For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 10 Oktober 2021

Kompilasi Malam-Malam Super Powerful Dina

Halo, selamat siang semuanya.

Tahun 2021 akhirnya menginjakan kaki di tiga perempat rotasi mataharinya. Di tiga perempat rotasi mataharinya, kita sudah melalui cukup banyak hal. Di bulan Mei-Agustus, kita seolah dipaksa flashback ke hari-hari gelap di 2020; kembali social distancing, kembali PPKM (yang dulunya dibilang PSBB), kembali menyendiri dan membusuk di kamar (apalagi buat mereka-mereka yang tinggal sendiri, me too, me too), usaha-usaha mulai no dine-in, take away only setelah sebelumnya mulai merangkak lagi (yang semoga kali ini tidak berimbas banyak kebangkrutan dan insiden PHK), UGD dan rawat inap penuh, rumah sakit besar tempat gue biasa merujuk pasien akhirnya mengeksklusifkan perawatan COVID-19 only dalam layanannya. Kita dipaksa lagi menghadapi situasi sulit untuk semua pihak; untuk nakes dengan lonjakan pasiennya, untuk pengusaha dengan penurunan penjualannya, untuk pelajar dan mahasiswa yang harus meneruskan kembali hari-hari school from home. Agustus-September, dengan target vaksinasi yang bikin semua pihak letih, akhirnya angka COVID-19 berangsur-angsur turun. Di bulan Oktober, akhirnya orang-orang mulai berpergian lagi  bandara mulai disibukkan flights, kendaraan umum mulai padat penumpang, temen-temen kantor mulai misuh karena harus beranjak meninggalkan WFH. We face this with super mixed feelings   tapi yang bisa gue bilang cuma satu kata kutipan dari Ahmad Dhani ini untuk negara yang pernah kena tulah karena nyepelein COVID-19:


Kemarin-kemarin waktu lagi agak stress kerja, sebelum PPKM diberlakukan, gue akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan keluar naik motor. Muter aja di atas motor sambil denger lagu. Sedikit banyak setelah melakukan hal tersebut, gue jatuh ke dalam kesimpulan bahwa selain menulis blog dan fotografi, self healing gue juga berupa naik motor malem-malem sambil dengerin lagu – atau mungkin simply strolling jalan kaki (tapi tidak gue lakukan karena gue lagi capek – maaf ya kalo tidak eco-friendly alias menyebabkan polusi). Atas dasar tersebut, gue sedikit memahami kenapa gue tetap bisa mentally survived walau mungkin tempat kerja gue yang dulu-dulu jauh dari rumah, karena mungkin dalam jarak, gue bisa banyak merenung, melepas penat, dan juga mengulur waktu sebelum sampai tempat kerja atau rumah. Gue merasa dengan tempat kerja yang terlalu deket dari rumah, gue lebih slacking off, lebih stress (karena baru jalan dikit udah sampe ke tempat kerja, yang mungkin penuh dengan pressure dan ekpektasi yang gue konversikan sendiri maknanya), dan lebih gak produktif. Gue gak sangka juga, gue yang dulu selalu ngeluh karena rumah gue jauh banget dari mana-mana dan harus naik bis jauh-jauh, malah sekarang berharap punya tempat kerja yang agak sedikit lebih jauh dari tempat tinggal. Ets, cangkemmu nanti dikeplak – gue bersyukur masih dapat pekerjaan yang bisa menghidupi, terlepas dari segala sulit dan duka, yang lebih baik tidak usah banyak dijabarkan.


Balik lagi ke malam sebelum PPKM dilakukan, gue merasakan rileks yang begitu rileksnya ketika naik motor di atas flyover Tanah Abang dan gue pun jadi inget ada beberapa momen malam hari dalam hidup gue dimana gue merasa sangat powerful, infinite, limitless, dan bersyukur diberikan hidup. Tapi memang malam hari sepertinya penting dalam banyak sejarah dan kebudayaan. Misalnya, dalam budaya Jawa, malam satu suro adalah malam yang disucikan dalam budaya Jawa-Islam. Nabi Muhammad SAW mendapatkan perintah solat 5 waktu juga di malam hari, ketika terjadinya Isra Miraj – sebenernya gue pengen ngomongin sejarah dan kebudayaan lain to a wonderful extent tapi entar dulu karena gue lagi males melakukan riset – intinya gue merasa "the most unexpected and thrilling moments in my life happened in the absence of the sun".

Jadi berdasarkan perasaan yang super rileks dan menenangkan yang gue dapatkan setelah berkendara malem-malem di flyover Tanah Abang kemarin, gue merasa mungkin gue harus menulis dan recall kembali malam-malam terhebat gue selama ini, just to remind me that I have experienced good times, walaupun sekarang gue juga sedang tidak merasa baik-baik saja, dan mungkin saja gue bisa mengalami good times itu lagi di waktu mendatang. Well, who knows?

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

2013, Malam Foto Buku Tahunan SMA

Masa SMA gue memang standar aja: Pacaran sama kakak kelas selama 3 tahun full coverage, pulang sekolah langsung bimbel untuk mengejar PTN, ikut ekskul cuma fotografi dengan gear seadanya, suka bolos latihan, tidak terlibat aktif dalam keorganisasian – shortly said, my high school life has nothing to be proud of. Tapi di akhir SMA, gue merasa lebih dekat dan akrab sama temen-temen dan mulai merasa sense of belonging di dalam lingkungan sekolah (akhirnya, setelah 3 tahun sekolah baru merasa menjadi bagian dari sekolah di bulan-bulan terakhir sekolah).

Selain UN dan PTN, tentunya yang menjadi masalah untuk anak kelas 3 SMA adalah konsep foto Buku Tahunan Sekolah. Tiap kelas berlomba untuk foto dengan tema yang paling bagus – ada bagian kelas yang bakal berjuang super keras supaya foto kelasnya punya tema dan eksekusi paling oke, sebagian cuma pengen foto gak mau pake ribet, apalagi sampe harus sewa kostum dan keluar duit. Gue adalah tipe yang males ribet tapi akan berbuat sebaik-baiknya untuk kemaslahatan kelas dan akhirnya setelah berunding, tema foto kelas gue waktu itu adalah anak riding mobil dan motor dengan lokasi pemotretan di daerah Lenteng Agung, tepatnya di tempat mobil-mobil bekas gitu.

Saat itu, beberapa temen gue yang sudah menginjak usia 17 tahun udah pada punya SIM ditunjuk jadi seksi transportasi dan masyarakat kelas dibagi ke dalam beberapa mobil. Gue sendiri ditempatkan di satu mobil Innova bareng 3 sahabat perempuan dan 2 orang sahabat laki-laki, jadilah dalam mobil itu total ada 6 orang. Gak ada kejadian yang spesial dari pagi sampe sore, tapi setelah selesai pemotretan BTS, di perjalanan pulang kita main truth or dare di mobil dan dare-nya cukup malu-maluin, misalnya manggil orang atau ajak orang kenalan pas lampu merah. Gue juga gak tau kenapa, tapi mungkin ketika muda kita cenderung reckless dan gak tau malu, yang jelas kalo disuruh kayak gitu sekarang gue pasti gak bakal mau.

Tibalah akhirnya momen dimana kita capek setelah super cekikikan sepanjang jalan tol dalam kota dari Lenteng Agung, kita tiba-tiba terdiam mulai dari Semanggi. Sekitar jam setengah 10 malam, mobil melintas di Slipi dan kita mulai ngomongin, "Abis UN, hidup kita bakal kayak gimana ya?". Pertanyaan itu terus bergema di dalem pikiran gue sampe sekarang dan menjadi pertanyaan adulting pertama di dalam hidup gue. Pertanyaan itu rata-rata di jawab dengan jawaban yang sama dari mulut 6 orang yang ada di dalam mobil: "Gue harap sih gue masuk PTN, gue mau kuliah di jurusan dan PTN favorit". Di tahun 2013, generasi gue cuma mikir mau masuk PTN tok dan gak revolusioner atau ambisius – sesuatu yang melegakan sekaligus meresahkan, karena kalo dipikir-pikir hidup kok pasrah banget dan minim rencana jangka panjang ya, apalagi kalo dibandingkan generasi sekarang-sekarang ini.


Kita akhirnya sampe di Tomang dan mobil melintasi flyover depan Taman Anggrek. Malam itu, banner elektronik raksasa di depan Taman Anggrek berkilauan, bertuliskan I  JKT. Di momen itu, gue berpikir Dina dewasa cuma mau bertahan hidup dan jadi seseorang di Jakarta – kalo bisa kerja di gedung-gedung tinggi di Jakarta, jadi mbak-mbak kantoran yang masuk pake kartu akses di perusahaan multinasional, karena gue suka sekali pada ibukota yang kejam sekaligus terasa sangat familiar dan hangat, yang serba cepat, serba bersinar (later I recognize its huge amount of light pollution), serba kejutan, dan menyimpan banyak kemungkinan.

Walaupun beberapa tahun kemudian gue tidak masuk PTN, masuk dan lulus dari jurusan yang tidak membuat gue bekerja di gedung tinggi Jakarta sebagai pegawai kantoran (selamat tinggal cita-cita jadi mbak kantoran SCBD glamor), akhirnya memiliki pikiran bahwa "Gue terlalu renta dan capek untuk ada di Jakarta", dan bahkan punya sejuta pikiran untuk pindah jadi warga Bandung atau Sumedang, malam itu terasa sangat surreal dan sangat dewasa dalam hidup gue, and definitely, one of those nights I will gladly tell my children as I grow older.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

2019, Malam di Selat Lampa, Natuna

Seumur hidup gue, gue gak pernah kepikiran kalo salah satu kenangan yang sangat gue cherish dalam hidup akan mentok di salah satu pulau perbatasan terjauh dan terluar, yakni Natuna. Gue sebelumnya pernah denger daerah Natuna tapi sama sekali nggak cari tau lebih jauh tentang apa, dimana, dan bagaimana pulau itu. Tahun 2019 adalah salah satu tahun teranomali dan tahun paling penuh kejutan dalam 25 tahun hidup gue, it's both thrilling and depressing – tapi gue berkesempatan menjelajah banyak tempat yang belum pernah gue kunjungi dan melakukan banyak hal yang belum pernah gue lakukan, beberapa di antaranya adalah pergi ikut program kemasyarakatan di daerah 3T, naik kapal Pelni besar berhari-hari, terombang-ambing di Laut Cina Selatan yang ternyata gelombangnya bukan isapan jempol belaka.


2 hari penuh gue berlayar menggunakan kapal dari Tanjung Pinang ke Natuna, lengkap dengan gelombang pasang Laut Cina Selatan, angin kencang, dan siklus purnama. Walaupun ngeri-ngeri sedap, gue tetap banyak menghabiskan waktu di luar dek untuk cari udara segar, sekaligus menghindari melihat gestur mual-muntah orang lain, serta melihat hasil produksi lambung orang lain yang cukup berserakan di mana-mana karena stok air yang kian menipis. Suatu senja di bulan Juli 2019, akhirnya gue mendarat di Pelabuhan Selat Lampa, Natuna. Senja waktu itu oranye sekali dengan hint biru tua yang cantik, lengkap dengan purnama dan gelombang pasang, serta angin kencang. Dingin tapi hangat.

Setelah beberapa saat istirahat, gue akhirnya berangkat dari Selat Lampa menuju Ranai, untuk lanjut terus ke Tanjung. Perjalanan dari Selat Lampa ke Tanjung kira-kira 1.5-2 jam dan gue duduk di bagian bak terbuka mobil pickup bersama barang-barang logistik dan laki-laki. Jalanan keluar dari Pelabuhan Selat Lampa menanjak berliku, dengan pemandangan kiri kanan perbukitan batu. Seorang teman asli Natuna yang juga duduk di bak bilang, "Jalanan ini relatif baru loh Dok, sebelumnya di sini penuh bukit batu, cuma diledakan untuk dibuat jalan di antaranya.". Di tengah gelapnya jalanan, gue dengan posisi setengah rebahan di atas barang logistik melihat ke atas –  kanan kiri penuh bukit batu, dan jauh di atasnya lagi langit penuh bintang dan bulan purnama. Angin sepoi-sepoi bertiup, suara sekitar sunyi senyap – hanya ada suara kendaraan kita yang memecah kesunyian, tanpa ada kendaraan lainnya. Bahkan tidak ada suara binatang, suara ombak laut lama-lama memudar, digantikan dengan kesunyian dan kegelapan panjang yang rasanya luar bisa nyaman.

Sebagai referensi pemandangan jalan di sekitar Selat Lampa. Gambar diambil dari Detik.


Another reference for Selat Lampa, a very nice picture indeed from Mas Diaz.

Life is indeed funny, pikir gue waktu itu, and sometimes are delightfully surprising. Sebelum gue lulus dokter, gue sama sekali gak ada bayangan gue akan dapet kesempatan untuk bertualang. Gue cuma pikir, gue akan menjalani hari-hari kelulusan dengan plain dan hibernasi di rumah, menggantikan jadwal tidur yang kepalang kacau karena belajar untuk ujian nasional dokter umum. Tapi there I was, pergi jauh dari rumah bersama sekelompok strangers yang akhirnya menjadi teman, beberapa malah menjadi tambah lekat di hati (dan sampe sekarang masih nelfon dan ajak ketemu!). Mungkin gue telah banyak berubah pikiran soal volunteering dan kegiatan yang berbau community empowerment serta mungkin akan berpikir sejuta kali untuk menceburkan diri lagi ke dalamnya, tapi what I already felt  the sensations, the thrills –  stayed quite the same dan sepertinya tidak akan pernah berubah.

Malam di Selat Lampa selalu membuat gue bertanya, kira-kira kapan dan dimana lagi kelak gue akan menghabiskan malam yang unexpected dan membuat gue bersyukur atas kejutan hidup?

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

2020, setiap malam Dina pulang

2020 adalah tahun yang akan selalu gue inget sekalipun kepala gue kebentur keras dan gue lupa semua hal penting lainnya, karena there's no other year like 2020. 2020 is the most unexpected, most experimental, where I found enjoyment the most and the unbelievable amount of pitfalls. 2020, selain tentang pandemi, adalah sebuah perubahan definisi kata rumah dari waktu ke waktu untuk diri gue sendiri. 2020 adalah jalan Jakarta-Merak yang disambung dengan Tol Dalam Kota atau Jakarta Outer Ring Road, berlanjut ke Jalan Layang Cikampek, terus ke Cipularang hingga tol Cileunyi yang diwarnai lagu-lagu Niall Horan dalam album "Heartbreak Weather" atau lagu-lagu Harry Styles dalam album "Fine Line"-nya.

Beberapa malam di tahun 2020 mengajarkan gue bahwa terminologi "rumah" sangat fluid sangat tergantung dengan suasana hati kita dan persepsi kita mengenai sesuatu yang kita anggap asing atau familiar. Yang familiar adalah rumah, sementara yang asing ya bukan rumah. Tapi masalahnya, ada beberapa waktu dalam kehidupan ini (setidaknya terjadi sama gue, gak tau kalo ke orang lain), gue merasa kefamiliaran dan keasingan itu berubah-ubah posisinya.

Ada suatu momen dimana gue homesick setengah mati karena dirundung pandemi di awal 2020, maka suatu malem akhirnya gue recklessly beli tiket travel pulang ke rumah. Ketika gue lewat gerbang tol Cileunyi, rasanya gue lega selangkah meninggalkan segala kesepian yang ada di Jatinangor yang waktu itu kayak kota mati. Ketika gue akhirnya masuk ke jalan Tol Dalam Kota dengan segala gedung tinggi di kanan-kirinya, gue merasa there's nothing more familiar than this scenery – than this shitty crowd and traffic. This is my home, all I ever know.


Tapi ada kalanya gue merasa panasnya Jabodetabek, trafficnya, keramaiannya, pace-nya yang membuat jiwa manapun terbirit-birit bikin gue pengen 'pulang' ke Sumedang walau sebenernya kadang gak tau juga gue pulang untuk apa atau untuk siapa karena toh gue gak punya relasi yang begitu dekat di perantauan. Tidak ada yang lebih melegakan dibanding melesakkan diri sendiri di jok belakang mobil travel sambil denger lagu (yang tentu saja seringkali stuck antara dua album Niall Horan dan Harry Styles seperti yang sebelumnya sudah dibahas), melihat Jalan Layang Cikampek dari kejauhan, dan mengamati bukit-bukit atau bayangan hitamnya di kanan-kiri jalan tol Cipularang saat mobil travel membawa kita, penumpangnya, dengan kebut-kebutan tentu saja di tengah malam (I usually bought midnight tickets). Puncak kelegaan dan segala perasaan haru 'pulang' itu nantinya akan tumpah ruah ketika gue lewat Pasupati atau ketika liat gerbang Wilujeng Sumping di Sumedang Puser Budaya Sunda yang berdiri tegak di perbatasan antara Cileunyi dan Jatinangor. Setelah turun dari travel dan jalan kaki sampe kos, gue akan melesakkan diri ke kasur dan berpikir "Oh how I miss this room and the feeling of quiet place and loneliness" (or independency – sometime I can't seem to differ them both).

Perubahan definisi rumah itu terus menerus terjadi sampai setidaknya 3 bulan lalu. Di akhir fase Jatinangor, gue cukup kewalahan perihal mencari kerja di rumah sakit. Never have I felt that way; being in a place I used to know but feeling so estranged and so alone. Jatinangor pelan-pelan jadi asing dan dingin, tapi gue juga gak merasa bisa 'pulang' ke Jakarta karena berbagai hal di akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021. Gue masih bersikeras mau hidup dari raganya Bandung dan sekitarnya, tapi semakin lama it felt too meaningless and too tiresome to hop from a place to another, meeting various kinds of strangers, jumping on questions "Kenapa kamu mau tinggal di sini tanpa sanak saudara?", "Kenapa gak cari kerja balik di Jakarta?" hingga pada akhirnya, Jakarta memanggil di tengah pandemi dan dengan cepatnya gue pergi dari Jatinangor rasanya kayak dipaksa "pulang" ke Jakarta, dipaksa menerima bahwa mungkin belum bisa lanjut slow living di Bandung dan sekitarnya, dipaksa mulai semuanya dari nol lagi. Dalam prosesnya pun tiap hari selama awal sampe pertengahan tahun, tiap pusing di Jakarta bawaannya pengen pulang ke Bandung, tapi gak lama sadar bahwa ada hal-hal yang harus tetep di-survive-in di Jakarta. Di bulan ke sepuluh di tahun 2021, akhirnya gue mulai bisa menerima kalau definisi rumah gue adalah Jakarta; di kamar kecil dengan balkon kecil menghadap sungai dan jalan raya, yang waktu lagi COVID-19 second wave selalu kebagian bunyi sirine ambulans lalu lalang 10 menit sekali; menerima bahwa saat ini, Bandung dan Jatinangor bukanlah rumah gak tau juga kalo suatu saat nanti bakal jadi rumah. 10 bulan untuk melepaskan Bandung dan Jatinangor dengan segala upaya, can't say I'm proud of myself but thank God I'm learning how to let go of things.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada akhirnya di usia 26 tahun, semua malam super powerful gue berputar-putar pada inner thoughts gue dan masih pure tentang hal-hal yang mungkin sepele dan gak growing up-growing up banget. I am not yet experiencing the night of finally commiting to the love of my life nor experiencing near-death experience like giving birth to the tiny little thing inside my womb, when most of my friends already collect such experiences and are fully adulting. Tapi gapapa, I promise to take everything slowly by my pace – semoga selalu diberikan ke-istiqomahan untuk menjalani semuanya tanpa membandingkan progres hidup sendiri dengan progres hidup orang lain; and I hope you do, too.

Sekian dan terima kasih sudah scroll sampai akhir post ini – thank you for keeping up with my writings yang makin lama makin abstrak gak ada temanya. Sampai jumpa lain waktu.

Penuh sayang,

Your writer






Tidak ada komentar:

Posting Komentar