For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 01 September 2019

Dongeng Kepulauan Gurindam (2): Tanjung Pinang

Selamat pagi!

Jika gue bisa memilih emosi yang akan ditampilkan dalam intro, gue akan pilih emosi senang. Senang sekali bisa menulis dalam jangka waktu yang cukup sebentar dari post sebelumnya dan senang sekali beberapa waktu belakangan ini gue bisa sambi menulis dengan melakukan sebuah pekerjaan. Gabut itu hanya enak untuk sehari dua hari, produktivitas masih lebih nikmat, after all menurut gue pribadi: Gabut pangkal overthinking. Sembah syukur ka Gusti Agung.

Selain itu, sembah syukur juga gue panjatkan tentunya ka Gusti Agung lagi, I have finally reached another milestone in my education/career aspect (?) yaitu memilih tempat internship. Yep, untuk beberapa orang yang mungkin belum mengerti jenjang pendidikan/karir kedokteran, boleh pemanasan dulu di post ini (klik). Jadi, sebenernya pemilihan internship nggak semengerikan penempatan PNS, karena sifatnya sebenernya demokratis alias bisa milih. Tapi tetep bikin deg-degan sih karena tiap wahana internship (rumah sakit yang membuka tempat buat internship) memiliki kuota. Sistemnya persis PPDB sekolah negeri, tapi skalanya nasional. Kalo telat klik, wahana yang diinginkan habis dan terpaksa mengisi wahana yang masih ada kuotanya – be it dimana saja di seluruh Indonesia. Setelah gue tidak bisa tidur dan makan beberapa hari karena memikirkan kemujuran jari jemari, akhirnya it's official bahwa gue akan menghabiskan internship gue selama 1 tahun di Kabupaten Bandung, tepatnya di daerah Cicalengka. Doakan semoga semua lancar dan bisa dilalui dengan bahagia ya.

Kabupaten Bandung, here I come.

Karena gue sudah berkomitmen untuk menuliskan satu destinasi satu post, maka Dongeng Kepulauan Gurindam ini akan berlanjut ke Tanjung Pinang. Yep, Tanjung Pinang – ibukota Provinsi Kepulauan Riau. For your information, Batam dan Tanjung Pinang beda pulau, karena somehow gue dulu berpikir bahwa Batam dan Tanjung Pinang ada di satu pulau. Batam ada di Pulau Batam, sementara Tanjung Pinang ada di Pulau Bintan… So yeah. Sebenarnya gue nggak begitu wisata terarah di Tanjung Pinang, karena memang Tanjung Pinang adalah tempat singgah sementara saja antara volunteering ke Pulau Mantang dan Kepulauan Natuna. Tapi I hope this post could help in case some of you want to spend some time in Tanjung Pinang
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

How to get to Tanjung Pinang? 

Ke Tanjung Pinang bisa pakai ferry cepat dan pesawat, tentu saja!
Sebagai provinsi kepulauan, Kepulauan Riau pasti bergantung kepada moda transportasi air, contohnya pompong, ferry, dan kapal besar. Untuk di Tanjung Pinang, nama pelabuhannya adalah Pelabuhan Sri Bintan Pura, dan di sekitar Sri Bintan Pura ini langsung banyak banget penginapan dan pusat perbelanjaan (pasar tentunya, bukan mall). Di pelabuhan Sri Bintan Pura, paling yang sandar adalah transportasi air jenis ferry, bukannya kapal besar seperti kapal PELNI. Ferry yang sandar di pelabuhan ini umumnya dari Batam dan Singapura, gue sendiri waktu itu dari Singapura naik ferry cepat Majestic dan labuh di sini. Kalau mau hopping dari Tanjung Pinang ke Batam atau Singapura-pun gampang, karena di pusat perbelanjaan sekitar pelabuhan Sri Bintan Pura banyak agen jual tiket ferry cepat (plus banyak money changer sehingga kalo mau konversi dollar Singapura ke rupiah di Tanjung Pinang bisa langsung aja cus). Take note, pusat perbelanjaan ini aktif hanya sampai menjelang magrib aja. Jadi lewat magrib jangan harap bisa booking-booking ferry atau tuker uang.



Ke Tanjung Pinang bisa juga pakai pesawat, mendarat di Bandara Raja Haji Fisabilillah (RHF) di Tanjung Pinang, udah agak menuju Kijang. Bandara Raja Haji Fisabilillah ini jaraknya sekitar 13-14 km dari Pelabuhan Sri Bintan Pura dan takes time almost 30 menit dari sana (30 menit, tidak macet). Bandara ini jaraknya juga sekitar 14 km ke arah Pelabuhan Kijang Sri Bay Intan yang biasa dipakai kapal besar PELNI untuk sandar – ya, jadi bisa dibilang lokasinya di tengah-tengah antara Pinang dan Kijang. Untuk rute penerbangan, sudah ada penerbangan yang langsung ke Jakarta tanpa transit, juga ada penerbangan ke Kepulauan Natuna dan Anambas, penerbangan ini sifatnya bisa transit atau langsung. Kalau mau menggunakan moda transportasi udara, masih lebih banyak rute penerbangan dari Batam dibandingkan dari Bandara Raja Haji Fisabilillah ini. 

Eksplorasi kemana enaknya di Tanjung Pinang? 

Karena Tanjung Pinang merupakan satu noktah di daerah kepulauan, tentu saja atraksi utamanya adalah pantai, pantai, dan pantai.

Pantai yang cukup terkenal di Tanjung Pinang adalah pantai Trikora, tapi jaraknya lumayan jauh dari Tanjung Pinang, sekitar 50 km dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, memakan waktu perjalanan 1 jam lebih. Pantai Trikora ada beberapa – Trikora 1, 2, 3, dan 4, dengan Trikora 4 merupakan pantai yang paling jauh. Sepulang gue dari bandara Raja Haji Fissabilillah, gue check in di salah satu losmen tua di Tanjung Pinang dan langsung cao ke Trikora 4. Akses ke Trikora mudah, tidak macet, dan jalannya bagus. Trikora adalah pantai berpasir putih dan berbatu di beberapa spotnya, batu-batunya mirip batu-batuan di pantai Belitung yang dipakai shooting film Laskar Pelangi. Air di pantai ini tergolong jernih banget walau menurut temen-temen gue yang memang anak pantai banget banget banget, "Jernih sih tapi segini belum paling jernih". Mohon maaf, sebagai prior citizen of Jabodetabek yang sehari-hari ngeliat keruhnya pantai Ancol, gue rasa kejernihan pantai Trikora ini hakiki sekali. Kalau kalian mau cari pasir pantai yang halus dan enak buat guling-guling, Trikora punya. Tapi kalau kalian berniat jemuran aja di atas batu besar atau main-main air di tempat dangkal, berbatu, tapi kadang agak bikin lecet-lecet, Trikora juga punya. Untuk bisa mendapatkan gambaran yang konkrit mengenai Trikora, gue persembahkan beberapa foto-foto, supaya tidak hilang arah:

 



Tapi fix, karena gue tipe orang yang 1) Tidak suka kena pasir pantai karena susah dibersihkan, 2) Tidak bisa berenang, 3) Tidak begitu candu terkena salty water yang mampu membuat rambut kaku-kaku, 4) Pergi ke pantai untuk cari suasana yang pas buat merenung, berkontemplasi, atau sekedar pengen dengerin lagu aja, gue sangat suka pantai Trikora. Gue harus state dengan bold font untuk mempertegas. Di Trikora, orang yang pengen ke laut tapi nggak terlalu suka laut dimanja dengan pemandangan yang indah, bebatuan yang bisa buat duduk-duduk dan tidur, ketenangan, dan suara debur ombak yang nggak terlalu kencang dan nggak terlalu pelan. Gue menghabiskan banyak waktu untuk duduk-duduk saja sambil denger lagu dan baca buku (dan tentunya sambil liat temen-temen gue nyebur dan main air – walaupun akhirnya dipaksa juga untuk masuk ke air dengan dalih sayang kan udah ke laut tapi nggak nyebur).

Selain pantai, tentu saja karena Tanjung Pinang dikelilingi pulau, wisata pulau jadi atraksi sendiri. Ada dua pulau sekitar Tanjung Pinang yang bisa jadi opsi untuk melancong, yakni Pulau Dompak dan Pulau Penyengat.

Gue ke Pulau Dompak karena aksesnya mudah: tidak perlu pakai pompong, cukup naik mobil karena ada jembatan membentang dari Pulau Bintan ke Pulau Dompak. Pulau Dompak adalah wilayah pusat pemerintahan baru, ada juga universitas negeri maritim Raja Ali Haji. Jembatan di Dompak bagus sekali dan paling fotogenik di waktu senja. Sayangnya, gue lewat sana malem-malem, jadi nggak bisa foto secara proper. Gue nggak tau ada tempat wisata apa lagi di Dompak selain monumen lambang pemerintahan provinsi Kepulauan Riau, tapi barbeque-an di tepi pantai di Pulau Dompak ini cukup menyenangkan. Gue pergi ke Dompak menjelang senja, mencari tepian pantai yang sepi dan tenang, kemudian build up perapian, dan bakar-bakar ikan. Hampir semua pantai di Dompak sesepi itu di hari kerja dan gue senang sekali bisa quality time bersama teman-teman baru di tepi pantai (walau menurut gue pantainya ya biasa aja, pantai dan pasir tok).





Sementara kalo memang punya effort lebih untuk tamasya pulau dan memang ingin eksplor banyak mengenai kebudayaan Melayu, Pulau Penyengat merupakan opsi yang oke. Pulau Penyengat punya sejarah yang dominan dalam masuknya budaya Melayu dan Islam di Kepulauan Riau – di sana ada masjid tertua dan seperti yang kita tahu, gurindam adalah karya sastra asal Melayu dan bisa dibilang pulau ini adalah home of Gurindam. Cara menuju Pulau Penyengat sebenarnya tidak sulit karena dermaga pompongnya dekat dengan Pelabuhan Sri Bintan Pura. Jadi, keluar dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, langsung ada arah penunjuk jalan menuju dermaga Pulau Penyengat. Naik pompong-pun hanya kisaran 20-30 menit dan pulaunya sendiri (beserta masjid ikoniknya) keliatan dari tepi pantai Tanjung Pinang (ampun deh, padahal gue nginap di dekat dermaga tapi gak pernah menyempatkan diri ke Pulau Penyengat, hehe!)

Masjid Pulau Penyengat. Thank you Kemdikbud for the illustration.

Selain pantai dan pulau, Tanjung Pinang merupakan daerah multikultural dengan banyak atraksi beraroma kultural/keagamaan. Tanjung Pinang itu nggak Melayu tok – banyak warisan kebudayaan Tionghoa di jalan-jalannya. Begitu nginjek pusat perbelanjaan (pasar) yang terdekat dengan Pelabuhan Sri Bintan Pura, langsung bisa nemu vihara dan pertokoan dengan sentuhan Tionghoa yang kental sekali. Kalo view dari Google, beberapa tempat kultural Tionghoa/buddhist/taoist yang merupakan atraksi wisata itu meliputi Banyan Tree Temple, Vihara Ksitigarbha Bodhisatvva (disebut juga 500 Lohan Temple), dan Vihara Avalokitesvara Graha (claimed as the largest Buddhist temple in South East Asia).

500 Lohan Temple, a picture from hiveminer.com, great shot!

Untuk yang mau melihat sedikit kebudayaan Melayu tapi nggak main ke Pulau Penyengat karena takut air atau alasan lainnya, bisa dapet sneak peek sedikit di museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Museum ini berlokasi di dekat pusat perbelanjaan deket pelabuhan Sri Bintan Pura dan berupa bangunan tua. Masuk gratis (free entry) hanya dengan mencantumkan nama, pekerjaan (mahasiswi), dan email. Di dalamnya ada kumpulan kertas gurindam lama bertuliskan Arab gundul, kumpulan gurindam modern (termasuk 12 gurindam legend gubahan Raja Ali Haji), papan yang menjelaskan bagaimana masuknya orang-orang Melayu ke Indonesia, sejarah kerajaan Melayu khususnya di Kepulauan Riau, sampai suku-suku yang ada di Kepulauan Riau sekarang (termasuk orang laut), dan juga baju adat serta tata cara pernikahan menggunakan adat Melayu (suprisingly di segmen pernikahan dengan adat Melayu dijelaskan sangat detil dan lengkap, mulai dari baju, seserahan, makanan, sampai doa-doa, dan apa yang harus dilakukan selama akad dan resepsi). Overall, museum ini cukup informatif, tapi kurang terdigitalisasi sehingga ya kayak masuk pameran benda-benda kuno aja dan baca poster; untuk orang yang suka membaca dan memang hobi ke museum cukup menyenangkan, tapi most of time orang akan menganggap museum itu membosankan. Semoga bisa menjadi masukan untuk petugas museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.


Baca, baca, dan baca~ Dari poster~ Karena belum terdigitalisasi.

Pelaminan adat Melayu.

Selain itu, sama seperti iklim bisnis di bagian manapun di Indonesia, sekarang orang-orang masih getol berbisnis kopi. Di Tanjung Pinang, kalau udah nggak tahu mau kemana, bisa coba-coba cari coffee shop. Beberapa coffee shop di Tanjung Pinang terletak agak terpencil di pesisir pantai. Gue waktu itu ke coffee shop kalo gak salah namanya kopi 757, yang kedainya harus masuk gang dan ngelewatin jalan beton di atas laut yang sempit dan tanpa pembatas , dan kedainya literally nangkring di tengah laut. Untuk yang belum pro naik motor mending jalan kaki aja, daripada pas naik motor jatuh ke laut. Tapi memang sesuatu yang bagus tidak didapatkan dengan mudah – kedai kopi bentuknya semi outdoor (beratap tapi terbuka) sehingga angin laut bisa menerpa, suasananya tenang, background musik-nya lagu-lagu indie Indonesia plus ombak, dan menu-nya terbilang murah. Seinget gue menu yang paling mahal adalah kisaran Rp. 20.000, gue sendiri waktu itu pesen teh tarik hangat harganya Rp. 7000. Kedai ini buka sampai lewat tengah malam kok dan ada wifi yang kencang, sangat comfy buat mahasiswa yang ingin ngerjain tugas sampai larut malam tapi tagihannya tetep murah. 


Naik apa selama di Tanjung Pinang? 
Selama gue berada di Tanjung Pinang, beberapa hari gue rental mobil dan sisanya nebeng motor temen (syukurlah I managed to have some good friends there, thank you Dela, Kur, dan Jekky!). Beberapa angkot dan bis lalu lalang, tapi gue nggak begitu paham rute dan treknya. Ojek online banyak, jadi no worries!

Sekedar menginfokan, kalau mau rental mobil atau motor harap berhati-hati ya, karena gue mengalami kejadian nggak enak pas rental mobil. Pastikan sebelum meminjam, kalian mencermati dulu keadaan kendaraan, terutama mobil – periksa isi bagasinya ada apa aja dan tentu saja perhatikan cacat mobil (ada lecet nggak? Di sebelah mana? Pastikan juga difoto lecetnya). Kejadian yang terjadi ke gue adalah temen gue rental mobil setengah terburu-buru (asal nemu, deal, ambil) dan semua baik-baik saja (kita nggak aneh-aneh dan nggak nabrak) sampai akhirnya pas balikin mobil, kita ditahan karena katanya ada lecet di bagian kiri depan. Kita liatin baik-baik lecetnya dan nggak terlihat dan teraba kayak lecet baru. Masalahnya, temen gue ini nggak meriksa kendaraan sebelum pinjam dan nggak punya bukti kuat untuk menyangkal karena nggak ada foto. Orang ini minta 300 ribu bayaran untuk ganti lecet saja dan kita bilang kita aja yang bawa ke bengkel, pas dibawa ke bengkel ternyata cuma dibanderol 150 ribu. Ketika ditanya kita rental dimana dan sebut tempat, orang bengkel langsung bilang, "Aduh disitu sih sering banget kejadian kayak gini, kenapa pinjem disitu!".


Intinya, be cautious ketika meminjam kendaraan dan selalu dokumentasi, karena dokumentasi yang baik adalah alibi yang baik dan akan menyelamatkanmu!
(Btw, rental mobil di Tanjung Pinang yang gue temukan rata-rata berkisar antara 200 ribu - 300 ribu per hari, mobil transmisi manual. Mahal ya? – atau gue aja yang kurang mencari opsi lain?) 

Makan apa di Tanjung Pinang? 
Makan segalanya yang sea food dong. Otak-otak ikan sama otak-otak cumi banyak dijual di sekitar Sri Bintan Pura atau dermaga ke Pulau Penyengat. Ikan-ikan segar dibanderol dengan harga yang lebih murah, misalnya ikan ayam-ayam yang biasanya Rp 40.000-60.000, di sana bisa dapet sekitar Rp 30.000-35.000. Lumayan buat barbeque-an hemat di tepi pantai.


Jangan lupa juga coba gonggong, karena ini makanan khas Kepulauan Riau. Gonggong adalah makhluk bercangkang sejenis siput/kerang, nama latinnya adalah Canarium stoumbos, yang banyak ditemukan hidup di perairan Kepulauan Riau. Gonggong ini biasanya direbus dan dimakan bersama saus kacang, saus lada hitam, atau saus tiram. Gonggong sendiri, selain sebagai makanan, juga merupakan ikon Kepulauan Riau. Bahkan di Taman Tepi Laut di Tanjung Pinang, ada gedung gonggong.

Gonggong. Thank you Pesona Travel for the illustration (click for the source)

Karena gue alergi semua seafood (udah coba-coba tapi tetap berakhir gatal, bibir bengkak, dan selalu dituntaskan dengan minum cetirizine), gue nyerah, nggak makan seafood. Sebagai gantinya, makanan khas Tanjung Pinang yang gue makan adalah mie lendir. Mie lendir di pertokoan deket Sri Bintan Pura sudah buka di pagi hari dan mie ini beberapa kali jadi menu sarapan gue. Mie lendir isinya adalah mie kuning, toge, ditaburi seledri dan bawang goreng, disajikan dengan telor rebus iris, dan dibasuh kuah cokelat kental kombinasi antara kacang tanah dengan ubi jalar. Rasanya agak manis dan enak, tapi untuk lidah Sundaku tentu saja aku lebih suka makanan yang asin hehe. Eh tapi serius, enak!


 


Btw sedikit kamus bahasa Kepulauan Riau ketika memesan minuman.
Kopi panas: Kopi O
Kopi dingin: Kopi obeng
Teh panas: Teh O
Teh dingin: Teh obeng 
Trivia: Obeng, diambil dari bahasa Tionghoa 'openg' yang artinya dingin. Pelafalan openg agak sulit untuk orang Tionghoa, sehingga huruf p diganti huruf b. 

Tidur dimana di Tanjung Pinang? 
Menurut gue, mencari hotel di Tanjung Pinang agak challenging karena ketika lo mau yang murah (kisaran Rp 90.000- Rp. 200.000), lo dapetnya either semi losmen, semi hostel, atau gedungnya sangat tua dan perawatannya kurang, dan ketika lo udah klik nemu yang desainnya interiornya cukup minimalis, modern, dan terawat seperti hotel-hotel zaman sekarang (spell it: Fave hotel, IBIS Styles, Pop Hotel), lo bakal nemu kisarannya bisa hampir Rp 450.000 - Rp. 700.000 (padahal mungkin kalau di daerah lain, terutama di pulau Jawa, hotel seperti itu masih bisa dapet di range Rp 250.000 - Rp. 400.000 lah walau tergantung season). Kesimpulannya, di Tanjung Pinang yang ada hanya hitam dan putih, murah dan mahal, modern dan tua.

Dua hari pertama, gue menginap di hostel/losmen dengan harga Rp 97.000/malam, kamar kisaran ukuran 3 x 3 meter dengan tempat tidur queen size, dan lemari yang sudah rusak dan visually inattractive, serta kamar mandi yang masih menggunakan bak dan gayung, televisi tahun 2000-an, dan bangku plastik. 4 hari selanjutnya gue pindah ke hotel yang termasuk paling tua di Tanjung Pinang dengan harga Rp. 150.000/malam, kamar luas dengan twin bed, satu meja dan kursi, serta lemari kecil (yang sudah tua dan agak bobrok) yang diatasnya ditaruh televisi tahun 2000-an, toilet dengan shower dan water heater. Walau visually masih seperti hotel tua dan kurang maintenance, setidaknya perlengkapan di dalamnya masih fungsional, dan the good thing, hotel ini easy access sekali karena terletak di sekitar pertokoan dekat Pelabuhan Sri Bintan Pura dan tinggal jalan kaki sekitar 200 meter ke dermaga Pulau Penyengat.




So, learn from my experience you only have some choices in Tanjung Pinang – you either be rich or you just stay in cheap hostel. Btw, hotel dengan interior yang modern dan sepertinya masih tergolong baru di Tanjung Pinang adalah hotel Nite & Day Laguna Bintan dengan harga kisaran Rp 441.000 - Rp 578.000/malam (rate tanggal 31 Agustus 2019 ya!)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jadi? 
Jadi, segitu yang bisa gue paparkan tentang pengalaman di Tanjung Pinang dan juga hasil observasi gue mengenai Tanjung Pinang lewat dunia maya/dunia riil. I know it was not much, but I do hope it helps! Masih banyak tempat yang belum gue eksplor di Tanjung Pinang – sama sekali belum eksplor ke daerah Batu (dimana di sana ada wisata Tionghoa dan temple-temple yang sudah gue tuliskan di atas) dan ternyata di Tanjung Pinang ada wisata alam Danau Biru yang terbentuk dari akumulasi air hujan yang terperangkap di lubang bekas tambang pasir. Maklum, selain stress mikirin susahnya beli tiket PELNI ke Natuna dan sibuk mengantri di kantor PELNI hampir tiap pagi-siang, di Tanjung Pinang juga ada beberapa kendala dalam transportasi (as I said before). Semoga nanti-nanti kalau berkunjung ke Tanjung Pinang, gue punya state finansial dan preparation yang lebih baik sehingga bisa eksplor lebih banyak! 


Danau Biru, shall I see you next time! Thank you Wisata Baru.com for the illustration (click to source)

Setelah hari ke 5 di Tanjung Pinang, akhirnya gue berhasil dapet tiket kapal PELNI ke Kepulauan Natuna dan setelah 6 hari stay di Tanjung Pinang (dengan malam terakhir gue nginep di Kota Kijang, kota sebelah Tanjung Pinang), akhirnya gue harus melepas segala ke-kotaan Tanjung Pinang untuk move ke Kepulauan Natuna. Gue akan tulis lagi tentang Natuna di next post, semoga aku masih punya audiens, hehe!
Masjid Agung Kota Kijang. Di depannya ada dancing fountain yang menyala tiap malam!

Salah satu taman di Kota Kijang. Kota Kijang cukup banyak tempat rekreasi terbuka gini.

P.S: Di akhir post ini gue sangat berterima kasih dengan pemuda-pemudi Kepulauan Riau untuk segala bala bantuan, sambutan hangat, dan daya upayanya. Kutunggu hadirmu di Jakarta (yang sudah bukan lagi ibukota) – Mardelatika, Viviana Viola, Sayyid Karzeky, Kurniawan 'Abanglong', Rendy Dastian, Yusan Gemilang, Kamal, dan semua pihak yang namanya tidak bisa disebut satu-satu. Terima kasih banyak!
Terima kasih telah membaca, hope it helps you.

Your doctor and writer, Dina


Tidak ada komentar:

Posting Komentar