For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Jumat, 05 April 2019

Semarang: Perjalanan Darat dan Ragam Cara Memuja

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Selamat tengah malam semuanya,
semoga jiwa-jiwa kalian tenang dipeluk banyak gelombang delta at this hour.
Nah, cukup gue saja yang bangun di jam-jam ini akibat kebanyakan tidur di siang hari.

So I just recently finished all tasks regarding my study: 
I just finished co-ass in December 2018 and did the comprehensive exam from the campus in January 2019 – and surprisingly passed the comprehensive one, so the campus sent me off to national exam for medical doctor certification. The national examination was held on February, consisting of multiple choices and practical exams in clinical setting (yea, it is like having a fake clinic with fake patient but the examiners scored you and everything you did).

Jadi setelah 3 minggu gue dan kalangan terdekat merasakan yang namanya anhedonia, hilang nafsu makan, insomnia jenis delayed (yang penuh dengan terbangun di malam hari, mimpi buruk), serta jenis-jenis somatisasi ("Aduh, perut gue sakit banget kayaknya gue irritable bowel syndrome", "Aduh tengkuk gue gatel banget, siku dan lutut gue juga gatel, mulai deh stress-induced dermatitis gue"), akhirnya kita merasakan kebebasan dimana kita iidak harus memikirkan masalah akademis untuk sementara waktu hingga hasil ujian diumumkan. Yea, the result will be announced in March and I really hoped that this time I really can change my degree and move it to the front. Mohon doanya juga, teman-teman.

Yep, long story short, ada sebuah periode waktu antara pengumuman ujian komprehensif dengan ujian nasional dimana pada waktu tersebut gue nggak ada bedanya sama anak kelas 3 SMA yang lagi getol-getolnya ngejar perguruan tinggi negeri. Ikut bimbel, belajar bareng temen, tapi secara administratif sudah nggak banyak berkaitan sama jenjang pendidikan sebelumnya. Persis deh pokoknya sama anak kelas 3 SMA, cuman beda di tampang dan usia yang sudah semakin menua dan tidak belia lagi seperti mereka. Di waktu ini, beberapa temen-temen gue ada yang kerjanya update terus ngerjain lusinan paket soal ujian nasional, ada yang sibuk ngecat kuku, seneng-seneng, dan ada juga yang gak update apa-apa kayak gue. Di tengah-tengah fase-fase tenang sebelum badai itu, tiba-tiba nyokap gue ngajakin ke Semarang.

Mau ujian nasional. Bolos bimbel dan belajar kelompok. Ke Semarang. Mendadak.
Terlebih lagi naik mobil.
Untuk mencoba tol Jawa yang baru diresmikan Mr. President.

Oh I thought I was too old to be included in such careless decision-making – but yea in the end, I trapped in the backseat of my car, dengan 8 paket soal try out online yang belum dikerjakan, 2 paket soal tertulis yang belum rampung, dan pikiran kusut karena 'takut ujian nasional tapi pengen ikut tamasya gratis'.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Buat gue, menempuh perjalanan via darat akan selalu menjadi hal yang spesial.
Misal, naik kereta. Gue selalu suka moda transportasi ini walaupun beberapa kalangan bilang, "Ya ampun, kenapa sih lo nggak naik pesawat aja? Emang masih lebih murah dikit dibanding diskonan tiket *sebut airline*, tapi bisa hemat waktu, nggak perlu duduk dan tertidur secara duduk di kursi kereta untuk waktu yang lama, dan nggak perlu repot-repot ke Jakarta untuk ke stasiun".

Tapi bukankah ada esensinya disana?

I mean, gue suka membuang-buang waktu di kereta. Melihat pemandangan di luar sana; sawah-sawah yang sedang diairi oleh empunyanya, beberapa motor lalu lalang di jalanan kecil sekitar pedesaan dan di tepi rel kereta – menunggu giliran untuk lewat, ibu menyuapi anaknya di depan halaman rumah kecil yang langsung berhadapan dengan gerbong-gerbong yang melintas. Setelah kenyang mengobservasi, terserahlah pikiran ini mau terbang kemana. "Di rumah itu tinggal berapa orang ya? Jendelanya terlalu sedikit", "Tahun ini sawah-sawah itu panen berapa ton ya?", atau mungkin, "Masyarakat di sekitar sini jauh nggak ya kalau mau ke jalan raya, ke sekolah atau ke dokter?"  – those were my frequent questions when I was on board.

Buang-buang waktu di kereta adalah sebuah kemewahan.

Circa 2014 waktu orang masih boleh tidur nyelonjor di lantai.

Goyangan kereta ke kanan dan ke kiri, decit suara remnya, alih-alih membuat was-was, malah memberikan rasa tenang. Tenang – karena segala eksistensi di sekeliling gue, mulai dari kaki, kursi-kursi, begitupun roda kereta, semua masih patuh pada gravitasi. Tidak ada usaha menentang. Turbulensi pesawat membuat gue selalu cemas karena gue, manusia-manusia di kabin, dan seluruh perangkat mesin yang ada sedang melawan sesuatu yang kuat, tapi begitu kita menurutinya sekejap, kita tidak tahu kemana kita pergi nantinya.

Meniti jalan darat dengan menggunakan mobil juga merupakan sesuatu yang spesial. Di sana ada berbagai skill yang patut di asah – skill berkendara, navigasi (hei, walaupun aplikasi maps itu ada, tapi pribadi yang yang pintar memilih rute dan jam melintas itu cool banget), dan juga skill manajemen waktu (manajemen kapan harus gaspol terus sampe 100 km/jam dan kapan harus melipir untuk ISOMA dan buang air kecil). Yang sangat gue suka dari perjalanan dengan mobil adalah lo bebas untuk berhenti kapan saja ketika merasa capek, bebas untuk melambat dan mempercepat laju kendaraan, dan sometime, I have this indescribable feeling when I drove and this cool music from my playlist just played out of the shuffle – and the driving mood was enhanced 100000%.

Tidak pernah lelah meninggalkan rindu di jalan tol Cipularang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Same applied to my trip to Semarang last January. Gue mendapati diri gue ada di balik kemudi setelah sepagian (selama Cikampek moment berlangsung) tidur di jok belakang dengan buku try out ujian nasional yang bahkan belum sempet gue kerjain tapi udah ditinggal molor duluan.
Tol baru Pemalang-Batang-Semarang was great. Jalanan masih apik, walau di beberapa spot sedikit grudak-gruduk yang cukup bisa membangunkan orang tidur, tapi overall masih bagus. Jalanan lengang, kalo mau melanggar hukum dengan ngegeber mesin 100 km/jam sebenernya visible (tapi mending jangan karena ada beberapa bagian jalan yang meninggi kemudian merendah – alias jeglugan). Kanan-kiri penuh dengan sawah, bahkan pas udah mulai melipir-lipir Semarang, kita bisa lihat siluet laut dari jalan tol. Semuanya indah disinari matahari pukul 11 pagi – matahari bulan Januari tidak pernah terlalu terik. Rest area hanya nampak di beberapa tempat (jarang banget – JARANG BANGET) jadi manajemen bahan bakar dan kandung kemih sebaiknya dilakukan dengan cermat selepas tol Cikampek-Palimanan (Cipali). Overall, I enjoyed driving along the new toll-road, walau kartu e-toll yang kupegang tidak enjoy.

But hey, everything has its own price, doesn’t it? You gotta pay more for more comfortable things – and you can't continuously hope (or in some situations, being mad) that people will lower their standard (or even letting go for free) just because you can't afford it.
(Yea, I just hope I can work my brain off and get paid in decent amount when I am older, so that I can afford all the bills and also recreational expenses.)

Mulai masuk ke arah Semarang, jalanan tidak lagi sesantai itu karena tikungannya sangat tajam dan penuh dengan tanjakan yang bikin mesin mobil (dan juga pengemudinya) mengejan kuat untuk melawan gravitasi. Di beberapa titik, jalanan tol Semarang membuat gue kangen jalan tol Cipularang. Pemandangannya mirip – jalanan menanjak dan menurun, kanan-kiri bukit, beberapa spot berupa jembatan melayang di antara jurang dengan bukit di sekitarnya (dan tentu saja angin lembah yang cukup bikin kolong mobil gradak-gruduk!). Minus rel kereta api di sekitarnya (hey, 'flying' railway road scenery is what I miss the most from Cipularang).

The scenic flying railway.

Ya, setelah deg-degan apakah bensin cukup sampai destinasi pertama, akhirnya gue sukses landing dengan bensin tinggal 1-2 bar di Ambarawa. Officially landing di Semarang dan saya sangat happy walaupun cuaca mendung dan cenderung manyun di saat touchdown. Oke, selanjutnya mungkin tulisan (yang sudah maha panjang ini) akan gue bagi ke beberapa segmen sesuai destinasi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Eling Beling – Jalan Sarjono, Ambarawa, Semarang
Karena sayang sudah ada di perbukitan Ambarawa dan menurut rekomendasi orang-orang sekitar makanannya family-friendly (keluarga gue selalu mencari makanan Sunda, makanan Jawa, atau apapun itu yang penting tidak western, Italian, jejepangan), akhirnya destinasi pertama adalah ke Eling Bening – suatu restoran yang ada di ketinggian Ambarawa, cukup terkenal untuk makan dengan such a view dan rekreasi tambahannya (seperti flying fox, dsb). Berdasarkan prior research, Eling Bening punya luas 10 hektar di sekelilingnya masih ada tanah kosong, dan view-nya spektakuler karena bisa lihat gunung-gunung terkenal Jawa Tengah dari kejauhan (Merbabu, Andong, Telomoyo), serta punya kebun bunga, kolam-kolam, archery area, trekking area (ya barangkali lo abis makan, mau nurunin makanan dengan trekking), dan flying fox.

Situasi dan kondisi cukup ramai ketika gue datang, tapi parkirnya tetep oke (all thanks to bunch of lahan kosong, bahkan bispun masih bisa parkir dengan lega). Eling Bening is a place with such a view and people couldn't help but taking lots of selfies – ya maklum sih, karena selfie (atau swafoto) adalah budaya orang Indonesia kini apalagi kalo tempatnya bagus. Udara sejuk, pemandangan cukup bagus (walaupun banyak kehalangan tongkat selfie sih). Untuk makanan kuberi nilai 3 karena ya average aja sih. Sebenernya agak bingung aku makan di daerah Sukabumi atau di Semarang, soalnya menunya mirip sama restoran Sunda, cuman kurang musik Sabilulungan aja.


Masjid Agung Jawa Tengah
Setelah dari Ambarawa, kita turun gunung (atau turun bukit?) ke daerah yang lebih kota dan berkunjung di sini untuk sholat Maghrib. Ini adalah kali kedua gue kesini, yang pertama kali waktu karyawisata pas SMA. Suasana di Magrib itu sedikit bergerimis tapi orang-orang tetap menunggu waktu sholat di sekitar air mancur – ada yang foto suasana pakai kamera, ada yang jalan muter-muter, dan ada juga yang duduk bengong tepat di air mancur seperti gue. Jadi sedikit teringat masa muda, waktu SMA gue dateng kesini dengan perasaan babak belur karena lagi marahan dengan mantan pacar (yang waktu itu adalah pacar) dan nggak sempet menikmati apapun di sini padahal ada banyak spot yang banyak makna filosofisnya. Ya, we're all adulting – and regretting our teenager years is a part of adulting too.

Gue baru sadar pilar-pilar besar yang membentuk setengah lingkaran yang bertuliskan kaligrafi Arab itu adalah adaptasi dari arsitektur Romawi-Yunani (ya separuh resembling Collosseum?). Arsitektur masjid dan menara pantau hilal (yang ternyata namanya adalah menara Al Husna) masih terasa ke Jawa-Jawaan – dan gue baru tahu kalau di dalam menara pantau hilal itu ada museum, stasiun radio, dan juga ada teleskop yang diklaim lebih bagus dari teleskop Boscha untuk ya, memantau hilal. Duduk di pelataran masjid berlantai dingin sambil menghadap payung-payung besar dan membayangkannya terbuka adalah sebuah kemewahan buat gue – dimana lagi masjid yang chill banget seperti ini? Bahkan Istiqlal, dengan kekayaan sejarah dan arsitekturnya, masih belum se-chill Masjid Agung Jawa Tengah ini dengan pelataran terbukanya dimana kita bisa bebas melihat langit dengan beralaskan lantai yang sejuk.




Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya saya bener-bener hit the town untuk bermalam – di dekat jalan Pandanaran, persis di seberang GOR Trilomba Juang. Sedikit jalan kaki, bisa sampai di Simpang Lima dan Taman Indonesia Kaya. Sejauh mata memandang (walaupun gelap) masih cukup jatuh cinta dengan pedestrian lane di kota Semarang. Besok harinya, awan jauh lebih murung dari hari sebelumnya dan gue sebagai orang yang akan selalu lebih memilih kepanasan dibanding kedinginan ini merasa tidak kalah murung. Belum hujan, tapi sepertinya akan terjadi – ya, hujan adalah konsekuensi dari berpergian di bulan Januari. Gue sempat berharap bahwa gue bisa menyelipkan sedikit wisata gunung di perjalanan kali ini karena seburuk apapun terakhir kali pengalamanku ke gunung (yea you may see the post here), it keeps calling me back for more. Rasanya ada sesuatu yang belum selesai antara gue dengan gunung – hawa dingin, jalan menanjak, akar dan tanah seolah-olah candu. Awalnya gue merencanakan untuk pergi ke salah satu destinasi wisata yang common di daerah Gunung Ungaran, yaitu Candi Gedong Songo, tapi karena cuaca kurang kondusif akhirnya aktivitas wisata akan dipusatkan diperkotaan. Yea, sadly, I took the girly costumes out of the bag – blouse dan skirt, karena 'tidak ada alam-alaman hari ini'.

Vihara Bodhgaya Watugong
Awalnya, nama vihara ini tidak cukup familiar. Bodhaya Watugong? Batu Gong? Tapi ternyata, setelah menginjakan kaki di kompleks vihara ini, akhirnya saya ngeh juga bahwa salah satu bangunan di kompleks ini sangat hits di instagram, yaitu Pagoda Avalokitesvara.
Learning history and linguistic when you travel feels great. Singkat cerita, akhirnya gue ngeh kenapa nama vihara ini adalah Batu Gong, karena di sana ada batu besar yang bentuknya seperti gong. Ternyata gagasan keberadaan vihara ini sudah ada sejak era kolonialisme, dimana waktu itu keyakinan Buddha mulai bisa dipraktekan kembali oleh banyak orang dan akhirnya terealisasikan di tahun 1955. Pagoda Avalokitesvara yang warna-warni dan instagrammable itu ternyata adalah pagoda tertinggi se-Indonesia dengan tinggi mencapai 45 meter dan punya makna mendasar dari arsitekturnya sendiri. Bentuk pagoda terlihat seperti segi delapan, ternyata resembling pat kwa. Warna pagoda adalah merah, ternyata untuk resembling good luck. Well, I open wikipedia a lot when I travel – all thanks to wiki.


Satu lagi yang paling berkesan adalah ada pohon Boddhi di pelataran vihara, dimana di bawahnya terdapat patung Buddha dan sejumlah kertas merah yang digantung di dahan pohon (maaf, saya tidak tahu namanya). The Boddhi tree was planted around 1955 (sure, is old) dan terlihat sangat cantik dan damai sekalipun tertiup angin.


Candi Gedong SongoYEAH I KID YOU NOT!
Sesi memandangi kertas-kertas merah yang digantung di bawah pohon Boddhi harus terdisrupsi tiba-tiba karena keluarga mendadak ingin pergi ke Candi Gedong Songo. Saat nyokap bilang, "Ayo liatin pohonnya jangan lama-lama, kita mau ke Candi Gedong Songo," itu adalah saat yang membingungkan – karena cuaca sangat mendung plus kita pakai blus dan rok super feminin. Tapi apa daya, impulsivitas selalu lebih besar dari rasionalitas dalam keluarga ini (dan mau tidak mau diwariskan ke dalam DNA saya) sehingga jadilah beberapa jam kemudian, setelah melewati macet dan lautan manusia, gue kedapatan sedang berada di tengah hawa dingin di kaki gunung Ungaran, menunggu kuda untuk naik ke candi terjauh.

Gue tidak suka naik kuda, karena kalaupun gue jadi kuda, gue tidak akan mau ditunggangi manusia. Gue bersikeras untuk jalan saja sampai candi terjauh, tapi nyokap lebih bersikeras lagi menyuruh gue naik kuda karena it took a lot of time untuk sampai ke candi terjauh. Jadi, di kompleks per-candi-an ini ada 9 candi yang dikelompokan lagi menjadi empat area. Area terjauh adalah area ke-4, namun yang biasanya menjadi jangkauan turis baik dengan berjalan kaki maupun menunggangi kuda adalah area ke-3. Area ke-4 terlalu jauh dan adding more cost kalo buat naik kuda. Untung manusia pejalan kaki yang takut dengan kuda (atau simply takut nginjek kotoran kuda), jangan khawatir karena jalanan kuda dan manusia dipisah. Jalanan manusia lebih berliku dan mendatar sementara jalan kuda cenderung menanjak dan minim kelokan.

Sepanjang perjalanan ke area 3, gue ngobrol dengan abang-abang joki kuda. Ternyata kuda yang gue tumpangi ini bernama Mei-Mei dan merupakan kuda pacuan yang pernah ikut kompetisi internasional. Karena kasta Mei-Mei cukup tinggi, maka Mei-Mei tidak diberi makan sembarangan. Concern gue adalah bagaimana jika kuda sakit di area pegunungan, kata abang-abangnya, ada dokter hewan panggilan yang biasa dipanggil ke kompleks candi ini jika ada kuda yang sakit. Jadi ketika ada hewan sakit, dokter hewan itu harus nanjak, menembus dinginnya kabut. Oke, melompat dari bahasan dokter hewan, candi-candi yang ada di kompleks Gedong Songo ini adalah candi Hindu, jadi arsitekturnya mirip sekali dengan candi yang ada di Dieng dan Candi Prambanan. Not a really big fan of candi, but when the fog sure helped building the mysterious atmosphere around the temples.



Semarang Old Town
Akhirnya setelah mengarungi kemacetan di arah balik disertai hujan deras, kita berhasil mencapai kota Semarang lagi. Kali ini, kita bertandang ke kompleks Kota Tua Semarang dan tempat terkenalnya, yaitu Gereja Blenduk. I always love old town: Kota Tua Jakarta, Malaka – semua tempat ini membuat gue rasanya ingin punya mesin waktu hanya untuk sightseeing.
Gayung kita tidak bersambut, Semarang Old Town sedang dalam renovasi besar-besaran sehingga banyak lubang dimana-mana dan banyak plang permohonan maaf atas ketidaknyamanan. Ditambah, hujan gak berhenti-berhenti dan ketika mau ke gereja Blenduk, ternyata ada acara pernikahan dan kita tidak bisa longak-longok ke dalam. Sedih, gue hanya strolling sedikit karena merasa semesta tidak berada bersama gue dan rencana-rencana di hari ini. Mungkin, ini sedikit teguran dari semesta bahwa bertamasya bulan Januari bukanlah hal yang terlalu menyenangkan dan mungkin kita bisa coba ke Semarang lagi di lain waktu. Maka, saya persembahkan foto ala kadarnya:




Sam Poo Kong Temple
Perjalanan Dina di Semarang kali ini sudah seperti wisata kajian agama-agama di Indonesia karena jika kamu sadar, sudah berapa banyak objek wisata yang memiliki identitas religi yang sudah gue tuliskan di sini – mulai dari masjid, candi, vihara, gereja, dan sekarang kita balik lagi ke vihara. Sam Poo Kong temple di sore itu adalah penutup wisata kajian historis dan arsitektural dari bangunan-bangunan agama di Semarang.

Sam Poo Kong temple sendiri, lagi-lagi adalah sebuah kompleks yang terdiri dari 5 vihara. Instan wiki, Sam Poo Kong temple ini didirikan sudah lama sekali, bertepatan dengan datangnya laksamana Cheng Ho yang datang jauh-jauh dari Cina, yang banyak menginfluence budaya Cina-Muslim ke tanah Semarang. Arsitektur dari klenteng ini mengadopsi gaya Cina-Jawa.



For your information, tiket masuk ke kompleks klenteng ini ada 2 jenis, yaitu hanya untuk masuk kompleks saja dan untuk masuk kuil. Saya lupa berapa harganya – tapi yang jelas kamu boleh pilih, mau masuk kompleksnya saja tanpa masuk ke setiap kuilnya (seperti saya!) atau mau masuk per-kuilnya. Terakhir ke sana, saya juga dapet cashback dari go-pay dong!

Lawang Sewu
Apalah arti mampir Semarang sebagai turis kalau tidak mengunjungi Lawang Sewu?
Akhirnya gue berkesempatan menginjakan kaki di Lawang Sewu, bangunan yang diklaim ter-angker se-antero Semarang. Gue menginjakan kaki di sana sebagai penutup manis wisata kajian agama-agama hari ini karena lokasinya yang dekat dengan penginapan. Gue datang sore-sore menjelang Magrib, berharap bahwa yang mistis sudah mulai berseliweran, hahaha.




Tapi klaim ter-angker se-antero Semarang tidak gue rasakan sama sekali walaupun langit Semarang hari itu mendung dan bercampur dengan oranye-oranye senja. Bangunan Lawang Sewu apik – menjulang tinggi dengan cat-nya yang masih mulus, hasil revitalisasi. Orang-orang berlalu lalang, tapi tidak terlalu ramai. Keramaiannya masih adekuat untuk mengamati setiap informasi yang tersaji di bilik-bilik Lawang Sewu. Sebagai salah satu bangunan aset PT. Kereta Api Indonesia, informasi yang disajikan tentu saja berkaitan dengan sejarah perkeretaapian Indonesia. Lawang Sewu awalnya merupakan gedung untuk company kereta api Belanda,  dibangun tahun 1904 dan selesai 15 tahun setelahnya. Ketika Belanda menyingkir dan Jepang masuk, gedung ini berubah jadi penjara dan tempat eksekusi – and that’s why this place is claimed as spooky – karena ada bagian sejarah kelam dimana nyawa-nyawa harus melayang di sini. Tapi, image angker itu sekarang tidak terlalu terasa karena revitalisasi dan digitalisasi dari pameran sejarah kereta api di Lawang Sewu.

(Plus, kaca patri di bangunan tua always stole my heart)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lawang Sewu adalah atraksi turis terakhir yang gue kunjungi. Besoknya gue sudah harus cao dari Semarang karena masih harus berkendara jauh untuk memulangkan diri ke ibukota. Berakhirnya liburan gue berarti adalah waktunya start mengerjakan 8 set soal try out online dan kembali menghadapi kenyataan bahwa untuk gue, time is ticking out karena ujian sudah di depan mata.

Dari perjalanan ini, gue yakin gue akan selalu jatuh cinta dengan perjalanan darat, walaupun lebih memakan waktu, lebih effort, dan lebih melelahkan. Gue suka rasa familiar saat kaki menapak mantap di atas tanah dan dipeluk gravitasi, rasa tercengang dan kemampuan untuk bereksplorasi saat menemukan hal baru di tepi jalan, juga rasa bebas untuk memilih berhenti atau melanjutkan. Bahkan, gue suka pahitnya kenyataan bahwa perjalanan darat membuang banyak waktu – tapi hal-hal yang terpikir saat itu toh belom tentu akan gue temukan di lain kesempatan.

Semarang, untuk gue hanyalah sebuah kota yang gue kunjungi karena memungkinkan – tapi untuk orang lain, tempat ini mungkin adalah rumah, tempat bernostalgia masa kecil, gudang kenakalan saat kuliah, kota rantau yang punya tempat spesial di hati. Gue tidak semesra itu dengan Semarang – tidak ada ikatan batiniah yang menyesakan dada seperti gue dan Jogja atau Bandung, tapi Semarang sangat worth-visiting, terutama untuk mereka yang lupa bahwa Indonesia sebenarnya adalah satu wujud utuh dari fragmen-fragmen budaya dan keyakinan.  Lihat, sosok berjilbab itu masuk ke dalam vihara dan berdiri di bawah pohon Boddhi, sosok dengan rok selutut itu memandangi pelataran masjid agung, dan wajah-wajah dengan lipatan mata yang tipis memotret pemandangan pura. Sosok adidaya yang maha mengatur alam semesta itu memiliki banyak cara untuk dipuja – melalui rapalan surat-surat di masjid, melalui doa di kapel, melalui senandung di vihara, maupun asap dupa yang terbawa angin di pura.


Terima kasih Semarang, sudah mengingatkan bahwa yang Maha Dipuja masih menyayangi kita semua walau kita berbeda.

Dan terima kasih untuk kalian semua yang bertahan sampai akhir membaca post ini. 

PS: I should be posting this on around January-February, so the timeline in this post may not be congruent to the reality I experience. I hope to write more often (and more updated, also!).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Love,
Your (no more) co-ass writer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar