For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Minggu, 16 Januari 2022

From Izakaya to Izakaya

Hello,

It's another year passed! Another collections of happiness, sadness, and other things in a bundle that we collect in an annual folder, is finally ready to be stored in a huge locker called "Lifetime". First of all, I'd like to "Happy New Year"-ing all of you (tho maybe it doesn't really matter for some people) and I hope all kinds of the well-beings are on your side this year.

Buat gue, new year is not a new me, tapi pada akhirnya setelah satu tahun terlewati pasti ada hal-hal baru yang kita jalani/rasakan/tekuni di tahun itu – jadi ya kurang lebih ada benernya juga istilah new year new me – hanya saja maknanya lebih retrospektif untuk gue, dibandingkan prospektif-determinatif. Beberapa teman di usia gue menandai tahun 2021-nya dengan menekuni berbagai jenis komitmen; mulai dari komitmen ke pekerjaan sebagai pegawai tetap, komitmen ke pasangan dalam bentuk pernikahan, atau berkomitmen membesarkan anak dalam bentuk hamil dan melahirkan (dan juga merawat anak). Beberapa teman merasakan disorientasi dan krisis identitas yang akhirnya terobati dengan penerimaan dan aksi coming out ke orang-orang terdekat. Beberapa teman banting setir dari profesi yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan mencoba mencari uang dari hal-hal yang mereka gak pernah duga akan tekuni. It really feels like a great leap when I talk about someone else's life compared to mine, but well maybe 2021 for me is about accepting my process and not comparing cause you know, we all walk in the different pace.


Tahun 2021, mungkin gue masih menjadi seorang Annisa Dina; a top tier procrastinator, a terrible decision maker (bukan karena keputusan yang diambil selalu jelek, tapi emang gak bisa banget ambil keputusan), a professional overthinker (meh it's sounds generic) tapi tahun 2021 gue punya banyak sekali lessons (or hard pills) to swallow – mulai dari membungkus semua ekspektasi dan rencana untuk menetap di sekitar Bandung, lompat dari satu orang ke orang lain, satu HRD ke HRD lain, satu rekrutmen ke rekrutmen lain, merasakan loyalitas yang cukup buat sesuatu tapi outputnya gak setimpal, menelan malu dan gengsi bulat-bulat untuk mundur dari sebuah proses karena memang tidak menyehatkan, dan pada akhirnya merasakan kerja; kerja, dengan name tag, barcode, absen fingerprint, drama co-workers, serta tuntutan loyalitas terhadap tempat kerja. Kerja; yang beberapa teman sudah rasakan bertahun-tahun bahkan sampe jadi pegawai tetap, but it's a whole new thing for me.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dua tahun lalu saat gue belum internship, seorang teman yang usianya lebih tua beberapa tahun dari gue pernah bilang, katanya kerja itu melelahkan. Secara fisik capek, but even more emotionally draining, katanya. "Nanti lo coba rasain sendiri. Makanya, hebat banget orang yang punya kerja sampingan sana-sini dan hustling banget dalam worklife, karena gue merasa kerja, walau cuma satu, itu draining banget dari segala aspek," begitu katanya. "Dan makanya juga, hobi itu penting. You should have at least one thing that will keeps you sane," tambahnya, "Makanya, sehabis kerja rodi ada orang yang suka shopping bahkan jadi shopaholic yang kalap abis gajian, pelihara monstera atau bercocok tanam apalah itu, beli game dan game dan game lagi terus ngansos buat gaming tiap ada hari libur atau cuti, atau bahkan mabok setiap Jumat malem atau weekendthey choose the most comforting way to keep themselves sane, walau menurut kita caranya gak banget."

Beberapa bulan setelah itu, gue masuk internship dan belum merasakan perasaan emotionally drained seperti yang dia bilang dan masih sibuk hustling sana-sini karena selain butuh uang, gue juga butuh kesibukan. Beberapa bulan setelah lulus internship dan kerja di klinik, gue belum juga merasakan capek bekerja seperti yang dijabarkan dan lagi-lagi masih kerja serabutan sana-sini karena memang suka. Tahun 2021, gue kembali ke Jakarta sebagai dokter volunteer di sebuah rumah sakit jiwa waktu COVID-19 mulai beranjak naik dan sekali lagi, masih merasa belum emotionally drained dari kerjaan dan masih sibuk hustling sana-sini, hingga akhirnya di pertengahan tahun, gue pindah kerja ke tempat gue yang sekarang dan I guess, I feel something that is related to being emotionally drained.

Yang dapat gue simpulkan dari pengalaman berpindah-pindah lokasi dan instansi kerja adalah the more you think you commit, the more draining it will be. Komitmen, terhadap apa pun itu, adalah sesuatu yang melelahkan. Komitmen terhadap pasangan, komitmen terhadap suatu proses, termasuk komitmen dalam pekerjaan adalah sesuatu yang melelahkan – karena perasaan ingin commit ini menjadikan seseorang all-out untuk dapet hasil yang paling baik. Gue belum pernah merasakan capek emosional dalam bekerja karena tidak merasa commit dengan tempat kerja: waktu gue internship, gue tau masa kerja gue cuma setahun dan setelahnya gue pasti akan diterminasi. Waktu gue di klinik, gue tau itu bukan sesuatu yang gue akan jalani untuk waktu yang lama karena gue aim untuk cari kerja di puskesmas/di RS pada saat itu. Waktu gue jadi dokter volunteer, gue tau pekerjaan itu tidak akan abadi dan pada akhirnya ketika angka pandemi turun gue akan di cut. Komitmen yang kurang ini menjadi cikal bakal emotional dullness gue dalam bekerja – berimbas ke yaudah kerjain abis itu cari sambilan lain.

This suit trapped me for at least first 7 months in 2021.


Gue gak bisa bilang gue commit 100% dengan penuh kekhusyukan, keseriusan, dan kecintaan pada profesi di tempat kerja gue sekarang, but all I could say it's draining enough to work. I don't know if I am unconsciously being all out, or it's just me finally stressing about my career path, tapi gue mulai merasa harus punya suatu kegemaran yang membuat gue bisa menikmati hidup. Dari dulu, gue selalu suka menulis tapi sejak kerja, gue merasa sulit untuk menulis sesuatu yang bahkan gue anggap bagus untuk dibaca secara pribadi. Gue juga suka motret tapi kadang kalo udah capek secara emosional ya cuma mau duduk diem di kamar aja sambil minum kopi liat jalan terus abis itu tidur sambil nyalain lampu sadgirl tumblr. Akhirnya karena satu dan berbagai hal, gue yang sebelumnya tidak pernah suka berlangganan aplikasi terjebak dalam subscription Netflix (untungnya bukan subscription website judi).

Jadilah sejak gue berlangganan Netflix, gue jadi terjerumus ke dalam pergaulan kuliner Jepang. Semua berawal dari Midnight Diner – awalnya gue nonton Midnight Diner Tokyo Stories keluaran 2019, gue lanjutin ke Midnight Diner series yang tahun 2015. Ceritanya tentang kedai makan Jepang (Izakaya) yang bukanya tengah malem sampe pagi, yang menampung pelanggan dari segala macam latar belakang mulai dari Yakuza, karyawan, sampe stripper – dan di sana, sambil makan, setiap orang berbagi cerita hidup.  Karena latarnya adalah izakaya, yang secara definisi adalah "toko makanan/snack murah yang juga menyajikan alkohol", maka makanan yang tersaji di layar adalah makanan Jepang non-fancy. Walau gue yakin kalo makanan itu gak akan ketelen sama gue in real life (gue bahkan gak bisa makan seafood, kalo gue tinggal di Jepang kayak gue udah mati malnutrisi) tapi melihat makanan-makanan itu sangat appetizing – ditambah background stories dari masing-masing tokoh yang sangat menghangatkan hati.

 

Picture taken from: Blog Merah Hati Cintaku

Setelahnya pun, gue masih sibuk cari-cari series bertemakan sama dan akhirnya landing di serial adaptasi dari manga, yang judulnya Izakaya Bottakuri. Ceritanya mirip-mirip sama Midnight Diner (sama-sama tentang orang-orang dengan latar belakang berbeda mampir ke Izakaya, menceritakan kisah hidup sambil makan) tapi untuk sinematografi dan overall ambience masih lebih bagus Midnight Diner. Ceritanya bisa dinikmati juga dan heart-warming. Bedanya mungkin tukang masak di Midnight Diner adalah bapak-bapak cool minim identitas yang dinamakan Master dan tukang masak di Izakaya Bottakuri adalah kaka beradik perempuan bernama Mine dan Kaoru yang diwariskan usaha Izakaya legend sama bapak ibunya yang udah meninggal.



Setelah menamatkan Izakaya Bottakuri yang endingnya sama seperti Midnight Diner, alias gak ada endingnya (as expected dari serial Slice of Life yang setiap episodenya menceritakan kehidupan orang yang berbeda-beda), gue kembali mencari-cari series kuliner Jepang mana lagi yang sanggup mengubah menu indomie gue hari itu menjadi lebih enak dan akhirnya gue nonton The Road To Red Restaurants List uang ceritanya tentang bapak-bapak budak korporat yang tiap weekend ditinggal anak dan istrinya fangirling ke konser-konser band dan akhirnya memutuskan untuk roadtrip naik mobil tiap weekend ke daerah-daerah tertentu dan makan di restoran yang hampir tutup/bangkrut/otw punah di daerah tersebut. Gue liat bapak-bapak yang namanya Suda ini rasanya kayak berkaca karena si Suda juga budak korporat yang hidupnya lelah banget sama kerjaan, butuh hobi, ditambah lagi sering diasingkan anak-istri karena orangnya boring dan lifeless – dan wham! Hidupnya berubah sejak car camping tiap weekend dan makan di berbagai restoran yang diujung tanduk dan otw tutup. Walaupun jokesnya series ini kadang gak masuk di gue dan Suda ini gesturnya beneran kayak bapak-bapak kaku banget, tapi selain dimanjakan dengan wujud makanan dan ekspresi Suda pas makan, menonton serial ini menyenangkan karena kita juga dikasih liat pemandangan yang indah-indah selama Suda traveling.




Setelah menyelesaikan The Trip to Red Restaurants List (dengan agak susah payah karena kadang gue kurang pas dengan jokesnya yang bapak-bapak Jepang banget), gue berpindah ke serial selanjutnya yaitu The Way of The Hot and Spicy (Gekikaradou). Ceritanya tentang seorang sales minuman dari Kyoto (Kenta Sarukawa) yang dimutasi ke Tokyo lalu punya bos dan co-workers yang sukanya makan makanan pedes. Series ini overall menceritakan lika-liku pekerjaan sebagai sales dan sedikit aspek personal life dari masing-masing tokoh dan prinsip mereka dalam hidup yaitu "Just like spicy food which is very delicious, a spicy life itself would bring ultimate happiness" alias hidup itu kayak makanan pedes; walaupun menyakitkan tapi pada akhirnya akan membawa sensasi senang dan nagih. Sepanjang series banyak quote-quote bijaksana yang lagi-lagi nyambung ke persoalan makanan pedes dan juga keringet serta huh-hah-huh-hah pemain saat lagi scene makan makanan pedes.



Masih ada beberapa list series yang belum gue rampungkan di Netflix (Samurai Gourmet) dan belum gue tonton sama sekali (What Did You Eat Yesterday?) tapi akhirnya kumpulan series yang gue tonton berhasil menggiring kaki-kaki mager gue untuk makan di beberapa Izakaya di Jakarta. Tentu saja saya mencari-cari izakaya yang tidak fish-based karena riwayat alergi seafood yang bisa membuat bibir kayak pake filler dan mencari izakaya yang tidak terlalu menguras dompet tapi pada akhirnya pencarian izakaya yang hemat rasanya mustahil dan sia-sia.

Tentu saja Izakaya terbaik masih jatuh pada Izakaya favorit Tiktoker masa kini: Izakaya Kashiwa di Blok M. Gue mulai pergi ke izakaya ini karena diajak temen sekitar tahun 2018 and it becomes my favorite izakaya ever since. Dulu, per plate hanya sekitar 28-29 ribu untuk hampir semua dish – sekarang rasanya dibanderol sekitar 30-33 ribu/plate. Dish bervariasi mulai dari daging-dagingan (try my ace cards: gyuniku enokimaki dan gyutan), ayam (chicken nanban, tori karaage), ikan (kepala salmon yang entahlah itu namanya apa, sashimi), sampe sate-satean (yakitori berbagai ragam), sushi-sushian (kashiwa roll dan volcano roll masuk ke dalam sajian rutinku), termasuk makanan langganan izakaya Jepang kayak ramen, soba, agedashi tofu, yakisoba, yakimeshi, semuanya ada. Untuk ambience-nya Jepang sekali tapi sumpek dan harus rela bersumpelan di dalem, apalagi weekendWaiting list bisa mengular dan bikin uring-uringan apalagi kalo pengen makan rame-rame sama temen. Pernah makan di area tatami, area bar, dan area biasa but I  think the best way to enjoy Japanese dish (and Japanese ambience) is when you're at bar area. Pardon for the lack of ambience potraiture karena sebagian besar foto sudah hilang akibat hp lama yang hilang. Kelebihan Izakaya Kashiwa ada di makanannya yang variatif, Jepang banget, harga murah, rasa enak (walau cenderung kurang stabil; dimaafkan karena kadang mungkin terhimpit banyaknya orderan pelanggan yang bisa tumpah ruah dalam satu waktu), kekurangannya adalah space kecil dan antrean yang kadang cuma bisa bikin misuh-misuh.



Izakaya lain yang pernah gue coba adalah Izakaya Sore di daerah H. Nawi, Jakarta Selatan. Terletak di Cipete, di samping jalan utama, seharusnya izakaya ini cukup mencolok karena rooftopnya. Pertama kali gue sensing keberadaan izakaya ini adalah ketika gue lewat sekitaran H. Nawi habis pulang kerja dan melihat rooftopnya banyak lampu-lampu gantung. Akhirnya, berhasil juga eksekusi keinginan mau cicip izakaya ini, walaupun baru aja duduk 20 menit di rooftop kemudian hujan turun dan terpaksa ngungsi ke lantai 2. Soal ambience, izakaya ini juara banget karena rooftopnya cakep dengan lampu-lampu gantung dan lampion Jepang, ditambah pemandangannya langsung ke rel MRT. Untuk makanan, izakaya ini lebih ke genre campursari alias gak Jepang-Jepang amat. Menu yakitori-yakitorian sih ada, chicken nanban dan karaage juga ada, tapi sisanya menu fusion yang sesuai dengan lidah Indonesia (katsudon, gyutandon, ditambah dengan makanan lain yang punya varian saus mentai), jadi soal authenticity izakaya ini tidak seunggul Kashiwa. Intinya, kalau mau makan dengan ambience kota Jakarta sambil menikmati sepoi-sepoi angin rooftop sekaligus craving makan-makanan Jepang gak yang Jepang banget, Sore Izakaya tempatnya.







Izakaya selanjutnya yang terakhir gue coba adalah Izakaya Tokyo di sekitar Mangga Besar, deket Bakso Akiaw. Izakayanya ada di ruko dan tidak seperti izakaya-izakaya sebelumnya, izakaya ini punya dua lantai (lantai dasar, lantai dua) – dimana izakaya sebelumnya rata-rata ada di lantai 2 dengan tangga kecil dan sempit menuju izakayanya. Izakaya Tokyo punya area outdoor kecil yang merangkap open kitchen (? atau apa ya namanya dalam konteks per-Jepangan?) dikelilingi dengan bar seats. Area indoor lantai 1-nya standar ruko, area indoor lantai 2-nya bagus bernuansa Jejepangan tapi lagi gak dibuka. Chef izakaya ini asli orang Jepang dan bisa ditemui sedang memasak di open kitchen. Gue duduk di bar seats sambil ngeliat chefnya ngerebus ramen. Dish pakem izakaya ini sepertinya ramen, karena ketika buka buku menu, ramen-ramen mendominasi halaman-halaman pertama – mulai dari shoyu, shio, toripaitan, miso, dan lainnya, kemudian baru makanan lain seperti gyoza, chicken nanban, karaage. Untuk ukuran izakaya, makanan izakayanya masih kurang variatif dibanding di Kashiwa, tapi ramennya cukup bisa dinikmati with the hint of Japanese original taste karena yang masak orang Jepang asli di depan mata gue sendiri. Untuk ambience, skornya lebih kecil dari yang lain, tapi gue rasa indoor area lantai 2-nya cukup instagrammable.





-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada akhirnya, gue menghela napas me-review seluruh posting ini – in the end, yang terlintas dipikiran gue hanya "waduh kenapa sepanjang ini dan ngalor-ngidul ke sana kemari" tapi akhirnya di-yaudahlah-in aja karena berbicara panjang lebar melalui tulisan ternyata sangat menyenangkan, terutama setelah lama idle dari menulis. I know sometime resolutions are just bullshits, but my 2022 resolutions should include "menulis setidaknya satu post dalam 1 bulan, sehingga minimal bisa menghasilkan 12 post per tahun". Sekali lagi, terima kasih untuk semua yang sudah terpancing link ataupun yang sudah berhasil menyelesaikan satu post. Semoga bisa istiqomah menghasilkan satu post per bulan terhitung sejak Januari ini.

Salam sayang,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar