Halo, selamat
sore semuanya.
Jadi,
tulisan ini dibuat di sebuah Sabtu malam (yang kemudian diteruskan ke Minggu
malam – dan kemalam-malam lainnya jika
sibuk) yang sebenarnya cukup spesial dan tidak biasa, karena gue sedang berada
di sebuah kota yang berbeda – lebih konvensional dan minim streelight, tapi tetap sebuah kota – dimana setiap waktunya azan
berkumandang, pasti surau-surau akan saling sahut menyahut menyambut waktu
solat. Selain merupakan ibukota Provinsi Banten, kota ini mengklaim dirinya bertakwa. Guess where?
Yup! This city has this 'old town' vibes, too! |
Jadi, hari-hari
Jakarta gue sudah resmi berakhir dan it was great to be in the heart of the
town. I miss the crowds, the traffics (I mean it), and the streetlights, and
everything happened in between. I miss how it never sleeps, how it erases
loneliness at some points. Gue akan nomaden sampai akhir tahun, sampai akhirnya
ko-as gue selesai, dan Serang adalah salah satunya. Kembali ke pangkuan Serang,
setiap hari rasanya penuh debaran. Dulu waktu stase kebidanan dan kandungan,
gue selalu deg-degan kalo harus masuk ruang operasi. Sekarang, setiap malam gue
selalu deg-degan takut dapet mayat. Yup, forensic
life is coming – and it's nothing like CSI.
Sebelum masuk
ke stase forensik, akhirnya gue punya seminggu off yang sudah lama nggak muncul
di dunia perkoas-an gue. Liburan seminggu ini gue manfaatkan untuk sambung
libur dari pegunungan (Pangrango) ke negeri tetangga. Turun gunung dini hari di
hari Senin dengan kedua kaki udah nggak berasa dan 4 jam kemudian kembali brisk walking di bandara untuk ngejar
penerbangan…
Yes, Malaysia –
with ankles sprained and bruises that appeared out of nowhere on thighs that I
couldn't feel my legs. Shall we start?
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
I am a sucker for a holiday abroad. I never
deal with VISA and my passport is outstandingly empty. The last time me being
abroad was Mecca and Medina back in 2016. Setelah itu, ko-as life menghantam
dengan kecepatan dan intensitas tinggi sehingga saya bahkan tidak tahu lagi apa
arti kata vakansi.
Last time being abroad? |
Singkatnya,
setelah satu tahun nggak punya liburan yang utuh, bala bantuan datang dari
keluarga yang waktu itu ada perlu ke Malaysia dan sekalian lah saya yang fakir
liburan ini diboyong ke Malaysia. Tidak banyak babibu, dari lounge bandara sampai landing di Malaysia, gue
separo menyeret jiwa yang sama beratnya dengan mata, dan bersikap seperti
karung beras di bagian belakang mobil pick up
– alias tidur, tidur, dan tidur hingga tiba-tiba udah sampai Malaysia. Siang
itu, Kuala Lumpur Airport nampak so-so, tidak terlalu ramai dan tidak terlalu
sepi, namun jalanan lengang sekali karena selain berdekatan dengan tahun baru
Islam, ternyata vakansi gue mepet (atau jatuh pada?) hari ulang tahun Yang
Dipertuan Agong Malaysia.
"So, I
think you make great decision if you plan to visit Kuala Lumpur, because
everyone is in holiday and the city must not be crowded!," kata bapak
Grab.
"Well, no
Kuala Lumpur plan. Actually we're going to… Malacca? The next day," gue
membalas dengan English khas Dina milikku seorang (well, if you meet me every day, you'll know how it sounds like)
"No
Malacca, noooo… It must be lots of traffic jams around there since it's
holiday!," kata bapak Grab lagi sambil geleng-geleng.
Memikirkan
macet di Malaysia sama sekali tidak membuat ngeri, karena dalam hidup gue,
rekor pengalaman termacet masih dipegang oleh macet di Cisarua sepulang gue
naik gunung Pangrango kemarin. Bayangkan, jarak yang tidak terlalu jauh yang
harusnya bisa ditempuh dalam 30-45 menit jadi 2 jam – hampir 3 jam, dengan
posisi kemacetan yang bener-bener berhenti dan beberapa personil diungkep dalam
angkot, berdesakan bersama tumpukan carrier. Kemacetan ibukota (dan daerah
lainnya di Indonesia) meningkatkan threshold penerimaan gue terhadap kemacetan
di tempat lain, so Malacca, it's okay for me to have some traffic jams. I can
endure that.
Esok harinya,
gue pergi ke Malaka yang berjarak sekitar 130-an km dari tempat gue tinggal,
yaitu Cyberjaya. Jalan tol yang membentang memungkinkan perjalanan ditempuh
dalam waktu 1 jam 45 menit dengan kecepatan yang sedang-sedang saja. Malaka
adalah sebuah negara bagian (state) di
Malaysia yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Malaka itu luas, masih
dibagi atas Alor Gajah, Malaka Tengah, dan Jasin. Daerah kecil yang isinya
peninggalan penjajahan Portugis namanya Bandar Malaka, adanya di Malaka Tengah.
This post is gonna surround Bandar Malaka as the writer was too broke to afford
any further trip… Lol.
Bandar Malaka
termasuk dalam UNESCO World Heritage Site sejak tahun 2008 berkat keantikannya.
Bandar Malaka yang antik ini sangat cucok ditelusuri dengan berjalan kaki (gue
akan jalan kaki ke SELURUH kota kecil ini jika kaki tidak cedera) karena memang
setiap sudutnya bikin penasaran – selain keantikannya, dinding-dinding bangunan
di Bandar Malaka penuh dengan mural.
Well, shall I
let you judge by pictures only?
Red Square, Jalan Gereja
Ketika
melintasi jantung Bandar Malaka atau lebih elok dipanggil 'kota' Melaka,
kumpulan bangunan antik berwarna merah ini pasti kelihatan dan menarik minat
buat turun ke jalan (kecuali kalo lo tidur kayak karung beras) karena warnanya
merah. Kumpulan bangunan antik ini didirikan kisaran tahun 1700-an hingga
1900-an oleh Portugis, dan nama keseluruhan kompleks ini adalah Red Square. Red – sesuai penampakannya.
Awalnya, gue
kira sekumpulan bangunan antik ini adalah Stadthuys, tapi ternyata salah!
Stadthuys merupakan nama salah satu bangunan di sini yang dulunya adalah city hall atau balai kota dan sekarang
beroperasi sebagai History and Ethnography
museum. Di samping Stadthuys, masih dengan cat berwarna merah, ada
gereja Christ Church, dan disamping Christ Church ada Balai Seni Melaka
berdampingan dengan Youth Museum. Di depan Christ Church ada air mancur yang
ternyata punya nama – Queen Victoria's fountain,
dan jam merah yang menjulang tinggi di depannya adalah menara jam Tan Beng Siew
– yang setelah gue cari melalui extensive research adalah seorang milioner Cina
yang tinggal di Malaka yang bangun jam itu. Well, actually the family built the
clock tower – not basically him – and beside the clock tower, the family also
built the bridge and owned a Chinese cemetery. Bener-bener Crazy Rich Asian
pada zamannya.
Christ Church dan Queen Victoria's Fountain |
Balai Seni, di belakangnya Youth Museum. |
Bangunan di belakang tulisan ini baru yang namanya Stadthuys! |
One of the proof of ancient Crazy Rich Asian: Tan Beng Siew Clock Tower! |
The river cruise and strolling around city
Untuk ukuran
kota wisata, Malaka benar-benar sudah persiapan matang. Persis di depan
Stadthuys, ada lahan parkir untuk turis-turis yang tergoda untuk berjalan kaki.
Enaknya, setelah puas menelusuri Red Square, langsung nyebrang jalan, lewat
jembatan (gue lupa jembatannya namanya apa! Tapi memang banyak banget jembatan
di daerah Melaka), dan langsung masuk ke Jonker Street (Jalan Hang Jebat). Di
Jonker Street banyak makanan kayak cendol, rice ball, dan makanan Nyonya alias
makanan peranakan. Di Melaka cukup banyak populasi Chinese sehingga dari dulu,
makanan peranakan cukup terkenal sebagai destinasi perut di Melaka – makanya
Jonker street disebut juga Chinatown-nya Melaka. Karena jam-jam gue ke sana
adalah jam-jam brunch dan gue tidak
lapar, maka gue tidak menyempatkan wisata kuliner khusus di Jonker Street.
Jonker street
merupakan jalanan yang sangat crowded dengan pejalan kaki, tapi mobil masih
bisa melintas satu arah di jalanannya. Mobil-mobil yang melintas rata-rata baik
sama pejalan kaki, mereka jalan pelan sekalipun jalanan kosong dan
mempersilakan orang menyebrang tanpa kita harus effort atau memelas minta
dikasih nyebrang. Walaupun di siang hari Jonker street udah keliatan sibuknya,
tapi katanya waktu terbaik untuk jalan-jalan di sekitar Jonker dan untuk
kulineran adalah di malam hari (biasanya ada Jonker Walk Night Market). Di
sepanjang jalan terutama di pinggir sungai, banyak bar (well, a bit alco,
music, and view from the riverside – purrrrrfect eh?) dan dipenuhi murals.
Colorful murals! |
Selain untuk
kulineran, di sekitar Jonker ada Baba-Nyonya Heritage museum, yaitu museum yang
menjelaskan budaya peranakan, Cheng Ho Cultural museum beserta kuburannya, ada
beberapa kuil (temple juga), yang paling sering masuk rekomendasi adalah Cheng
Hoon Teng dan Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi (kalo yang ini, temple Hindu),
tapi yang gue sempet foto-foto cuman Hokkien Huay Kuan temple. Dekat Hokkien
Huay Kuan itu ada Mamee Jonker House – ya, concept store untuk Mamee aja sih.
Tapi karena gue suka mie remes-nya Mamee (Mamee Monster), ya sayang juga sih,
enggak masuk sini. Gue sempet icip kopi durian dan teh tarik dari salah satu
toko di deretan ini (sederet sama Mamee Jonker House, tepat di seberang Hokkien
Huay Kuan, tapi lupa namanya) dan itu rasa kopi durian sama teh tariknya oke
banget sih.
Mamee Monster makanan pokok kos-an ku. I love you! (Courtesy: mamee.com) |
Untuk ukuran
manusia dengan dengkul soak dan kaki terkilir, gue cukup kuat untuk menelusuri
sekitaran Jonker karena memang setiap sudutnya sangat cantik untuk diabadikan
dengan kamera, tapi river cruising juga merupakan salah satu pilihan untuk
jelajah Malaka. Gue juga river cruising (berhubung gue pergi dengan kakek nenek
juga yang kasian banget kalo harus nurutin cucunya belingsatan) dan
berkesempatan menelusuri tepian sungai kota Melaka. Tepian sungai kota Melaka
dipenuhi dinding-dinding mural dan terpampang jelas deretan bar dan resto yang
kayaknya asik banget jika dikunjungi malam hari. Untuk river cruising, biaya
per-orangnya adalah sekitar RM 23 untuk turis, cukuplah untuk river cruising selama kurang lebih 1 jam
dan sedikit 'dikhotbahkan' apa-apa saja atraksi yang ada di sisi sungai.
The river cruise, shall we start? |
Ngomongin kota
kecil Melaka ini nggak akan selesai tuntas kayaknya, karena di sekitarnya padat
atraksi pariwisata. Belom lagi gue sebut gereja tua di Melaka yang namanya St.
Francis Xavier beserta Maritime Museum, dimana di dekatnya ada Flor de la Mar,
replika kapal Portugis yang banyak berperan pada sejarah Kerajaan Melaka dan
Portugis, dan sejumlah destinasi lainnya.
One of the oldest churches... |
Flor de la mar, replika kapal Portugis milik museum maritim |
The legendary floating mosque, Melaka Strait Mosque
Floating mosque
atau masjid terapung (yang sebenernya nggak terapung, tapi seenggaknya terlihat
terapung jika air laut sedang pasang), berada tepat di sisi selat Melaka,
menghadap lautan luas. Posisi geografis masjid ini sebenarnya terpisah dari
Melaka Tengah, karena masjid ini ada di pulau Melaka, alias pulau sendiri.
Pulau Melaka ini terhubung dengan Melaka tengah melalui sebuah jembatan.
Berbeda dengan kenampakan Melaka yang dijabarkan sebelumnya, masjid ini baru
diresmikan tahun 2006, jadi masih tergolong baru.
Karena berada
di tengah-tengah lautan secara literal, angin di sini super kencang, tapi nggak
menghalangi melankolisme yang hadir saat kamu merenung di tepian laut sambil
melihat masjid ini. Kalau kamu mau menyalurkan kegalauan, monggo banget duduk
di bangku-bangku taman yang sudah disiapkan menghadap ke laut. Semoga
pulang-pulang dari sana bisa menghasilkan 365 puisi.
Feel the melancholy? |
Ya, setelah
terombang-ambing 130-an kilometer dari Cyberjaya, pulangnya gue mampir dulu ke
Kuala Lumpur dan kembali merasakan ibukota vibe. Rasanya mirip-mirip kayak
melipir ke Grand Indonesia, hanya saja harus lebih banyak berdoa karena takut
tergoda sementara terkendala budget dan perbedaan mata uang yang kadang suka
bikin miskalkulasi pengeluaran (oke, sebenernya ke Grand Indonesia-pun gue
cuman mampu melipir ke CGV Blitz aja). Dalam hati, sedih banget ninggalin
Melaka karena wisata hari ini sebenernya kentang alias nanggung sekali. Ah, I
left my heart at Melaka.
Jikalau gue
tiba-tiba nemu duit 10 juta rupiah di bawah bantal dan disuruh pilih pingin mengulang berwisata ke mana, pastilah gue akan
menjawab ke Melaka. Gue sangat suka wisata sejarah karena selain gue orangnya susah move on
gue adalah orang yang sangat suka mencari asal muasal dan mendengar cerita masa
lalu. Gue udah berkali-kali ke Kota Tua Jakarta, tapi enggak pernah bosen dan
selalu setiap galau rasanya
pengen lari kesana. Dikasih yang sepetakan kayak Kota Tua aja nggak
bosen-bosen, gimana dikasih sekomplek luas kayak Melaka? Wah alamat nggak
pulang-pulang ke tanah air sebulan (kalo duitku nggak abis-abis).
Selain wisata
sejarah, melihat deretan warkop, resto dan bar di sekitar sungai Melaka membuat
gue ingin mencicipi vibe nightlife dan crowd-nya. Rasanya mungkin enak juga
ngobrol-ngobrol sambil denger musik live dan menatap nanar ke riak-riak air
sungai yang tenang dari kejauhan.
Gue juga aiming
untuk lebih khusyuk merenung di bangku-bangku tepi laut di sekitar Masjid Selat
Melaka karena hawanya super melankolis dan membangkitkan imajinasi-imajinasi
terliar. Jikalau gue diberi kesempatan lagi ke sana, gue akan ingat untuk
membawa pulpen dan notes, serta membawa earphone terbaik, kemudian mendengarkan
playlist terbaik untuk menulis materi-materi terbaik yang bisa dihasilkan sel
otak gue.
Intinya, wisata
kali ini sangat nanggung dan Melaka is surely a destination to come back to at
my bucket list. Semoga kembali ke Melaka dan enjoy Melaka to the fullest bisa
benar-benar gue realisasikan suatu hari nanti. Till that moment come, I will
eat less and have fun less to fill my piggy banks!
Thank you for the GIF, Disney and Tenor! |
Love,
Your (still
co-ass) writer
Such a nice writing and love your photographs too. Kayaknya Malaka mesti dimasukin jadi salah satu destinasi wajib ketika ke Malaysia nih.
BalasHapusHalo, terima kasih sudah membaca dan komen. Iya, Malaka bagus banget, 2 hari 1 malam (atau 3 hari 2 malam kalau mau bener-bener puas) untuk strolling around dan minum-minum cantik di cafe/bar tepi sungai di malam hari oke banget sih :)
Hapus