For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Senin, 14 Januari 2019

A Personal Way of Creating 2018's Highlight

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!
Selamat menyambut Indonesia dini hari semuanya.

Okay. I was kind of disoriented about time these days – well, maybe not only these days, but more like these past 2 months. Gue ada di fase dimana gue bangun tidur, melakukan rutinitas yang rasanya tidak berat-berat amat namun toh akhirnya sampai rumah dengan perasaan wasted dan tertidur lelap, kemudian paginya segar lagi untuk memutar ulang rutinitas biasanya, tidak mengenali perbedaan signifikan antara weekdays dengan weekend –  dan tanpa sadar, tahun 2018 sudah selesai.

Well first, I want to congratulate everyone who reads this;
congratulations for passing one more year of your life – congratulations for coming out alive and well!
Despite all the troubles and chaos happened in 2018, I hope it still gives us something precious to keep or to look up,
and I hope all the empty squares in our lists will all get checked in 2019,
happy new year!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

People have their own signature in doing things, mulai dari hal berjalan, berpakaian, sampai metode menyelesaikan masalah, seperti gue yang kalo jalan cepet banget kayak dikejar rentenir (all thanks to ko-as, kebiasaan inipun rasanya susah dirubah walau baru berlangsung dua tahun ke belakang), berpakaian sekenanya (sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertobat tapi lagi-lagi budget < keinginan), dan cenderung menghindari bertemu masalah karena tahu akan malas menyelesaikannya. Yup, people do things in the way they want – sama halnya dengan merekapitulasi ulang kejadian-kejadian penting dalam 1 tahun kehidupan mereka. Maka dari itu, munculah YouTube Rewind sebagai salah satu cara mengekspresikan apa yang sudah terjadi selama satu tahun ke belakang di kancah per-YouTube-an atau simply a joke I skimmed once in Twitter:

Story Instagram Sehari-Hari


Story Liburan ke Dalam Negeri



Story Liburan ke Luar Negeri 

Kalo boleh gue tambahin:

Story Highlight 2018



Yup, setiap orang memiliki preferensi berbeda untuk mengilasbalik hidupnya, termasuk khalayak pengguna Instagram. Sebenarnya ingin saja aku ikut berkecimpung re-upload story seperti teman-teman se-per-Instagram-an, tapi berhubung rata-rata isi story aku hanyalah kehidupan ko-as dan kucing peliharan (read: miskin konten), guess I have no Instagram story to show, but still – I have a blog, so I am gonna do some highlighting in my way: Writing.


(Anggaplah ini kayak rekap apa yang harusnya gue tulis rutin per bulan di blog ini).
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

2018 awal adalah titik berat kehidupan
Gue menghabiskan malam natal 2017 dan malam tahun baru 2018 di kamar operasi rumah sakit sebagai ko-as jaga anestesi. Anestesi adalah stase yang menurut gue melelahkan secara mental dan terlebih lagi secara fisik, karena badan gue yang katro ini nggak kuat ada di bawah suhu dingin terlalu lama, jadilah dari 5 minggu gue anestesi, 3 minggunya gue habiskan dengan siklus bersin-batuk-demam-bersin-batuk-demam sampe turun 2 kilo (ya kita lihat masih ada berkah di dalam derita). Malam tahun baru yang one of a kind, sebenernya – dimana seharian gue berharap nggak ada orang yang celaka di malam tahun baru dan butuh kamar operasi, serta diundang pesta martabak oleh dosen dan perawat di ruang karyawan kamar operasi rumah sakit sebelah, dan menghabiskan sisa hari dengan nonton SBS Gayo Dajeun dengan Blackpink yang menyanyikan lagu Wonder Girls "I'm So Hot" yang sudah di remix.

Model tontonan kita di malam tahun baru 2018.
Thanks to Giphy and the creator for this great GIF!

Di awal tahun 2018, gue gagal ujian anestesi karena grogian setengah mati, harus ujian ulang besoknya sambil jaga malam, dan baru diluluskan setelah intubasi 3 pasien dan pasang LMA di 1 pasien dengan operasi yang tidak berhenti mengalir sampai dini hari pukul 2.


Di bulan Februari 2018, gue masuk stase yang cukup menggetarkan jiwa – pediatrik, yang bener-bener kalo gue pikir sekarang, "Kok bisa ya gue survive" di tengah badai bayi-bayi prematur yang kecil dan harus diplastikin supaya tetap hangat, anak-anak dengan penurunan kesadaran, kejang demam, ataupun kurang gizi, dan hitung-hitungan kalori, cairan, serta dosis anak yang mumet (untuk orang yang masuk jurusan kedokteran karena 'kemampuan berhitung saya ngepas', ini adalah sebuah cobaan yang pelik).

Ya, 2018 sedikit mengajarkanku
hidup itu spartan aja, terjang, jangan terlalu banyak mikir nanti juga lewat.

2018 adalah perjalanan
Setelah tidak kemana-mana di tahun 2017 karena sibuk dengan dunia per-koas-an dan segala stase mayor dan minor kelas berat, akhirnya di tahun 2018 bulan April, gue resmi pindah ke Jakarta dan mulai ko-as di tempat baru, sebuah rumah sakit tentara yang ada di Selatan Jakarta. Ini adalah momen yang menyegarkan – ngekos (dari dulu sudah rindu ngekos karena selama kuliah pulang-pergi rumah-kampus saking deketnya), pindah ke tengah hiruk pikuk kota dimana segala transportasi terintegrasi dengan cukup baik dan murah (ah how I love Transjakarta), dimana gemerlap kotanya pun tidak berkesudahan hingga pagi menyambut lagi. Kegiatan di rumah sakitpun nggak sepadat di tempat kerja sebelumnya, sehingga setiap hari masih punya waktu untuk strolling sore atau malam setelah mencicil mengerjakan tugas. Rekor perjalanan paling halu dan di luar rencana adalah ketika tiba-tiba dengan impulsif memutuskan untuk pergi ke Ancol di waktu mepet-tengah-malam dan sesi-sesi (ya, jamak – karena memang terjadi berkali-kali) tiba-tiba ngidam Taichan Senayan di tengah malam (nggak nanggung-nanggung, jam 12 pagi baru mau berangkat). Serangkaian impulsive hours di Jakarta ini membuat gue semakin jatuh cinta terhadap kota yang selama ini lebih dikenal bobroknya daripada pesonanya.

Incidentally captured couple on a traffic jam.
Anget-anget sambil nunggu lampu merah, my heart was also warm.

Hari-hari di Jakarta adalah sebuah momen dan seperti halnya sebuah momen, ia tidak bisa apa-apa ketika waktu sudah ticking out. Setelah perpisahan yang super drama dengan kosan, jalan-jalan tempat jogging sore, dan semua pojok-pojok Jakarta yang sudah dijamah, gue pindah tugas ke Serang untuk stase forensik dan medikolegal. Walaupun bukan pertama kali ke Serang, tapi transisi dari Jakarta ke Serang bukanlah hal yang tidak mengejutkan. Bahasanya, orang-orangnya, suasananya bener-bener beda walaupun sama-sama di Indonesia. Di Jakarta bebas pilih mau ke bioskop mana, sementara di Serang (kota) cukup bingung mau nonton dimana karena hanya ada satu bioskop. Mau explore yang lebih jauh daripada sekitaran museum dan gedung pemerintahan tapi kurang sreg dengan kendaraan umumnya karena kurang terintegrasi (maafkan saya yang tidak memiliki kendaraan pribadi selama di Serang). Akhirnya 3 minggu di Serang berlalu tanpa banyak eksplorasi karena jalan-jalan gue hanya sebatas jogging sore yang sarat dengan catcalling di sepanjang langkah.

Evening routine on Serang: Strolling around the city.

Selain berpindah-pindah tempat kerja, di tahun ini juga gue traveling lebih banyak. Bandung (untuk beberapa orang Bandung adalah rutinitas, buatku Bandung adalah kemewahan), Malaysia, belum lagi puncak-puncak Papandayan dan Pangrango, serta kunjungan rutin ke Anyer setahun sekali hanya untuk duduk di tepi pantai sambil denger musik dan baca buku dengan angin sore sepoi-sepoi menjelang senja-pun tertuntaskan. More places to go this year, please! *glass clank*


2018 adalah realisasi dari keinginan yang selama ini tersupresi
Selama ini, gue ingin mencoba banyak hal dalam hidup namun karena terbatas entah waktu, dana, tenaga, malah jadi tidak terealisasi. Sehubungan dengan mulai melonggarnya pekerjaan, gue akhirnya bisa melakoni beberapa keinginan yang selama ini belum bisa direalisasikan, di antaranya adalah naik gunung, melancarkan nyetir mobil, bikin banyak puisi, dan juga nonton konser.

Highlight gue di tahun 2018 ini adalah naik gunung! Ini bener-bener dreams come true  akhirnya bisa direalisasikan setelah berwacana sekian tahun. Kata orang, gue kebanyakan wacana dan telat naik gunungnya, tapi ya aku sabodo teuing. Bagaimana kalo zona waktu gue memang berjalan lebih lambat dari orang-orang? Zona waktu hidup kita kan nggak melulu harus seragam. Gue baru dapet izin sekarang, baru punya waktu sekarang, dan baru bisa mendanai secara mandiri sekarang, jadi if I start just today, it means the universe is being with me, just recently. Baru dua gunung yang gue jajaki tahun ini: Papandayan dan Pangrango. Papandayan sebagai pembukaan untuk jiwa beginner-ku and it was great! A kind of journey I will always look up to. Pangrango adalah perjalanan kedua sekaligus bikin gemeter karena perjalanan ini penuh intrik dan cedera sana-sini karena kurang persiapan. This journey might not be as good as the first – it made me question myself "Why on earth you hike, Din?", but sure it was memorable and it taught me so much that  good physical stamina would help you maintain your rational thoughts and sanity on mountains.
… Dan hal mistis pun akan segan dengan mereka yang sehat dan rasional (dan tentu saja tidak sombong serta berlaku baik!)


Puncak Pangrango -- masih nggak percaya bisa summit.

Selain itu, salah satu to do list kita tahun ini adalah ngelancarin nyetir mobil karena kita dari dulu udah kursus nyetir tapi pengaplikasiannya jarang sehingga selalu panik ketika menyetir di jalanan bebas (apalagi di Jakarta, gang sempit, dan parkiran). Tahun ini, keinginan melancarkan nyetir bisa terealisasi berkat teman-teman yang dengan lapang dada meminjamkan mobilnya untuk gue setirin dan parkirin, serta membimbing do's and don't's di jalanan.  Tidak pernah gue lupa nasihat temen-temen, "Masuk jalan jangan buru-buru, kan mereka yang lurus, lo yang dari persimpangan, jadi harus ngalah dan sabar.", "Kalo di tol lagi macet, sebelum pindah lajur lihat dulu lajur yang mau lo pindah itu padet juga nggak? Kan bodoh kalo lo udah pindah lajur, expect supaya lebih cepet, tapi ujung-ujungnya lebih lama dan akhirnya lo minta pindah lajur ke tempat semula. Diketawain mobil belakang nanti, dikira klabing (kelayapan bingung)", dan sejumlah nasihat bijak bestari lainnya. As I grow up, I learned lots of things from my friends rather than my parents (yea, to be honest).

Jalanan Fatmawati-Dharmawangsa serta toll JORR dan Karang Tengah menjadi saksi bisu gue latihan nyupir.
Jakarta Selatan, selalu penuh nostalgia di setiap kilometernya.

Salah satu keinginan gue di tahun ini adalah banyak membuat puisi yang akhirnya terealiasi dengan akun instagram 365versifications. Niat semula adalah mau bikin 1 puisi per hari, dilengkapi dengan foto yang kira-kira punya konsep serupa dengan puisi yang ditulis serta musik kesukaan di beberapa
post (tentu saja dengan mencantumkan nama pemilik yang berhak atas musik tersebut), tapi apa daya ternyata membuat puisi itu tidak semudah itu – butuh banyak sumber inspirasi, pandangan yang luas mengenai berbagai hal (ya, gue sebenernya nggak mau melulu nulis tentang percintaan juga, kan?), permainan kata, dan juga penyocokan segmen "kira-kira berapa persen dari orang-orang yang melihat puisi ini can relate to what I write?", belum lagi proses editing dengan photoshop dan penyocokan foto. I know sometime my mind is nothing more than a messy constellations full of flying asteroids and degenerating planets going down in explosions and the solution sometime turned out as simple as that  nothing like I could imagine, but I really enjoy every single thing that bothered my mind in the process of making 365versifications alive.

Still working for better poems and proses.

Dan, salah satu yang bisa terealisasi adalah menonton konser tunggal dan konser yang gue tonton pertama kali adalah konser Kygo. I am not that type of concert girl (I am not really into concert, sekalipun itu hype seperti La La La Festival atau We The Fest and I can really ensure you that you would not meet me in Djakarta Warehouse Project), but I would always fall for Kygo for his personality, the good-boy vibe, and his tropical music which is considered too generic for some people. Saya selalu suka lirik-lirik Kygo yang syahdu kadang cenderung sedih tapi yaudahlah jadi enjoy aja karena bawaan tropical music yang membuat kita bisa menari di atas kesedihan tanpa harus terlebih dahulu hilang akal (err… you got what I mean?).


"You have things you can't ever speak of, so in the end you listen to music."

2018 adalah teman-teman baru
Selain teman-teman baru dari jagat perinternetan dan perpindahan tempat ke Serang, yang memungkinkan koas antaruniversitas untuk bekerjasama, gue sangat senang punya banyak teman baru sepergunungan yang gue dapat dari acara pendakian massal bersama ke Papandayan, bareng sama suatu penyelenggara jasa travel (khususnya naik gunung) bernama Theater Adventure. Cukup menyenangkan bisa kenalan sama orang baru dari berbagai rentang usia dan berbagai latar belakang pekerjaan yang berbeda (mulai dari pegawai korporat, entrepreneur, mahasiswa berbagai jurusan – musik, psikologi, ekonomi, anak SMA, sampai ke semi selebgram bertajuk pendaki).

Apakah 2019 kita akan mengikuti pendakian massal lagi? Kita tunggu saja.

This is what 'hiking with strangers went well' looks like.

2018 adalah menyadari bahwa yang kamu yakini bisa berakhir dalam sekejap – dan patah hati
Er…  I think I am gonna skip this part. We okay with this.

2018 adalah tenggat waktu
Ya, akhir 2018 adalah batas waktu yang sudah gue targetkan untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik alias ko-as dan alhamdulillah, tanggal 22 Desember 2018, gue sudah menyelesaikan 88 minggu rangkaian per-koas-an. Tidak ada lagi jaga malam atau jaga weekend untuk sementara waktu, tidak ada lagi panas dingin mengerjakan laporan kasus dan referat yang sudah dekat hari deadline, bahkan tidak ada lagi kepanikan karena kebanjiran pasien atau kehilangan jejak konsulen yang sedang diikuti. Sekilas rasa, di tanggal itu gue sangat excited karena mengakhiri segala per-koas-an dan sangat thrilled saat menapaktilas semua hal yang telah gue lakukan (seperti gue mengutip perkataan ke teman gue; gue sangat cengo dengan how we, co-ass, could be put on that kind of pressure yet still managed to be alive in the end), tapi semua luapan emosi positif itu mendadak jadi hambar akibat ingat kenyataan bahwa dalam 2 minggu ke depan akan ada ujian praktek sebagai salah satu syarat untuk bisa masuk ke liga ujian nasional kedokteran. Walhasil, perasaan senang dan punya harapan itu hanya bertahan untuk tanggal 22 dan 23 Desember 2018. Sejak tanggal 24 Desember 2018, seluruh spirit Dina the free elf sudah tenggelam ke dalam palung kehidupan, yang ada hanya ketegangan mau menyambut ujian.


Dina has no more ko-as day. Dina is a free elf.
Thanks to Giphy and the creator for this great GIF!

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

What to expect in 2019?
Aku pingin dapet gelar dokter di depan namaku. Secepat mungkin dan sedini mungkin di tahun ini. Sekarang lagi struggling menghadapi sejumlah mimpi buruk takut nggak lulus ujian kompre kampus karena nilai tidak kunjung keluar. Mohon doanya saja teman-teman, semoga kita bisa disumpah jadi dokter di kloter paling awal tahun ini. Aamiin.

Aku pingin pergi ngabdi di Indonesia yang jauh di sana. Outside the purpose of traveling and seek the beauty of the nature, gue ingin merasakan mendiagnosis dan menatalaksana penyakit endemis di pulau lain, ikut kasih edukasi khususnya tentang persalinan aman, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di 1000 hari pertama, pentingnya merencakan jumlah anak, dan juga pentingnya untuk membentuk pemikiran anak yang sudah ada untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Dan semua ide-ide yang agaknya terkesan halu-halu sedap ini terasa visible ketika di-include dalam suatu momentum bernama: Internship. Can I? Really, can I?


Little houses on the country-side with kids and bikesis kind of scenery I aspire to reach this year.

Aku pingin kerja dan ingin bisa hidup mandiri dengan uang yang sudah dicari sendiri. Syukur-syukur kalo lebaran bisa kasih salam tempel ke saudara-saudara yang masih cilik atau keponakan. Seyogyanya, penghasilan ini ingin kuinvestasikan dan kuputar-putar (ya, ini adalah omongan orang yang crash course trading saham sana-sini tapi belum berani ikut main).

I want to do things I couldn't bear (or afford) before, seperti khusyuk berfotografi dan mulai berburu ensiklopedia-ensiklopedia atau buku-buku fotografi, terutama those about the history or old photographs of Indonesia.


Sebuah standar kekayaan:
Belanja ke Blok M borong buku-buku (ensiklopedia tebel-tebel jadul)
pulangnya makan enak di Little Tokyo tanpa mikirin uang di rekening tinggal berapa 

Aku pingin juga ada orang yang bisa menciptakan alat perekam pikiran. Yes, perekam pikiran. Because sometime I got a lot of ideas and they flooded so fast – they came in such a rush, but I am away from those medias I  could use to capture them (e.g. mobile phone's notes or simply paper and pen).
.
.
.
Do you hidden ambitions you are afraid to tell because it sounds irrational or just… too big?
Do you have any crazy idea of invention for 2019?
You can freely drop it on the comment.

Happy new year.

Thank you,
Your (still) co-ass writer.

1 komentar:

  1. Halo Latifah,

    Terima kasih banyak atas rekomendasinya. Taman Nasional Way Kambas memang sudah masuk bucket list saya, semoga bisa segera direalisasikan. Keep writing ya!

    BalasHapus