For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 04 Agustus 2019

Dongeng Kepulauan Gurindam (1) : Pulau Mantang

Selamat siang semuanya.
Selamat berada kembali di hari Minggu!

Hari ini hari pertama dalam satu minggu dan merupakan hari yang selalu layak untuk disambut dan disukacitakan.

Banyak juga yang memutuskan untuk ikut car free day untuk sesudahnya ngemil cemilan yang dijual di jalan – sambil menikmati suasanan jalanan yang sudah mulai dibanjiri atribut merah putih menyambut perayaan hari kemerdekaan. Banyak yang memutuskan bertunangan di hari ini atau menikah dan banyak yang memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut. Banyak yang membulatkan tekad untuk tidak mau pergi kemana-mana dan menghabiskan quality time di rumah. Tapi, di antara 'banyak', selalu ada 'beberapa' – seperti beberapa ada yang memutuskan untuk bekerja shift saja karena toh hari Minggu tidak ada acara apa-apa, seperti saya.

Yang manapun pilihanmu dalam menghabiskan hari Minggu, semoga selalu membuat syukur dan membawa pandangan dan prasangka baik terhadap hari kerja yang akan datang esok, ya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Well, time sure really flies these days – I had recently got back from a journey of self-seeking and I just realize this morning that it's almost a week since my arrival back home. Whoa, time sure really flies in the speed of light, nggak terasa sudah seminggu gue restoring energy dan taraf kesehatan dengan interaksi sosial minimum dengan orang sekitar. Sekalinya kemarin akhirnya gue keluar rumah untuk menghadiri sumpah dokter teman sejawat, gue disapa dengan kalimat, "eh gue kira masih di hutan mana!", "eh bukannya kemarin abis terombang-ambing di lautan?", "wah udah kurusan, rambut merah, tan lagi", "akhirnya kamu sudah ingat rumah, nak", dan segala macam sapaan lainnya yang tidak usahlah ditanggapi dengan butthurt karena everyone has their own way of greeting. Lol.

Kadang ada yang cara nyapanya kayak gini, biarin aja...

What else can I say? I was having the greatest June and July in my life.

By 'the greatest', I don't mean it was the 'happiest'. Yang terbaik tidak selalu yang paling membahagiakan – just like some of the greatest stories did not have a happy ending, but still great enough to be bragged about. Satu bulan terakhir ini, hidup rasanya nggak bisa ditebak. Jika hidup adalah seorang manusia,  perjalanan ini membuat gue berpikir bahwa dia pasti laki-laki tukang banyol yang kerjanya bercanda dan nge-prank. Satu bulan terakhir ini, gue diberi kesempatan untuk merasakan semua emosi secara maksimal – mulai dari seneng, sedih, semangat, lesu, marah, kecewa, sampai pengharapan, rindu, dan rasa bosan yang bener-bener to the fullest – dan gue berkesempatan untuk merasakan semua sensasi ini di sebuah provinsi yang berbentuk kepulauan, sarat adat Melayu, penuh dengan seafood, dikaruniai dengan pesisir pantai yang alamak indahnya dengan kecantikan yang masih benar-benar virgin: Kepulauan Riau.


So where should I start? 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Satu bulan bukan waktu yang sebentar untuk getaway – in a way or another, traveling for a long time could crush you financially apalagi kalo kamu masih pekerja yang bekerja untuk kemaslahatan negeri/perusahaan/bos kamu yang kadang tidak berperikepegawaian. Traveling sebulan mungkin saja bisa dilakukan tanpa berat hati kalau kamu memang 1) dapet beasiswa atau program gratisan lainnya, 2) dapet business trip dari perusahaan yang memang sayang banget sama kamu atau either mau nyiksa kamu dengan homesickness, atau 3) bekerja sebagai travel blogger yang memang mencari pundi-pundi rupiah lewat konten berkelana. In my case, gue adalah pengangguran bergelar yang masih harus berkutat dengan birokrasi untuk bisa terdaftar sebagai dokter praktek, dan posisi itu membuat gue berdaya untuk libur dari segi availabilitas waktu tapi keok dalam kapasitas finansial. With this basic condition, I sought my way to travel dan syukurlah, gue menemukan opsi untuk berkelana, yang tidak hanya sekedar berkelana, tapi turut mengasah skill organisasi dan skill medis yang gue khawatirkan akan semakin menguap jika gue terus menerus minim berkegiatan. If someone already wonders, yes, I was volunteering again – I was about to go to two different places for volunteering, so it explains why it took me almost a month to go back home. 

Ialah Kepulauan Riau yang menjadi destinasi volunteering kali ini. Volunteering sendiri dilakukan di Pulau Mantang dan Natuna dengan gap keberangkatan yang singkat di antara keduanya, so meanwhile nunggu yang Natuna, gue stay di ibukota provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang. Setiap pulau dan daerah yang gue kunjungi punya highlight dan kisahnya sendiri, sehingga semua layak mendapat panggung dan effort menulis – so I decide to separate each destination in posts, to appreciate every single moment.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

So, here is how it started. 
Program volunteering gue start di Singapore untuk seminar pengabdian masyarakat. So I flew to Singapore at almost midnight – di suatu hari di akhir Juni dan menunggu pagi di Changi dengan peserta volunteering lainnya. Pagi mulai menjelang, bis menembus kegelapan di jalanan Singapore yang tentu saja mulus dan tanpa hambatan, dan ferris-wheel Singapore Flyer di kejauhan, menatap setengah mengantuk pada bis berisi orang Indonesia, yang kebut-kebutan di jalan jam 5.30 pagi. Masih terlalu pagi, kota belum bangun.

Early in the morning, the oldest mosque in Little India (possibly the oldest one in Singapore)?

Terakhir kali gue pergi ke Singapore itu kira-kira 20 tahun yang lalu, waktu lagi jaman-jamannya Sentosa Island dengan aquarium dan cable car-nya – yang mungkin sekarang masih exist tapi popularity-nya agak gonjang ganjing seiring dengan banyaknya atraksi baru di Singapore. Now that I had my chance to visit Singapore again in my 20s and for me Singapore is just that kind of country – where everything is carefully and perfectly planned and built, where everything is in order, and where people must discipline themselves. But if I am a man, Singapore is not my type of girl. Singapore is like a girl I met randomly on the street, pretty as hell, but I would never had intention to get close to.

After all, I always get so fascinated by skyscrappers and night lights.

2 hari or less di Singapore dengan itinerary yang super padat membuat gue semakin sungkan dengan negeri metropolitan yang masih punya sentuhan kolonialisme pada tubuhnya ini. Dari Marina Barrage, pindah lagi ke National Gallery, terus ikut seminar, terus ke National University of Singapore, lanjut ke Bugis Street, lanjut lagi ke Gardens by The Bay untuk liat Spectra - Light Show, dan besoknya ke Merlion Park dan lanjut lompat pulau balik ke Indonesia tercinta, pakai ferry. Mungkin paparan gue begitu cepat, datang dengan intensitas tinggi, sehingga gue belum bisa jatuh cinta pada saat ini karena love takes time. Mungkin gue hanya butuh waktu yang lebih lama, perjalanan yang lebih intim, kaki-kaki yang dipergunakan untuk berjalan, dan dompet yang lebih tebal untuk suatu hari, bisa jatuh hati pada Singapore.


My late night snacks in Little India cost me total 9 Singapore Dollar. Can you guess the menu?

Setelah 2 hari or less yang superpadat sampe rasanya gue mikir "apakah gue bisa tidur sambil makan, jalan-jalan, dan bersosialisasi?" akhirnya gue bisa duduk tenang sambil memegang pop mie dan menonton Aquaman di dalam ferry cepat yang akan membawa gue pergi dari Singapore ke ibukota Kepulauan Riau, Tanjung Pinang. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam dengan ombak yang tidak terasa memabukan. Sampai di Pelabuhan Sri Bintan, gue merasakan hawa yang sangat akrab, yang seolah bilang, "Yes, you are home now, no worries", tapi panas mataharinya super terik dan menggosongkan. But I ain't complaining much, gue senang menanyakan harga "Ini berapa bu?" dan dijawab "XX ribu" dibandingkan "how much is it?" dan dijawab "XX dollars" (ya, jiwa miskinku meronta-ronta).

Setelah berpanas-panas ria (namun ngangenin), gue akhirnya melompat ke dalam mobil yang membawa gue ke dermaga di Kijang, Kabupaten Bintan, untuk selanjutnya nyebrang ke Pulau Mantang. Part mengenai Mantang akan dibahas lebih rapi dengan menggunakan section, ya!




Dimana Pulau Mantang itu?
Pulau Mantang adalah pulau yang masih masuk ke wilayah administratif Kabupaten Bintan. Pulaunya sendiri ada di sebelah selatan dari daratan Bintan yang besar. Pulau Mantang sesimpel itu, kecamatannya Kecamatan Mantang, desanya berjumlah 4 – for 3 of them were the spots of volunteering, yaitu Mantang Lama, Mantang Baru, Mantang Besar. Gue akan ditempatkan di Mantang Lama, sementara peserta lainnya dibagi ke 3 desa tersebut.

Aerial view Pulau Mantang. Courtesy from: PBase.com

Bagaimana akses kesana? 
Akses ke Pulau Mantang tentu saja tidak bisa pakai kendaraan darat – gotta tell you this karena beberapa pulau di Kepulauan Riau punya jembatan untuk nyambung ke pulau lain, misal dari Tanjung Pinang ke Pulau Dompak, yang notabene sekarang jadi pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Tapi untuk kasus Pulau Mantang, gue harus nyetir dulu dari Tanjung Pinang ke Kijang (40 menit - 1 jam perjalanan), lanjut naik perahu pompong (perahu kecil) dari Pelabuhan Sei Enam di Kota Kijang untuk ke Pulau Mantang. Nah, kita bisa request sama nahkoda pompongnya untuk turun di dermaga yang mana, misalnya lo mau ke kecamatan Mantang Baru, bisa request turunnya di dermaga Mantang Baru aja. Durasi naik pompong sampai ke Pulau Mantang kisaran 30 - 40 menit, tergantung angin dan ombak.

Ini yang namanya pompong, perahu kecil.


Apa highlight dari Pulau Mantang?

  1. Gak banyak informasi spesifik mengenai Pulau Mantang, bahkan ketika lo udah bermalam-malam blusukan di internet

Biasanya sebelum volunteering, gue akan riset dulu mengenai lokasi pengabdian. Be it hanya scroll internet dan modal space memori untuk download halaman Badan Pusat Statistik daerahnya atau baca berita mengenai isu-isu di daerahnya. Gue nggak mau dateng ke daerah terus buta nggak tau soal geografisnya, kultur masyarakatnya, apalagi ketika mau volunteering dan harus nyiapin program (dimana program sangat adjustable ke kondisi sumber daya alam dan manusia di lokasi), pasti juga harus tau sedikit mengenai isu-isu yang up di masyarakat, dimana letak ketidakpuasan masyarakat terhadap hidupnya. Turns out I could not seem to find anything clear about this island on the internet when I did a background check dan akhirnya hanya mengandalkan data panitia inti yang sudah bersinergi dengan orang-orang lokal Pulau Mantang untuk membuat profil daerah.  Jadi, kalau lo emang niat mau pergi plesiran ke pulau ini, pastikan lo punya 'orang dalem' alias teman lokal untuk membantu lo mendapatkan insight tentang pulau ini dan juga membantu memberikan akomodasi seperti transportasi dan tempat tinggal (I will later explain why).

I feel powerless.


  1. Ternyata listrik tidak mengaliri pulau ini selama 24 jam tapi sinyalnya 4G

Tinggal di kota yang deket dengan ibukota (supaya tidak terkesan mengaku-ngaku berdomisili di ibukota) membuat gue merasakan betapa generousnya listrik di daerah perkotaan. Mata gue sering sakit kalo malem-malem harus nyetir di deket Semanggi, ngeliat billboard elektronik di gedung BRI 2 yang mohon maaf silaunya nyaris gue kira sebagai ledakan bom atom. Silau banget sampe keluar air mata ngeliatnya. Sungguh billboard tersebut merupakan sebuah pencemaran cahaya di sekitar Semanggi. Tapi, kenyataannya berbeda ketika gue ada di Pulau Mantang, specifically talking about Desa Mantang Lama. Listrik hanya menyala dari jam 5 sore sampai jam 7 pagi keesokan harinya. Siang hari nggak ada listrik. Orang disana kalo ada acara hajatan yang melibatkan musik pasti dilaksanakan malam hari karena ya, properti yang menggunakan listrik baru bisa digunakan pada malam hari. Di sana aku bertahan hidup dengan powerbank aja sih, hp nggak papa nggak di-charge yang penting setiap bisa charge powerbank, powerbank harus diisi (ternyata no matter how much I got involved in volunteering or hiking, I could not seem to afford a life without telecommunication).

Lanjut ngomongin soal telekomunikasi, walaupun coverage listrik tidak 24/7, tapi sinyal dari beberapa operator (BEBERAPA – bukan hanya 1 operator saja) bisa mencapai 4G. Jadi tenang saja, buat kamu yang pengen cari ketenangan tapi juga pengen update, sebenernya bisa banget dilakukan di Pulau Mantang, asal hemat baterai aja karena listrik untuk nge-charge handphone terbatas.

  1. Potensi pariwisata masih underdeveloped

Ya, alasan kenapa kamu akan membutuhkan orang dalem untuk membantu kehidupan kamu di Pulau Mantang adalah karena potensi pariwisatanya belum dikembangkan. We have to admit that tourism is great for an area's development and growth – ketika sudah establish suatu potensi wisata, akomodasi yang menunjang seperti penginapan, transportasi, dan spot kuliner pasti akan mengikuti. Nah, sepertinya pariwisata belum jadi prioritas perhatian pemerintah setempat, karena ya pulau ini tadinya punya aktivitas tambang bauksit yang sekarang sudah tidak terlihat lagi keberadaannya dan mayoritas penduduknya masih nyaman dengan profesi nelayan. Tapi, bukan berarti Pulau Mantang sama sekali nggak punya tempat untuk dipertimbangkan sebagai touristy spot. Bekas-bekas tambang dengan background seperti gundukan pasir (sand-dunes) merah kekuningan bisa jadi opsi.  Selain itu, pantai juga bisa jadi opsi, walaupun pantai berpasir di Pulau Mantang agak jarang. Given the condition and circumstance, Pulau Mantang sangat cocok jika kamu sedang ada di Tanjung Pinang dan bingung mau menghabiskan waktu kemana buat sehari semalam dan memutuskan untuk explore satu wilayah kecil dan lepas dari keriweuhan hidup sehari-hari untuk sesaat.

Bisa spend time di dermaga sore-sore, duduk sambil baca buku.

Bisa juga spend time naik kano.

Bisa juga spend time dengan berenang.

Tanah merah kayak gini khas banget di Mantang. Kubangan yang terbentuk adalah bekas tambang bauksit.

Mungkin rally patut dicoba.
  1. Mak Yong, kesenian unik dari Pulau Mantang

Kenapa di topik bertajuk kepulauan Riau ini gue pakai kata Gurindam? Yep, karena Kepulauan Riau adalah kepulauan dengan tradisi Melayu yang kental – bahasanya pun, walaupun customized di setiap pulau, pasti merupakan modifikasi dari bahasa Melayu. Gurindam adalah karya sastra khas Melayu, yang paling terkenal di seantero Kepulauan Riau adalah 12 Gurindam gubahan Raja Ali Haji. Dengan kata lain, gurindam adalah pride seluruh Kepulauan Riau, lain halnya dengan Mak Yong.

Mak Yong adalah kesenian tradisional kebanggaan Pulau Mantang, gabungan antara seni sandiwara dan tari. Sebenernya Mak Yong diadaptasi dari kebudayaan Melayu juga, dan juga dipraktekan di Malaysia, Thailand, dan Medan, tapi yang membedakan Mak Yong Mantang dari Mak Yong lain adalah Mak Yong Mantang memakai properti topeng. Sekarang Mak Yong agak susah diturunkan karena para penggiatnya sudah ada di usia yang tidak muda dan minat generasi piyik yang menurun untuk melanjutkan kejayaan Mak Yong. Duh.

Topeng Mak Yong yang dipajang di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Tanjung Pinang


Ngomong aspek wisata terus, gimana masalah volunteering di sana?  
Volunteering gue bersihnya hanya 2 hari dan itu membuat sejumlah pihak harus puter kepala dan rela rombak ulang sebagian besar program yang sudah dipokokan pada saat rapat virtual. Sampai ke Pulau Mantang sudah sore dengan kondisi sudah agak drop karena kemarin itinerary padat di Singapore, hanya sempat untuk social mapping sedikit dan tentunya karena baru landing di wilayah, nggak bisa langsung social mapping ngobrol berat dan terarah, lebih banyak ke ngobrol ramah tamah khas pendatang. Malam hari, lanjut rombak program kerja yang sudah dibuat karena memang semuanya harus ditata ulang – bagaimana caranya kegiatan 4 divisi dipadatkan dalam 2 hari? Tentu saja semua divisi ingin program kerjanya terlaksana dan ingin panggungnya masing-masing. Berdebat itu biasa dalam acara keorganisasian apapun, tapi perdebatan bisa mengurangi jatah istirahat secara signifikan. Rapat pertama selesai jam 1 pagi.
("Ya, namanya volunteering ya bukan liburan! Kurang tidur, gak mandi, gak masalah!," ucap beberapa pihak yang sudah sering volunteering. Aku hanya bisa mengutip, sambil senyum.)



Hari pertama volunteering, fokusnya adalah sekolah. Ada yang melaksanakan program di SD dan program di SMP. Gue sendiri pergi ke SD untuk mendampingi teman-teman. Institusi pendidikan memang panggung besar untuk divisi pendidikan, tapi selalu bisa tricky dimasuki oleh divisi lainnya. Divisi pendidikan seperti biasa menjadi center komando untuk semua divisi yang ada kalau punya program di sekolah, karena divisi pendidikan biasanya dipenuhi pribadi-pribadi menyenangkan, suka melucu, suka meladeni anak kecil, sekalipun anak kecil sulit diatur dan cenderung bawel. Biasanya, divisi pendidikan yang akan ngumpulin anak-anak, warming up, sampai euforia anak-anak dirasa cukup untuk membawa mereka fokus sampai akhir materi. Disini divisi pendidikan punya program mengenai pengenalan cita-cita dan membuat pohon cita-cita. Selanjutnya program dilanjutkan dengan perilaku hidup bersih sehat dari divisi kesehatan dan dilanjutkan pengenalan sampah oleh divisi lingkungan.






Menurut gue, divisi yang pekerjaannya paling sulit dari seluruh divisi yang mungkin ada di sebuah acara volunteering ialah divisi ekonomi. Ekonomi – menurut gue pribadi yang benar-benar tidak mengerti prinsip ekonomi selain "demand semakin tinggi tapi supply rendah, maka akan terjadi scarcity dan inflasi" – adalah sesuatu yang kompleks namun krusial. Untuk bisa hidup, orang butuh daya dan upaya ekonomi. Basically, setiap orang menjual sesuatu dari dirinya untuk bisa hidup, tapi tidak pernah ada jalan mudah untuk optimalisasi daya perekonomian suatu daerah. Butuh observasi dan analisis dalam waktu yang panjang untuk menemukan inti masalah perekonomian suatu daerah, dan butuh waktu yang panjang lagi untuk menerapkan solusinya dan merasakan hasilnya. Untung rugi tidak dinilai dari sekejap mata, tapi dinilai dari waktu ke waktu, fluktuasinya, dan result secara garis waktu. Dan semua kekompleksan ini yang membuat kinerja divisi ekonomi di acara volunteering ini cukup berat, karena butuh waktu lebih untuk menggali dari masyarakat mengenai kepuasan mereka terhadap tingkat ekonomi sekarang, apa yang kira-kira bisa dicanangkan atau dioptimalisasikan sebagai sumber pemasukan masyarakat, apa kendalanya, dan lain sebagainya. Hari pertama, teman-teman dari divisi ekonomi masih pergolakan batin mau bikin pelatihan apa karena masih belum nemu titik temu antara kondisi perekonomian dan kemampuan intervensi dari mereka.

Hari kedua, fokus program adalah ke masyarakat semua usia. Acara paling banyak berpusat di balai desa, terdiri dari pemeriksaan kesehatan gratis dan juga seminar ekonomi. Sorenya, lanjut dengan acara senam bersama masyarakat (sekalian ramah tamah sebelum besok pulang ke daerah masing-masing) dilanjutkan dengan gotong royong membersihkan lingkungan desa bersama masyarakat yang merupakan acara dari divisi lingkungan (sebagai kompensasi program yang tadinya ingin membersihkan pantai – namun karena pantai berpasir adanya di desa lain dan desa kita sadly nggak punya pantai yang berpasir, jadilah program ini disederhanakan).

Pagi-pagi, gue sudah dikejutkan oleh hasil cek kolestrol dan asam urat yang tinggi-tinggi dari warga desa yang berobat – sebenernya nggak harus kaget karena what do you expect from people who eat seafood as their daily menu? – pasti tingkat kolestrol dan asam uratnya tinggi, tapi tetep seterkesima itu karena kadar total kolestrolnya nggak main-main, bahkan ada yang sampai 300. Cukup tercengang juga karena banyak pasien ibu-ibu yang mengeluh sering kesemutan dan nyeri dari pergelangan tangan ke bawah, dengan tinnel dan phallen-nya positif menandakan carpal tunnel syndrome, ada juga yang share gejala sama tapi pemeriksaannya negatif, namun tetap sugestif neuropati perifer. Setiap daerah memang punya penyakit mayoritas yang berbeda-beda dan ini yang selalu bikin gue seneng volunteering karena suka menebak-nebak dan cocoklogi penyakit mayoritas daerah dengan aspek sosiokultural dan kebiasaan daerah tersebut.

 
 
Palu reflek-ku banyak fungsi di Pulau Mantang~

Pemeriksaan kesehatan dilanjutkan dengan seminar ekonomi di siang hari, penduduk dan ketua RT RW datang meramaikan. Tadinya, fokus acara adalah melatih warga desa untuk keterampilan baru yang mungkin hasilnya kelak bisa dijadikan komoditas andalan Mantang, tapi acara dirubah menjadi sharing session mengenai pandangan warga terhadap aspek pariwisata Pulau Mantang serta membahas juga komoditas yang sekarang dihasilkan warga dan memiliki nilai jual. Dari sharing session, ditemukanlah kesimpulan bahwa komoditas andalan masyarakat adalah kerupuk ikan, namun untuk penjualannya masih sulit karena lemah di packaging, labelling (termasuk perizinan untuk industri rumah tangga, sertifikat halal), dan juga di dalam hal distribusi karena terhalang faktor geografis. Yang bisa dilakukan divisi ekonomi tentu saja optimalisasi produksi dan pemasaran dari kerupuk ikan ini, karena jelas masyarakat sangat nyaman dengan komoditas mereka yang satu ini.


Sore harinya, langit tidak begitu bersahabat sehingga membuat program kerja divisi lingkungan yaitu senam sehat dan kerja bakti membersihkan lingkungan tidak bisa terlaksana dengan baik. Tadinya sasaran program mau ke seluruh masyarakat, ke seluruh lapisan usia, tapi di akhir yang bisa digerakan adalah anak-anak. Malamnya, seluruh volunteer berkumpul dengan orang penting di desa dan warga, berkumpul di masjid untuk seserahan dan penutupan acara. Too little time, too much to do – too little time, too many tears, itu yang bisa gue simpulkan dari malam penutupan karena banyaknya peserta yang menangis – menangis karena sedih ini semua sudah berakhir, sedih akan pisah sama temen-temennya, sedih karena waktu terlalu sebentar, tapi belum memberi banyak. Walau tidur malem terus, itinerary padat, berebutan kamar mandi dan giliran untuk charge handphone, intinya tetap ada sesuatu yang worth to cry for. Sedikit banyak ada prinsip volunteering yang selalu absolut di mata gue yaitu orang akan lebih erat menyatu dalam beban dibanding dalam senang.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tengah malam, gue menenggak kopi dan tidur "power nap" seperti yang gue biasa lakukan saat ko-as. Kadang, volunteering membangkitkan jiwa ko-as gue yang makannya cepet, serba power nap, galak, dan ngotot. Jam setengah 4 pagi, gue mengangkat koper bersama dengan volunteer lain ke dermaga untuk antre naik pompong ke dermaga Sei Enam di Kijang. Laut begitu tenang dan riak-riaknya bahkan tidak sanggup membangunkan yang tertidur. 

Jam 5 pagi, semua jiwa-jiwa terlelap di dalam bis menuju Bandara Raja Haji Fisabilillah – gue pun terduduk di atas koper dengan mata menyala karena pengaruh kafein. Di jam 8 pagi, gue melepas volunteer lain dan senderan di belakang koper gue. Gue akan stay di Tanjung Pinang selama kurang lebih 1 minggu untuk kemudian pindah pulau lagi.

Jam 12 siang, gue softly landing di salah satu hostel tua di Tanjung Pinang dengan mata nyaris terpejam. Tiba-tiba gue dibangunkan, "Dok, ayo ke pantai."
Sneak peak untuk next post :)

Akhirnya gue bangun, menyadari bahwa hari-hari Kepulauan Riau gue sama sekali belum selesai.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jadi what were the lessons? 
Well, it's my second time volunteering – and I always have my own superstition about 'the second time of everything'.

Seperti halnya waktu gue ke Gunung Pangrango untuk mendaki gunung yang kedua kalinya (setelah sebelumnya mendaki ke Papandayan), perjalanan kedua itu selalu membawa suatu pelajaran – my 'second time of everything' were usually miserable, but full of lesson, seperti gue mendaki Pangrango kemudian terkilir, harus dipapah 4 jam turun ke bawah, dan cantengan. Pulau Mantang juga penuh pembelajaran buat gue, bahwa gue masih segini belum bisanya berinteraksi dan komunikasi efektif sama orang apalagi kalau underpressure, gue orangnya sangat well-planned sehingga sebenernya males kalo harus ngerombak sesuatu habis-habisan dan kerja dari 0 lagi, dan juga gue semakin menyadari bahwa at some points, when I volunteer, gue gak ada apa-apanya kalau nggak di backup dengan pemerintah.

Gue juga turut menyadari bahwa at some points, there is nothing special about being a pemuda. Pemuda adalah agent of change, beri aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia – tidak peduli betapa quotation dari Soekarno itu sangat menggugah, tapi I do not feel the same way. Pemuda pada dasarnya adalah makhluk idealis dengan semangat patriotis, not bad but not entirely goodThat is what I felt throughout the journey, termasuk ketika gue bercermin– jika ada 10 pemuda yang benar-benar berjiwa pemuda berkumpul untuk memajukan bangsa, maka dunia akan berguncang  karena baku hantam.

Image result for soekarno beri aku sepuluh pemuda
Can't really relate with this quotation, actually. Pardon, sir. Courtesy goes to the righteous owner, Seputar Event.

Sedikit menyadari bahwa walau tahun ini gue berusia 24 tahun, gue tetap pemuda, dan bahkan belum sepenuhnya berdaya atas diri sendiri.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jadi… Whoa, sudah benar-benar panjang post ini. That's what always happen when I am being too honest.

Well, sorry to end up this whole story with a lot of dark vibes – beg your pardon! Sometime, lessons come in sour taste– they are bitter, but should still be appreciated.

Terima kasih sudah membaca,
sampai ketemu di Tanjung Pinang!

Your doctor x writer,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar