For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Selasa, 02 Juni 2020

3 Saddest Circumstances in My Profession

Selamat malam, semuanya.

Selamat malam, dari 7 hari setelah yang ditunggu umat Islam se-Indonesia, yakni hari idul fitri (oke, ini nulisnya H+7 idul fitri). Akhirnya, setelah 1 bulan berpuasa dengan situasi dan kondisi yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya, kita bisa lebaran juga dengan situasi dan kondisi yang tidak kalah serunya. Yes, no one would imagine they would life in such an era of pandemic, but it happens anyway. Jadi, sudah hampir 2 bulan kita berjibaku dengan hampir semua hal-hal virtual; mulai dari meeting dengan co-workers dengan zoom, say hi dengan sahabat-sahabat yang biasanya ngumpul sampe teler di hari weekend melalui whatsapp voice/video call, belanja dan belanja dan belanja online (in some cases, orang-orang bahkan belanja sayur segar online which I couldn't manage to stand at all, because I am not really interested in cooking, doing groceries, and plus I couldn't seem to afford premium vegetables and I don't have refrigerator), dan saling berkirim makanan/minuman/baju/make-up atau apapun ke orang-orang yang pemberiannya dibeli secara online, dikirimkan melalui layanan kirim berbasis ojek online. It all felt really weird and unimaginable, tapi tetap saja saya merasakan urgensi untuk mengucapkan selamat idul fitri, semoga kita masih dalam kapasitas maksimal untuk memaafkan diri sendiri serta orang lain, ya (dan tentu saja mendapatkan maaf orang lain).

Source from: trtworld.com "What You Need To Know About Eid Al Fitr 2020". All rights belong to respective owner.

Ramadan is always a thing for me. Selalu ada aja yang seru dan challenging setiap tahunnya, sampe suka keinget "Oh Ramadan tahun sekian gue ngerjain ini ya/ngerasain ini ya". Gak semua keseruan menyenangkan tentu saja, ada juga yang sedih, tapi as time passed, what's happy and what's sad both left as memories – and at some points, memories get us smirk or even laugh. Salah satu Ramadan paling memorable adalah Ramadan tahun 2017, dimana gue lagi stase emergensi syaraf; setiap hari hampir selalu pulang malem dan merupakan salah satu stase yang diwajibkan jaga malam. Ramadan 2017 gue dipenuhi dengan kasus cedera kepala dimana satu bangsal hampir semua cedera kepala, mulai dari yang ringan, sedang, hingga berat. Menjelang lebaran, kasus cedera kepala bertambah banyak seiring dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas dan waktu itu gue follow up bener-bener hanya ngecek pasiennya hidup atau enggak, karena nggak ada yang respon sama sekali ketika diperiksa. Pada Ramadan yang sama, gue merasa sangat happy karena sebagai satu-satunya umat muslim di kelompok, gue sangat disejahterakan. Teman-teman yang lain sangat perhatian dan bawel ngingetin sahur, buka puasa, ataupun ibadah lainnya; bahkan beliin takjil pas kita semua terpaksa harus tunggu konsulen sampai malam.

Lorong penyambung RS dan kampus. Pagi buta, tengah malem, siang bolong, pasti pernah melintas di sini.

Speaking about my clinical experience, gue jarang memposisikan diri sebagai tenaga kesehatan di blog ini, kecuali mungkin tentang volunteering atau sekedar cerita sedikit kehidupan ko-as, tapi gue nggak pernah mengemukakan pendapat personal secara mendetail tentang "menjadi seorang tenaga kesehatan" atau mengomentari isu-isu terkini soal kesehatan. I think I am not capable to do that, because I know my knowledge is still way too limited and I have no strength to throw back arguments when there are counter-arguments. Tapi kali ini, izinkanlah gue sedikit bercerita pengalaman klinis, kondisi-kondisi paling sedih yang gue pernah temui di sudut-sudut rumah sakit selama 3 tahun belakangan – because these circumstances not only stained my patients' hearts but also mine, and I am really in the mood to write sad things.

Semua cerita akan dituturkan dalam gaya bahasa orang pertama dengan nama karakter fiksi, namun ceritanya tentu saja tidak fiksi. Selamat melanjutkan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Circumstance #1
Pukul 7 malam, seperti biasa UGD penuh. UGD selalu penuh menjelang pergantian jaga. Saya shift 12 jam sedari pagi dan berhasil berdiri hingga 11 jam kemudian. 1 hour to go, let's finish it well.

Setahu saya (karena shift saya 12 jam), hampir semua ruang rawat inap terisi penuh, baik untuk pasien anak, dewasa laki-laki atau perempuan, maupun ruangan bedah dan bersalin. Ketika ada pasien baru di UGD dan nampak membutuhkan rawat inap, saya harus menjelaskan dari awal bahwa ruangan penuh sehingga ada kemungkinan dialihkan ke rumah sakit lain.

Pasien saya datang pukul 19.10, seorang anak remaja usia SMP kelas 2 atau 3, membawa surat berisikan hasil laboratorium dengan trombosit yang rendah, menandakan bahwa kemungkinan besar ia menderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau biasa disebut Demam Berdarah Dengue (DBD). Secara pemeriksaan pasien dalam kondisi baik dan stabil (tidak ada kegawatdaruratan). Saya bertanya, "Kerasa apa?" yang dijawab dengan "Pegal-pegal saja dok". Saya tanya gejala lain, katanya tidak ada. Saya menanyakan siapa pengantar pasien yang kemudian dijawab, "Bibi dan paman dok," ucap sepasang laki-laki dan perempuan yang dari tadi berdiri di sebelah saya ketika saya memeriksa.


Saya menjelaskan berusaha sedetil mungkin bahwa dari pemeriksaan saya dan hasil laboratorium menandakan pasien mungkin terkena DBD dan membutuhkan rawat inap agar pasien tidak dehidrasi ketika fase kritis berlangsung, akan tetapi ruangan sedang full dan saya menyarankan agar pasien dirujuk sekarang selagi kondisinya baik dan belum ada dehidrasi. Pengantar pasien terlihat gelisah dengan pernyataan saya. "Apakah tidak bisa diberikan penanganan di sini, dok? Kami tidak apa-apa menunggu ruangan berhari-hari di UGD kok". Saya menjelaskan sedetil mungkin bahaya pasien menunggu terlalu lama di UGD hingga menjelaskan dasar kepentingan kenapa pasien harus diobservasi di ruangan (tentu saja saya bercerita tentang kemungkinan perdarahan, kekurangan cairan, hingga peradangan otak atau encephalitis yang mungkin terjadi), Bibi dan pamannya terlihat lebih gelisah dan mata pasien yang saya periksa menjadi berkaca-kaca. "Dok, kami kan sudah ke sini, masa dokter mau melempar kami lagi?". Saya tatap wajah wali pasien dengan setegas mungkin, menjelaskan ulang bahwa secara prosedur (dan tentu saja atas dasar kebaikan pasien), pasien tidak boleh dibiarkan tergeletak terlalu lama di UGD. Selama saya menjelaskan, bergantian saya tatap wajah wali dan pasien, mengamati wajah pasien bercampur aduk dalam kecewa dan sedih.

"Dok, anak ini yatim piatu, pembiayaan dibebankan pada saya. Kemana lagi saya bisa membawa anak ini, jika tidak ke rumah sakit umum?," seru Bibi pasien lantang. Orang di sekitar saya menengok semua ke arah kami. Sesaat ruangan hening. Pasien saya membuang muka.

Paman pasien dengan suara sedikit menenangkan berkata lagi pada saya,
"Dok, apakah bisa dibawa pulang saja, tidak usah dirawat?"

Saya bisa merasakan kecewa dan sedih yang telah berputar di wajah pasien saya kini menjadi hujan. 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Circumstance #2

Bip bip 
Bip bip 
Bip bip

Saya menengok ke kanan.

Di sebelah kanan saya, terdapat ruang resusitasi. Resusitasi, dalam bahasa lebih simpel, artinya adalah penyelamatan. Mereka yang masuk ke ruang resusitasi adalah orang yang butuh dan layak diselamatkan – hanya orang terpilih yang masuk ke sana. Orang yang masuk ke ruang resusitasi adalah orang yang paling dekat dengan saya dan segenap tim medis yang bertugas, karena kami harus mengawasi monitor yang menempel pada orang tersebut untuk memastikan keberlangsungan hidupnya. Kadang saya benci membayangkan bahwa mungkin saja malaikat maut sedang duduk tenang di ujung ruangan itu, siap untuk melaksanakan tugasnya, ketika saya menghabiskan waktu saya mencermati setiap tanda kehidupan pasien lewat monitor ataupun lewat sentuhan.

Bip bip bip 
Bip bip bip

Saya berjalan ke ruang resusitasi, melihat pengukur kadar oksigen darah (oksimetri) yang tersambung ke monitor lepas dari tangan pasien. "Wah, tangan kamu kekecilan ya, jadi lepas terus," gumam saya pada pasien yang terbaring di sana. Ia diam, megap-megap. Matanya tidak membuka, tapi mimiknya terusik gerakan saya yang memasangkan kembali oksimetri ke tangannya. Lalu setelah saya selesai memasang dan membenarkan sungkup oksigennya, ia kembali megap-megap dalam keadaan damai. Tidak sepenuhnya damai, karena napasnya megap.


Pasien saya bayi berusia 11 bulan, dibawa ke rumah sakit oleh neneknya setelah 2 hari tidak sadarkan diri dan 4 hari megap-megap serta demam. Diagnosis kami adalah radang paru-paru dengan ancaman gagal napas, yang berarti pasien bisa meninggal karena kegagalan bernapas. Pada suatu titik, paru-paru yang megap akan menyebabkan otot pernapasan lelah, dan yang lelah akan melepaskan nyawa. Saya dan dokter lain yang bertugas telah menjelaskan keadaan ini dan menyarankan pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap untuk mendapatkan bantuan pernapasan dengan ventilator.

"Dok, mau bicara," ujar nenek pasien. Saya persilakan nenek itu duduk di depan meja saya.

"Dok, saya mau bawa pulang cucu saya," kata si nenek. Saya menatap nenek cukup lama dengan keheranan, hingga akhirnya bangkit menanyakan alasannya. "Mau dirawat di rumah saja," kata nenek. Saya menanyakan dimana orang tuanya, apakah orang tuanya tahu kondisi anaknya. "Saya mau kok menjelaskan dari awal jika orang tua pasien mau kesini, supaya bisa punya pikiran yang jernih dan bisa menimbang ulang keputusan," saya berusaha bicara sepersuasif mungkin, begitu persuasifnya hingga saya berpikir saya seperti setan yang sedang membujuk manusia melakukan dosa, tapi jawaban selanjutnya menghancurkan hati saya dan bisa jadi menghancurkan hati pasien apabila pasien saya bukan anak 11 bulan yang belum bisa berbahasa.

"Kata orang tuanya terserah saya, mereka tidak mau datang, Dok. Ya sudah, katanya, yang penting sudah usaha."

Saya melihat lagi ke arah ruang resusitasi, bertanya-tanya  
apakah malaikat maut, yang mungkin sedari tadi duduk di sana, pernah sedih mendengar betapa lemahnya perjuangan manusia, bahkan untuk hal sekrusial nyawa? 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Circumstance #3 

"Masih gak mau makan?"

Saya bertanya kepada pasien berumur 20 tahun, dengan penyakit autoimun yang baru saja bisa didiagnosis setelah sekian banyak tes diagnostik yang dilakukan. Kakinya bengkak, kencingnya sedikit, nafasnya pun sesak karena jantungnya membengkak. Saya berada di rotasi penyakit dalam dan ini adalah hari ke-6 perawatannya; kondisinya masih jauh dari kata baik, padahal length of stay pasien di dalam rawat inap tidak boleh terlalu lama agar tidak terkena infeksi kuman rumah sakit.

"Mau pulang," jawabnya singkat.

"Belum bisa pulang kalau belum mau makan," jawab saya lagi. Pasien itu menangis sambil berkata pelan, rindu anaknya. Umur 20 tahun dengan 2 anak, pikir saya, hebat. Saya yang usianya lebih tua saja sudah kelimpungan mengurus diri sendiri. Dari sini, saya ingin memanggil namanya dengan sebutan Aruh.


2 hari kemudian, saya mulai bisa banyak mengobrol dengan Aruh. Kata Aruh, dulu kencingnya pernah berwarna merah kehitaman, tapi dia berobat ke dukun dekat rumahnya, diberi jamu, lalu sembuh dalam 3 minggu hingga 1 bulan. Beberapa bulan lalu, wajahnya pernah memerah seperti pakai blush on di sekitar hidung sampai pipi, namun tidak diobati dan hilang sendiri. 2 minggu ini, Aruh merasa sesak. Ketika diperiksa ternyata jantungnya bengkak karena banyak cairan di selaput pembungkus jantungnya. Akhirnya cairan di dalam selaput jantungnya diambil dan diteliti; cairannya jernih bersih dan kemungkinan disebabkan penyakit autoimun yang dinamakan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau simpelnya Lupus. Kalau tidak familiar, coba cari berita tentang Selena Gomez; ia sampai kehilangan satu ginjal karena penyakit ini.

Aruh merupakan perempuan dari strata sosial ekonomi menengah ke bawah – anak perempuan menikah muda untuk meringankan beban finansial keluarga. Walau Aruh masih muda, Aruh sayang pada kedua anaknya. Anaknya yang pertama usia 3 tahun, yang kedua usianya mungkin baru 5-6 bulan. Saya bisa bicara panjang lebar pada Aruh sejak hari perawatannya yang ke-8. Ada hari-hari dimana Aruh patuh dan makan teratur, moodnya lebih baik dari biasanya. Ada juga hari-hari dimana Aruh bisa menangis tersedu-sedu hingga membuat pasien bangsal di sekitarnya melihat penasaran, tapi intinya, di hari perawatan ke-14 akhirnya Aruh lulus dari bangsal perawatan dan pulang dengan wajah bahagia. Aruh berpamitan pada saya sambil setengah memeluk dan menangis, mengucapkan terima kasih dan berjanji tidak mau bertemu saya lagi di bangsal. Saya menahan tangis (selalu seperti itu) dan berkata Aruh tidak boleh minum banyak-banyak agar tidak sesak, karena jantungnya sekarang payah dan tidak bisa mencerna begitu banyak air.

Feeling breathless? Let this help.

3 minggu setelah kepulangan Aruh, saya masih berada di rotasi penyakit dalam, di bagian paru. Malam itu, saya jaga IGD. Saya sedang berdiri di depan pintu IGD ketika pintu dibuka dengan kasar dan seorang pasien dituntun masuk. Saya bersiap mengambil tensi dan ketika saya melihat pasiennya, saya terkejut melihat Aruh dalam keadaan sesak. "Aruh kok di sini lagi? Aruh minum banyak air?," kata saya sambil memeriksa. "Nggak dok, saya minum sedikit, tapi sesak," kata Aruh dengan terputus-putus seolah udara tak sudi sambung-menyambung masuk ke dalam parunya. Aruh dibawa ke ruang ronsen dan ketika saya lihat, parunya ciut sebelah dengan gambaran penuh bercak putih pada paru sebelahnya. Aruh terkena tuberkulosis paru.

Aruh merupakan perempuan dari strata sosial ekonomi menengah ke bawah – Aruh tinggal bergerombol dengan 8 orang lainnya dalam satu rumah yang sirkulasi udaranya kurang bagus dan ruang-ruangnya tak banyak tersentuh matahari. Beberapa anggota keluarganya batuk lama dan menjadi kurus, dan hal itu yang tidak disadari oleh orang terdekat Aruh sehingga ketika kami bertanya di awal, keluarga menjawab "Tidak ada yang sakit seperti itu, dok". Aruh mendapat terapi penurun imun untuk Lupusnya dan penurun imun tersebut memberikan kesempatan bakteri Tuberkulosis untuk merajai tubuh Aruh selama 3 minggu setelah kepulangannya. Saya cukup kecewa Aruh tidak datang untuk kontrol setelah pulang rawat inap, tapi saya lebih kecewa ketika keesokan harinya setelah bertemu di UGD saya mencari Aruh di bangsal dan mendapati dirinya tidak ada.

"Dok, setengah jam lalu Aruh code blue dan sempat memanggil nama dokter, saya bilang dokter sedang visite dengan dokter lain. Setelahnya, Aruh pergi."

Aruh berjanji tidak akan bertemu saya di bangsal lagi dan Aruh menepati janjinya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jadi, itulah 3 circumstances yang paling sedih yang mungkin bisa gue tulis di sini. Sebenernya masih ada banyak circumstances lain yang bisa bikin gue nangis bombay kalo di flashback lagi, tapi cukup 3 saja dulu karena too much is never good. Dulu, di awal masa ko-as, setiap ada pasien gue yang meninggal, gue pasti berkaca-kaca. Lama-lama, gue bisa tetap tenang berdiri sambil delivering bad news dan menangis di toilet setelahnya. Lebih lama lagi, gue bisa tetap tenang bilang turut berbelasungkawa, kembali bekerja, dan baru sedih di rumah sepulang kerja, memikirkan berita-berita buruk yang gue sampaikan, keluarga yang bersedih, dan bahkan gue memikirkan apa yang mau dilakukan pasien tersebut kalau saja detik ini dia masih hidup. With time, I could improve my expression towards sadness, but the pain of seeing people dead stays the same like the first time.

Tapi beneran, selain banyak circumstances sedih yang bikin gue bertanya "Kenapa sih hidup bisa sesedih ini?", banyak juga momen bahagia dan bahkan keajaiban, baik untuk yang percaya maupun tidak percaya bahwa keajaiban itu ada. Kadang gue pikir malaikat udah berdiri di ujung ruangan mengamati usaha manusia dan dengan tenang menghitung waktu untuk segera bertugas, tapi ternyata pasiennya selamat dan pamitan sama gue beberapa hari setelahnya seolah gak pernah sakit. Kadang gue pikir, rate of survival seorang pasien begitu besar, tapi tiba-tiba pasiennya perburukan dan semua dihadapkan situasi yang sangat tidak mengenakan; yakni situasi berduka karena kematian yang benar-benar tidak dibayangkan. Being a doctor (or other healthcare companions) sure is like being in giant roller-coaster of emotions, wandering between loops of births and deaths.

Emotional roller-coaster spinning in loops of births and deaths (and miracles, in between).

So in the end, I hope this post is enjoyable and of course, meaningful, as it is for me. Semoga pembaca yang selalu merasa dokter itu prosedural, kaku, dan heartless, bisa sedikit merasakan sisi kemanusiaan dari batin seorang dokter, yang tidak peduli berapa tahun pengalamannya, akan selalu bisa merasakan sedih atas pekerjaannya, hanya lebih pintar masking-nya saja seiring bertambahnya jam terbang. Sekali lagi, selamat merayakan idul fitri dan selamat beranjak kembali ke new normal secara perlahan (I don't really agree to it, but I have my reasons not to 100% ban it as well). Selalu cuci tangan, pakai masker, jaga jarak, gaya hidup sehat, dan please be aware of you and your surroundings. Semoga sehat dan bahagia selalu.

Terima kasih telah membaca.

Penuh cinta,

Your writer x doctor
Dina 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar