Selamat sore!
Sulit dipercaya (dan
tentunya diterima) bahwa sekarang kita sudah mendekati pertengahan bulan
November 2020. Where all the time spent, where all the plans went – we really
do not know, all we know in the blink of an eye, 2020 will end. Ada yang
berencana berpergian, ujungnya cuma bisa ngomel-ngomel di Instagram karena gagal
menggunakan tiket diskonan yang udah diperjuangin susah payah di tahun lalu.
Ada yang berencana resign dari tempat kerjanya yang toksik, ujungnya cuma
bisa update di tempat yang berbeda alias di rumah karena WFH; kerjaan yang
toksik tetep dilakonin karena nggak berani untuk terombang-ambing hidup jobless
dan berisiko menghabiskan seluruh dana darurat yang sudah dikumpulkan di era pandemi.
Ada yang berencana mengembangkan bisnis, tapi bisnisnya udah koyak disapu
bersih di awal pandemi karena kebijakan pembatasan sosial skala besar yang (secara
pribadi untuk gue) both medically and economically reckeless (dan makin
kesini makin terkesan bercanda).
Rasanya, sisi menyebalkan pandemi ini tidak
akan habis dibahas dalam satu post full, tapi ternyata banyak juga yang
menemukan hal-hal baik dari pandemi. Beberapa teman yang gak kelar mengumpulkan
dana untuk menikah akhirnya bisa menyelenggarakan pernikahan yang sederhana
(all thanks to “KUA aja!” dan resepsi via Zoom Meeting), beberapa teman yang
kesulitan nemu kekasih sebelum pandemi akhirnya gak tau gimana bisa ketemu
jodohnya melalui mekanisme yang sebelumnya selalu gagal (tidak bisa dipungkiri,
per-dating app-an waktu lagi kenceng-kencengnya PSBB dan WFH juga dahsyat
stoknya), dan beberapa teman belakangan update lahiran dengan caption “Alhamdulillah,
dapet rezeki Corona”. I guess there are always two sides of even in the
shittiest thing happened.
|
Salah satu berkah Corona: Liat jalanan Jakarta lengang (awalnya).
|
Sebenernya, sejak
pertengahan tahun ini, gue niat untuk menulis konten yang lebih dewasa. Konten
yang lebih dewasa, by means, konten yang lebih jujur, lebih membahas
masalah-masalah kehidupan di sekitaran umur 20 (dan solusinya, jika ada – jadi gak
keliatan ngeluh-ngeluh banget tanpa juntrungan), dengan konten motivasional,
yang dibungkus dengan narasi yang memikat. Tapi namanya juga Annisa Dina – it
was all in her head – In her head, without even reaching her hands. Ujung-ujungnya
konten Dina ya melancong dan melancong lagi yang ditulis secara kurang
konsisten. But yeah, maybe, I found traveling (or simply strolling) as my
pain reliever beside of writing – so I could not help but to write my journeys
over and over again when I was in emotional crisis. Jadinya mentok nulis
konten journey lagi dan journey lagi, karena menggerakan kaki
adalah passionku (asal jangan banyak-banyak juga, soalnya pegel).
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah genap 1 tahun gue
berdomisili di Jawa Barat; di Bumi Pasundan dan sekitarnya. Setiap hari,
kerjaan gue setiap pagi adalah ngeliat gunung dimana-mana sambil jemur pakaian
(apalagi setelah pindah ke kos baru yang pemandangan dari rooftop-nya super
pecah. Sayangnya aku tidak memiliki teman untuk berbagi keindahan ini.) Sayang
sekali, entah manajemen waktu atau manajemen mood yang jelek, gue belum
sempat bertandang ke banyak gunung di sekitar Bumi Pasundan, seperti Gunung
Geulis, Gunung Manglayang, Gunung Wayang, Gunung Puntang, Gunung Putri, Gunung
Guntur, Gunung Cikuray, Gunung Galunggung, dan lainnya – padahal I’m literally
living surrounded by mountains.
|
Pemandangan dari jendela kamar baru
|
Akhirnya, gue
berkesempatan mengeksekusi angan naik gunung yang sudah setahun lebih vakum gue
lakukan. Bersamaan dengan kedatangan teman kuliahku x dokter internship
yang baru selesai internship, Ayla, akhirnya tanpa banyak berencana kita
berhasil menjajakan kaki di Gunung Artapela, gunung yang direkomendasikan salah
satu temen internship yang berdomisili di sekitar Pengalengan, yang
katanya “Ini mah gunungnya bisa tektok”.
Gunung Artapela adalah
gunung yang relatif baru dibuka untuk pendakian di daerah Kertasari, Kabupaten
Bandung, mulai dibuka sejak 2017 if I traced back to internet. Beberapa
referensi mengatakan:
- Ketinggian gunung 2000-an mdpl
- Basecamp
awal mudah dijangkau
- Trek visible untuk tektok dan tidak
harus menangis bercucuran air mata
- Trek bukan hutan alias kebun
Cukup segitu saja
informasi yang gue sempat korek (karena sambil jaga-jaga-jaga) dan sebenernya
tolong jangan ditiru karena kadang kita harus mencari sedetil mungkin agar bisa
persiapan matang (bukannya malah gak jadi naik karena jadi banyak pikiran). Agar
lebih rapi dan ringkas, mungkin akan gue buat per-poin ya.
How To Get There
Mendaki Gunung Artapela
bisa dari Kertasari maupun Pengalengan. Gue naik motor dengan rute Jatinangor –
Rancaekek – Solokan Jeruk – Ciparay – Pedaleman Kertasari entah dimana. Google
Map cukup membantu hal ini, tapi tolong set Google Map dengan memilih moda
transportasi mobil saja, karena kalau di set ke moda motor, niscaya sport
jantung sama jalanan yang dipilihin sama Google Map. Di perjalanan menuju ke basecamp,
gue dikasih arah ke jalanan yang rusak, sempit, dengan tanjakan dan turunan
curam di sisi jurang – dengan kita hampir jatuh ke jurang karena ada mobil elf dari
arah berlawanan, tidak terlihat, yang maksa ngebut di tikungan menanjak. Pulangnya,
perjalanan smooth sekali lewat rute Jalan Pacet Kertasari. Pilihan rute pulang-pergi
untuk yang dari Bandung Kota mungkin bisa lewat:- Soekarno-Hatta –
Bojongsoang/Dayeuhkolot – Baleendah – Ciparay – Pacet Kertasari
- Soekarno-Hatta – Gedebage
– Sapan – Ciparay – Pacet Kertasari
|
Pemandangan di sepanjang Jl. Sapan
|
|
Pemandangan Jl. Pacet
|
Kalau untuk kendaraan
umum, bisa dicoba naik angkot jurusan Tegallega-Ciparay atau Kalapa-Majalaya, kemudian
disambung lagi dangan angkot jurusan Ciparay-Cibereum yang banyak tersebar di
sepanjang jalan. Untuk ongkos transportasi hapunten pisan, saya belum pernah
menjajaki secara langsung perangkotan Kabupaten Bandung, khususnya daerah
Majalaya-Ciparay-Kertasari. Orang-orang sekitar basecamp cukup familiar
dengan nama basecamp, jadi seharusnya ketika bilang mau berhenti di “Basecamp
Artapela Cirawa” harusnya angkotpun berhenti tepat di sekitar area basecamp.
Basecamp ini juga cukup dekat dengan SDN 01 Cirawa sebagai patokan.
When You Get There
Area basecamp agak
masuk ke dalam gang, bisa bermodal tanya-tanya ke penduduk sekitar. Setelah ketemu
gerbang basecamp, pendaki akan diminta mengisi daftar pengunjung lengkap dengan
nomer handphone, membayar retribusi plus parkir, dan mencatat kontak emergency.
Biaya retribusi: Rp 15.000,00
per orang
Biaya parkir motor: Rp 10.000,00
per motor
Maaf, lupa nanya berapa
parkir mobil, tapi beneran tidak se-visible itu untuk nitip mobil karena
basecamp cenderung berlokasi di gang kecil. Dulu katanya pendaki bakal
dibekali peta dan naik ke atas bermodalkan peta tanpa ada penunjuk jalan, tapi
sekarang di setiap percabangan sudah diberi plang penunjuk arah. Dulu juga,
setiap pendaki diharuskan membawa satu bibit tanaman untuk ditanam di Gunung
Artapela, tapi sekarang tidak harus. Estimasi waktu mendaki sampai puncak adalah
3 jam dengan kecepatan santai dan estimasi waktu turun 2 jam, sehingga sangat
oke untuk tektok. Kalo ada yang wonder, jalur pendakian yang biasa digunakan
adalah jalur Seven Fields. Oh ya, untuk yang mau berkemah, sepertinya
bisa sewa tenda Rp 45.000,00.
… And We Start.
Pendakian dimulai dengan
menyusuri sedikit Jalan Raya Pacet, kemudian masuk ke gang rumah penduduk. Trek
awal langsung menanjak dengan tangga, di sekitar trek dipenuhi pohon pisang dan
kebun daun bawang. Sejak awal trek, memang sudah dibagi jalur pejalan kaki
dengan jalur motor, karena Gunung Artapela basisnya adalah perkebunan, sehingga
banyak motor modif lalu lalang untuk membawa hasil perkebunan. Trek awal terus
menanjak dengan tangga dan pelan-pelan bertransisi jadi tanah, sampe rasanya
ngos-ngosan banget.
Setelah tanjakan tanpa belas
kasih, akhirnya kita masuk ke daerah yang cukup rata, di kanan kiri penuh ladang
bunga kol, kentang, daun bawang, dan jagung. Beberapa petani menggarap kebun,
banyak anjing lalu lalang. Keliatan dari jauh rumah-rumah dan hamparan
perbukitan di sekitar Kertasari, yang beberapa masih hijau dan beberapa sudah
agak plontos karena diseling dengan perkebunan di sana-sini. Nggak heran orang
meng-klaim Artapela sebagai “Gunung yang cukup bagus kalau mau lihat city
lights dari kemah di malam hari”.
Landai tidak berlangsung
lama, jalanan kembali menanjak dan menanjak lagi. Sekarang jalanan motor dan
jalanan orang tidak dipisah, jadi kita harus berkutat dengan jejak motor yang
tentunya bikin kontur jalan lebih licin dan menyebalkan. Kadang, kalo kita udah
capek nanjak, bawaannya pengen ngedumel, “Mana sih puncaknya?”. Puncak
kelihatan sih dari jauh, jadi semangat cukup semangat. Oh ya, selama
perjalanan, gue nggak banyak papasan sama pendaki lainnya, kalaupun papasan,
pendakinya kebanyakan umur belasan sampai early 20 yang bahkan cuma pakai
sendal atau sepatu kets biasa, kemeja, celana jeans, dan ransel berpergian
biasa…
Jalanan terus menanjak
dengan kontur tanah yang rusak sampai ke pos 2. Di pos 2 ini ada warung, mushala,
dan toilet. Toiletnya seperti gubuk kecil dengan satu kloset jongkok.
Kondisinya bersih, kloset terlihat masih baru, air banyak, jernih, dan segar –
hanya saja ruangan toilet super sempit dan pendek, sehingga gue yang tingginya
153 cm ini tetap harus agak merunduk ketika masuk ke dalam toilet. Mushalanya
juga seperti gubuk kecil. Untuk orang-orang yang attach banget sama sinyal,
internet, dan kehidupan sosial, di pos 2 ini sinyal masih kenceng kok (walau
gue gak pake provider terkuat dan terdahsyat se-Indonesia pun).
Setelah pos dua, jalanan
terbilang ngeri-ngeri sedap karena selain berupa tanah basah dan jelek (karena
dilalui motor petani juga, yang rodanya dipasang rantai agar tidak selip),
jalanannya juga mepet lereng gunung yang cukup curam sehingga harus ekstra
hati-hati. Berjalanlah merapat dengan dinding gunung karena jalan cenderung
licin dan sulit ditebak, selain itu tanjakan yang harus dilalui juga cukup
curam. Setelah lewat bagian tepi lereng, kita kembali masuk ke perkebunan yang
masih juga menanjak. Setelah ditelusuri, memang Artapela adalah jenis gunung nyebelin
yang bikin kita menerka-nerka dari jauh “Kayaknya itu puncaknya deh” tapi ternyata
puncaknya masih jauh di belakang bukit-bukit yang berbaris. Yes, jalur
pendakian gue ini katanya memiliki 4 tanjakan heboh karena ada 4 bukit, tapi
perasaan gue kayaknya kita nanjak terus, euweuh turunan.
Banyak yang bilang, katanya
akan ada 3 pos dan 3 checkpoint, tapi gue cuma ketemu Pos 2 aja selama
perjalanan. Selanjutnya, jalanan terus menanjak (tidak henti-hentinya mengulang
kalimat ini) dan gue cuma sekali ketemu orang yang mengecek tiket retribusi,
itupun kayak papasan pas orangnya naik motor. Setelah berkali-kali ngedumel dan
ditipu berulang kali oleh bukit, akhirnya ada penunjuk arah “Puncak Artapela ke
Kiri” dan keliatan dong bendera merah putih dari kejauhan.
|
Trek di tepi lereng.
|
|
Trek menanjak, yang trek manusianya terletak di pinggir lereng. |
|
Tujuan ke gunung: Agar semakin merunduk (literally merunduk).
|
|
Kalo udah ketemu pemandangan kayak gini, asli puncaknya udah deket.
|
Puncak Artapela adalah
puncak yang botak (tidak banyak pohon) dan merupakan tanah rata dan luas
dihampari rumput hijau. Di sana ada tiang bendera dan bendera merah putih,
dengan plang Puncak Sulibra Gunung Artapela 2194 mdpl. Pemandangan yang bisa
dilihat dari puncaknya adalah bangunan-bangunan penduduk dari ketinggian dan
juga gunung lain yang jaraknya dekat dan lebih rimbun. Kondisi puncak cukup
bersih karena ada beberapa orang (sepertinya penduduk lokal) yang membersihkan
daerah sekitar (ayolah pendaki jangan ninggal sampah di atas, bawa lagi turun
sampahnya!).
Ada 1 warung di atas dan satu semak Edelweiss yang bunganya baru
tumbuh. Gue gak begitu lama di puncak, cuma menikmati angin sepoi-sepoi sambil
selonjoran, lalu awan hujan mulai mendekat dan gue bergegas turun sebelum
hujan. Perjalanan turun memakan waktu 1,5 jam dan gue sempet nyasar – walaupun ada
petani di sekitar yang bisa ditanyai, tapi tetep aja deg-degan, mana langit
mendung banget. Ujungnya, gue exit pendakian di tempat yang berbeda dengan starting
point. Walaupun sama-sama muncul di tepi Jalan Raya Pacet, tetep sih itungannya
nyasar dan bikin sport jantung.
|
Sekarang paham kenapa Artapela bagus untuk liat city view malam hari?
|
Jadi…
So I would sum up everything
I consider as important about Artapela in numbers:
- Trek kebanyakan tanah licin, please
consider a comfortable pair of hiking shoes. Gak hujan aja cukup licin, gimana
kalau hujan.
- Trek perkebunan terbuka, usahakan memakai
baju tipis tapi lengan panjang. Pastikan pakai sunblock juga ya.
- Trek menanjak dengan kesan “ditipu” oleh
puncak. Walaupun tanjakan nggak ekstrem-ekstrem banget sudutnya, tapi tetep
nyebelin karena nanjak terus. Bawa trekking pole ya biar aman.
- Puncak merupakan dataran terbuka minim
pohon. Walaupun Artapela terkesan seperti gunung cetek, banyak info katanya
angin cukup kencang di Puncak Sulibra. Pastikan tendamu cakep, kuat, dan
terpasang flysheet supaya bisa tidur nyaman.
- Dari basecamp kami diwanti-wanti
untuk jaga semua barang yang dibawa dengan baik karena ada cukup banyak laporan
kehilangan barang, bahkan ketika mampir cari info di blog orang, ternyata ada pemilik
blog yang kehilangan barang saat berkemah di Puncak Sulibra.
- Tidak semua jalan motor adalah jalan
pendaki, jadi selalu perhatikan plang dan penunjuk jalan yang ada – walaupun kadang
gak keliatan, kehalangan rumput.
- Sepanjang trek banyak banget lalet. Gue kira
gue doang yang dikerumunin lalet karena mungkin hatinya busuk apa gimana, tapi
ternyata semua pendaki juga ditemplokin lalet. Bahkan di puncak-pun gue masih
dilaletin. Kapan lagi dikerumunin lalet di 2000-an mdpl?
- Never
underestimate a mountain, even when it seems like the easiest one.
Biar kata orang ke atas pake sandal jepit, celana jeans, kemeja, sama ransel
sekolah, safety is number one. Terserah orang lain mau kayak gimana,
yang penting kamu bawa amunisi yang membuat kamu aman dan nyaman selama
mendaki. You never know what’s coming up there.
|
Spot the sign. |
|
Hati-hati dengan motor yang melintas, bekas jalanannya juga licin.
|
|
Ditipu puncak. Dikirain ujung yang ketutup kabut itu puncaknya, taunya...
|
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wah, ternyata post
ini sudah menjadi sangat panjang ya tanpa disadari.
Semoga semua kalimat-kalimat
rumpang yang ditulis di sini bisa menyentil pembacanya untuk bertamu ke Gunung
Artapela di Kertasari dan cukup membantu untuk memperkirakan seperti apa sih kondisi
di atas sana. Semoga gue juga lebih bersemangat untuk explore
gunung-gunung di Kabupaten Bandung dan sekitarnya lagi, kalo perlu dengan spirit
tektok dan jumlah kawanan yang sedikit saja karena suka nggak suka I am
adulting and I need to look for prosperity in daily basis – setidaknya naik
gunung sebentar supaya bisa refresh jiwa-jiwa yang capek untuk kemudian
bekerja lagi memutar roda finansial.
Di akhir kata, terima
kasih sudah membaca dan selamat menjalani sisa-sisa bulan November! Semoga
keberuntungan selalu datang pada kita dalam berbagai bentuk – dan semoga
keberuntungan dalam bentuk yang kita inginkan tidak segan bertamu dalam waktu
dekat ke dalam hidup kita.
Penuh sayang,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar