Halo, selamat siang.
First, I want to do a normal warming up intro. Jadi gimana kabarnya? Apakah baik? Is everything going smooth, going as planned? How's your current state of physical, mental, and also intrapersonal and interpersonal relationships? Gue harap semua yang sudah membaca (dan tentu saja, yang membuat) intro ini berada dalam sebuah state of equilibrium dalam semua aspek ya.
So, 2020 had already passed its middle, right?
We're currently sitting in the eighth month of the year, 4 months to go till "New Year, New Me, But Nope Maybe It's New Bullshit Added Again!" is all over us again. I was this type of person who "oke aku mau ini itu ini itu di tahun ini dan targetku adalah seperti ini, aku harap output-ku di tanggal 31 Desember duaribu-sekian adalah ini dan itu" before; tapi semakin tahun semakin sulit rasanya berpacu dengan resolusi-resolusi dan mengusahakan ekspektasi-ekspektasi agar setidaknya bisa berjalan selaras dengan realita; jika tidak bisa masuk ke dalamnya. Sama halnya seperti blog ini – gue inget banget tanggal 31 Desember 2019 sore hari, gue sedang dalam perjalanan ke kota Bandung dan berpikir bahwa "Tahun 2020 gue harus menulis lebih banyak, bikin puisi lebih banyak, fokus dalam pengembangan pikiran yang tersambung ke jari-jemari!" tapi akhirnya seorang Dina tetaplah menjadi Dina; habis jaga kapanpun – baik jaga siang maupun jaga malem, tetep aja harus tidur sesudahnya untuk charge energi, setelah bangun tidur, dia akan bermalasan atau mengerjakan pekerjaan lain tipikal anak kos; mencuci baju, membersihkan cucian piring yang sudah menumpuk (dia harus cuci atau dia nggak punya wadah lagi buat makan dan minum), atau simply mencari uang tambahan dengan bekerja sambilan. I call it an adult life; but I will also call it "A productive life at a very superficial sight yet a very unproductive and very unamusing life when it comes to deep thought".
Apakah tolak ukur produktif itu? Apakah outputnya harus selalu visible dan measurable? |
Jadi, sudah hampir 11 bulan gue tinggal di Kabupaten Bandung.
Kabupaten ya, bukan kota.
Gak pernah dalam 1 hari pun sebelum bulan Agustus tahun 2019, gue kepikiran bakal tinggal di Jawa Barat, apalagi di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Orang cenderung memahsyurkan Kota Bandung lewat tulisan Pidi Baiq – meromantisasi Kota Bandung dengan kalimatnya, "Dan bagiku Bandung bukan sekedar masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." atau tulisan lainnya di terowongan sekitar Alun-Alun Bandung, quote dari MAW Brouwer, "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum". Sebelum Agustus 2019, Bandung punya track record buruk dalam hidup gue atau track record hidup yang cukup buruk dalam hidup gue terjadi di Bandung. It could go both ways, but the point is Bandung and I are not friends.
Waktu belum temenan sama Bandung |
Semua terjadi begitu tiba-tiba dan mendadak; rasanya bener-bener overwhelming. Tiba-tiba gue pergi ke Bandung, tinggal sendiri tanpa sanak saudara, keluar dari rumah dan adulting. Tiba-tiba gue packing barang-barang gue. Tiba-tiba gue cari kos. Tiba-tiba gue dapet kos dan drop barang-barang sendirian di kos, dan cari perabot kamar sampe ke daerah Parakanmuncang, daerah yang sebelumnya sama sekali nggak gue kenal. Tiba-tiba semua yang seolah asing dan menakutkan, jadi sangat menyenangkan dan penuh excitement.
Mulai Oktober 2019, gue secara resmi hidup berbagi oksigen dengan warga Jatinangor. Lucu, Jatinangor ada di Kabupaten Sumedang, sementara tempat kerja gue di Kabupaten Bandung; setiap berangkat dan pulang kerja harus lintas kabupaten, ikut berdesak bersama truk-truk segala ukuran mulai dari bak terbuka hingga trailer besar, bis segala ukuran, dan mobil elf yang kecil tapi ngebut menantang maut dengan musik koplo super bass yang bergema sampai ke warung sekitar. Itu romantisme kedua dari tempat gue tinggal; romantisme pertama tentu saja tiap pagi keluar kos dengan menghirup udara super sejuk dan disuguhkan pemandangan gunung di segala arah.
Pekerjaan gue pertama kali jadi dokter Puskesmas, di Puskesmas yang letaknya hanya 4 km dari kos. Absen jam setengah 8 pagi, masuk buka poli jam 8 pagi, makan siang jika pasien sudah habis dan pendaftaran tutup, pulang jam 2 siang. La dolce vita, tapi tidak se-dolce itu. Di balik semua perpindahan pasti ada kendala adaptasi – dan dalam hal ini, gue sempet pingin nangis karena nggak bisa Bahasa Sunda. Pas SD, gue ada mata pelajaran bahasa Sunda dan gue benci banget bahasa Sunda karena susah, dibuktikan dengan nilai ulangan gue rata-rata 25-50.
Kebanyakan pasien puskesmas masih menggunakan Bahasa Sunda halus dan di penugasan pertama gue, gue harus ke rumah warga desa buat cek kesehatan sama penyuluhan. Kebanyakan dari mereka gak fasih berbahasa Indonesia dan untuk pertama kalinya gue penyuluhan nggak ada yang dengerin, sehingga gue minta tolong temen gue aja yang nerusin penyuluhannya.
Besokannya, gue dijadwalkan ngisi poli lansia dan lagi-lagi kebanyakan dari mereka gak fasih berbahasa Indonesia sehingga gue mempraktekan bahasa tarzan. Akhirnya, sebulan pertama, gue banyakin baca-baca kamus bahasa Sunda, bahkan gue punya list kata dan kalimat Sunda yang biasa dipake dalam setting Puskesmas. Syukur, gue punya temen-temen Sunda tulen, putra-putri daerah Tanah Pasundan, yang setiap hari ngajarin Bahasa Sunda dan bahkan cariin soal latihan. Kalau dinilai, awalnya bahasa Sunda gue nilainya 25, setelah 1 bulan belajar mungkin bisa dapet nilai 70.
But otherwise, I think I had no problem at all. Jadwal kerja menyenangkan walaupun pasien seabrek (sebelum COVID-19 menyerang, tentu saja), staff-staff dan teman-teman sangat membantu dan berasa 'orang asing yang menjadi keluarga', belum lagi tugas-tugas luar yang memungkinkan menghirup udara segar – imunisasi massal, posyandu, penyuluhan luar, pemeriksaan kesehatan rumah, home visit pasien, program Puskesmas Pembantu – semuanya bener-bener nyegerin. Pagi-pagi bisa makan bubur ayam/ketoprak/kupat tahu/lontong kari dulu sebelum bertugas, di jalan menuju lokasi kanan kiri banyak sawah, di segala penjuru arah ada siluet gunung-gunung, dan clear blue sky. Paling menyenangkan ketika pergi ke desa yang paling pelosok, kayak Sukamanah dan Tegal Sumedang, karena pemandangannya super bagus walaupun perjalanan jauh. Setiap disuruh pilih penugasan, gue pasti pilih antara 2 desa itu kalau bisa.
Paling seneng kalo liat momen panen, padi kuning meraya. |
Kalo malem keliatan lampu-lampu rumah di gunung. |
Beneran ada bintang, no edit. |
Selain menyenangkan, hidup gue juga mendebarkan. Paling deg-degan kalo hujan deres – deg-degan banjir dan nggak bisa pulang. Beberapa kali gue harus nunggu banjir surut supaya bisa pulang. Besoknya, pasti ada kegiatan puskesmas keliling ke daerah banjir, dan selama gue jadi dokter internship di Puskesmas, 2 kali banjir bandang dan 2 kali puskesmas pembantu, yang selalu kebagian bertugas adalah gue. Gak nolak, gue suka ikut berenang dalam air banjir setinggi paha.
Di tempat ini selutut anak kecil, di depannya lagi sepaha orang dewasa. |
Ini bukan kolam bebek ya, ini fix banjir dan entok ini naik ke atas daun. |
Setelah 4 bulan di Puskesmas, menjalani kehidupan nyaman, menyenangkan, dan menyuburkan (naik 2-3 kilo di Puskesmas, grazie a la dolce vita), gue dipindahtugaskan ke RSUD yang letaknya sekitar 11 km dari kos. Setelah nangis bombay meninggalkan seisi puskesmas yang rasanya seperti rumah sendiri (termasuk kucing yang sering gue kasih makan), life must go on dan akhirnya gue berpindah ke RSUD.
Kabupaten Bandung tempat gue bertugas tidak henti-hentinya memberikan gue pemandangan yang indah. Jalanan menuju ke RS gue udah setengah jalanan gunung yang menanjak dan berliku; dari sana bisa terlihat pemandangan dari ketinggian. Di tepi jalannya cukup banyak pohon rindang dan hal paling favorit yang selamanya gue bakal inget dari jalanan ke RS adalah kanan kirinya banyak Mexican Sunflower yang tumbuh liar, mekar bergerombol. Cantik – seringkali gue berhenti dulu ngeliatin bunga-bunga itu sambil ganti lagu di Spotify, berpikir apakah kalau gue ambil beberapa bisa gue tanem di pot kosan (yang sampai sekarang belum terealisasi).
Cicalengka, dari spot yang cukup tinggi; Bukit Candi. |
At times, gue merasa maximum chillness ketika nyetir ke rumah sakit sambil denger musik. Tapi sometimes, gue merasa dengerin musik, walau dengan volume sekecil apapun, berbahaya di sepanjang jalan raya Rancaekek-Cicalengka, karena berpotensi nggak sengaja budek dan eyegasmic, kemudian terserempet elf Garut, truk, atau you might not think about it tapi bisa juga keserempet motor atau kendaraan lain yang lawan arah (in my worst case, pernah ketemu mobil lawan arah). Ngomongin soal lawan arah, malam-malam nyetir di jalanan Rancaekek-Cicalengka ini emang tricky, karena bisa aja ada kendaraan lawan arah tapi paling sering sih sepeda. Dalam jumlah besar, berbondong-bondong lawan arah. Yes, one of the perks (or curse?) living here is so many factories! Banyak pabrik, dan salah satu pabrik terbesar dengan jumlah karyawan di sini memfasilitasi karyawannya dengan sepeda dan mereka pergi ke tempat kerja naik sepeda, tapi sayangnya suka jalan lawan arah aja dan tiba-tiba nyebrang jalan di kegelapan malam. Another point, lo bisa berhenti mendadak terkaget-kaget saat berkendara karena ada orang tiba-tiba lari nyebrang dalam keadaan jalan remang-remang. Tidak heran angka lakalantas di sekitar sini tinggi.
Dokumentasi bis parkir |
Rimbun; kalau pagi di sini bisa 12-15 derajat celcius. |
Beberapa kali pernah kebagian langit kayak gini. |
Selain sering terjadi kecelakaan karena lawan arah, orang yang keserempet (atau bahkan ketabrak) kendaraan super ngebut dengan ukuran bervariasi, sering juga kejadian kecelakaan karena dibegal. Oke agak serem dan liar fatal brutal, tapi ya masih ada beberapa kasus perbegalan yang mengkhawatirkan di sekitar tempat gue bekerja (gak tau kalo di tempat lain di Kabupaten Bandung sih, tidak boleh menggeneralisasi tanpa pernah mencicipi) dan premanisme in any form (mulai dari yang softcore hingga hardcore) masih bisa ditemukan. Tapi satu dua premanisme (yang bahkan gue cicipi dan rasakan sendiri) yang terjadi tidak bisa menjustifikasi seluruh masyarakat daerah setempat.
Oke, sudah mulai bring up premanisme, mari kita bicara tentang sosio-kultural.
Jika berbicara tentang sosio-kultural masyarakat sekitar, selain berbahasa Sunda halus, kebanyakan masih bersikap Sunda pisan. Cenderung lemah lembut, haha-hihi, nggak enakan (beneran, nggak enakan ngomong ini dan itu, sampe gue merasa terlalu straight-forward, jujur, dan galak karena bersikap sebaliknya), dan alon-alon ('alon-alon' itu bahasa Jawa, kalo orang Sunda ngomongnya 'kalem', alias gak grasa-grusu atau gak sabaran kayak gue). Saking alon-alonnya kalo lampu merah berubah jadi hijau, kebanyakan nggak langsung jalan; ada momen diam yang lama sebelum jalan, dan jiwa Jakarta gue meronta-ronta pengen ngelakson.
Juara satu lampu merah paling gemes: Lampu Merah Sepanjang Jl. Soetta |
Selain itu, salah satu budaya yang paling nggak gue paham dan sulit gue ikuti adalah nyisain makanan kalo dikasih orang. Misal, gue dan temen-temen gue patungan martabak buat dimakan bareng-bareng. Ketika tersisa satu potong lagi, mereka yang orang Sunda asli nggak akan ngambil potongan terakhirnya walau dipaksa, karena "mengambil potongan terakhir itu tidak sopan dan terkesan rakus", sementara kalo gue yang ditawarin, awalnya gue pasti malu-malu, lama-lama gue abisin juga. Oke, sedikit nggak tau diri tapi aku tidak suka menyisakan makanan. Itu aja yang paling gue highlight soal keseruan sosial-kulturalnya, dan sekali lagi, nggak bisa digeneralisasi karena banyak masyarakat yang kiblatnya udah agak ke-Bandung Kota-an sehingga lebih luwes dan open-minded dan masih ada juga yang menganut tradisi dan kepercayaan lokal (contohnya, terlalu percaya guna-guna tapi tetep seek medical help dan anti-vaksin). This what concludes me that the area I'm living is not that village-ish neither city-ish; cocok untuk orang-orang abu-abu yang ingin merasakan suasana desa dan kearifan lokal (baik yang positif maupun yang negatif) tapi masih mau dirundung hingar bingar suasana (yang sedikit) perkotaan.
Sekarang, sudah 10 bulan lebih gue tinggal di Kabupaten Bandung dan masih sejatuh cinta itu entah dengan ide mengenai kesendirian dan kebebasan, atau dengan alamnya, atau dengan dinamika sosiokultural-nya, atau dengan kombinasi ketiganya. Rasanya Jakarta terasa jauh, terburu-buru, dan menakutkan. Rasanya kesepian dalam batas yang lebih tinggi akan bisa gue toleransi dan hingar bingar keakraban justru terasa meletihkan. Rasanya yang asing beranjak menjadi rumah, dan yang rumah bergeser jadi asing.
"Entah sejak kapan, rumah terasa begitu asing," gumamnya. |
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tapi setiap perpindahan selalu memaksa kita berpikir kelak,
"Apa yang harus saya bisa lakukan agar bisa makan dan senang besok hari?"
Intinya, walau sedang kebingungan di rantau, tetap harus hati-hati di jalan, ya. |
Salam hangat,
Dina,
dokter yang sedang mencari pekerjaan
dan masih bersikukuh ingin hidup
dari raga Bandung dan sekitarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar