For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Senin, 02 Desember 2019

Dongeng Kepulauan Gurindam (3): Kabupaten Natuna

Selamat malam semuanya.

Aduh, udah hampir 2 bulan vakum nulis – padahal tadinya sudah bertekad untuk lebih rajin lagi nulis seperti waktu masih muda dulu (karena sekarang sudah tua pisan, euy!), karena somehow menulis adalah my very personal sport and saved me for times (from my chaotic mind).

Ada banyak hal yang gue lakukan selama 3 bulan ini – terlalu banyak sampai I lost count. Setiap gue melakukan sesuatu, gue pasti ngomong sama diri sendiri, "Ini harus ditulis nih di blog", "Ih ini harus lebih diabadikan lewat gambar (alias harus difoto)", tapi ya emoh, ujung-ujungnya sirkuit impuls dari otak nggak turun ke jari, yang ada menunda lagi dan lagi. 

3 bulan ini,  gue mulai bekerja dan sudah selesai bekerja (duh :")), naik gunung, dan pergi tamasya menjelajah leuwi-leuwi-an lagi di daerah Sentul, Bogor – dan last, gue pindah domisili dan pindah bekerja (hey I am currently residing in Kabupaten Bandung). Semoga hal-hal bagus yang gue sebutkan bisa gue bikin konten di sini walaupun nggak ada yang baca.

Can somebody guess recent place I went to, judging from this picture?

Oke. Karena gue sudah berkomitmen untuk membagi segmen Kepulauan Riau menjadi post-post berdasarkan destinasi untuk mengapresiasi tiap momen yang sudah berlalu, so here we go again with Dongeng Kepulauan Gurindam segmen Kabupaten Natuna. Ya, Kabupaten Natuna – banyak orang yang tidak mengenali daerah ini sebagai salah satu bagian dari Indonesia. Gue dari dulu sudah pernah dengar nama Natuna, tapi gue pikir Natuna itu di dekat Nias – sampai akhirnya gue setuju untuk ikut berangkat ke sini untuk volunteering dan mulai membaca profil daerah. Kabupaten Natuna adalah salah satu dari kabupaten yang ada di Kepulauan Riau, tentu saja terdiri dari pulau-pulau, dan merupakan pulau terluar di Indonesia. Kepulauan ini terbentang di tengah Laut Cina Selatan dan berbatasan dengan negara Vietnam, Kamboja, dan Thailand (naik kapal tentu saja). Kabupaten Natuna, menurut gue pribadi, adalah zona harap-harap cemas di Indonesia, karena sebenarnya kabupaten ini kaya alamnya tapi posisinya terlampau jauh dan ujung sehingga rentan kecolongan. Salah satu kasus yang hits di Natuna belakangan ini adalah pencurian ikan di sekitar lautnya oleh kapal milik Vietnam. Konsekuensi? Kapalnya ditenggelamkan di Natuna oleh Bu Susi Pujiastuti, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan.

Thank you for googleadsensetrainingvideos for this picture.

Oke, shall we start in segments for the sake of our eyes, then?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

How to get to Kabupaten Natuna?
Karena Natuna adalah suatu kabupaten yang 'mengapung' di tengah Laut Cina Selatan, tentu saja hanya 2 pilihan transportasi yang masuk akal (tapi kadang harga tiket transportasinya atau cara dapet tiketnya yang gak masuk akal) – yakni via laut dengan kapal, atau via udara dengan pesawat.

Untuk via laut, biasanya perjalanan ke Natuna menggunakan kapal PELNI, be it kapal besar seperti Bukit Raya, atau kapal yang agak kecil seperti KM Umsini atau KM Sabuk. Setiap kapal rute layarnya berbeda serta waktu tempuhnya berbeda karena kecepatan knotnya tentu saja berbeda. Untuk pemesanan tiket, bisa dilakukan lewat website pelni.co.id atau bisa langsung beli offline di kantor PELNI daerah yang dilewati kapal tersebut (misal, kapal Bukit Raya melalui pelabuhan Kijang di Bintan, dan pelabuhan Tarempa di Kepulauan Anambas – berarti bisa beli tiket either di Tanjung Pinang atau di Tarempa, tergantung mau naik dari mana). Sayang sekali, ke Kepulauan Anambas masih bisa naik ferry dari Tanjung Pinang, tapi ke Natuna harus pakai kapal besar karena ombak Laut Cina Selatan yang seringkali pasang dan unpredictable. Pada umumnya, kapal-kapal akan berlabuh di pelabuhan Selat Lampa, di Pulau Natuna Besar.

Ini salah satu contoh kapal yang ukurannya lebih kecil daripada kapal ke Natuna.
  
Untuk via udara, perjalanan ke Natuna menggunakan maskapai seperti Wings Air atau kadang, Susi Air – pakai pesawat baling-baling yang ukurannya kecil. Paling banyak penerbangan start dari Batam dengan durasi penerbangan sekitar 1 jam 40 menit hingga 2 jam, kisaran harga tiket sekitar Rp 1.200.000 hingga Rp 1.400.000. Penerbangan hampir ada setiap hari, ke Bandara Ranai, Kabupaten Natuna.

Tentu saja, ada harga ada rupa serta ada harga yang dihemat. Solusi murah tentu saja dengan kapal. Naik kapal dari Jakarta ke Natuna bahkan nggak sampai Rp 500.000 (untuk KM Bukit Raya), tapi perjalanan dari Jakarta ke Natuna bisa memakan 4 hari.  Mau lebih mahal tapi lebih sedikit waktu terbuang? Tentu saja pesawat pilihannya. Rogoh kocek agak dalam dan kamu akan sampai di Natuna tanpa durasi perjalanan yang lama, tanpa siklus ngeliatin laut berhari-hari, wondering kamu lagi dimana, kemudian terbaring karena mabuk laut, atau kejadian-kejadian seperti suplai air tawar di kapal habis dan kamu harus nahan BAB dan BAK.

Interior kapal

Hey I think I am gonna make a written tutorial and some information about ship-booking and traveling by ship with PELNI! (dengan segala suka duka dan bumbu selama perjalanan dengan kapal besar) – ditunggu post-nya ya. 

Apa highlight dari Kabupaten Natuna?

  1. Tentu saja potensi ekonomi yang baik karena kondisi geografisnya

Laut Cina Selatan adalah perairan seluas tiga juta kilometer persegi yang diperebutkan 6 negara ASEAN dan 1 negara Asia, yaitu Cina. Sedikit trivia untuk lebih menjelaskan betapa kayanya Laut Cina Selatan: Laut ini merupakan jalur lalu lintas perdagangan internasional worthy of USD 5,3 trillion/year, diperkirakan memiliki cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam up to 190 trillion cubic feet, dan menurut kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, laut ini memiliki 1/3 keanekaragaman hayati laut dunia serta menyumbang 10% kebutuhan ikan dunia.

Thank you Katadata for providing this infographic.

Ini baru aja ngomongin soal Laut Cina Selatan, belum Kabupaten Natuna-nya sendiri. Kabupaten Natuna punya sumber daya perikanan sekitar 1 juta ton per tahun, punya ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna Besar dengan jumlah total cadangan 222 trillion cubic feet dan ladang gas hidrokarbon sebesar 46 trillion cubic feet yang merupakan salah satu sumber gas terbesar se-Asia, punya potensi pertanian dan perkebunan juga seperi ubi, kelapa, karet, sawit, dan cengkeh, serta diberkahi dengan kenampakan alam yang bervariasi mulai dari pantai, laut, pulau-pulau, bahkan punya bukit, air terjun, dan gua. Yes, this land is really blessed.


  1. … But still underdeveloped.

Dari sejumlah good sides Kabupaten Natuna yang gue jabarkan di atas, pengelolaannya belum cukup optimal. Sumber daya perikanan yang bisa sampai 1 juta ton per tahun itu total pemanfaatannya hanya 36% dengan pemanfaatan oleh masyarakat daerahnya sendiri hanya 4,3%. Potensi gas mulai dikelola dengan BUMD Kepri sekarang. Potensi wisata alam juga hanya beberapa yang well-known, misal, Alif Stone dan Pulau Senoa. Menurut gue pribadi, sumber pemasukan wisata berputar di sekitar pantai dan laut saja, sementara wisata lain (misal, gunung, air terjun, gua) belum tereksplorasi dan well-known, padahal Kabupaten Natuna diberkahi dengan kenampakan bukit-bukit dan ada satu gunung berketinggian rendah, yaitu gunung Ranai, dan sebenarnya bisa didaki walau medannya berbatu.

Bukit Ranai dari kejauhan
 Bicara soal sinyal, berbeda dengan waktu di Mantang yang kemana-mana 4G, sinyal di Natuna masih agak underdeveloped. Di wilayah pengabdian gue, Tanjung, Bunguran Timur Laut, tidak jauh dari ibukota Natuna, Ranai, sinyal yang available dengan kuat hanya Telkomsel (No, telkomsel doesn't pay me, it's a honest review). Teman gue sempat berdomisili di daerah Ceruk, tidak jauh dari Tanjung juga, dan bilang kalo di sana sinyal XL ada lah sedikit-sedikit. Soal internet, banyak terpasang wifi gratis di dekat sekolah SD-SMP, jadi monggo kalau mau menjadi fakir internet, bertenggerlah di depan pagar sekolah untuk bisa menikmati wifi gratis.


  1. Banyak banget pangkalan militer!

Yes, sesuai dengan statusnya yang harap-harap cemas, di Natuna banyak sekali pangkalan militer, apalagi kalau baru turun di pelabuhan Selat Lampa dan berniat untuk ke ibukota Kabupaten Natuna, yaitu Ranai –  bakal nemu banyak banget pangkalan militer beserta kapal-kapalnya, terutama Angkatan Laut di sekitar daerah Selat Lampa. Untuk para pecinta drama Descendants of The Sun yang mau merasakan cinlok dengan tentara mungkin bisa mampir ke Natuna, barangkali bisa gak sengaja tubrukan sama tentara di sekitar pelabuhan.

(Mohon maaf saya dokter tapi nggak berniat nubruk TNI manapun di Natuna dan gak mau mencontoh adegan-adegan Song Hye Kyo dan Song Jong Ki (yang sekarang sudah bubar grak), serem gak sih nubruk-nubruk TNI nanti dikira cari ribut.)

Kepada pencinta pria berseragam, harap maju ke depan. Thank you Good News From Indonesia for the pic!

  1. Sama-sama berbahasa Melayu, tapi dialeknya beda – dialek Natuna

Nah ini adalah poin yang paling tidak bisa gue jelaskan di antara semua highlight di Natuna. Gimana ya – bagaimanapun proses berbahasa itu adalah proses paling dinamis. Bahasa disuarakan, digemakan ulang, dimodifikasi, diganti lafal bahkan maknanya, hingga jadi identitas suatu komunitas yang menggunakan bahasa tersebut. Seperti bahasa Melayu diadopsi jadi bahasa Indonesia dan juga diadopsi menjadi bahasa-bahasa tradisional di pulau-pulau kecil, terutama di daerah Sumatera. Bahasa Melayu Tanjung Pinang akan berbeda dengan bahasa Melayu Lingga, dan tentu saja berbeda dengan bahasa Melayu Natuna. Beda pokoknya. Di Natuna ini, pengucapan huruf E dan 'ain' cengkoknya itu terasa sekali. Contoh, mau bilang "Tidak", jadi "Ndek" tapi E-nya medok banget dan K-nya jadi ain yang super cengkok banget. Pokoknya, 1 minggu lebih gue di Natuna, gue masih sangat kesulitan mencerna bahasa daerahnya – jangankan untuk berbicara, mengertipun kadang tidak mampu.

Thank you rebloggy.com 

  1. Seafood, seafood, and seafood. Dan kue bangkit.

Berbicara wilayah kepulauan, sudah pasti komoditas andalan di Natuna adalah seafood. Di Natuna banyak makanan olahan dari ikan tongkol mulai dari kernas yang merupakan kue olahan campuran sagu dan ikan tuna atau tongkol (biasanya tongkol) dan biasa disajikan dengan sambal dengan formula khusus, pastel yang isinya olahan ikan tongkol juga (lupa namanya apa), dan juga yang sering nemu di warung sama jajanan anak SD adalah lempar (wujud seperti lemper, tapi bagian luarnya adalah ubi kayu/beras ketan dan dalamnya diisi abon ikan). Satu-satunya jajanan warung yang gue bisa (dan suka) makan adalah kue bangkit. Kue ini bentuknya mirip dorayaki, konsistensi cenderung lembut dan alot dengan rasa yang manis.

Kue Bangkit yang versi Natuna mirip dorayaki. Karena nggak sempet foto, ambil dari BatamNews. Thank you!

Pastel isi olahan ikan tongkol.

Yang bulet-bulet cokelat berbintik putih itu adalah produk khas Natuna, namanya Kernas.

Sekedar melengkapi pengetahuan lewat literature review (karena nggak nemu di sekitar tempat volunteering), ternyata di Natuna juga ada 'pizza khas Natuna' yaitu Tabel Mando – basenya terbuat dari sagu, toppingnya ikan dan bumbu khusus, ada juga sambal-sambal khusus seperti Pedek (sambel + ikan asin yang difermentasi) dan Calok (sambel + olahan udang) yang biasanya dimakan dengan ikan asap juga (okay, double seafood kill, I can't…). Yang pasti, kata temen gue semua jajanan olahan ikan Natuna enak dan khas, tapi gue tetep nggak bisa makan karena alergi seafood.

Gimana volunteering di Kabupaten Natuna? 
Kami berdua puluh orang disambut dengan betapa crowded-nya Pelabuhan Selat Lampa, Natuna. Kapal sandar pukul 6 sore, telat sekitar 5-6 jam dari estimasi sandar awal di jadwal. Sebenernya nggak heran crowded, karena di dalam kapal sendiri rasanya begitu penuh, orang tidur dan duduk bergelimpangan dimana-mana. Kami berdua puluh struggle saling gotong carrier dan koper sendiri, beserta donasi yang jumlahnya cukup banyak. Berjubelan dan hantam sana sini – akhirnya kita berhasil keluar dari kapal PELNI yang sudah jadi tempat tidur-sunbath-mabuk-tidur lagi selama 4 hari (bagi yang berangkat dari Jakarta), 3 hari (bagi yang berangkat dari Bangka), dan 2 hari (bagi yang berangkat dari Kijang – gue).

Serame itu pelabuhan Natuna waktu gue touchdown pertama kali.

Perjalanan di malam hari dari Selat Lampa ke tempat pengabdian di Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur Laut adalah salah satu perjalanan yang tidak pernah gue lupakan dalam hidup. Gue duduk di bak mobil pick up dengan tas-tas dan barang donasi, gue bersandar ke tas, menatap langit Natuna yang bertabur bintang dan siluet laut dari kejauhan sambil ngeri-ngeri sedap karena kontur dan liuk jalanan mirip jalanan pegunungan yang menanjak dan menurun dengan curam. Memang jalanan Selat Lampa ini membelah gunung kapur dan merupakan salah satu mega proyek Natuna dulu saat pembuatannya.

Perjalanan dari Selat lampa ke Desa Tanjung memakan waktu 1 jam lebih, hampir 1 setengah jam – cukup jauh, mengingat tidak ada kendaraan lain di jalan kecuali mobil pick up kami, jalanan lancar blas. Sampai di Desa Tanjung, kami disambut seorang sekretaris desa yang menyesalkan betapa lamanya keterlambatan kapal karena tadinya semua aparat desa, termasuk kepala desa, sudah berkumpul di balai desa untuk penyambutan. Selama di Natuna, kami berdua puluh akan tidur di bangunan kosong yang bertempat di sekitar balai desa dan pusat pemerintahan desa. Akhirnya setelah beberes berang bawaan, gue dan teman-teman mengarungi jalanan Desa Tanjung dengan headlamp untuk pergi ke mushola yang jaraknya sekitar 1 km lebih buat sholat, bebersih badan, dan buang hajat (toilet ada di mushola). Sesudah lampias dan pulang dari musholah, gue tidur di pojokan dalam sleeping bag dengan tubuh masih terasa bergoyang seperti tidur di kapal.

Jalanan Natuna modelnya kayak gini. Tanpa lampu kanan-kiri. Coba bayangin kalo malem :)

1 hari besoknya kami vakum berkegiatan karena penuh penyambutan dengan pihak aparat desa (kepala desa, sekretaris desa, dan petugas pelaksana lainnya – bahkan ada pak camat juga) yang kebetulan full team hadir karena memang ada rapat desa juga. Ketika vakum berkegiatan, divisi yang paling bisa curi start adalah divisi ekonomi. Divisi ekonomi sudah mulai ancang-ancang bertanya mengenai kebijakan ekonomi desa, bumdes, dan juga sudah mulai pendekatan ke warga yang tinggal di sekitar balai desa. Divisi kesehatan seperti aku? Masih hilang arah tentu saja. Sepertinya untuk kebaikan pengelihatan, lebih baik kisah volunteering dipaparkan ke dalam section divisi ya? 

Divisi Pendidikan 
Tentu saja divisi paling luhur, cinta anak-anak, dan memiliki komando baik dalam memimpin sekumpulan anak-anak – yang biasanya tidak mau mendengarkan. Program divisi pendidikan paling banyak berlangsung di sekolah (tepatnya sekolah dasar) dan ketika mereka menjalankan program, mereka pegang anak kelas 3 dan 4. Gue selalu apresiasi setinggi-tingginya pada divisi pendidikan karena mereka bisa tetap tenang menghadapi anak-anak yang sulit diatur, serta bisa membuat anak-anak mencintai mereka. Program divisi pendidikan di tajuk volunteering ini di antaranya adalah wawasan kebangsaan dengan memperkenalkan pahlawan-pahlawan dengan menyusun kolase (mohon maaf saking totalitasnya sampe finishing potongan kolasenya pun di kapal pas di perjalanan ke Natuna), lalu mengajak anak-anak berani bermimpi dengan menggambarkan cita-citanya pakai cat akrilik dan kuas di layangan untuk kemudian diterbangkan bersama-sama. Divisi pendidikan juga turut datang ke rumah baca untuk mengantarkan donasi buku bacaan dan pelajaran.

Beberapa dari divisi pendidikan yang sangat suka anak kecil dan bisa mengomando mereka.






Sedikit belok dari kegiatan overall divisi pendidikan, dari semua rangkaian pengabdian jilid Natuna, gue sangat apreasiasi sama SD Negeri 001 Tanjung yang jadi tempat pengabdian, karena jajaran guru dan staffnya sangat kooperatif luar biasa. Sekolah ini juga sangat colorful dan penuh dengan botol plastik – ya, botol plastik yang dimodifikasi jadi pot bunga, pagar taman, bahkan lampu. Kepala sekolah SD ini sangat senang mendaur-ulang sampah plastik – bahkan pernah mendaur ulang plastik kemasan makanan jadi baju yang waktu itu sempat dipentaskan di sebuah acara fashion show recycle lokal di Natuna. Selain itu, di SD ini, prestasi non-akademis sangat disupport oleh sekolah. Kepala sekolah serta guru-guru megang banget pendidikan tari persembahan Melayu dan membimbing anak-anak untuk bisa membawakan gurindam Raja Ali Haji dengan bagus dan berseni. Selain itu juga, kepala sekolah dan guru peka banget terhadap anak-anak yang punya bakat plus-plus – sekiranya ada anak yang jago nyanyi, langsung dikirim untuk mewakili sekolah, ada anak yang pinter bercerita juga dikirim untuk mewakili sekolah. Di sekolah ini, tiap jenjang kelas hanya ada 1 kelas (misal, kelas 1 SD hanya ada 1 kelas, kelas 2 hanya ada 1 kelas) dengan rata-rata 1 kelas berjumlah 40 orang dan rasanya kepala sekolah dan guru kenal semua siswa di sekolah itu.



Divisi Kesehatan 
Satu-satunya divisi yang bisa gue kontribusiin (thanks to medical school, kalo ambil jurusan kuliah lain mungkin saja gue gak bisa cocok berkontribusi di divisi manapun pas volunteering). Jadi highlight dari divisi kesehatan tentu saja adalah edukasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat) berupa cuci tangan dan sikat gigi (langganan tiap volunteering), pemeriksaan kesehatan terhadap orang dewasa (langganan juga), dan yang baru adalah pemeriksaan kesehatan terhadap anak-anak sekolah dasar!

Peragaan PHBS Cuci Tangan oleh Milly.

Enggak tau terbersit apa kenapa gue bisa ngide "gimana kalo pemeriksaan kesehatan ke anak SD aja sebagai ganti pemeriksaan kesehatan ke balita?". Awalnya, salah satu rekan memberikan ide untuk periksa kesehatan balita, tapi karena gue selalu berada dalam ultimate love-hate (lebih cenderung ke dislike, sih?) relationship dengan balita, ditambah dengan equipment pemeriksaan anak balita yang cenderung agak banyak serta sepertinya membutuhkan koordinasi kompleks dengan fasilitas layanan kesehatan setempat (sementara gue tidak pernah direstui dan dipedulikan oleh fasilitas layanan kesehatan setempat selama berkali-kali pengabdian – bagaimana mungkin gue bisa bawa timbangan sendiri dari Jakarta, belum kalau ada yang gizi kurang atau buruk pasti butuh notice minimal ke puskesmas setempat), gue menyarankan bagaimana kalau periksa kesehatan anak-anak SD saja: Periksa buta warna, visus, telinga, kuku, dan konjungtiva – hasil di tulis di kertas, kemudian minta anak-anak menyampaikan ke ibu dan bapaknya untuk dilanjutkan berobat sesuai hasil pemeriksaan. Ide ini disambut baik, gue juga jadi semangat beli snellen chart, otoskop, dan buku ishihara. Target pemeriksaan adalah anak kelas 1-2 dengan harapan mereka bisa sudah paham huruf serta perintah.



Ternyata setelah eksekusi di lokasi, gue bisa simpulkan bahwa rumus [aku + pasien anak = gak banget] adalah valid. Divisi kesehatan berjumlah 4 orang anggota, termasuk gue, dan di hari pertama penjajakan ke SD untuk edukasi PHBS ke anak kelas 1 dan 2 suasana sudah agak chaotic. PHBS membutuhkan air yang cukup banyak, apalagi untuk 80 siswa sementara desa sedang kekeringan dan akhirnya kita berempat bergotong royong gantian ngumpulin air dan nenteng-nenteng ember supaya anak-anak ini bisa bilas sabun sama kumur-kumur… Dan karena semua proses mengumpulkan air itu memakan waktu yang lama, jadilah anak SD ini beberapa ngibrit ke kantin bahkan cabut sekolah. Ya ampun Gusti nu Agung. 

Besoknya, kami berempat lebih antisipatif dalam menangani anak SD dan alhamdulillah hari kedua nggak se-chaos hari pertama. Ada satu anak yang kelihatannya masih sulit membaca dan beberapa anak memang ada indikasi buta warna, tapi risiko bias-nya memang besar dari kelompok anak yang diperiksa karena what could you expect from the first and second graders undergoing health screening? Masih takut mereka belum bisa baca, belum paham perintah, dan juga ikut-ikutan temen-temennya. Selama pemeriksaan nggak terlalu huru-hara juga sih sebenernya, karena mungkin gue galak atau gimana hahaha! Jadi pelajaran bahwa mungkin kelas 3-4 lebih eligible untuk skrining panca indera seperti ini, walaupun skrining terbilang agak telat (menurut gue) kalo baru kelas 3-4.

Ngebarisinnya buat periksa visus aja udah effort hampir setengah mati. Terima kasih Benny!
Semua anak di sini seneng diperiksa telinga. Nggak ada yang nangis (apa karena gue galak?).

Pemeriksaan orang dewasa berlangsung seperti biasa – periksa kolestrol, asam urat, dan glukosa, dengan kolestrol sebagai primadona yang banyak direquest orang-orang. Tapi as expected dari orang-orang yang tinggal di daerah pesisir dan banyak makan seafood, angka kolestrolnya fantastis, bisa sampai 500-an! Yang perlu di highlight dari pemeriksaan kesehatan kali ini adalah gue dapet support penuh dari puskesmas desa setempat sampai disuplai obat, alat kesehatan, dan kertas resep sehingga senang rasanya, kali ini di Natuna gue bisa bilang "kami pengobatan gratis di Natuna". Saking baiknya, gue disuruh ke gudang untuk memilih sendiri mau ambil obat apa dan pulang dari Natuna-pun gue disuruh bawa obat untuk stok. Jujur, ini adalah kondisi paling ideal agar divisi kesehatan bisa bekerja optimal, I sincerely give my thanks to the friends who made it came true (teruntuk dedek-dedek fasil yang sangat gencar mendatangi pemangku kebijakan: Karina dan Roby) dan juga kepala puskesmas desa Tanjung dan seluruh staff puskesmas yang sangat baik men-support pendatang seperti kami.

Seseneng itu nenteng obat-obat gratis dan resep gratis dari Puskesmas Tanjung.



Divisi Ekonomi

Divisi ekonomi selalu jadi divisi yang paling tricky di antara semua divisi dalam kegiatan volunteering karena menurut gue scope kerjanya abstrak (silakan bisa lihat di post Tambora dan Mantang supaya bisa lebih tahu seluk beluk divisi ekonomi dalam kegiatan volunteering), tapi begitu ketemu masalah inti dan solusi dari masalah, divisi inilah yang akan paling berdampak bahkan secara jangka panjang untuk sebuah desa (atau bahkan bisa long-lasting jadi mitra bisnis jangka panjang, seperti kisah teman divisi ekonomi gue di Tambora dengan biji kopi Tambora sekarang – dia bantu memasarkan bubuk kopinya).

Waktu kedatangan awal di Natuna, divisi ekonomi mengaku belum punya program yang pakem 100% akan dilaksanakan, karena mereka akan social mapping dan merumuskan masalah perekonomian masyarakat dengan cepat supaya bisa diintervesi. Awalnya, program mereka menitikberatkan pada seminar dan pelatihan industri rumah tangga, dengan harapan kami dan warga juga bisa ngeriung kumpul dan ngomongin soal masalah perekonomian dan kemungkinan solusinya. Setelah beberapa kali social mapping, akhirnya divisi ekonomi justru digaet sama staff desa untuk mencemplungkan diri lebih advanced dalam perekonomian desa: forum group discussion yang dilakukan bersama staff desa dan masyarakat untuk membahas dan merancang badan usaha milik desa (BUMDES) apakah yang cocok dilakoni di Natuna. Setelah membahas dan merancang BUMDES, staff desa dan calon pemegang badan usaha di desa ini juga disosialisasikan mengani packaging, branding, dan marketing produk serta hambatan apa saja yang kira-kira potensial mengganggu penjualan produk-produk khas Natuna yang ada sekarang.

Pokoknya yang paling sering pegang banner, pake baju rapi, dan jalan-jalan ya divisi ekonomi deh.

Bazaar rame dan cihuy, selalu ide dari divisi ekonomi.

Talking about economy is always amazing for me, all the time. Menurut gue ekonomi adalah subjek yang berat untuk dipahami – karena ekonomi itu nggak sesimpel pengeluaran nggak boleh lebih besar dari pemasukan, ataupun hukum supply harus seimbang dengan demand. Bagaimana cara menciptakan demand pada masyarakat? Bagaimana cara mempertahankan supply dengan bahan baku dan tenaga kerja yang cost-effective? Yes, ekonomi itu selalu menarik, dan selalu sulit (kayak gebetanmu yang udah lama kamu taksir tapi nggak bisa naik tingkat jadi pacarmu itu). 

Divisi Lingkungan 
Berada di divisi lingkungan dan pengabdian di daerah berpantai berarti adalah memiliki program kerja yang udah jelas bakal konsentrasi ke daerah pesisir. Program divisi lingkungan kita kemarin adalah bebersih pantai terutama dari sampah plastik (botol plastik yang masih berbentuk bagus kemudian dipilah untuk dikasih ke SD untuk dijadikan pagar dan hiasan – all thanks to the visionary headmaster). Massa yang dikumpulkan untuk bersama-sama memungut sampah adalah anak-anak SMA yang tergabung dalam Palang Merah Remaja (PMR) di sekitar Ranai.



Karena pada dasarnya semua program kerja pas volunteering tiada yang kekal abadi, maka di lokasi pun program banyak mengalami perombakan. Setelah program pungut sampah, ada sharing session dengan remaja-remaja anggota PMR ini tentang pembagian jenis-jenis sampah, cara memperlakukan sampah berdasarkan jenisnya, dan terakhir ditutup dengan sharing session tentang penyakit yang bisa ditimbulkan dari sampah (dan saya tiba-tiba disuruh bawain materi, mohon maaf). Pengetahuan tentang sampah juga dipaparkan ke anak kelas 5-6 SD Negeri 001 Tanjung dengan media video dan tanya jawab, selain itu dilengkapi juga dengan mengenalkan lagu kebangsaan – supaya lengkap, udah cinta lingkungan, cinta Indonesia juga.

Selain itu, menimbang masukan dari kepala desa beserta staff, divisi lingkungan membuat plang bertemakan kebersihan lingkungan dan himbauan untuk jaga kebersihan untuk dipajang di sekitar desa Tanjung, khususnya di Pantai Tanjung (yang sangat khas Natuna banget).


Sedikit tentang wisata di Natuna... 
Agak lompat dari volunteering, segala program-program di Natuna ditutup dengan kesempatan mencicipi alam Natuna – menelusuri setiap tepian pantainya. Kami semua berkesempatan mencoba segala macam pesisir, mulai dari Pulau Air, Batu Kasah, Jelita Sejuba, dan highlight-nya: Pantai Tanjung. Buat yang belum terlalu familiar dengan Natuna, Alif Stone adalah destinasi wisata paling terkenal di Natuna, banyak sekali review-nya tersebar di Google. Sayang sekali kami nggak sempat ke sana karena tempatnya tutup waktu kami mau berkunjung (to be noted, Alif Stone buka di sore hari sekitar pukul 4, tapi waktu kami kesana sore-sore, tempat itu tutup).

Destinasi paling jauh dari desa kerja kami adalah Pulau Air. Pulau Air ini jaraknya kurang lebih 20-25 menit dari desa, dengan kondisi jalanan yang kosong melompong. Konsepnya adalah pulau kecil di tengah laut yang tersambung dengan mainland melalui geladak kayu. Pulau kecilnya berbatu dengan sedikit pasir, ditumbuhi pepohonan dan berbagai jenis semak. Ngiterin pulau kecilnya nggak sampai 10 menit juga kelar. Inti dari wisata Pulau Air ya kamu jalan ke pulau kecil lewat geladak kayu yang berbunyi 'klatak-klatak' saat kamu injak, kemudian kamu naik ke gazebo yang ada di pulau untuk menatap lautan lepas.


Geladak kayu menuju Pulau Air. Sepertinya petang-petang lebih romatis (sekaligus seram karena pasang). Ada gazebo.

Kamu juga bisa foto-foto ala traveler bebas-bebas club di geladak kayu ini


Atau kamu bisa main air aja kayak saya. Ini difotoin dari gazebo yang ada di foto pertama.

Setelah saya hampir terpleset karena batu-batu superlicin di Pulau Air, kita menyusuri kenampakan bibir pantai Natuna lainnya yaitu Batu Kasah. Kalau kamu aim banget ngidam pengen ke Belitung tapi masih belom kesampean (malah jadinya ke Natuna), ya bisa sedikit merasakan vibe-vibe Belitung di Batu Kasah ini, malah bisa merasakan ketenangan yang amat sangat karena sepi. Gue kalo liat batu gede, bawaannya pengen manjat ke atas terus berjemur dan dengerin lagu sambil baca buku (done that once di Pantai Trikora! You could read it here). Poin plusnya, di Batu Kasah banyak open space yang enak buat piknik di antara bebatuan. These are the pictures, so you can judge.




Setelahnya kita bergerak lebih ke dekat kota dan menelusuri bibir pantai setelahnya. Next destination namanya Jelita Sejuba. Mungkin pernah ada yang nonton filmnya ya judulnya Jelita Sejuba yang main Putri Marino  – kisahnya tentang sepasang kekasih yang laki-lakinya berprofesi sebagai tentara dan isi filmnya ya tentang gimana perjuangan dan peliknya jadi istri tentara. Film ini settingnya di Natuna dengan budaya dan bahasa Melayu dialek Natuna yang kentel pol – nah, tempat wisata kali ini diambil dari nama dari film itu.

Untuk landscape, sebenernya sama – pesisir pantai Natuna banyak sekali menyimpan batuan. Sama seperti Jelita Sejuba yang kebanyakan kenampakannya adalah batu-batu besar, tapi lebih penuh 'dekorasi'. Tau trend tempat wisata jaman sekarang kan, yang sering dimodif-modif ditambah ayunan, tempat duduk, ornamen dekoratif bentuk love? Nah, itu dia Jelita Sejuba. Nampak lebih shopisticated dan ramai, seolah-olah berkata "Welcome tourist, you want to do some selfie, huh?".


  
Okay, maybe you could hear some sarcasm (even in my writings I am quite sarcastic, right?) here, but trust me it's nothing harsh. Gue hanya sangat menyayangkan trend pariwisata Indonesia sekarang, dimana kenampakan alam atau bahkan bangunan kuno atau bangunan adat ditambahkan ornamen-ornamen yang justru menghilangkan jati diri potensi wisata tersebut, misal, pantai bagus-bagus, terus dikasih plang love besar banget sampe menghalangi pemandangan, dikasih papan nama tempat tapi pake huruf gede warna-warni, atau terlalu banyak ayunan. Hanya karena ikut tuntutan era selfie dan swafoto, semua kemolekan alam harus dimodifikasi berdasarkan preferensi pasar (pasar yang mana, gue juga gak tau).

Still manage to find some good spots tho di Jelita Sejuba, tanpa banyak hiasan-hiasan tempat wisata.
 


Perjalanan kita ditutup dengan bermain air di Pantai yang paling deket sama tempat kita tidur selama di Natuna, yaitu Pantai Tanjung. Yes, Pantai Tanjung ini a legendary beach. Kenapa? Karena tiga icon Natuna bisa dinikmati ketika kita duduk di sini – yang pertama, Pantai Tanjung itu sendiri, yang kedua adalah Bukit Ranai, yang ketiga adalah Pulau Senoa. Sedikit cerita tambahan, di Natuna ada pulau-pulau kecil terpisah. Di antara pulau-pulau kecil itu, ada pulau yang cukup terkenal, namanya Pulau Senoa. Pulau Senoa ini jaraknya sekitar 20-30 menit berlayar dengan kapal klotok dari main island Natuna. Uniknya, Pulau Senoa ini berbentuk seperti ibu hamil berbaring dan menurut legendanya, Pulau Senoa dulunya berasal-usul dari ibu hamil yang terkena kutukan dan jadi sebuah pulau. Sayang banget gue nggak pergi ke Pulau Senoa, cuma bisa mengagumi dari jauh. Btw, air di Pantai Tanjung bisa surut dan kita bisa merasakan fenomena laut terbelah di Pantai Tanjung kalau di musim surut. Kita bisa jalan sampai ke tengah laut di atas gundukan pasir yang lebih tinggi, dikelilingi dengan genangan air laut di sisi-sisi gundukan yang lebih tinggi itu.

Pantai Tanjung dan Bukit Ranai, dua icon Natuna.

Pulau Senoa from the distance, beneran kayak ibu hamil, kan?

Nah ini, fenomena jalan di tengah laut seolah lautan terbelah!

Nah, kalo yang di bawah ini, adalah mimpi gak sampai kami semua, yaitu Alif Stone. Padahal Alif Stone ini adalah pesisir pantai yang paling di proclaim sama Natuna sebagai destinasi wisata andalannya. Sayang sekali kita nggak kesana.

The famous Alif Stone -- and yet, I went to Natuna but couldn't visit this (soucelink).

Selesai tamasya, kita masih harus ngurus acara terakhir di Natuna; acara paling terakhir yang kita lakukan di Natuna adalah malam kesenian Natuna bersama anak-anak SD Negeri 001 Tanjung yang mau meluangkan waktunya bersama kami untuk pentas-pentas kebudayaan khas Natuna. Yang ditampilkan adalah pembacaan gurindam 12, pembacaan cerita Pulau Laut, dan menyanyikan lagu "Kenangan Pantai Tanjung", serta ada tarian persembahan khas Kepulauan Riau. Selain pentas, ada juga acara tukar cinderamata antara kami dan pejabat desa, ditutup dengan anggota volunteering dangdutan sambil bebersih venue setelah acara.

Kostum penari Tarian Persembahan khas Kepulauan Riau.

Besok siangnya, kami pulang dengan mobil desa lagi dan gue tetap memilih duduk di belakang mobil pick up walaupun matahari masih nyengir-nyengirnya di langit Natuna. Dari berjuta-juta momen di Natuna, salah satu favorit gue adalah duduk di belakang mobil pick up di sore terakhir di Natuna. Angin bertiup kencang, matahari sore bersinar temaram, langit pink (pink skies, kayak di lagu Lany), siluet Bukit Ranai yang semakin jauh dan menghilang, dan lagu "Kemesraan" yang diputar lewat speaker handphone teman. Matahari tenggelam lalu berganti bulan purnama. Things were just so right,  precisely aligned, and perfect. Sampai akhirnya semua kesempurnaan perlahan berganti ketegangan waktu jalanan mulai menanjak di dekat Pelabuhan Selat Lampa, mobil pick up mogok, dan kami semua hampir merosot mundur semobil-mobil.

Pemandangan pas pulang naik mobil bak. Bayangin, ditambah lagu "Kemesraan". Kurang nikmat apa, coba?

Malam itu, di Selat Lampa, kami pamit ke kepala desa dan supir yang mengantar. Kepala desa nangis. Gue mau nangis juga tapi hati udah kadung rindu rumah setelah hampir 1 bulan nggak pulang. Ombak malam itu besar karena sedang purnama. Kami naik ke kapal dengan berdesakan (dan sudah mulai terbiasa melakukannya) dan surprisingly selama pelayaran, kapal serasa milik sendiri karena sepi banget. Gue menghabiskan banyak waktu di deck atas, bengong liat laut sambil denger lagu – gue rasa hal ini yang akan paling ngangenin dari perjalanan dengan kapal. Siang-malam, gue banyak duduk di dek atas, depan mini market. Saat semua orang terkapar mabuk, gue masih setia duduk di dek atas.


Kerjaan gue di dek atas: Mengobservasi orang-orang.

Setelah 4 hari berlayar, akhirnya gue tiba di Tanjung Priuk jam 10 pagi. Senang, kaki menapak tanah lagi, bukannya permukaan yang bergoyang, dan senang, karena tanah yang gue tapak adalah rumah. Hal pertama yang gue lihat di Tanjung Priok adalah mobil papa temen gue yang menampung kami semua, para volunteer dan hal pertama yang gue cari di Jakarta adalah WC karena akses toilet dikurangi hingga 50% akibat sedikitnya jumlah penumpang (asas efisiensi, dek yang kosong ditutup sehingga kita juga gak bisa akses toilet di dek-dek yang ditutup). Keluar dari WC di terminal Tanjung Priok, gue melompat naik bis, terjebak 3 jam kemacetan tapi tidak marah sama sekali, dan malah merasa sangat lega karena 

I've been through good sceneries and skylines, but home is always the greatest of them all.

Begitu touchdown tanah Tanjung Priok, ada rasa haru pulang ke ibukota, ke rumah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

After all, Natuna adalah volunteering yang paling emosional di antara semua volunteering yang gue jalani (okay I just had three times volunteerings and seemed like I don't need to brag about it, karena ada temen gue yang lebih sering!), tapi it really was the most emotional. Naik kapal, total volunteering terlama (2 minggu – biasanya volunteering hanya menghabiskan 6 hari, termasuk durasi perjalanan ke dan dari tempat pengabdian), kondisi di daerah lagi susah air dan panas sekali (tetap sunburn walaupun sudah pakai sunblock SPF 110), dengan begitu banyak perubahan program di lapangan. Volunteering ketiga ini menyadarkan gue bahwa gue sudah sangat uzur (di circle volunteering, ya gue termasuk tua karena banyak dedek mahasiswa) dan bahwa gue adalah orang yang terlalu skeptis-realis. 

Don't get me wrong. Volunteering is good – bahkan walau tujuan kamu hanya foto-foto di tempat volunteering dan share ke socmed, itu akan meningkatkan awareness orang tentang daerah tersebut. Cuma, narasi patriotik tentang volunteering yang bisa mengubah suatu daerah bisa lebih maju dalam sekejap mata adalah sesuatu yang membuat gue letih. Menurut gue, volunteering adalah sesuatu yang berkesinambungan. Kita engaged dengan masyarakat secara erat, lempar umpan, masyarakat ambil, dan mereka teruskan sambil kita terus dampingi. Harus ada masyarakat yang menjadi pelopor dan bergerak. Harus ada pemerintah yang memfasilitasi.

Lalu jika ada circumstances dimana masyarakat merasa mereka baik-baik saja dengan keadaan dan tidak ada yang mau mempelopori perubahan, ya bagaimana? Ya gak papa, karena mereka berhak punya standar kehidupan sendiri yang mungkin tidak cocok untuk standar hidup kita. Misalkan, orang di Jakarta akan marah-marah kalau listrik mati selama 6 jam karena banyak dari mereka yang menggunakan listrik bahkan untuk hal simpel dan mudah sementara orang Natuna mati lampu ya tidak akan butthurt banget karena mungkin tidak banyak menggunakan listrik. Orang Jakarta kemudian ke Natuna dan koar-koar "Ini nggak adil, ini kesenjangan! Kita harus menolong tempat ini!", tapi orang Natuna berhak bilang "Kami sudah biasa seperti ini, kok. Emang kenapa?" atau "Ayo boleh. Bagaimana cara kami mendapat listrik yang layak?". Dari volunteering, gue banyak belajar bahwa standar kehidupan itu relatif dan kadang kita nggak bisa datang ke daerah dan menguliahi masyarakat bahwa hidup mereka adalah di bawah standar kita – pun merasa iba juga sebaiknya jangan – karena bisa jadi mereka nyaman dan puas dengan hal itu. Hanya karena berbagai hal nggak fit standar kamu, bukan berarti mereka tidak bahagia.

So if they are happy with their standard of life, who are you to judge?

Jadi, setelah 3 kali volunteering, gue resmi vakum dulu karena I saw much and I learned many.
It’s time to finally think about myself, my future, and my well-being.
Memberdayakan diri sendiri untuk lebih maju, baru nanti bisa menginisiasi dan memfasilitasi kemajuan orang lain. Semoga, semoga, semoga bisa lebih impactful di kali berikutnya. Semoga.

Terima kasih sudah membaca (atau singgah) di titik ini.
Love, 

Your writer x (internship) doctor

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak lupa mengucap terima kasih untuk segenap Geng Natuna dan semesta yang mendukungnya:

Youth Center to Act for Nations | Karina Isnaini | Muhammad "Dedek" Robiyanto | Yayan Hidayat | Mas Dede Muhammad Ramli | Pak Kades, Pak Sekdes, dan seluruh staff desa | Kepala Sekolah SD Negeri 001 Tanjung dan guru-guru yang bertugas | Seluruh warga Desa Tanjung | Seluruh anak SD Negeri 001 Tanjung | Ahmadirrohim, Desi Ratnasari, Marika Tiira Anggari | Seluruh anggota PMR Ranai - Tanjung | Olaf Ingmar | Rizka Susanti Masulah | Dalili Zata Dini | Yusron Isman Dermawan | Dasha Rianti Maulidianisa | Yellin Fitri Rastrania | Agung Baskara | Alfi Lailatul Fitria | Amanda Dwi Wantira | Erythrina Orie Rahma | Milazwarni Aisyah | Muhammad Irfan Althoriq | Nurohman | Nurul Aswat | Beny Aldy | Putri Juwita Citra Itafarida | Serta semua yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam keberlangsungan YOUCAN EMPOWER 5.

2 komentar:

  1. Aku baca sampai selesai tanpa sekip dong mbkk haha, terima kasih telah membuatku kembali merindukan natuna mbaak😂 laafff

    BalasHapus
  2. keren mba, semangat terus ya

    BalasHapus