For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Sabtu, 21 November 2020

Pancang Bumi Pasundan: Gunung Artapela, 2194 mdpl

Selamat sore!

Sulit dipercaya (dan tentunya diterima) bahwa sekarang kita sudah mendekati pertengahan bulan November 2020. Where all the time spent, where all the plans went – we really do not know, all we know in the blink of an eye, 2020 will end. Ada yang berencana berpergian, ujungnya cuma bisa ngomel-ngomel di Instagram karena gagal menggunakan tiket diskonan yang udah diperjuangin susah payah di tahun lalu. Ada yang berencana resign dari tempat kerjanya yang toksik, ujungnya cuma bisa update di tempat yang berbeda alias di rumah karena WFH; kerjaan yang toksik tetep dilakonin karena nggak berani untuk terombang-ambing hidup jobless dan berisiko menghabiskan seluruh dana darurat yang sudah dikumpulkan di era pandemi. Ada yang berencana mengembangkan bisnis, tapi bisnisnya udah koyak disapu bersih di awal pandemi karena kebijakan pembatasan sosial skala besar yang (secara pribadi untuk gue) both medically and economically reckeless (dan makin kesini makin terkesan bercanda).

Rasanya, sisi menyebalkan pandemi ini tidak akan habis dibahas dalam satu post full, tapi ternyata banyak juga yang menemukan hal-hal baik dari pandemi. Beberapa teman yang gak kelar mengumpulkan dana untuk menikah akhirnya bisa menyelenggarakan pernikahan yang sederhana (all thanks to “KUA aja!” dan resepsi via Zoom Meeting), beberapa teman yang kesulitan nemu kekasih sebelum pandemi akhirnya gak tau gimana bisa ketemu jodohnya melalui mekanisme yang sebelumnya selalu gagal (tidak bisa dipungkiri, per-dating app-an waktu lagi kenceng-kencengnya PSBB dan WFH juga dahsyat stoknya), dan beberapa teman belakangan update lahiran dengan caption “Alhamdulillah, dapet rezeki Corona”. I guess there are always two sides of even in the shittiest thing happened.

Salah satu berkah Corona: Liat jalanan Jakarta lengang (awalnya).

Sebenernya, sejak pertengahan tahun ini, gue niat untuk menulis konten yang lebih dewasa. Konten yang lebih dewasa, by means, konten yang lebih jujur, lebih membahas masalah-masalah kehidupan di sekitaran umur 20 (dan solusinya, jika ada – jadi gak keliatan ngeluh-ngeluh banget tanpa juntrungan), dengan konten motivasional, yang dibungkus dengan narasi yang memikat. Tapi namanya juga Annisa Dina – it was all in her head – In her head, without even reaching her hands. Ujung-ujungnya konten Dina ya melancong dan melancong lagi yang ditulis secara kurang konsisten. But yeah, maybe, I found traveling (or simply strolling) as my pain reliever beside of writing – so I could not help but to write my journeys over and over again when I was in emotional crisis. Jadinya mentok nulis konten journey lagi dan journey lagi, karena menggerakan kaki adalah passionku (asal jangan banyak-banyak juga, soalnya pegel).

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah genap 1 tahun gue berdomisili di Jawa Barat; di Bumi Pasundan dan sekitarnya. Setiap hari, kerjaan gue setiap pagi adalah ngeliat gunung dimana-mana sambil jemur pakaian (apalagi setelah pindah ke kos baru yang pemandangan dari rooftop-nya super pecah. Sayangnya aku tidak memiliki teman untuk berbagi keindahan ini.) Sayang sekali, entah manajemen waktu atau manajemen mood yang jelek, gue belum sempat bertandang ke banyak gunung di sekitar Bumi Pasundan, seperti Gunung Geulis, Gunung Manglayang, Gunung Wayang, Gunung Puntang, Gunung Putri, Gunung Guntur, Gunung Cikuray, Gunung Galunggung, dan lainnya – padahal I’m literally living surrounded by mountains.

Pemandangan dari jendela kamar baru

Akhirnya, gue berkesempatan mengeksekusi angan naik gunung yang sudah setahun lebih vakum gue lakukan. Bersamaan dengan kedatangan teman kuliahku x dokter internship yang baru selesai internship, Ayla, akhirnya tanpa banyak berencana kita berhasil menjajakan kaki di Gunung Artapela, gunung yang direkomendasikan salah satu temen internship yang berdomisili di sekitar Pengalengan, yang katanya “Ini mah gunungnya bisa tektok”.

Gunung Artapela adalah gunung yang relatif baru dibuka untuk pendakian di daerah Kertasari, Kabupaten Bandung, mulai dibuka sejak 2017 if I traced back to internet. Beberapa referensi mengatakan:

  1. Ketinggian gunung 2000-an mdpl
  2. Basecamp awal mudah dijangkau
  3. Trek visible untuk tektok dan tidak harus menangis bercucuran air mata
  4. Trek bukan hutan alias kebun
Cukup segitu saja informasi yang gue sempat korek (karena sambil jaga-jaga-jaga) dan sebenernya tolong jangan ditiru karena kadang kita harus mencari sedetil mungkin agar bisa persiapan matang (bukannya malah gak jadi naik karena jadi banyak pikiran). Agar lebih rapi dan ringkas, mungkin akan gue buat per-poin ya.

How To Get There

Mendaki Gunung Artapela bisa dari Kertasari maupun Pengalengan. Gue naik motor dengan rute Jatinangor – Rancaekek – Solokan Jeruk – Ciparay – Pedaleman Kertasari entah dimana. Google Map cukup membantu hal ini, tapi tolong set Google Map dengan memilih moda transportasi mobil saja, karena kalau di set ke moda motor, niscaya sport jantung sama jalanan yang dipilihin sama Google Map. Di perjalanan menuju ke basecamp, gue dikasih arah ke jalanan yang rusak, sempit, dengan tanjakan dan turunan curam di sisi jurang – dengan kita hampir jatuh ke jurang karena ada mobil elf dari arah berlawanan, tidak terlihat, yang maksa ngebut di tikungan menanjak. Pulangnya, perjalanan smooth sekali lewat rute Jalan Pacet Kertasari. Pilihan rute pulang-pergi untuk yang dari Bandung Kota mungkin bisa lewat:

  1. Soekarno-Hatta – Bojongsoang/Dayeuhkolot – Baleendah – Ciparay – Pacet Kertasari
  2. Soekarno-Hatta – Gedebage – Sapan – Ciparay – Pacet Kertasari

Pemandangan di sepanjang Jl. Sapan

Pemandangan Jl. Pacet

Kalau untuk kendaraan umum, bisa dicoba naik angkot jurusan Tegallega-Ciparay atau Kalapa-Majalaya, kemudian disambung lagi dangan angkot jurusan Ciparay-Cibereum yang banyak tersebar di sepanjang jalan. Untuk ongkos transportasi hapunten pisan, saya belum pernah menjajaki secara langsung perangkotan Kabupaten Bandung, khususnya daerah Majalaya-Ciparay-Kertasari. Orang-orang sekitar basecamp cukup familiar dengan nama basecamp, jadi seharusnya ketika bilang mau berhenti di “Basecamp Artapela Cirawa” harusnya angkotpun berhenti tepat di sekitar area basecamp. Basecamp ini juga cukup dekat dengan SDN 01 Cirawa sebagai patokan.

When You Get There

Area basecamp agak masuk ke dalam gang, bisa bermodal tanya-tanya ke penduduk sekitar. Setelah ketemu gerbang basecamp, pendaki akan diminta mengisi daftar pengunjung lengkap dengan nomer handphone, membayar retribusi plus parkir, dan mencatat kontak emergency.

Biaya retribusi: Rp 15.000,00 per orang
Biaya parkir motor: Rp 10.000,00 per motor



Maaf, lupa nanya berapa parkir mobil, tapi beneran tidak se-visible itu untuk nitip mobil karena basecamp cenderung berlokasi di gang kecil. Dulu katanya pendaki bakal dibekali peta dan naik ke atas bermodalkan peta tanpa ada penunjuk jalan, tapi sekarang di setiap percabangan sudah diberi plang penunjuk arah. Dulu juga, setiap pendaki diharuskan membawa satu bibit tanaman untuk ditanam di Gunung Artapela, tapi sekarang tidak harus. Estimasi waktu mendaki sampai puncak adalah 3 jam dengan kecepatan santai dan estimasi waktu turun 2 jam, sehingga sangat oke untuk tektok. Kalo ada yang wonder, jalur pendakian yang biasa digunakan adalah jalur Seven Fields. Oh ya, untuk yang mau berkemah, sepertinya bisa sewa tenda Rp 45.000,00.

… And We Start.

Pendakian dimulai dengan menyusuri sedikit Jalan Raya Pacet, kemudian masuk ke gang rumah penduduk. Trek awal langsung menanjak dengan tangga, di sekitar trek dipenuhi pohon pisang dan kebun daun bawang. Sejak awal trek, memang sudah dibagi jalur pejalan kaki dengan jalur motor, karena Gunung Artapela basisnya adalah perkebunan, sehingga banyak motor modif lalu lalang untuk membawa hasil perkebunan. Trek awal terus menanjak dengan tangga dan pelan-pelan bertransisi jadi tanah, sampe rasanya ngos-ngosan banget.

Setelah tanjakan tanpa belas kasih, akhirnya kita masuk ke daerah yang cukup rata, di kanan kiri penuh ladang bunga kol, kentang, daun bawang, dan jagung. Beberapa petani menggarap kebun, banyak anjing lalu lalang. Keliatan dari jauh rumah-rumah dan hamparan perbukitan di sekitar Kertasari, yang beberapa masih hijau dan beberapa sudah agak plontos karena diseling dengan perkebunan di sana-sini. Nggak heran orang meng-klaim Artapela sebagai “Gunung yang cukup bagus kalau mau lihat city lights dari kemah di malam hari”.



Landai tidak berlangsung lama, jalanan kembali menanjak dan menanjak lagi. Sekarang jalanan motor dan jalanan orang tidak dipisah, jadi kita harus berkutat dengan jejak motor yang tentunya bikin kontur jalan lebih licin dan menyebalkan. Kadang, kalo kita udah capek nanjak, bawaannya pengen ngedumel, “Mana sih puncaknya?”. Puncak kelihatan sih dari jauh, jadi semangat cukup semangat. Oh ya, selama perjalanan, gue nggak banyak papasan sama pendaki lainnya, kalaupun papasan, pendakinya kebanyakan umur belasan sampai early 20 yang bahkan cuma pakai sendal atau sepatu kets biasa, kemeja, celana jeans, dan ransel berpergian biasa…

Jalanan terus menanjak dengan kontur tanah yang rusak sampai ke pos 2. Di pos 2 ini ada warung, mushala, dan toilet. Toiletnya seperti gubuk kecil dengan satu kloset jongkok. Kondisinya bersih, kloset terlihat masih baru, air banyak, jernih, dan segar – hanya saja ruangan toilet super sempit dan pendek, sehingga gue yang tingginya 153 cm ini tetap harus agak merunduk ketika masuk ke dalam toilet. Mushalanya juga seperti gubuk kecil. Untuk orang-orang yang attach banget sama sinyal, internet, dan kehidupan sosial, di pos 2 ini sinyal masih kenceng kok (walau gue gak pake provider terkuat dan terdahsyat se-Indonesia pun).


Setelah pos dua, jalanan terbilang ngeri-ngeri sedap karena selain berupa tanah basah dan jelek (karena dilalui motor petani juga, yang rodanya dipasang rantai agar tidak selip), jalanannya juga mepet lereng gunung yang cukup curam sehingga harus ekstra hati-hati. Berjalanlah merapat dengan dinding gunung karena jalan cenderung licin dan sulit ditebak, selain itu tanjakan yang harus dilalui juga cukup curam. Setelah lewat bagian tepi lereng, kita kembali masuk ke perkebunan yang masih juga menanjak. Setelah ditelusuri, memang Artapela adalah jenis gunung nyebelin yang bikin kita menerka-nerka dari jauh “Kayaknya itu puncaknya deh” tapi ternyata puncaknya masih jauh di belakang bukit-bukit yang berbaris. Yes, jalur pendakian gue ini katanya memiliki 4 tanjakan heboh karena ada 4 bukit, tapi perasaan gue kayaknya kita nanjak terus, euweuh turunan.

Banyak yang bilang, katanya akan ada 3 pos dan 3 checkpoint, tapi gue cuma ketemu Pos 2 aja selama perjalanan. Selanjutnya, jalanan terus menanjak (tidak henti-hentinya mengulang kalimat ini) dan gue cuma sekali ketemu orang yang mengecek tiket retribusi, itupun kayak papasan pas orangnya naik motor. Setelah berkali-kali ngedumel dan ditipu berulang kali oleh bukit, akhirnya ada penunjuk arah “Puncak Artapela ke Kiri” dan keliatan dong bendera merah putih dari kejauhan.

Trek di tepi lereng.

Trek menanjak, yang trek manusianya terletak di pinggir lereng.

Tujuan ke gunung: Agar semakin merunduk (literally merunduk).


Kalo udah ketemu pemandangan kayak gini, asli puncaknya udah deket.

Puncak Artapela adalah puncak yang botak (tidak banyak pohon) dan merupakan tanah rata dan luas dihampari rumput hijau. Di sana ada tiang bendera dan bendera merah putih, dengan plang Puncak Sulibra Gunung Artapela 2194 mdpl. Pemandangan yang bisa dilihat dari puncaknya adalah bangunan-bangunan penduduk dari ketinggian dan juga gunung lain yang jaraknya dekat dan lebih rimbun. Kondisi puncak cukup bersih karena ada beberapa orang (sepertinya penduduk lokal) yang membersihkan daerah sekitar (ayolah pendaki jangan ninggal sampah di atas, bawa lagi turun sampahnya!).

Ada 1 warung di atas dan satu semak Edelweiss yang bunganya baru tumbuh. Gue gak begitu lama di puncak, cuma menikmati angin sepoi-sepoi sambil selonjoran, lalu awan hujan mulai mendekat dan gue bergegas turun sebelum hujan. Perjalanan turun memakan waktu 1,5 jam dan gue sempet nyasar – walaupun ada petani di sekitar yang bisa ditanyai, tapi tetep aja deg-degan, mana langit mendung banget. Ujungnya, gue exit pendakian di tempat yang berbeda dengan starting point. Walaupun sama-sama muncul di tepi Jalan Raya Pacet, tetep sih itungannya nyasar dan bikin sport jantung.


Sekarang paham kenapa Artapela bagus untuk liat city view malam hari?




Jadi…

So I would sum up everything I consider as important about Artapela in numbers:

  1. Trek kebanyakan tanah licin, please consider a comfortable pair of hiking shoes. Gak hujan aja cukup licin, gimana kalau hujan.
  2. Trek perkebunan terbuka, usahakan memakai baju tipis tapi lengan panjang. Pastikan pakai sunblock juga ya.
  3. Trek menanjak dengan kesan “ditipu” oleh puncak. Walaupun tanjakan nggak ekstrem-ekstrem banget sudutnya, tapi tetep nyebelin karena nanjak terus. Bawa trekking pole ya biar aman.
  4. Puncak merupakan dataran terbuka minim pohon. Walaupun Artapela terkesan seperti gunung cetek, banyak info katanya angin cukup kencang di Puncak Sulibra. Pastikan tendamu cakep, kuat, dan terpasang flysheet supaya bisa tidur nyaman.
  5. Dari basecamp kami diwanti-wanti untuk jaga semua barang yang dibawa dengan baik karena ada cukup banyak laporan kehilangan barang, bahkan ketika mampir cari info di blog orang, ternyata ada pemilik blog yang kehilangan barang saat berkemah di Puncak Sulibra.
  6. Tidak semua jalan motor adalah jalan pendaki, jadi selalu perhatikan plang dan penunjuk jalan yang ada – walaupun kadang gak keliatan, kehalangan rumput.
  7. Sepanjang trek banyak banget lalet. Gue kira gue doang yang dikerumunin lalet karena mungkin hatinya busuk apa gimana, tapi ternyata semua pendaki juga ditemplokin lalet. Bahkan di puncak-pun gue masih dilaletin. Kapan lagi dikerumunin lalet di 2000-an mdpl?
  8. Never underestimate a mountain, even when it seems like the easiest one. Biar kata orang ke atas pake sandal jepit, celana jeans, kemeja, sama ransel sekolah, safety is number one. Terserah orang lain mau kayak gimana, yang penting kamu bawa amunisi yang membuat kamu aman dan nyaman selama mendaki. You never know what’s coming up there.

Spot the sign.


Hati-hati dengan motor yang melintas, bekas jalanannya juga licin.

Ditipu puncak. Dikirain ujung yang ketutup kabut itu puncaknya, taunya...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Wah, ternyata post ini sudah menjadi sangat panjang ya tanpa disadari.

Semoga semua kalimat-kalimat rumpang yang ditulis di sini bisa menyentil pembacanya untuk bertamu ke Gunung Artapela di Kertasari dan cukup membantu untuk memperkirakan seperti apa sih kondisi di atas sana. Semoga gue juga lebih bersemangat untuk explore gunung-gunung di Kabupaten Bandung dan sekitarnya lagi, kalo perlu dengan spirit tektok dan jumlah kawanan yang sedikit saja karena suka nggak suka I am adulting and I need to look for prosperity in daily basis – setidaknya naik gunung sebentar supaya bisa refresh jiwa-jiwa yang capek untuk kemudian bekerja lagi memutar roda finansial.

Di akhir kata, terima kasih sudah membaca dan selamat menjalani sisa-sisa bulan November! Semoga keberuntungan selalu datang pada kita dalam berbagai bentuk – dan semoga keberuntungan dalam bentuk yang kita inginkan tidak segan bertamu dalam waktu dekat ke dalam hidup kita.

Penuh sayang,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar