighs that I couldn't feel my legs. Shall we start?
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

I am a sucker for a holiday abroad. I never deal with VISA and my passport is outstandingly empty. The last time me being abroad was Mecca and Medina back in 2016. Setelah itu, ko-as life menghantam dengan kecepatan dan intensitas tinggi sehingga saya bahkan tidak tahu lagi apa arti kata vakansi.

Last time being abroad?

Singkatnya, setelah satu tahun nggak punya liburan yang utuh, bala bantuan datang dari keluarga yang waktu itu ada perlu ke Malaysia dan sekalian lah saya yang fakir liburan ini diboyong ke Malaysia. Tidak banyak babibu, dari lounge bandara sampai landing di Malaysia, gue separo menyeret jiwa yang sama beratnya dengan mata, dan bersikap seperti karung beras di bagian belakang mobil pick up – alias tidur, tidur, dan tidur hingga tiba-tiba udah sampai Malaysia. Siang itu, Kuala Lumpur Airport nampak so-so, tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi, namun jalanan lengang sekali karena selain berdekatan dengan tahun baru Islam, ternyata vakansi gue mepet (atau jatuh pada?) hari ulang tahun Yang Dipertuan Agong Malaysia.

"So, I think you make great decision if you plan to visit Kuala Lumpur, because everyone is in holiday and the city must not be crowded!," kata bapak Grab.

"Well, no Kuala Lumpur plan. Actually we're going to… Malacca? The next day," gue membalas dengan English khas Dina milikku seorang (well, if you meet me every day, you'll know how it sounds like)

"No Malacca, noooo… It must be lots of traffic jams around there since it's holiday!," kata bapak Grab lagi sambil geleng-geleng.

Memikirkan macet di Malaysia sama sekali tidak membuat ngeri, karena dalam hidup gue, rekor pengalaman termacet masih dipegang oleh macet di Cisarua sepulang gue naik gunung Pangrango kemarin. Bayangkan, jarak yang tidak terlalu jauh yang harusnya bisa ditempuh dalam 30-45 menit jadi 2 jam – hampir 3 jam, dengan posisi kemacetan yang bener-bener berhenti dan beberapa personil diungkep dalam angkot, berdesakan bersama tumpukan carrier. Kemacetan ibukota (dan daerah lainnya di Indonesia) meningkatkan threshold penerimaan gue terhadap kemacetan di tempat lain, so Malacca, it's okay for me to have some traffic jams. I can endure that.

Esok harinya, gue pergi ke Malaka yang berjarak sekitar 130-an km dari tempat gue tinggal, yaitu Cyberjaya. Jalan tol yang membentang memungkinkan perjalanan ditempuh dalam waktu 1 jam 45 menit dengan kecepatan yang sedang-sedang saja. Malaka adalah sebuah negara bagian (state) di Malaysia yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Malaka itu luas, masih dibagi atas Alor Gajah, Malaka Tengah, dan Jasin. Daerah kecil yang isinya peninggalan penjajahan Portugis namanya Bandar Malaka, adanya di Malaka Tengah. This post is gonna surround Bandar Malaka as the writer was too broke to afford any further trip… Lol.

Bandar Malaka termasuk dalam UNESCO World Heritage Site sejak tahun 2008 berkat keantikannya. Bandar Malaka yang antik ini sangat cucok ditelusuri dengan berjalan kaki (gue akan jalan kaki ke SELURUH kota kecil ini jika kaki tidak cedera) karena memang setiap sudutnya bikin penasaran – selain keantikannya, dinding-dinding bangunan di Bandar Malaka penuh dengan mural.

Well, shall I let you judge by pictures only?

Red Square, Jalan Gereja
Ketika melintasi jantung Bandar Malaka atau lebih elok dipanggil 'kota' Melaka, kumpulan bangunan antik berwarna merah ini pasti kelihatan dan menarik minat buat turun ke jalan (kecuali kalo lo tidur kayak karung beras) karena warnanya merah. Kumpulan bangunan antik ini didirikan kisaran tahun 1700-an hingga 1900-an oleh Portugis, dan nama keseluruhan kompleks ini adalah Red Square. Red – sesuai penampakannya.

Awalnya, gue kira sekumpulan bangunan antik ini adalah Stadthuys, tapi ternyata salah! Stadthuys merupakan nama salah satu bangunan di sini yang dulunya adalah city hall atau balai kota dan sekarang beroperasi sebagai History and Ethnography museum. Di samping Stadthuys, masih dengan cat berwarna merah, ada gereja Christ Church, dan disamping Christ Church ada Balai Seni Melaka berdampingan dengan Youth Museum. Di depan Christ Church ada air mancur yang ternyata punya nama – Queen Victoria's fountain, dan jam merah yang menjulang tinggi di depannya adalah menara jam Tan Beng Siew – yang setelah gue cari melalui extensive research adalah seorang milioner Cina yang tinggal di Malaka yang bangun jam itu. Well, actually the family built the clock tower – not basically him – and beside the clock tower, the family also built the bridge and owned a Chinese cemetery. Bener-bener Crazy Rich Asian pada zamannya.

Christ Church dan Queen Victoria's Fountain

Balai Seni, di belakangnya Youth Museum.

Bangunan di belakang tulisan ini baru yang namanya Stadthuys!


 
One of the proof of ancient Crazy Rich Asian: Tan Beng Siew Clock Tower!

The river cruise and strolling around city
Untuk ukuran kota wisata, Malaka benar-benar sudah persiapan matang. Persis di depan Stadthuys, ada lahan parkir untuk turis-turis yang tergoda untuk berjalan kaki. Enaknya, setelah puas menelusuri Red Square, langsung nyebrang jalan, lewat jembatan (gue lupa jembatannya namanya apa! Tapi memang banyak banget jembatan di daerah Melaka), dan langsung masuk ke Jonker Street (Jalan Hang Jebat). Di Jonker Street banyak makanan kayak cendol, rice ball, dan makanan Nyonya alias makanan peranakan. Di Melaka cukup banyak populasi Chinese sehingga dari dulu, makanan peranakan cukup terkenal sebagai destinasi perut di Melaka – makanya Jonker street disebut juga Chinatown-nya Melaka. Karena jam-jam gue ke sana adalah jam-jam brunch dan gue tidak lapar, maka gue tidak menyempatkan wisata kuliner khusus di Jonker Street.

Jonker street merupakan jalanan yang sangat crowded dengan pejalan kaki, tapi mobil masih bisa melintas satu arah di jalanannya. Mobil-mobil yang melintas rata-rata baik sama pejalan kaki, mereka jalan pelan sekalipun jalanan kosong dan mempersilakan orang menyebrang tanpa kita harus effort atau memelas minta dikasih nyebrang. Walaupun di siang hari Jonker street udah keliatan sibuknya, tapi katanya waktu terbaik untuk jalan-jalan di sekitar Jonker dan untuk kulineran adalah di malam hari (biasanya ada Jonker Walk Night Market). Di sepanjang jalan terutama di pinggir sungai, banyak bar (well, a bit alco, music, and view from the riverside – purrrrrfect eh?) dan dipenuhi murals.

Colorful murals!

 

 























Selain untuk kulineran, di sekitar Jonker ada Baba-Nyonya Heritage museum, yaitu museum yang menjelaskan budaya peranakan, Cheng Ho Cultural museum beserta kuburannya, ada beberapa kuil (temple juga), yang paling sering masuk rekomendasi adalah Cheng Hoon Teng dan Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi (kalo yang ini, temple Hindu), tapi yang gue sempet foto-foto cuman Hokkien Huay Kuan temple. Dekat Hokkien Huay Kuan itu ada Mamee Jonker House – ya, concept store untuk Mamee aja sih. Tapi karena gue suka mie remes-nya Mamee (Mamee Monster), ya sayang juga sih, enggak masuk sini. Gue sempet icip kopi durian dan teh tarik dari salah satu toko di deretan ini (sederet sama Mamee Jonker House, tepat di seberang Hokkien Huay Kuan, tapi lupa namanya) dan itu rasa kopi durian sama teh tariknya oke banget sih.

Mamee Monster makanan pokok kos-an ku.
I love you! (Courtesy: mamee.com)

Untuk ukuran manusia dengan dengkul soak dan kaki terkilir, gue cukup kuat untuk menelusuri sekitaran Jonker karena memang setiap sudutnya sangat cantik untuk diabadikan dengan kamera, tapi river cruising juga merupakan salah satu pilihan untuk jelajah Malaka. Gue juga river cruising (berhubung gue pergi dengan kakek nenek juga yang kasian banget kalo harus nurutin cucunya belingsatan) dan berkesempatan menelusuri tepian sungai kota Melaka. Tepian sungai kota Melaka dipenuhi dinding-dinding mural dan terpampang jelas deretan bar dan resto yang kayaknya asik banget jika dikunjungi malam hari. Untuk river cruising, biaya per-orangnya adalah sekitar RM 23 untuk turis, cukuplah untuk river cruising selama kurang lebih 1 jam dan sedikit 'dikhotbahkan' apa-apa saja atraksi yang ada di sisi sungai.

The river cruise, shall we start?

 


Ngomongin kota kecil Melaka ini nggak akan selesai tuntas kayaknya, karena di sekitarnya padat atraksi pariwisata. Belom lagi gue sebut gereja tua di Melaka yang namanya St. Francis Xavier beserta Maritime Museum, dimana di dekatnya ada Flor de la Mar, replika kapal Portugis yang banyak berperan pada sejarah Kerajaan Melaka dan Portugis, dan sejumlah destinasi lainnya.

One of the oldest churches...
Flor de la mar, replika kapal Portugis milik museum maritim

The legendary floating mosque, Melaka Strait Mosque

Floating mosque atau masjid terapung (yang sebenernya nggak terapung, tapi seenggaknya terlihat terapung jika air laut sedang pasang), berada tepat di sisi selat Melaka, menghadap lautan luas. Posisi geografis masjid ini sebenarnya terpisah dari Melaka Tengah, karena masjid ini ada di pulau Melaka, alias pulau sendiri. Pulau Melaka ini terhubung dengan Melaka tengah melalui sebuah jembatan. Berbeda dengan kenampakan Melaka yang dijabarkan sebelumnya, masjid ini baru diresmikan tahun 2006, jadi masih tergolong baru.

Karena berada di tengah-tengah lautan secara literal, angin di sini super kencang, tapi nggak menghalangi melankolisme yang hadir saat kamu merenung di tepian laut sambil melihat masjid ini. Kalau kamu mau menyalurkan kegalauan, monggo banget duduk di bangku-bangku taman yang sudah disiapkan menghadap ke laut. Semoga pulang-pulang dari sana bisa menghasilkan 365 puisi.


Feel the melancholy?
Ya, setelah terombang-ambing 130-an kilometer dari Cyberjaya, pulangnya gue mampir dulu ke Kuala Lumpur dan kembali merasakan ibukota vibe. Rasanya mirip-mirip kayak melipir ke Grand Indonesia, hanya saja harus lebih banyak berdoa karena takut tergoda sementara terkendala budget dan perbedaan mata uang yang kadang suka bikin miskalkulasi pengeluaran (oke, sebenernya ke Grand Indonesia-pun gue cuman mampu melipir ke CGV Blitz aja). Dalam hati, sedih banget ninggalin Melaka karena wisata hari ini sebenernya kentang alias nanggung sekali. Ah, I left my heart at Melaka.




Jikalau gue tiba-tiba nemu duit 10 juta rupiah di bawah bantal dan disuruh pilih pingin mengulang berwisata ke mana, pastilah gue akan menjawab ke Melaka. Gue sangat suka wisata sejarah karena selain gue orangnya susah move on gue adalah orang yang sangat suka mencari asal muasal dan mendengar cerita masa lalu. Gue udah berkali-kali ke Kota Tua Jakarta, tapi enggak pernah bosen dan selalu setiap galau rasanya pengen lari kesana. Dikasih yang sepetakan kayak Kota Tua aja nggak bosen-bosen, gimana dikasih sekomplek luas kayak Melaka? Wah alamat nggak pulang-pulang ke tanah air sebulan (kalo duitku nggak abis-abis).

Selain wisata sejarah, melihat deretan warkop, resto dan bar di sekitar sungai Melaka membuat gue ingin mencicipi vibe nightlife dan crowd-nya. Rasanya mungkin enak juga ngobrol-ngobrol sambil denger musik live dan menatap nanar ke riak-riak air sungai yang tenang dari kejauhan.

Gue juga aiming untuk lebih khusyuk merenung di bangku-bangku tepi laut di sekitar Masjid Selat Melaka karena hawanya super melankolis dan membangkitkan imajinasi-imajinasi terliar. Jikalau gue diberi kesempatan lagi ke sana, gue akan ingat untuk membawa pulpen dan notes, serta membawa earphone terbaik, kemudian mendengarkan playlist terbaik untuk menulis materi-materi terbaik yang bisa dihasilkan sel otak gue.

Intinya, wisata kali ini sangat nanggung dan Melaka is surely a destination to come back to at my bucket list. Semoga kembali ke Melaka dan enjoy Melaka to the fullest bisa benar-benar gue realisasikan suatu hari nanti. Till that moment come, I will eat less and have fun less to fill my piggy banks!

Thank you for the GIF, Disney and Tenor!

Love,
Your (still co-ass) writer

2 komentar:

  1. Such a nice writing and love your photographs too. Kayaknya Malaka mesti dimasukin jadi salah satu destinasi wajib ketika ke Malaysia nih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, terima kasih sudah membaca dan komen. Iya, Malaka bagus banget, 2 hari 1 malam (atau 3 hari 2 malam kalau mau bener-bener puas) untuk strolling around dan minum-minum cantik di cafe/bar tepi sungai di malam hari oke banget sih :)

      Hapus