For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 30 Agustus 2020

Terombak dan Tergulung: Pantai Santolo, Garut

Selamat sore, semuanya.

Kemunculan blog post yang cukup berdempetan ini mengejutkan saya (bahkan sebagai penulis blog ini sendiri), karena tidak setiap hari (bahkan tidak setiap minggu atau bulan) impuls menulis ini menyetrum jiwa pemalas, mengalahkan hasrat ingin rebahan saja meratapi hidup, sambil bertanya apa yang saya inginkan dalam hidup. Oke, emo enough –intinya alhamdulillah Dina sudah kembali di titik dia ingin menulis, menulis, dan menulis lagi; karena dari semua hobi yang berusaha dilakonin sebisa-bisanya, tetep menulis yang paling awet dia lakonin. Main gitar, stop karena capek (gak tau capek apaan padahal cuma metik aja). Menggambar, stop karena nggak kunjung bisa gambar jari (iya aku tahu itu alasan yang menyedihkan). Bersepeda, stop karena sepeda ganti-ganti terus karena rusak – capek maintenance-nya. It's hard to initiate writing, like damn, it totally hurts and stressing, tapi once I start to write, it's hard to do other jobs. Pantang mengerjakan yang lain sebelum puas menulis. I guess that's my problem; when I get too attached at something, others became irrelevant.

Gue kalo lagi enak nulis, otw neglecting all jobs. Thanks coschedule.com!


Selain hobi menulis, mungkin melancong dan foto juga termasuk hobi, tapi sayangnya melancong tidak bisa bebas dilakukan di era pandemi ini (hell yeah, new normal!) dan foto juga tidak bisa banyak dilakukan jika tidak melancong (karena seringnya Dina memotret saat dia melancong). Semua hobi-hobi ini dilandaskan pada satu akar, yakni kemampuan finansial. Kalau finansial gonjang-ganjing, otomatis semua hobi yang tertera di sini akan sulit dilakukan. Oh, I love how things are interconnected! 

Oke, mari kita bicara hal lain selain kemampuan finansial, bicara soal melancong saja. Tahun ini cukup sedih bahwa sampai Agustus 2020, belum ada gunung yang gue daki – baik hiking softcore maupun hardcore. Rencana tahun ini mau ke Gunung Lawu (beneran mau ke Lawu banget), menyelesaikan Gunung Geulis yang tertunda, dan mencoba naik Gunung Manglayang yang selama ini selalu gue liat tiap berangkat kos; semua batal karena COVID-19 tiba-tiba menjadi isu nasional dan global. Kemauan banyak, eksekusi nol besar – sudah biasa, yang tidak biasa adalah alasan pandemi-nya. Jangankan melancong, pulang ke rumahpun tidak berani. Makan di tempat yang sedikit ramepun mundur. Liat minimarket yang banyak orang, langsung jalan lagi cari minimarket lain.

Waktu jalan-jalan sedikit ke Bukit Candi, Cicalengka. I miss hiking.


Akan tetapi, pada akhirnya gue menyerah. Mungkin melancong sedikit dengan mengidahkan protokol kesehatan bisa dilakukan. Kemana ya – yang jelas ke alam terbuka. Ke alam terbuka yang kemungkinan sepi. "Dimana ya," kata gue bergumam – sampai satu siang tiba-tiba gue sudah ada di jalan raya Kabupaten Garut naik motor sendiri, karena tiba-tiba terpikir, "Ke pantai, oke juga". 

Gue selalu mendengar orang-orang di sekitar gue berkata, "Ke Santolo Din, di Garut, atau ke Pangandaran," ketika bertanya soal pantai yang biasa dikunjungi orang Bandung dan sekitarnya. Untuk orang yang suka sekali dengan pegunungan, tinggal di Kabupaten Bandung cukup bisa dibilang anugerah, tapi untuk orang yang suka sekali dengan laut, bau asin dan lembab, tinggal di Kabupaten Bandung mungkin secara halus adalah sebuah kutukan.

Siang itu, tiba-tiba gue ngegas mau ke Santolo, tapi di luar dugaan, gue punya rasa takut. Jam tiga sore, gue mendapati diri gue ada di tengah pegunungan di Kabupaten Garut dan menurut Google Map, gue akan sampai pantai Santolo dalam jarak 15 km lagi. 15 km dengan kondisi jalanan gunung meliuk di sisi tebing, dengan langit jam 3 sore yang muram dan berkabut, dengan motor Supra yang rasanya jika ia hidup pasti dia akan minta resign melayani gue. Akhirnya, gue memutuskan puter balik di jalanan gunung itu dan pulang ke kos.

Rekapitulasi foto trip dadakan (dan) gagal ke Garut.

 

Pulang dari sana, rasanya gue begitu terhipnotis oleh ide-ide ke pantai dan akhirnya membuka pertanyaan di story Instagram, apakah recommended berkemah di tepi pantai di Garut, bagaimana kondisinya apakah ramai atau berombak hebat, atau berangin, dan minta rekomendasi soal retribusi dan lain-lainnya. Respon kebanyakan orang:

  1. Apakah anda serius? Kenapa sih lo suka ada aja idenya?
  2. Jangan berkemah di Santolo lah. Santolo mah rame. Di pantai lain aja, kayak Sayang Heulang, Rancabuaya, atau di Bukit Guha.
  3. Nanti bayar retribusi masuk aja, kok. Untuk kemah gitu-gitu kayaknya bebas deh kalo udah bayar retribusi. Kalo soal digerebek, gak tahu ya.
  4. Bukit Guha aja, itu tapi bukit bukan langsung ke laut lepas. Lagian jangan di tepi pantai banget lah, anginnya lagi kencang, takutnya lagi pasang juga. Nanti keseret ombak.
  5. Bisa berkemah di Santolo, tapi di pulau kecilnya aja.

Setelah mengumpulkan informasi (termasuk informasi homestay just in case tidak boleh nginep di tenda – which is a bit disappointing karena kebanyakan belum well-developed), akhirnya gue cao ke Garut menggunakan motor. Rencana berangkat Subuh tapi karena kesiangan, jadi berangkat jam setengah 8 pagi setelah makan nasi kuning dan gorengan. Amunisi cukup lengkap mulai dari hand-sanitizer, masker, air minum, gorengan (iya bakwan goreng enak banget), bucket hat, sarung bantal (akan difungsikan sebagai tiker di pantai, maklum anak kos ke pantai naik motor gak bakal bawa tiker lah) – semuanya ada kecuali sunblock (jangan ditiru ya).

Perjalanan berlangsung sangat smooth, kira-kira sampai daerah Samarang, Kabupaten Garut. Pas udah lewat spanduk Kawasan Wisata Papandayan, jalanan sudah mulai berliku dan dingin. Lama-lama hanya ada jalan berkelok, dinding tebing yang penuh rumput atau batu, dan beberapa warung di tepi jalan. Jalanan gunung di siang hari cukup menyenangkan dan memanjakan mata; sinar matahari menembus masuk dari sela-sela daun pepohonan, kendaraan tidak terlalu banyak. Berhenti untuk istirahat dan foto-foto tebing dan lembah juga masih cukup menyenangkan.




 

Lama-lama muak juga tapi menekuni jalan berkelok. Untung naik motor dan harus konsen, kalo naik mobil gue bisa mabok. Setelah lika-liku entah keberapa puluh atau keberapa ratus, keluar masuk daerah dengan intensitas kerimbunan pohon yang berbeda-beda, rasanya mulai capek. "Ini perasaan dari tadi jalan gunung terus ya, kayak impossible ada pantai deh di ujung sana. Ini tuh kayak bukan jalan ke pantai banget," adalah hal yang kita gumamkan terus-terusan, padahal kemungkinan nyasar nyaris 0 karena emang jalannya cuma 1.

Setelah berkali-kali mengulang kalimat yang sama, akhirnya kita masuk ke peradaban – ke daerah Pameungpeuk dan deretan minimarket di kanan kiri jalan. Teduhnya pohon-pohon dan jalan berliku, berganti dengan pemandangan sawah di kiri kanan jalan dan jalan lurus datar, dan the greatest is hawa lembab pantai dan wangi air asin. Sulit dipercaya setelah menembus hutan akhirnya kita bisa mencium hawa-hawa laut.


Dina's dummy argument: Kalo udah ada pohon kelapa, udah deket pantai.

 

Tidak lama setelah bersikap norak mencium air laut, kita dihadapkan oleh persimpangan menuju pantai Sayang Heulang dan memutuskan untuk lurus saja ke Pantai Santolo; padahal mayoritas temen-temen gue gak menyarankan ke Pantai Santolo karena alasan "ramai" dan lebih menyarankan ke Sayang Heulang. "Nanti pulang dari Santolo, kita mampir ke Sayang Heulang aja. Paling juga nggak lama kan di Santolo". Saat itu, waktu menunjukan pukul 12.00 tengah hari. Emang bener-bener agak gesrek aja ke pantai tengah hari dengan amunisi minim, seolah pulang-pulang siap sunburn atau kanker kulit. Kita lewat gerbang pemeriksaan (periksa penggunaan masker bagi pengunjung) dan bayar retribusi masuk Santolo seharga Rp 10000/orang dan motor tidak ditagih retribusi. Setelah gerbang, kita menelusuri jalanan di tepi pantai Santolo dan ternyata ada kantor LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional – National Institute of Aeronautics and Space) posisinya menghadap pantai. What a melancholic life of pegawai LAPAN; seharian memeras otak mencari formulasi roket dan bahan bakarnya yang tepat, kemudian melepas penat melihat laut. Tidak jauh dari sana, terlihat banyak homestay. Saran, jangan parkir di dekat-dekat homestay, terlalu ramai. Parkirlah di sekitar LAPAN, supaya lebih sepi.

Kantor LAPAN, tempat peluncuran roket, amazed!
 

Hari itu, Pantai Santolo adalah perwujudan mimpi mantai-ku yang sangat sempurna dan gue nggak nyesel lebih milih ke Pantai Santolo. Siang itu, karena cuaca cukup terik, kondisi pantai tidak terlalu ramai (padahal weekend). Pantai Santolo adalah pantai pasir putih and I always have a thing for white-sand beach. Lansekap Pantai Santolo siang itu dreamy sekali, pasir pantai putih, lautan biru bergradasi, ombak tidak begitu besar, dan di kejauhan terlihat mercusuar putih.

Gue berjalan ke arah mercusuar hanya untuk mendapati bahwa mercusuar ada di 'pulau' tersendiri dan untuk sampai sana, harus nyebrang pakai perahu atau berenang. Karena nggak bisa berenang (dan ngapain juga gue berenang...), gue naik perahu, bayar Rp 5000 ke akangnya. Naik perahu nggak sampai 3 menit juga udah nyampe (maka dari itu sebenarnya visible saja kalau mau berenang), dan cukup sedih lihat tepian pantainya ada sampah berserakan. Mau di gunung, di pantai, sama aja – orang kalau tamasya emang susah banget buat bawa sampahnya pulang.

Ini kapal yang dipake nyebrang ke pulau kecil, biaya Rp 5000/orang.



Tapi otherwise, pulau kecil Santolo terasa sempurna, bahkan lebih sempurna dari pasir putih yang pertama gue injek hari itu. Sepi, tenang, damai, gue menggelar sarung bantal di atas pasir. Duduk di bawah rimbun pohon sambil ngeliat laut biru bergradasi. Lautnya beneran bergradasi – bisa dilihat dari foto; walau foto ini edited untuk mempercantik, tapi birunya memang kaya, bahkan ketika dilihat secara langsung. Di kejauhan terlihat siluet gunung-gunung berbaris – ah, gunung yang membuat akses ke sini menjadi lebih sulit tapi so far, worthy. Pasir pulau kecil Santolo mengandung banyak pecahan cangkang kerang, moluska lainnya, dan karang – cantik untuk dikumpulkan dan dibawa pulang. Tepian pantainya ada yang langsung menjorok ke laut dan ada juga yang diselimuti karang berlumut yang nampak karena air sedang surut. Tidak terlalu jauh, ada tanggul tua yang sudah reyot dan beberapa orang berfoto di atasnya. Mercusuar menyembul di balik rimbun pepohonan.

Santolo adalah pengalaman pertama gue males-malesan berjam-jam di pantai doing nothing purposeful – hanya sebatas duduk liat laut, denger lagu, sambil sesekali ngobrol, sisanya liat laut lagi atau mikirin hal-hal. Ketika di laut, pikiran-pikiran sulit menjadi irelevan dan rasanya tidak perlu dipikirkan sekarang. Tiduran di atas pasir, di bawah rindang pohon, rasanya nyaman walaupun matahari jam 1-2 siang sedang terik-teriknya.




 

Setelah 3 jam melihat laut (beneran melihat laut saja) dan mengobservasi lingkungan dari bawah pohon, akhirnya gue berkeliling. Mercusuar putih yang dreamy itu ternyata dinamakan mercusuar Pameungpeuk, sesuai lokasi pantai, bisa berfoto dan pegang pintu depan mercusuar tapi nggak bisa masuk. Di depan mercusuar, ada reruntuhan dermaga yang membentuk pintu air peninggalan masa kolonial – ada yang masih utuh, ada yang setengah hancur tapi masih bisa dinaiki. Dulu, Santolo adalah dermaga untuk kapal angkut rempah. Dermaganya bagus dan bisa menampung sekitar 50 perahu kapasitas 5 ton, ada kran besi besar untuk mengatur buka-tutup pintu air dermaga, dan ada rel besi di sekeliling dermaga untuk angkut-angkut muatan kapal – sekarang yang ada cuma sisa-sisa dermaganya aja. Air di sekitar dermaga tenang dan jernih. Anak-anak kecil penduduk sekitar beberapa berenang di sana dengan santainya waktu gue jalan pelan-pelan di atas puing dermaga.

Jam 4 sore, langit mulai teduh dan semakin banyak orang yang datang, mungkin mau liat sunset juga. Terlihat beberapa orang mulai mendirikan tenda di pulau kecil Santolo. "I should have camp too", I think, tapi yaudahlah mungkin disuruh mampir lagi ke Santolo next time. Sepertinya menyenangkan kemah di tepi pantai sambil denger deburan ombak dan melihat sunset dan bintang – sounds really tempting. Untuk kembali ke tempat parkir motor, gue naik perahu lagi dan bayar Rp 5000. Menyenangkan sekali hari ini berjemur di pulau kecil Santolo serasa liburan di private island.


Reruntuhan dermaga


 

Membayangkan rute pulang membuat dengkul lemes tapi gimana, ya namanya harus pulang. Sore itu, gue menyaksikan sawah-sawah di pinggir jalan Pameungpeuk kuning tertimpa sinar matahari senja. Indah, mungkin gue harus sering ke pantai, pikir gue. Setelah pemandangan Pameungpeuk terlewati, lama-lama jalan menjadi sepi dan berliku lagi, menembus hutan-hutan Garut. Surprisingly tepat saat magrib gue udah hampir keluar hutan Garut dan istirahat sebentar di cafe (ini beneran cafe – bukan warteg gitu) di pinggir tebing, namanya Diagonal Cafe, kalau nggak salah dan akhirnya memilih kursi outdoor yang sama sekali nggak ada orang lain (di rooftopnya rame pisan, agak ngeri juga) untuk kemudian makan, karena laper berat seharian nggak makan, makan terakhir tapi pagi pake nasi kuning sama gorengan. Menu yang disajikan pocket-friendly, kisaran harga Rp 10000 - 20000, menu small bites mulai dari roti bakar, jamur goreng, tahu goreng, dan seblak, main course-nya limited hanya mie goreng dan nasi goreng as long as I could remember. Karena mengusung tema cafe, pilihan minumannya lebih banyak, terutama kopi berbagai varian.


Diagonal Cafe. Mudah dikenali karena satu-satunya yang estetik.

Intinya, dengan selamat sentausa akhirnya kita sampai di Nagreg sekitar jam 9 malam, masih dirundung drama akibat hampir nabrak segerombol orang yang naik sepeda lawan arah tanpa penerangan, tentu saja di jalan raya Rancaekek-Cicalengka (I explained the details on previous post!). Hari ini pengen beach-hopping ke Rancabuaya dan Sayang Heulang tapi gagal karena Santolo luar biasa menyenangkan dan gagal berfoto di sekitar lingkar Nagreg karena sudah terlalu malam. Memotret lingkar Nagreg (termasuk jembatannya, tanjakannya, bukitnya, terowongannya, rel kereta apinya) adalah bucket list gue dari dulu karena menurut gue lingkar Nagreg benar-benar indah dan visually pleasing. Semoga dan semoga, masih ada lain kali.

Wah, selalu ya setiap Dina nulis blog pasti banyak commentatory yang perlu-gakperlu dan panjang lebar bicaranya, tapi ya sudahlah toh ini blog rekreasional, tidak harus optimisasi SEO supaya keluar di halaman pertama search engine. I am really thankful untuk semua yang bisa baca dan menikmati tulisan ini sampai akhir; pastilah kalian adalah orang yang tahan dengan bullshits dan tons of craps – you're great! Untuk yang males baca dan hanya ke sini untuk intinya saja, oke gue rangkumin ya kesimpulannya...

  1. Pantai yang direkomendasikan di Garut ada beberapa, di antaranya Santolo, Sayang Heulang, dan Rancabuaya. Punten bilih aya rekomendasi deui, mangga ditambih ka komen abdi yah (Maaf, takut ada rekomendasi lagi, silakan ditambah ke komen saya, ya).
  2. Untuk camping site, paling banyak merekomendasikan Bukit Guha, dengan catatan camping dilakukan di bukit, bukan di pesisir pantai.
  3. Harus siap mental berkendara ke Garut, karena kontur jalanan pegunungan yang berliku dan berbatasan dengan jurang di banyak titik. Perjalanan berkisar 4-5 jam dengan kecepatan santai dari Kabupaten Bandung sampai sekitar Pameungpeuk, Kabupaten Garut.
  4. Mask on! Sudah mulai dicek-cek penggunaan maskernya saat masuk kawasan pantai, walaupun protokol lain masih longgar (mobil bak isi sekeluarga besar duduk dempetan di bak aja boleh masuk, asal semua pake masker. Poin social distancing 0). Sampai sana kesadaran diri aja jangan deket-deket orang lain.
  5. Retribusi masuk ke kawasan pantai Santolo (gerbang utama) adalah Rp 10000/orang. Motor tidak dikenakan biaya, untuk mobil gue kurang tau. Retribusi masuk ke pulau kecil Santolo adalah Rp 8000/orang. Untuk mencapai pulau kecil Santolo, naik kapal biayanya Rp 5000/orang/kali angkut, kalau bolak-balik Rp 10000/orang jadinya. Untuk WC tarif buang air kecil Rp 2000, buang air besar Rp 3000, mandi Rp 5000. Parkir motor gue tidak dikenakan biaya lagi, gak tau lagi gak ada yang nagihin atau emang gak harus bayar.
  6. Parkir dekat gerbang LAPAN aja, jangan ke arah homestay. Terlalu ramai.
  7. Waktu terbaik mengunjungi Pantai Santolo adalah jam 4 sore ke atas, dengan catatan suasana romantis tapi ramai. Kalau mau sepi, kayak gue aja pas tengah hari.
  8. Bisa camping, disarankan di pulau kecil Santolo. Setahu gue tidak dikenakan biaya lagi.
  9. Homestay ada banyak tapi masih rumahan sekali. Belum ada homestay atau cottage semi-fancy seperti di Pelabuhan Ratu.
  10. Kalau mau PP jangan terlalu sore pulangnya, apalagi kalau nggak biasa nyetir di jalan gunung. Jalanannya berkelok, minim penerangan, dan bisa aja kita dibutakan lampu jauh kendaraan yang melaju dari arah berlawanan. Kalau kemalaman, mending nginep aja, jalan lagi pas ada matahari.

Bonus foto terowongan Lingkar Nagreg yang estetik.
 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di akhir kata, semoga hidup akan baik-baik saja ke depannya. Semoga yang sedang mencari akhirnya menemukan. Semoga yang terombang ambing akhirnya berlabuh. Semoga yang layu bisa berseri kembali.


Semoga yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita,
semoga yang terbaik untuk kita akan menjadi milik kita di waktu yang tepat.

Terima kasih sudah membaca, semoga sehat selalu.


Penuh sayang,

Dina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar