For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Selasa, 11 Mei 2021

Lampu Merah di Jakarta

Halo!

It is 2021 already and it's already the middle of May. Rasanya baru kemarin gue menulis panjang lebar tentang epilog 2021 yang berujung tidak dipublish karena terlalu emo (dan sangat, sangat depresif), dan sekarang udah masuk bulan kelima dan bulan puasa yang udah mau selesai. Senang rasanya menyambut bulan puasa kembali, walaupun masih dalam setting pandemi (mungkin akan lebih longgar karena angka kasus sudah menurun, perasaan jenuh terus menerus karantina, dan perasaan jumawa karena banyak yang sudah vaksin).

Jadi, back to the most basic question I always throw earliest: "How's life?" – I hope life treats you kind, terutama untuk kalangan 24 ke atas yang lagi dalam kondisi mental senggol-bacok atau worse, senggol-ke psikiater. Not that I joke about mental health, I am being blunt about it. Dulu, di saat semua orang moaning tentang quarter life crisis, gue pikir krisis tersebut adalah sesuatu yang personal alias bisa dialami atau bisa tidak dialami. Gue berpikir, dengan jenis profesi yang gue ambil dan dengan karakter gue yang seperti ini, krisis 1/4 abad itu tidak akan terjadi atau setidaknya tidak akan menampar dengan keras – tapi ternyata seperti manusia lain, gue lebih banyak salahnya dibanding benernya. Ternyata dengan karakter gue yang seperti ini, gue justru rentan terhadap krisis 1/4 abad ini dan seiring gue bergelut dengan profesi ini, ada banyak sekali kekhawatiran-kekhawatiran yang makin membuat krisis ini berkembang menjadi krisis eksistensial yang berlarut-larut. In the end, I know how it feels to question everything that happens to you and why aren't you growing well  and I hope you can control that voice in your head so they don't scream so loudly and make you feel worthless.

Sebuah ilustrasi yang bagus tentang quarter life crisis

Jadi, akhirnya gue angkat kaki dari Bandung dan sekitarnya. Semua terjadi dengan sangat cepatnya – gue tahun baruan di Bandung setelah jaga 3 hari 3 malam berurut-turut, makan Justus dan Eatalia, kerja lagi di klinik sambil lamar-lamar kerja, bersepeda di jalanan Rancaekek yang penuh truk, makan di McDonald's Cibiru dan Soekarno-Hatta, interview, kadang pulang pergi Jakarta-Bandung, dan kemudian menetap sementara di Jakarta karena  respon rekrutmen di Jakarta sangat cepat dibanding di tempat lainnya. Akhirnya, di pertengahan Januari, gue pulang dengan gontai dan sedih ke kamar kos gue di Jatinangor, melihat sekeliling – siluet gunung Manglayang, gunung Geulis, apartemen Easton Park, bahkan Jam Loji di kejauhan, sambil berpikir gak percaya gue akan meninggalkan kecamatan yang sudah terasa seperti rumah sendiri selama 1 tahun lebih. Gue minta 3 hari off dari orientasi tempat kerja yang baru untuk packing barang dan appreciate momen terakhir di Jatinangor dan di 3 hari terakhir di Jatinangor itu, gue beberes barang, main sepeda untuk terakhir kalinya di Jatinangor dan Rancaekek, main kucing, dan malamnya menangis.

I am a sucker for goodbye. Selalu. No matter how lonely and quiet my life was in Jatinangor (and maybe some people know more devastating details about it), I would always end up crying loud cherishing even my saddest memory in any place.

Berat untuk ninggalin view kamar yang kayak gini.

Hari Minggu malam di sekitar tanggal 20-an Januari, gue akhirnya meninggalkan Jatinangor dan seluruh keramahan Bandung yang telah membuat gue 1) Kenal banyak orang, 2) Makan kenyang, 3) Bisa menabung, 4) Tidur dengan selimut dan kaos kaki tanpa AC. Banyak banget rezeki yang mengalir di sana, walaupun juga banyak momen sepi dan sedih. But that's life and it's like a yogurtyou can't get the sweet without the hint of sour. Hari Senin pagi, gue kembali menjalani kehidupan ibukota – berlari-lari ke Gojek yang udah nunggu di depan apartemen, dengan rambut yang masih basah dan tas yang belum diresleting, melaju penuh kecepatan ke tempat kerja baru yang jaraknya 8 km dari apartemen tempat berdomisili saat ini. Jakarta hari Senin di era pandemi tidak semenyebalkan sebelumnya (sebelum pandemi), tapi tetap membuat jiwa Sumedang gue tercengang dan gugup karena takut sulit beradaptasi lagi. Semua orang bergerak dengan pace-nya, yang menurut gue masih sangat terburu-buru, klakson protes terdengar di sana-sini ketika terjadi sedikit perlambatan, motor-motor menghindari kemacetan dengan beramai-ramai naik ke trotoar, angkot berjalan lawan arah di perempatan besar Grogol-Citraland, dan lagi-lagi klakson protes ramai saat lampu kuning bahkan belum berganti jadi hijau.



Hari-hari berikutnya terasa seperti bermain view-master – semua pemandangan adalah kumpulan gambar yang tersusun melingkar, hari-hari berlalu seperti tombol yang ditekan berulang-ulang dan menyebabkan gambar pemandangan itu bergeser, untuk kemudian berulang lagi. Gue terus melihat ke dalam view-master dan memencet tombol mengulang pemandangan-pemandangan yang ada hingga akhirnya hampir 3 bulan berlalu. Pagi-pagi, gue akan bangun, menyeduh kopi, sambil merendam dan menjemur baju, dan melihat jalan tol dari balkon sambil menyeruput kopi. Setelahnya gue akan mandi dan mengerjakan hal-hal lain sampai siang, kemudian berangkat bekerja – berkutat lagi dengan dinamika jalanan Jakarta; dengan mereka yang terburu-buru entah untuk apa, dengan mereka yang terlalu santai hingga membuat yang lain kesal, dengan mereka yang berhenti mendadak, atau tiba-tiba memotong jalur. Gue akan kerja dari sore hari sampai pagi hari besoknya dan di pagi hari esoknya, gue akan berusaha menyeberang jalan yang macet supaya bisa putar balik, naik fly-over, beradu dengan mobil dan truk yang mengantri masuk tol dan menyebabkan semua terkena macet lalu beradu dengan kendaraan-kendaraan segala jenis yang tentunya terburu-buru entah untuk apa, makan mie ayam gerobakan di dekat tempat tinggal, kemudian pulang.

Semua hal diterima, diproses, dan dilaporkan secara cepat di kota ini. Kota yang tidak pernah tidur – tidak ada matinya. Semua orang sepertinya berharap bisa sampai secepat mungkin (dalam konteks apa saja) dan menerima timbal balik secepat mungkin; bahkan dalam beberapa kasus, orang juga cepat marah dan mengeluh (khususnya dalam hal layanan) sehingga kita harus berpikir cepat solusi agar hal yang tidak diinginkan tidak perlu terjadi. Gue merasa lebih dari berlari di kota ini; gue terbirit-birit. Terbirit-birit entah untuk apa – mungkin untuk tidak terseok, jatuh, kemudian terinjak-injak oleh langkah-langkah yang lain.

4 bulan terakhir gue di Jakarta dengan jiwa yang terus menerus berlari entah untuk apa, rasanya ada banyak perubahan dalam cara gue mempersepsikan Jakarta. Hal-hal yang sebelumnya gue suka, kayak hingar-bingar Jakarta, kemungkinan untuk ketemu orang-orang baru yang pikirannya menakjubkan dan terbuka, critism dari orang-orang di dalamnya, no longer have a reserved place in my heart; dan hal-hal yang sebelumnya gue gak suka justru sekarang gue nikmati dengan sebaik-baiknya – salah satunya adalah lampu merah.

Siapa yang suka lampu merah? Lampu merah menambah waktu perjalanan dan bikin macet, apalagi lampu merah di persimpangan-persimpangan besar Jakarta – banyak yang yang bilang di lampu merah Jakarta, perempuan bisa menuntaskan setengah full make-up look, atau menyelesaikan seluruh rangkaian make up-look sederhana. Waktu di Bandung, gue benci lampu merah Kiaracondong dan Buahbatu di Jalan Raya Soekarno-Hatta, karena durasinya yang begitu lama, jalanan yang panas, dan penuh dengan truk-truk yang melintas dari Sumedang/Garut, tapi begitu balik Jakarta, I guess red lights are those stopping me from running continuously in my current daily life.

Di lampu merah, khususnya di jalan besar yang lajurnya teratur, akhirnya semua orang bisa berhenti dan menunggu. Semua orang bisa diam saja di atas/di dalam kendaraannya, tidak berpikir apa-apa, dan hanya menunggu. Kalau tidak suka melamun, orang bisa melirik langit, bangunan, atau bahkan manusia silver yang mematung di atas zebra cross, dan ondel-ondel sepasang yang sedang adu berjoget dengan latar belakang musik Betawi. Kalo lebih observant dan memungkinkan, orang bisa melirik mbak-mbak atau mas-mas berpakaian formal yang sedang menyebrang di zebra cross untuk bekerja lembur hari ini di gedung-gedung perkantoran bergengsi (dan surprisingly mungkin umur mas-mas dan mbak-mbak ini lebih muda dibanding gue). Tidak perlu melakukan apa-apa, hanya menikmati diam dalam 60 detik hingga 180 detik sampai lampu hijau menyala. Menyenangkan. Ketika lampu hijau menyala (atau lampu kuning), semua akan kembali semerawut dan berpacu entah untuk apa.

Seiring bertambahnya umur (well I thought I am not that old, but I do feeling that old), mungkin memiliki waktu luang dan waktu yang dapat 'dilambatkan' adalah sebuah keistimewaan. Privilege, kata orang zaman sekarang. "Tiap orang pasti punya waktu luang kok, tinggal gimana mengusahakannya dan atur waktunya," ucap beberapa orang teman – menyanggah bahwa hal-hal tersebut bukan sesuatu yang mewah. Gue mau percaya, tapi melihat banyak teman dengan latar belakang profesi yang berbeda, semakin gue percaya bahwa tidak semua orang dapat mengatur waktunya sedemikian rupa bukan karena mereka tidak mau, tapi karena mereka tidak bisa.

Tidak bisa – 

karena hierarki jabatannya masih di bawah (bos bisa rutin olahraga dari jam 6-8, jam 9 atau 10 baru mendarat di office, sementara pegawai bawah standby terus dan lemburan),

karena sibuk nambel penghasilan dengan kerja di sana-sini bahkan bisa lintas profesi dan kompetensi,

karena punya tempat kerja yang jauh dari rumah dan bergantung pada kendaraan umum (yang butuh perjuangan untuk menaikinya apalagi di masa pandemi),

atau karena punya someone to look after (seperti istri, anak, atau orang tua yang ingin sekali anaknya selalu dekat dan peduli, untuk yang masih single).

Tidak semua orang punya waktu bahkan hanya untuk merenung – dan I am against those who said privilege doesn't count for a better time management.


I have a lot of things going on in mind, yet I choose to talk about traffic lights in my post – that just means I really appreciate how a traffic light not only could prevent accidents on chaotic streets, but also to pause someone's life for a while. Menyenangkan sekali untuk bisa berhenti sejenak di antara semua yang terasa cepat. Menyenangkan sekali untuk being existed for only ourselves, with our personal pace, tanpa harus berlomba dengan orang lain.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lama gak nulis, sekalinya nulis tentang lampu merah diselipin sama random deepest rants tentang kehidupan sebagai seseorang yang sedang menuju 26 tahun.

Tapi, menulis selalu sama rasanya – selalu melegakan dan menyenangkan, and after I finished with one, the idea of the next one would always pop out, tinggal masalah eksekusinya jadi ketikan. Ada banyak hal-hal lainnya yang terjadi selama 4 bulan balik dan hidup di Jakarta, baik secara fisik maupun rohani, dan gue harap dapat gue konversikan menjadi tulisan. Doa gue selalu sama, semoga di sisa tahun 2021 ini, gue bisa semakin banyak menulis (dan tentunya memotret dan memindahkan data-data penting ke tempat yang aman), just to make my soul live immortally in this irrelevant side of internet.

Di akhir kata, terima kasih bagi yang sudah membaca sampai titik ini, dan terima kasih untuk beberapa yang menanyakan "kok gak pernah nulis lagi?" di dunia nyata. Semoga semuanya semakin baik dari hari ke hari, waktu ke waktu.

Penuh sayang dan motivasi,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar