For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Jumat, 17 Mei 2019

Separuh Hati yang Tertinggal di Gunung Tambora

Assalamualaikum warrahmatulahi wabarakatuh.

Selamat malam semuanya.

Selamat menjalani satu di antara 5 hari kerja dan semoga kita bisa selamat sampai tibanya weekend – setelah mengalami serangan libur dan long weekend yang sedemikan bertubinya di minggu lalu. Well, I should admit that the past long weekend didn't go parallel with my productivity dan tolong jangan merujuk pada kalimat "The time you enjoy wasting is not wasted time" yang dikutip John Lennon dari Bertrand Russell karena gue tidak menikmati pembuang-buangan waktu ini sama sekali. Hehe.

Jadi, sekarang sudah bulan Mei. Sudah 1 bulan lebih berlalu sejak perjalanan paling tidak terduga, paling magis, paling surreal, dan paling membekas di hati bersama orang-orang yang tidak terduga. Gue sendiri di hari ini, masih tidak percaya bahwa sebulan lalu pernah menginjakan kaki di salah satu gunung legendaris di Indonesia (walau nggak mendaki dan nggak summit), naik truk bencana, lompat-lompat kegirangan tiap ada sinyal numpang lewat (walau setelahnya no service lagi), dilanjutkan dengan traveling ke beberapa kota dan solo traveling untuk pertama kalinya.

So this whole post is going to be about my recent journey – menyambangi masyarakat yang tinggal di kaki sebuah gunung berapi yang pernah menggelapkan langit Eropa selama 1 tahun, menggonjang-ganjing iklim, dan membinasakan tiga buah kerajaan di masa lampau dan how this journey left so much trails in my heart.

Ya walaupun momennya sudah lewat 1 bulan lebih, semoga ceritanya masih bisa dinikmati.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Desember akhir kemarin, gue sedang ada dalam state bahagia namun tersiksa karena ko-as sudah resmi selesai, tapi masih harus memeras otak untuk belajar untuk ujian akhir yang menentukan gue boleh maju ke ujian nasional atau enggak. Pas itu, gue sama sekali belum mikirin, apa yang akan gue lakukan jika semua badai ini sudah berlalu – apakah mau coba cari part-time job di luar ranah medis, magang sama dokter spesialis, atau bikin penelitian. It was gonna be a long holiday after a long war, and I was not ready to embrace both of them. Di saat lagi serius-seriusnya menjejalkan segala teori untuk balik ke otak, seorang temen kirim screenshot laman IG tentang volunteering fully-funded (full dibayarin) yang akan bertempat di antara Gunung Tambora dan Gunung Kerinci. Nama acara volunteering itu sendiri adalah Ekspedisi Sosial Puncak Indonesia (ESPI) dan diselenggarakan oleh sebuah non-governmental organization Indonesia, bernama National Initiatives for Community Empowerment (NICE). Karena suka dengan konsepnya yaitu mengabdi di kaki gunung, gue memutuskan untuk membuka laman website-nya dan baca peraturan submit-nya.


Keesokan harinya, gue nyambi sambil belajar dan sambil jawab pertanyaan di laman web NGO ini. Cukup sedih juga gue liat jawaban pertanyaan gue kayaknya kok practical banget khas tenaga lapangan, nggak visioner dan menggugah sama sekali seperti birokrat. Berkali-kali gue pikirin jawabannya, tetep aja jawaban gue skeptis realis khas tenaga kerja lapangan. Di satu sisi, gue berpikir bahwa mungkin jiwa skeptis-realis non birokrat, ketidak visioneran, dan ketidak gregetan gue ini adalah karena gue sudah terlalu lama absen dari kepengurusan organisasi, jadinya gue cenderung melihat semua alakadarnya aja – yang bisa gue lakuin ya lakuin, yang enggak ya ngapain dipikirin. Dengan full berserah diri, gue submit semua persyaratan di akhir batas submit. Nggak kepikiran apa-apa waktu submit, cuman ada sedikit penyesalan bahwa sejak SMA gue sudah vakum berorganisasi secara serius.


Turns out, semesta ini kadang suka mengejutkan kita, penghuninya. Nama gue ada di salah satu dari para peserta yang berhak dapat kesempatan untuk seleksi wawancara. Baru masuk seleksi wawancara aja udah sekian terharunya karena mereka mau mempertimbangkan orang lapangan skeptis-realis seperti gue. Akhirnya gue wawancara dengan pihak NICE dan setelah wawancara itu, gue beneran skeptis bakal diterima. Di tanggal pengumuman akhir, gue udah niat nggak mau buka, tapi ternyata nama gue ada di sana. Gue ada di antara 10 delegasi yang akan dikirim ke Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, untuk volunteering.

This blows my head too much, since the kupu-kupu type of student now finally have to fly away (plus meeting with strangers dari berbagai daerah di Indonesia).

And now the butterfly gotta go~~~~~ (Source: Tenor!)

Dari awal tahun 2019 sampai tanggal keberangkatan juga bukannya gabut. Hampir 1-2 minggu sekali peserta volunteering ikut rapat-rapat virtual membentuk ketua geng dan ketua pelaksana per-divisi. Ada 3 divisi di ESPI, yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan – karena suka nggak mudeng ngitung berapa besar keuntungan dan juga gak sabaran kalo ngajar anak orang, akhirnya di-submit-lah gue ke dalam divisi kesehatan (hey, what else can I do?). Dari sesi rapat-paparan proker-revisi proker-rapat lagi dan bolak-balik menghubungi rekan se-divisi yang tersebar di Sumatera dan Jawa (pemaparan program kerja kesehatan di malam ujian nasional, btw. Greget abis!), akhirnya terbentuklah proker kesehatan dan melajulah kita ke hari-H dengan penuh debaran dan ekpektasi.


H-2 keberangkatan ke Nusa Tenggara Barat, gue naik kereta malam ke Surabaya menempuh hampir 10 jam perjalanan. Kereta selalu menjadi pilihan utama, sebabak belur apapun pantat dan sepanjang apapun waktu tempuh (kamu bisa lihat penjelasan mengenai ini di post sebelumnya). Gue meninggalkan rumah dengan kostum khas pendaki gunung: berpakaian jaket polar dengan sepatu hiking, gendong carrier 50 liter dan tas selempang. Gue tiba di Stasiun Pasarturi Surabaya pukul 06.30 di pagi hari dan menghabiskan seharian dan semalam mengelilingi kota Surabaya – ke Tunjungan Plaza, makan es krim Zangrandi, beli sambel Bu Rudi buat stok temen makan nasi beberapa bulan ke depan, dan strolling di pedestrian lane super nyaman, hopping dari taman ke taman, dan memotret jalan Tunjungan di malam hari (serta berikrar untuk nginep di hotel Majapahit nanti kalau sudah mandiri dan mampu secara finansial). Kota Surabaya panas tapi so far the closest one resembling Jakarta, senang sekali ada sensasi-sensasi ibukota yang sedikit bikin kangen rumah (jiakh padahal juga baru pergi semalem).







Akhirnya, tiba hari keberangkatan dan semua delegasi serta fasilitator ESPI kumpul di Bandara Juanda. Namanya juga baru kenal, pasti ada awkwardnya sedikit walaupun udah dihajar rapat bareng-bareng sejak 1 bulan yang lalu. Berkat rapat-rapat virtual itu, bakat beberapa teman mencairkan suasana, dan juga keadaan yang memaksa untuk mempererat kerjasama (seperti menggotong barang donasi sebanyak 22 kilogram), jadilah suasana akrab sudah mulai terasa sejak kita duduk di boarding room bareng. Jadi, lokasi pengabdian kita adalah di Desa Oi Bura, di kaki Gunung Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dan untuk ke sana, kita harus naik pesawat, transit dulu ke Lombok, dan lanjut penerbangan dengan pesawat yang lebih kecil ke Bandara Bima. Malam ini, kita akan tidur di sekitar Bandara Bima dan di pagi buta esok hari baru menempuh 6-7 jam perjalanan darat ke Desa Oi Bura. 

Singkat cerita, setelah melalui berbagai macam kesulitan, drama, stigma, dan pandangan tidak enak dari banyak orang selama flight dari Surabaya sampe Bima (terutama karena kita anak-anak muda, modelan pendaki bawa carrier segede gaban), kita sampai dengan selamat di Bandara Bima sesaat sebelum petang. Baru sampai Bima dan diriku sudah terkejut karena kualitas sinyal yang buruk padahal sudah pakai operator yang menurut orang-orang sinyalnya nyampe sampe pelosok plus ternyata kendaraan kita selama di Nusa Tenggara Barat adalah mobil truk bencana – karena tidak ada kendaraan lain sekuat truk bencana yang modelnya truk terbuka ini dalam menghadapi medan pegunungan Tambora. Setelah banyak keterkejutan, malamnya kita masih rapat dan bahas timeline perjalanan esok hari. 

Untuk selanjutnya cerita akan gue bagi dalam section saja ya, demi kebaikan mata gue dan mata pembaca.


Day 1
Kabupaten Bima - Kabupaten Dompu

Besoknya, gue dan teman-teman bangun pukul setengah 4 dan selepas sholat subuh sebentar, kita berangkat dengan truk bencana. Truk bencana yang digunakan ini adalah milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pengemudi handal di balik kemudi adalah Baba Dodi dan Mas Radit, yang memang merupakan orang terdidik soal bencana dan sudah kontribusi di banyak tim rescue saat bencana – contohnya waktu tsunami di Lampung-Banten kemarin. Truk melaju dengan kecepatan tinggi menembus gelapnya jalanan Kabupaten Bima yang berkelok-kelok. Oleng-oleng dan rem mendadak pas itu nggak terlalu terasa karena jiwa kita cuman separo yang alert, jadi paling abis rem mendadak terus terjungkal, ya balik tidur lagi. Matahari terbit, kita sudah ada di Kabupaten Dompu buat ngemil di pasar. Demi kebaikan bersama (menghindari muntah), maka sarapan dibungkus dan dimakan nanti saja.



Perjalanan setelahnya lebih berat karena kita semua sudah mulai alert, langit sudah terang, perut sudah separo keisi, tapi jalanan makin jelek dan berliku. Mulailah balada mabok kendaraan, mual, dan terkapar di hamparan carrier-carrier bagi yang sudah kepalang mabok dan kepalang sakit pantatnya dicium kerasnya hentakan jalanan (pantat bertubrukan dengan kursi kayu). Kita terus menembus jalanan Kabupaten Dompu - Bima dengan kecepatan tinggi dan di sana feelings bener-bener campur: antara lelah dan takjub, karena jalanan begitu berliku dan memabukkan, tapi pemandangan di kanan kiri adalah bukit-bukit savana bercampur tanaman jagung yang menguning indah. Ada beberapa saat kita semua terdiam karena ingin mengapresiasi momen, saking indahnya pemandangan di kontur jalanan yang sungguh menyakitkan.



Setelah beberapa kali rem mendadak dan terjungkal lagi, akhirnya truk berhenti di sebuah lokasi wisata, yaitu mata air Hodo – atau dalam bahasa sana-nya adalah Mada Oi Hodo. Mata air ini terletak di dekat sebuah tanjung yang mohon maaf, nggak tahu nama tanjungnya apa. Di Kabupaten Dompu ini banyak sekali tanjung. Air di mata airnya segar, jernih, tidak berasa, sementara tanjung di dekatnya airnya asin. Kerbau-kerbau di lepas bebas di pasir-pasir sekitar tanjung dan mata air, kita makan nasi bungkus dalam damai bersama ayam-ayam.




Perjalanan lanjut terus sampai akhirnya Gunung Tambora terlihat dari kejauhan. Bentuk Gunung Tambora unik dari kejauhan – walau termasuk dalam stratovolcano tapi  bagian puncaknya tidak mengerucut alias gepeng dikarenakan letusannya di tahun 1800 yang meluruhkan puncaknya. Awalnya tinggi gunung ini berkisar 4000 m.d.p.l tapi sekarang hanya 2851 m.d.p.l dan di puncaknya terdapat kaldera dengan garis tengah bibir 7 km serta kedalaman hampir 1 km. Jadi, kalo diliat dari jauh, Gunung Tambora ini lebar sekali dan gepeng tertutup awan di atasnya. Tidak susah menangkap gunung ini dari kejauhan karena di sekitar kita pemandangannya tandus sehingga tidak ada yang menghalangi siluet gunung sama sekali.

Siluet gunung Tambora di belakang savana yang isinya ternak yang dilepas bebas.

Jalanan di beberapa titik rusak parah pasca banjir kemarin dan membuat kita semakin dikocok-kocok di dalam truk, tapi savananya tetep luar biasa. Belum lagi di kanan kiri jalan banyak ternak yang dilepas bebas. Tidak lama setelah dikocok-kocok, truk berhenti di Balai Taman Nasional Gunung Tambora dan kita disambut oleh pihak Taman Nasional dan dikasih beberapa info soal Gunung Tambora. Beberapa info yang gue dapet dari petugas adalah:

  1. Taman Nasional Gunung Tambora sudah resmi jadi geopark nasional dan sudah diajukan jadi geopark UNESCO. Aim dari Taman Nasional Gunung Tambora adalah untuk menjadi cagar biosfer di masa mendatang.
  2. Terdapat beberapa jalur pendakian ke Gunung Tambora. Jalur paling lama dan paling sering digunakan sampai sekarang adalah Jalur Pancasila (desa pengabdian Oi Bura ada di jalur pendakian ini) dan metodenya tentu saja jalan kaki, tapi sekarang kalau mau mendaki juga bisa pakai jeep atau motor, salah satu jalurnya terletak tepat di depan gedung balai taman nasional.
  3. Masalah yang masih dialami oleh petugas taman nasional adalah illegal logging. Adapun illegal logging yang paling sering adalah kayu duabanga (Duabanga mollucana).
  4. Tambora dulu punya peradaban yang maju, tapi karena erupsinya mass killing penduduk di sana, jadilah semua tinggal kenangan.


Setelah dijelaskan berbagai hal singkat mengenai Gunung Tambora dan Taman Nasional, kita foto bareng dan menikmati sejenak pemandangan di sekitar Balai Taman Nasional Gunung Tambora. Sungguh orang yang kerja di Balai Taman Nasional ini beruntung dalam versinya sendiri – kalau mau ngopi buka jendela depan, pemandangannya Gunung Tambora dan kalau lagi mau ngaso di halaman belakang, pemandangannya Teluk Saleh. Iri aku, tuh.

Ranger Taman Nasional Gunung Tambora menjelaskan soal Gunung Tambora

Di sinilah start pendakian Gunung Tambora kalo mau pake jeep. Ini adalah pemandangan halaman depan balai.
 
Indonesia rasa Afrika, bener-bener sepanas itu! (Featuring kresek kuning isi tolak angin plus metoclopramide)

 
Teluk Saleh. Ini pemandangan halaman belakang balai Taman Nasional Gunung Tambora.

Perjalanan dilanjutkan tanpa kenal ampun menembus savana, separo hutan lagi, hingga akhirnya masuk ke pedesaan. Dari pedesaan itu, akhirnya mobil berhenti di pintu masuk jalur pendakian Pancasila. Turun dari truk, kita akhirnya mulai hiking dengan medan yang cukup surprising karena hanya plek tanah saja tanpa akar. Jalanan setapak bisa dilalui motor tapi sangat berbahaya karena curam dan tanahnya mendelep tidak beraturan. Beberapa kali kita papasan dengan motor lalu kena sapa, "Lembo adek…". Lembo adek atau kalembo adek ini adalah sapaan dalam bahasa Nusa Tenggara (mohon maaf, saya nggak hapal rumpun bahasa Nusa Tenggara, karena memang ada banyak logat) yang artinya adalah besarkan hati.



Setelah 1 jam hiking, kita akhirnya sampai ke Kampung Sumber Urip, salah satu kampung di Desa Oi Bura. Di kampung ini, ada rumah belajar yang dinamakan Rumah Belajar Tambora yang didirikan oleh pihak relawan sebelum-sebelumnya dari organisasi berbeda. Rumah Belajar Tambora ini bertempat di rumah seorang warga yang biasa dipanggil Ibu Kartini. Ibu Kartini ini adalah salah satu warga kampung paling aktif dan paling concern soal pemberdayaan masyarakat dan pendidikan, serta sudah biasa menampung volunteer. Di rumah belajar sekaligus rumah Ibu Kartini inilah kita akan tinggal selama pengabdian. Sampai di sana, ngaso sebentar kemudian divisi pendidikan langsung gaspol mengambil alih keadaan dengan mengajar anak-anak mulai dari pengetahuan umum sampai mengaji. Gue sebagai divisi kesehatan sangat tercengang dengan kemampuan temen-temen divisi pendidikan yang sangat well-prepared, berpengetahuan luas, dan bisa bercengkrama dengan anak-anak (uhm, pergaulan dengan anak-anak bukan specialty saya). Gue lebih pilih jadi tukang foto dan tim hore saja.




Sore hari kita isi dengan berkeliling sekitar desa untuk bantu tim ekonomi melakukan social mapping. Sebelum berangkat, divisi ekonomi sudah punya gambaran mengenai mata pencaharian mayoritas penduduk desa, yakni penghasil kopi dan berencana untuk optimalisasi penjualan biji kopi Tambora sampai ke tanah Jawa supaya perekonomian masyarakat lebih kuat. Social mapping ini bertujuan untuk crosscheck ulang background sosial ekonomi masyarakat sekitar, mata pencaharian terbanyak, dan sekaligus supaya delegasi membaur dengan penduduk. Selain itu, karena optimalisasi penjualan biji kopi ini butuh digitalisasi juga, maka masyarakat harus diedukasi lebih dulu, sehingga social mapping ini berfungsi juga sebagai ajang mengundang masyarakat ke paguyuban desa besok dimana divisi ekonomi akan edukasi mengenai digitalisasi. 



Malam berlanjut, kita bercengkrama sambil ngomongin agenda besok. Besok, rencananya kita akan berkegiatan di sekolah – dan perjalanan ke sekolah dilakukan dengan hiking sekitar 1 jam. Divisi pendidikan akan membawakan banyak programnya besok, di antaranya pengenalan profesi, menulis pohon cita-cita, sampai ke pendidikan mitigasi bencana karena memang program disesuaikan dengan kondisi geografis sekitar yang harus siaga bencana. Divisi kesehatan akan membawakan materi Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) berupa cara sikat gigi dan cuci tangan yang benar. Divisi ekonomi akan melipir sendiri untuk bertemu tokoh-tokoh desa yang berperan penting dalam distribusi kopi Tambora.



Day 2
Pesanggrahan Belanda - SDN Tambora 

Pagi harinya, kita berangkat dari Rumah Belajar pukul 7 pagi WITA, ditemani anak-anak yang tinggal di sekitar Rumah Belajar yang juga mau ke arah sekolah untuk ikut program. Jadi sebenarnya, program hari ini separuhnya akan dilaksanakan di Pesanggrahan Belanda, yaitu aula dan rumah bernuansa Belanda yang memang didirikan oleh orang Belanda sejak jaman dulu, yang lokasinya kira-kira hanya berjarak 5-7 menit dari SDN Tambora, dikarenakan di sekolah sedang diadakan try out kelas 6 SD, jadinya anak kelas 1-5 SD akan dikumpulkan di Pelataran Belanda. Kita menelusuri jalur pendakian Pancasila, yang sekali lagi gue pertegas, adalah medan tanah becek yang akan mbelesek jika diinjak, tapi walaupun seperti itu juga, tetap dilewati motor penduduk sehingga berisiko terpleset hingga terpental saat berkendara.




Sesampainya di Pesanggrahan Belanda, kita disambut oleh anak-anak mulai dari kelas 1-5 SD yang berasal dari berbagai kampung di Desa Oi Bura. Divisi pendidikan mulai materinya dan sudah hari keduapun gue masih tercengang dengan kebaikan dan kesabaran yang dimiliki personel divisi pendidikan. Sungguh sebuah bakat yang tidak akan kumiliki sekalipun aku mengusahakannya dengan keras. Dimulai dengan sapaan untuk warming up suasana, kemudian kita semua menjelaskan profesi-profesi yang ada di bumi ini mulai dari guru sampai youtuber. Gue menjelaskan tentang profesi dokter dengan keramahan yang canggung dan intonasi menjelaskan yang sangat tidak keibuan (ugh sorry). Ada perasaan malu ketika gue absen satu-satu anak udah pada mandi apa belom, padahal pagi itu gue gak mandi karena gak sempet antre kamar mandi. Semoga anak-anak yang lugu dan baik hati itu tidak menyadarinya.

Acara berlanjut ke mitigasi bencana dari divisi pendidikan dan ke pengenalan perilaku hidup bersih sehat milik divisi kesehatan. Anak-anak dibagi ke beberapa kelompok, didudukan dalam bentuk lingkaran, dan kita ngobrol dulu soal kebiasaan sikat gigi dan cuci tangan mereka sekarang bagaimana sih. Rupanya, sebagian besar anak-anak sudah tahu sikat gigi harus berapa kali dan bahkan beberapa dari mereka sudah ingat langkah-langkah cuci tangan yang baik (walaupun bukan versi terbaru World Health Organization). Antusiasme anak-anak is like a double-edged knife for me, di satu sisi semakin mereka semangat, gue akan merasa semakin canggung dan berusaha terlalu keras untuk terlihat sangat ramah (in this circumstance I would rather talk to geriatric population) tapi antusiasme anak-anak also lights up a fire within me, bahwa nantinya apapun profesi kita, kita tetap harus bisa mengajar dengan baik dan benar, karena bagaimanapun, this world is not made for us, but the later generation of us. Dunia ini akan selalu bergulir untuk mereka yang di masa depan di banding kita yang ada di masa kini. Maka dari itu, orientasi kita melulu adalah masa depan yang baik, bukan masa kini yang baik.


The main reason why this area was named by "Pesanggrahan Belanda".Rumah kuning ini didirikan Belanda untuk rumah singgah selama ekspedisi di gunung Tambora. Rumah ini ventilasinya super bagus (plus WCnya oke banget sampe gue foto juga semua kamar dan WCnya hiks)



Belum selesai menata perasaan sendiri karena melihat antusiasme anak-anak yang meluluhkan hati, datang seorang ibu-ibu dengan anaknya saat sesi PHBS. "Kak, itu dicariin ibu-ibu. Katanya cari ibu dokter," kata temen gue. Rupanya ibu tersebut datang membawa anaknya yang sakit demam sudah 3 hari dan batuk pilek, denger kabar katanya ada relawan dokter datang ke desa. Sebagai club anti menye-menye, gue sulit sekali menemukan kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan gue saat itu – tapi satu yang gue rasakan adalah gue merasa gue powerless. Di tengah gunung itu gue merasa kecil sekali: Tidak punya banyak pasokan obat untuk diberikan ke masyarakat, tidak punya backingan dinas kesehatan untuk mengadu soal kesehatan warga atau untuk mengeksekusi pengobatan gratis (akibat surat ke dinkes went unnoticed, sepertinya), tidak punya kapabilitas untuk merawat orang sakit di sana secara komprehensif dan berkelanjutan. Tapi karena kaki sudah menjejak, apa yang bisa gue lakukan selain melakukan apa yang gue bisa, walaupun tidak sebesar itu?

Bergeser dari Pesanggarahan Belanda, kami menuju sekolah untuk menemui pihak guru, mengkaji bangunan sekolah, sekaligus menyapa anak-anak kelas 6 SD yang otaknya habis panas pasca try out. 5 menit jalan, kami sudah sampai di SDN Tambora dan everything there was fully surprising.



SDN Tambora ini benar-benar sudah bobrok tok. Dindingnya retak penuh lumut, langit-langitnya semi koyak, lantainya kusam tidak terawat. Untuk sementara kegiatan belajar mengajar lebih banyak dilakukan di gedung dekat sana, yang notabene masih separuh jadi dan hanya punya 1 papan tulis dan beberapa meja dan kursi. Hidup memang kadang selucu itu, orang yang hidup berdampingan dengan akses pendidikan layak malah males sekolah (and proud about it) sementara yang niat dan harus mendaki dulu ke sekolah, bangunan sekolahnya malah rusak dan kadang pengajar tidak hadir sekalipun murid sudah berkumpul. I always believe that there's a major reasoning behind things and I try to apply it on "pengajar tidak hadir di sekolah sekalipun murid hadir". Melihat medan ke sekolah yang sulit, keadaan kelas yang secara struktural tidak kondusif, serta rewarding yang kurang untuk apresiasi jasa pengajar, I guess it all makes sense – and to kill this endless satanic circle is such a huge work to do.


Terdapat 2 kelas di bangunan ini untuk menampung anak SD kelas 1-6.

Karena bangunan sekolah yang sebenarnya sudah bobrok, maka kegiatan belajar mengajar dilakukan di bangunan ini.


Langit saat kita pulang dari sekolah menuju ke Rumah Belajar benar-benar semuram tim ESPI saat melihat keadaan sekolah. Gerimis kembali turun menghibur pegunungan yang sangat berbeda dari gunung-gunung lainnya yang pernah gue jajaki untuk mendaki atau sekedar tamasya sebentar – berbeda karena gunung ini panas banget udaranya. Mohon maaf, nyesel saya pake jaket polar dan saya juga gak tahan tidur ditambel pake sleeping bag di malam hari saking gerahnya. Gerimis menambah becek tanah di jalur pendakian dan benar saja, beberapa rekan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan teman divisi ekonomi pada jatuh dari motor, padahal nanti sore masih harus social mapping dan ada paguyuban untuk mendidik petani kopi. Beberapa dapat oleh-oleh luka lecet dan ada yang kena luka robek serta butuh jahit. Mau nangis rasanya, di tengah gunung-pun, gue masih mengundang pasien. Semakin sadar dengan kenyataan, bahwa sebrilian apapun manusia, tidak akan optimal jika equipment-nya tidak ada. Begitupun equipment yang sehebat apapun tidak akan berarti jika manusianya bodoh.

Mengisi sore, divisi pendidikan masih kolaborasi bareng divisi ekonomi memberikan pendidikan keniagaan buat anak-anak di Rumah Belajar Tambora. Di kesempatan kali ini, anak-anak diajarkan prinsip dan cara berdagang, dengan harapan sedikit ilmu ini bisa diaplikasikan dan menjadi spirit di kemudian hari mengingat bahwa selama ini mayoritas dari orang tua mereka berdagang kopi dan hasil bumi lainnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.



Day 3
Rumah Belajar Tambora – Health Division Kerja Rodi Day 

Sedari sore kemarin hari, gue sudah kadung panik mikirin hari ketiga yang isinya banyak kegiatan kesehatan. Dari 6 orang di divisi kesehatan, masing-masing memegang program penyuluhan dan besok adalah show time. Gue-pun pegang program skrining kesehatan. Butuh banyak equipment seperti timbangan berat badan, meteran untuk ukur tinggi, plus alat-alat kesehatan terutama yang sekali pakai, seperti jarum, strip pemeriksaan kolestrol, gula darah, dan asam urat. Sungguh-sungguh ngeri sedap karena kita tidak ada backing-an dinas setempat sehingga untuk alat-alat, kita bawa sendiri dari tempat tinggal masing-masing, dan bahkan minjem timbangan ke istri kepala dusun, yang juga seorang eks-kader kesehatan. Masih terngiang di pikiran gue sampe sekarang gimana pemuda setempat nawarin diri untuk ke rumah istri kepala dusun yang lokasinya 30 menit jalan kaki hiking ke atas untuk pinjem timbangan. Gue yang 100% murni ansosnya sekarang dihadapkan dengan kegiatan kesehatan di tengah gunung, mau nggak mau sering panic attack di dalam batin ini. Untunglah segenap tim meyakinkan bahwa semua beban jangan dibawa panik sendirian dan fasil-fasil juga sangat suportif.



Jadi, pada hari ketiga, kegiatan akan dibuka dengan penyuluhan terpisah antara ibu-ibu dan bapak-bapak. Ibu-ibu akan diberi materi mengenai ASI, makanan pendamping ASI, pijat bayi, dan juga mengenai diare, dehidrasi, dan penanganannya. Bapak-bapak akan diajak penyuluhan tentang rabies (since the issue was going strong around NTB and NTT in past few months) serta tentang tanaman obat. Setelah massa terkumpul, penyuluhan selesai, baru di handle untuk skrining kesehatan, kemudian diarahkan untuk mengikuti bazaar barang donasi (baju-baju yang sudah kami kumpulkan dengan open donation) yang diprakarsai oleh tim ekonomi. Gue cuman cetak kartu berobat 30 lembar dengan ekspektasi hanya segitu pasien gue hari itu, mengingat populasi di kampung Sumber Urip yang tidak banyak-banyak amat dan skeptis bahwa akan ada warga kampung lain yang akan datang.

Kenyataannya, peserta penyuluhan dan skrining kesehatan hari itu tembus hampir 70 orang. 2 kali lipat jumlah perkiraan. Gue campur senang, bersemangat, haru, capek, sekaligus malu – karena sempat underestimate jumlah partisipan. Ternyata banyak penduduk dari kampung-kampung lain yang turut serta memeriksakan diri karena dengar kabar ada orang kesehatan lagi bakti sosial di gunung. Disamperin orang di tengah gunung yang menaruh ekspektasi dari kita itu perasaannya thrilling sekali. Banyak dari mereka yang bukan hanya memeriksakan kesehatan, tapi juga punya komplain personal soal kesehatannya. Been trying to examine people lege artis-ly (properly, skillfully, according to law of art) there walaupun dengan segala keterbatasan ruang periksa dan equipment, lumayan nemu beberapa kasus osteoartritis dengan krepitasi yang kedengaran, dapat sikatriks kornea dengan daya pengelihatan no light perception, herpes zoster, pulpitis, suspek carpal-tunnel syndrome yang gue sarankan rujuk. Terharu dengan banyaknya kesempatan belajar bahkan di tengah gunung. Dari kegiatan skrining, bisa tahu juga bahwa jenis penyakit tidak menular terbanyak di penduduk sana bukan hipertensi atau diabetes mellitus, tapi kadar asam urat yang tinggi! Semuanya rata-rata hiperurisemia, bahkan jarang sekali yang  hiperkolestrolemia. Bagi yang interested untuk bikin penelitian kenapa orang gunung yang jarang makan daging-dagingan ini bisa hiperurisemia, monggo. Suspek sementara adalah karena penduduk sana suka sekali makan hasil laut yang sering dibeli di pasar. "Nggak makan pake ikan, nggak komplit, dok," begitu kata mereka.



Sore terakhir di gunung dihabiskan dengan edukasi eks-kader yang pernah diberikan Surat Tugas oleh pemerintah mengenai masalah medis umum yang sering ditemukan di real life dan bagaimana cara penanganan utamanya (misal, diare, demam, luka). Selain itu tim ESPI rembukan dengan kepala desa yang baru terpilih dan penyampaian saran dari divisi kesehatan ke kepala desa untuk kembali mengoptimalkan peran kader, mengingat akses kesehatan masih jauh dari pemukiman warga. Peran kader dirasa penting di lingkungan gunung karena keterbatasan sumber daya manusia kesehatan yang berprofesi medis di sekeliling pemukiman, sehingga butuh pihak yang melek medis dan watch out kalau ada masalah kesehatan di pemukiman warga. Malamnya, terjadi mati lampu di kampung dan tim ESPI diundang menghadiri acara salah satu warga. Kita beriringan jalan dalam gelap pakai headlamp menyusuri jalanan kampung sambil melihat langit yang penuh bintang. Se-romantis itu malam tanpa listrik di Tambora dan sepenuh sesak itu langit malam dengan bintang.

"Bu dokter, ini coba buah! Enak kali seperti markisa kecil"



Day 4 
'Till we meet again, Oi Bura, dan hiking Pulau Satonda 

Pukul 6 pagi di Rumah Belajar Tambora penuh hiruk pikuk. Kita sibuk dengan carrier masing-masing, sarapan, lalu kembali memakai sepatu hiking. Pukul 7 pagi, kita berpamitan pada Ibu Kartini, yang bersikap selayaknya ibu untuk semua pada kita yang sebelumnya orang 100% asing yang datang dari berbagai sudut Indonesia. Terima kasih atas atap teduhnya, masakannya (kacang tumis dan telor balado yang super enak), serta semangatnya untuk jadi tonggak perubahan bagi penduduk sekitar. Mobil dan rumah besar tidak melulu jadi simbol orang besar – di Tambora, orang besar itu punya simbol warung dan taman baca.

Tidak ada rencana lanjut hiking dan summit attack ke puncak Tambora. Sedikit kecewa, tapi gue tau kalo gue paksa summit-pun akan ribet juga mengingat baju gue sudah habis (saking irit barang bawaan akibat nggak mau kena charge bagasi).  Nggak papa, I had this strong feeling kalau ini bukan terakhir kalinya gue akan pergi mengunjungi Tambora, because how could I ignore this beating in my chest that continuously told me that it just dropped right at Oi Bura?



Kita kembali menapaki trek pendakian Pancasila, menuruni tanah-tanah becek. Tegur sapa dengan penduduk yang lewat dengan motor, "Kalembo adek…", ditawari mampir untuk nyicip kopi Tambora di rumah penduduk yang dilewati, dan berusaha menghindari ranjau kotoran sapi di jalan. Cahaya matahari hangat memeluk wajah dan kita terus turun, meninggalkan serpihan hati di sepanjang trek pendakian.


Kembali ke truk legendaris dengan rem yang semi-blong, kami memutuskan untuk melipir sedikit ke dermaga Satonda. Dermaga Satonda letaknya di Dompu, hanya sekitar 30 menit dari plang awal pendakian Pancasila (tentu saja dengan kecepatan berkendara Baba Dodi plus modalitas sirine), di sana banyak kapal klotok yang melipir dan siap membawa kita bertualang ke pulau kecil di tengah laut yang terkenal dengan taman wisata airnya, yaitu Pulau Satonda. Kita modal Rp 50.000/orang untuk naik kapal menuju Pulau Satonda dan sangat tidak menyesal. Di perjalanan, lumba-lumba sibuk melompat sana-sini tidak jauh dari kapal, belum lagi pemandangan bukit-bukit gersang NTB dari kejauhan. Baru melipir di Pulau Satonda, kita langsung disambut air super jernih dengan terumbu karang yang bahkan terlihat sangat clear karena  visibilitas underwaternya oke sekali. Pasir pantainya putih dan the greatest thing was, pulau ini sepi sekali.


 

Masuk pulau Satonda dikenakan tiket retribusi Rp 10.000/orang – sangat worth it jika gue kilas balik ke betapa menakjubkannya pulau tersebut. Dari dermaga pulau, kita menapaki jalan setapak dan di tengah-tengah pulau langsung ada danau air asin (yang mohon maaf, lupa banget namanya apa! Udah cari di Google-pun nggak ketemu). Di tepi danau air asin yang besar itu ada pohon yang banyak digantungi batu di dahannya, seringkali disebut Pohon Kalibuda atau pohon harapan. Dinamakan pohon harapan, karena batu-batu yang digantung merepresentasikan penggantungan harapan. Katanya, kalau mau harapannya dikabulkan, berharaplah sambil memegang batu kemudian batunya digantung dengan tali di pohon tersebut. I am not a fan of urban legend – especially ketika urban legend tersebut bicara soal harapan, but well, a good place can't stand without any legend.



Ketika gue kira hal terbaik yang bisa gue lakukan adalah melihat danau pulau Satonda dari tepiannya, ternyata ada hal yang lebih baik lagi – yaitu hiking sampai ke puncak Pulau Satonda untuk melihat danaunya dari ketinggian. Tapi tentu saja hal baik tidak datang dengan mudah – gue yang sudah lama tidak olahraga sehingga berbadan (dan berjiwa) renta ini ngos-ngosan dengan trek menanjak Pulau Satonda. Sebenernya nggak nanjak-nanjak banget dan nggak harus hiking lama, tapi karena stamina jompo ini gue ada di paling belakang dengan segenap nafas pendek untuk sampai ke atas. Matahari siang itu menyengat sekali dan gue belum pakai sunblock sehingga kaki gue makin terseret-seret dengan pikiran, "Astaga gue takut kanker kulit".

Tapi ain't complaining much – Pulau Satonda dan air asinnya seindah itu, dan aerial view-nya sangat bikin tercengang. Bagaimana bisa sebuah pulau kecil dianugerahi begitu banyak hal baik di dalamnya?




Setelah lunch paling spektakuler dengan nasi bungkus di puncak Pulau Satonda, kita turun kembali ke dermaga. Sayang sekali kita nggak berenang, untuk orang yang tidak bisa berenang, gue merasa air pantai sangat menggoda untuk diselami. Polisi air menawarkan tumpangan ke beberapa anggota tim untuk ke Bima naik kapal patroli, tapi karena kita semua adalah penggemar berat truk BNPB dan gaya menyetir Baba Dodi, kita sepakat untuk stick up naik truk seekstrem apapun gaya menyetir Baba. Kita kembali ke tempat parkir dan setelahnya melaju dengan kecepatan penuh ke Bima – bahkan lebih gila-gilaan dari sebelumnya. Tapi the good thing was, kita sampai di Kota Bima sore hari dan bisa catch sunset duduk di pinggiran pantai kota Bima sambil makan mie cup, bakso, dan minum es kelapa. Penutupan petualangan yang indah – I couldn't ask for better things, because all was the finest selection.



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Keesokan harinya, gue meninggalkan Bima dengan perasaan campur aduk – tapi sebagian besar tempat di hati gue penuh dengan rasa "gagal move on sebelum benar-benar diberi kesempatan move on". Serpihan hati gue tertinggal di setiap inci tubuh Bima dan dan Dompu yang gue sudah jajaki beberapa hari ini. Tentu saja, perjalanan balik gue masih dipenuhi dengan drama. Mulai dari KTP yang gak sengaja kebuang di bandara Juanda bersama tiket bekas flight, ngobrak-ngabrik tas di stasiun Gubeng karena nyari keberadaan KTP, kunjungan singkat ke Jogja selama 7 jam, serta lari-lari ngejar kereta malam di Stasiun Tugu menggendong carrier 8,6 kg dengan status kesadaran yang tidak penuh (I am surprised myself bahkan hingga sekarang, kok bisa ya kekejar kereta itu dengan kondisi gue yang begitu).

Malam hari di sepanjang Tugu - Gambir itu, tidak ada yang lebih gue rasakan dari rasa syukur. Syukur karena nggak ketinggalan kereta (duh, of course!) dan syukur karena ada hari dimana Dina bisa solo travelling ke beberapa tempat walau tidak luput dari segala macam kesialan dan drama. 2 tahun ko-as, tidak pernah sedetikpun gue pikir bahwa kesempatan ini akan ada dalam hidup gue dan sepanjang hidup gue selama 23 tahun ke belakang, tidak pernah gue bayangkan di tahun 2019 gue akan tensi dan ngobatin orang di gunung yang bahkan tidak pernah gue mimpi untuk kunjungi dan naik  bodi belakang truk bencana yang melaju ugal-ugalan di jalanan Nusa Tenggara Barat. Kalau umur gue panjang, ini adalah jenis cerita yang akan gue sampaikan ke anak cucu gue sampe mereka bisa dikte cerita gue kata per kata bahkan sampe mereka muak lalu bilang, "Duh, please deh nggak ada cerita lain ya."

Perjalanan dengan membawa tensi dan stetoskop kali pertama ini sedikit banyak meyakinkan gue bahwa for now, this is what I want. Gue mau tensi dan stetoskop ini menempel ke berbagai macam kulit – sawo matang, hitam, kuning langsat, dari pribadi paling well-educated hingga lacking of education, di kalangan urban hingga rural. No exception or exclusion to all I touch – karena kesehatan dan ilmu pengetahuan adalah concern bersama. So then I am looking for another good day to finally use my brain and hands for developing better communities, be it through endless volunteering or be it through my upcoming medical internship program – well, I am so upset, I actually can't wait. Mohon doanya teman-teman, nuhun!

 

– Oh okay, outro yang sangat extra (dari tulisan yang sangat panjang).
Terima kasih sudah membaca!


Love,
Finally a doctor x writer

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Dengan tulisan ini, here I send you a part of my heart and all grateful and thankful feelings:

National Initiatives for Community Empowerment | Karina Isnaini | Syahdan a.k.a Minke a.k.a Guru Besar Filsafat Kehidupan | Aba Min | Baba Dodi Surahman | Mas Radit  | Ibu Kartini dan keluarga | Anak-anak Tambora | Seluruh warga kampung Sumber Urip Desa Oi Bura | Rizky Amelia Arifin | Yani Jayani | Safira Anis | Zaid Ali Wardana | Dewi Kurniasari | Dewi Ratna Sari | Agus Wijaya Cahyadi | Sri Novita Sari | Indriani Karliana | Mufidah Anisah | Yumna Nur Millati Hanifa | Serta semua yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam keberlangsungan ESPI Tambora 2019

P.S. Pictures were courtesy of mine and ESPI Tambora 2019 group.
Mine was taken by Xiaomi Redmi 3 and Sony Cybershot DSC-S2000 with VSCO enhancements.

2 komentar:

  1. Terimakasih sudah membaca? I don't think so. Terimakasih sudah menulis.

    BalasHapus
  2. Baca tulisan ini serasa flashback ke masa itu. Makasih kak dina. It's really touch hearth

    BalasHapus