For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Rabu, 01 Juni 2022

Thousand Reasons To Keep Writing:

Mei-Juni 2022;

Akhirnya sampai juga di pertengahan tahun 2022 setelah dar-der dar-der kembang api dan haha hihi malam tahun baru, menjalani hari-hari puasa dan menjalani tradisi lebaran (yang alhamdulillah sudah mulai terasa seperti tradisi sedia kala dengan angka kasus COVID-19 yang semakin minimal), dan name it – serangkaian hari-hari besar dan berarti lainnya, yang mungkin luput di ingatan karena begitu cepatnya waktu berlari. I know for some people New Year's resolution is not more than an annual bullshit, tapi untuk gue yang setiap tahun selalu membuat mini (atau mikro, saking kecilnya) rasanya pertengahan tahun adalah waktu yang cocok untuk re-kontemplasi semua to-do dan bucket list yang sudah dibuat di awal tahun.

After all, we're all Squidward as we grow older.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ada satu poin dari bucket list gue yang merupakan poin yang sangat sederhana dan mudah untuk dilakukan – tapi tetap diabaikan walaupun masuk list setiap tahunnya. Poin itu adalah sesederhana merutinkan kembali menulis; di sini, atau dimanapun – asal akhirnya dipublikasikan. Awalnya, gue aim untuk menulis setidaknya 2 minggu sekali, tapi sadar bahwa ada blok-blok dalam otak yang membuat menulis kini jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Gue mengecilkan standar menjadi menulis sebulan sekali, yang akhirnya berakhir dengan post yang menumpuk di draft dan tidak terselesaikan. Ya, gue mencoba menulis setidaknya sekali sebulan sementara ide-ide menulis muncul nyaris 1-2x/minggu; tapi semua tulisan berakhir di draft dan baru terselesaikan setidaknya 1/3 bagian atau 1/2. Akhirnya gue berpendapat, bahwa dibandingkan ketidakbisaan menginisiasi sesuatu, sebenarnya yang gue alami adalah ketidakbisaan melanjutkan komitmen dan menyelesaikan sesuatu.

Dan sekarang, I feel like I am all talking to myself through this post – karena talking to oneself on reality setting, in daily basis can be considered as mentally awful


Annisa Dina, these are the reasons why you need to keep writing:

1. It's the only thing you've been keeping to do after all those years

People have hobbies; before work life slaps them in the face, they usually had things they were crazy about. No matter how useless, lavish, or wasteful, hobbies are necessary to keep one's in right state of mind. Orang boleh punya hobi memancing di pemancingan sambil bengong hanya untuk rileks lalu kembali ke realita setelahnya dan orang boleh hobi main game siang malem sampe jadi atlet e-sports. Beberapa orang beruntung bisa bekerja sesuai hobinya, sebagian besar orang tidak bisa melakoni hobinya sebagai pekerjaan; tapi itu tidak berarti banyak, karena yang penting adalah konsistensi. Hobi adalah sebuah kegiatan yang dijalankan penuh konsistensi walaupun tidak berguna sekalipun – it gives you sparks and butterflies.

Dina, you've been through many things you perceived as hobbies, but in the end they are all being neglected. Name it – membaca, melukis, digital drawing, sepeda, memotret – tapi semuanya tidak konsisten. You were equipped, but soon you either lost the time or just the interestYou've been seeing people addicted to things; bags, jewellery, singers and bands, music instruments, melihat orang-orang menekuninya dengan sepenuh hati dari tahun ke tahun, dan at the end you've been questioning how does it feel to be completely interested consistently with something because you never felt like it.


Tapi menulis memberikan hal yang berbeda; it keeps coming back to you or you keep yourself coming back to it. Secara tidak sadar, menulis ada sebuah sanctuary; sebuah tempat aman yang akan selalu dicari ketika semua tidak terasa benar. It's the way you talk, the way you spit out things that seem uncoordinated when you let it out from mouth. It's a matter of processing thoughts and emotions to be something more rational and discussable. It gives you peace, because it's the way you sort out the way you communicate.

2. People have business to do, they don't have the ears all day.

Adulthood is a lonely journey after all. You lost your friends along the way and only few survived after years. Tapi semua orang pada akhirnya akan punya urusan masing-masing, kepelikan hidupnya masing-masing, atau bahkan sesimpel waktunya sendiri. Lo gak bisa ekspektasi orang akan selalu ada di akhir hari lo dan memastikan lo baik-baik saja. Lo gak bisa berharap orang akan terus mendengarkan ketika mereka sudah capek mendengarkan kliennya ngoceh minta revisi atau sudah capek mendengar keluhan mereka sendiri yang hanya audible di dalem pikirannya. Ketika mereka ada waktu pun, as a 100% human being who have soul, mereka juga ingin didengarkan dan lo harus belajar mendengarkan, no matter how you want to spill every little detail of your life to them (apalagi ketika lo adalah tipe orang yang menganggap setiap hal kecil itu relevan dan bisa dijadikan bahan cerita). Lo harus belajar untuk berbagi panggung, memanajemen mulut, mendayagunakan telinga – cause everybody need ears to listen and shoulders to lean on  dan dunia tidak hanya berpusat di lo aja.

Menulis memperbolehkan lo cerita apa saja – mulai dari hal-hal kecil sesimpel hari ini langit cerah dan lo jadi pengen road trip walaupun hal itu mustahil karena masa kerja lo masih kurang dari satu tahun dan gak mungkin ambil cuti sampai hal-hal yang sekretif, sakral, dan tidak patut diceritakan seperti kenapa orang yang berhasil bunuh diri adalah orang yang paling determined se-alam semesta. You can always run to alphabets and words – you can talk about anything, you can completely be yourself, or not. You don't need others' ears to listen or someone's willingness to reply – you shout to yourself through words and you hear them through the echoes as you read them back.

Mandiri dalam sepi.

3. It's an (almost) complete monolog here, darling

Beberapa orang menganggap mereka harus merespon orang lain saat diceritakan sesuatu, merasa dituntut memberikan solusi ketika ada orang yang ngobrol tentang masalah hidupnya. Padahal, banyak yang merasa mereka bercerita hanya untuk didengarkan; gak perlu pusing-pusing dibales saran apalagi nasihat yang terkesan menggurui (or worse, dibanding-bandingkan seolah ajang kompetisi hidup paling sedih dan nelangsa). Berapa jumlah orang yang menggunakan Twitter hanya untuk sambat? Banyak. Berapa jumlah orang yang menyadari bahwa banyak orang yang menggunakan Twitter hanya untuk sambat? Tidak terlalu banyak.

Banyak orang berpikir bahwa kebebasan berpendapat harus ditimpali dengan kebebasan membalas pendapat, padahal orang hanya butuh sebuah space untuk mengeluarkan unek-uneknya. Ada yang bilang: people have the rights to throw reactions to what you share, padahal kita semua juga punya kapasitas untuk tidak bereaksi terhadap orang lain, apalagi ketika yang kita punya hanya reaksi buruk. Lo bisa menggunakan pikiran ini ketika lo mau berargumen terhadap hal-hal yang cuma kebetulan muncul di timeline Twitter, but to do this everytime you open Twitter is kinda tiring.

It was really convenient to write in your sealed, private diary you used to hide under your bed or a secret space in your locker but it's way better to talk over a blog. I have tons of stupid personal reasons to my likings about writing in blog. Blog adalah tempat yang bagus untuk menulis secara digital, bisa ditambah gambar (bisa pake GIF bodoh beranekarupa juga – asal tidak lupa creditsnya), desainnya bisa diatur sedemikian rupa dibandingkan platform sebelah (dengan catatan jago utak-atik CSS dan ngoding halaman). You can tell things in a long, long writings and just disable the comments, forget the world and do a complete monolog. Secara personal, gue sangat menyukai kegigihan diri sendiri dalam menyajikan (diri sendiri) sebuah monolog yang baik – mulai dari memilih mau nulis apa, menyusun kalimat-kalimat, memilih dan mengedit foto (yang mungkin saja harus hunting dulu, supaya cocok dengan tema yang ditulis), mengedit lagi kalimat-kalimat yang sudah ditulis (bahkan kadang mengedit huruf kapital dan tanda baca), dan segelintir prosesnya yang njelimet dan bisa dipermudah dengan mikroblogging seperti Twitter. I know writing a blog post is planned, organized, and less-spontaneous (Twitter? It's often spontaneous and raw), but it's just amazing that a person like me going through process of picking and selecting what to say; because in life, you often need to make careful decisions too, right?


4. Remember, your end goal

Setiap orang pasti punya golden day goal dalam hidupnya. Some want to be financially independent in the later phase of life, some want to have dozens of rent houses alias jadi juragan kos/kontrakan, some want to retire and reside with their loved ones dengan anak-cucu-cicit, some want to grow old in their native town or in countryside, some want to own his/her farm, but I would love to retire and write. Mungkin dalam fase hidup yang ini, I have to do my own job for a living, but one day I would love to write all day in my life – kalo bisa hidup darinya itu bonus, I just want to live and write someday; not much worrying about patients complain, my financial health, and other pressures I live with today – dan untuk hal itu, dan untuk semua alasan yang ada – Dina, kamu harus tetap menulis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar