For best experience in desktop, zoom out the page ([CTRL + -] to 90%)

Rabu, 21 September 2022

Planning The Unplanned: Palabuhan Ratu

Hai semuanya.

(I really should try to find another opening message rather than "It's been a long time…" – hampir aja ketulis.

Jadi? It's September already! Waktu sudah memasuki kuartal keempat dalam tahun 2022 dan cuaca panas non-stop yang kita alami selama Juni-Juli layaknya "Summer Days" sudah cukup memudar dan hari-hari hujan mulai menyeruak di antaranya. Cukup sedih gue harus merevisi paragraf ini dengan "bulan September" dan "hari-hari hujan" karena sebenarnya sebelumnya gue sudah menulis panjang lebar intro berisi "bulan Juni" dan "welcoming summer" yang artinya... Post ini ter-delay sudah 3 bulan. Sedih ya? (Iya udah gue aja yang sedih kalian jangan... Karena kalo gue yang gak nulis, ya gue yang rugi sebenernya). Actually, berbicara soal Juni tahun ini, gue merasa senang (atau sedih, atau inbetween keduanya, atau bingung) karena gue sudah resmi satu tahun bekerja di kantor yang sekarang. Untuk orang-orang terdekat yang kerap kali mendengar keluh kesah pekerjaan, mendengar sesi terapi, menemani beli obat, I present you my gratitude karena sudah menyelesaikan 1 tahun pertama bekerja yang tentu saja tidak mudah buat gue secara personal. Terima kasih ya untuk selalu ada dan mendengarkan sambat-sambat kerjaanku serta tidak memberi advis apapun karena pada dasarnya aku hanya ingin didengarkan saja. Karena sudah resmi satu tahun bekerja di bulan Juni ini, per Juli tahun ini gue mendapatkan sesuatu yang sudah lama gue mimpikan, alias hak cuti tahunan.



Berbicara lebih lanjut soal cuti dan perliburan duniawi, jadi, karena instansi tempat gue bekerja memberikan kemurahan hati (atau mungkin lebih tepat jika disebut sebagai hak), semua dokter umum boleh mengambil cuti 1-2 hari sesuai dengan ketentuan bekerja selama perayaan Idul Fitri kemarin. Sesuai dengan ketentuan, gue eligible untuk mendapatkan satu hari cuti. Tidak apa-apa, satu hari cuti saja sangat berarti dan karena gue sangat bodoh dalam mengatur tanggal jaga, cuti, dan libur, maka segenap rekan kerja membantu arrange tanggal untuk gue cuti dan akhirnya gue bisa mendapatkan jadwal manis di pertengahan Juni: Jaga malam - lepas jaga- libur- libur. Wow, total 2 setengah hari bisa libur; sebenernya kalo gak males dan ada budget bisa aja gue strolling dan duduk-duduk di kafe cantik di Malaka atau belajar sejarah yang dari dulu gue pengen di Museum Khmer Merah, Kamboja. Tapi, gue selamanya akan menjadi gue – dengan ke-Libra-an yang super debiliating dan cenderung mematikan, akhirnya sampe 1 hari sebelum jaga malem, gue masih gak tau mau kemana dan waktu bangun tidur pagi sebelum jaga malem, akhirnya tiba-tiba terbersit pikiran, " Gue mau ke laut, ke Palabuhan Ratu kali ya?"

Dan itulah awal mula dari kisah Palabuhan Ratu super random di bulan Juni.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi itu, sebelum jaga malem, gue bangun tidur. Tiba-tiba gue kepikiran Palabuhan Ratu. Gue sudah berkali-kali mengalami episode impulsifitas dan at first glance, gue kira ini adalah salah satu episodenya. Gue terlatih menghadapi impulsifitas, jadi gue coba diem 10 menit, lalu gue coba bangun dan bikin kopi. Tapi setelah beberapa lama, rasanya Palabuhan Ratu makin dekat saja. Akhirnya 1 jam setelah bangun, gue sadar mungkin gue memang beneran pengen ke Palabuhan Ratu dan segera cek akomodasi di sana. Dengan rajin dan tak gentar, gue scrolling feeds Instagram beberapa orang teman yang sering ke Sukabumi untuk liat apakah mereka pernah review hotel/atraksi turis di Palabuhan Ratu, buka Google Maps bolak-balik untuk melihat jarak dan jarak tempuh, dan tentu saja memantau segala akomodasi lewat Traveloka. Bukannya menjalani pagi yang tenang sebelum jaga malam, gue malah sibuk scroll, berencana, pesan sana-sini, dan tanya ke semua orang yang tau soal Sukabumi dan Palabuhan Ratu. I admit I can be quite obsessive when I am determined.

Berikut hal yang gue sort out sepagian sebelum gue jaga malam:

Sama siapa?
Knowing who to go with is the most essential part in a journey – dan karakter orang yang pergi bareng sama lo juga tidak kalah pentingnya. Kali ini, seperti Pamungkas, I'm flying solo. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada budgeting, pilihan moda transportasi, dan tentunya risk dan safety measurement sebagai seorang pelancong perempuan yang pergi sendirian.

Akses ke Palabuhan Ratu
Ketika memetakan akses ke Pelabuhan Ratu, semua pemetaan gue berawal dari Bogor. Menuju ke Bogornya sudah pasti naik motor, karena gue gak bisa bayangin harus naik commuter line dengan posisi bawa ransel post jaga malam, mending gue naik motor aja deh – alon-alon asal kelakon, kalo ngantuk atau capek tinggal melipir. Plus I have this strong desire untuk muter-muter Bogor pake motor dan pengen mampir ke beberapa titik, so I guess being on a motorcycle ride is a great idea. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana membawa diri dari Bogor ke Palabuhan Ratu. Ada 2 opsi yang ditawarkan temen Palabuhan Ratu-ku, di antaranya:

Naik kereta dari Stasiun Bogor ke Stasiun Cibadak, kemudian naik bis dari Cibadak ke Pelabuhan Ratu
Pros: Naik kereta KA Pangrango dari Stasiun Bogor ke Cibadak pastinya tepat waktu, perjalanan hanya sekitar 1 - 1.5 jam. Keretanya nyaman, walaupun pesen gerbong ekonomipun tetep enak.

Cons: Keberangkatannya sedikit. Kalo liat di Traveloka, keberangkatan cuma ada pagi (jam 8), siang (jam 14), malam (jam 8). Gue gak pede sih bisa mengejar keberangkatan jam 14 karena gue kayaknya harus tidur dulu setelah jaga dan makan dulu sebelum berangkat. So I go for another option.

Naik bis aja dari Baranangsiang, Bogor sampe ke Terminal Palabuhan Ratu
Pros: Sekali jalan doang dari Bogor, tinggal duduk manis sampe Palabuhan Ratu. Gak usah repot-repot ganti-ganti kendaraan. Bisnya juga ber-ac, relatif nyaman (berdasarkan review di internet ya).

Cons: Waktu tempuh yang lama, bisa 3 jam kalo baca di Google Review.

Karena gue merasa nothing to rush for, akhirnya gue berpikir untuk jalan-jalan santai aja. Gak harus tenggo atau buru-buru, jadi gue pilih naik bus. Gue menghitung waktu juga sih, kalo 3 jam perjalanan, plus minus 1 jam, gue bisa jalan dari Bogor jam 15 sampe ke Palabuhan Ratu jam 18 atau 19. Masih ideal. Catching sunset masih bisa di hari berikutnya, tapi alangkah bagusnya kalo pas sunset udah sampe di hotel atau mungkin lagi naik ojol di tepi pantai (bahkan gue sampe search availabilitas ojol di sana dan ternyata ada kok). Wah sempurna deh pikiran gue.

Naik motor aja terus sampe Palabuhan Ratu, visible kok.
Pros: Mobilitas pasti tinggi karena punya kendaraan sendiri. Bisa susur pantai, kalo perlu cari makan tinggal gas keluar cari makan.

Cons: Capek, kalo lewat Cibadak macet, kalo lewat Cikidang pemandangannya bagus tapi medannya bahaya. Percaya atau gak, gue hampir memutuskan naik motor, cuma karena takut celaka post jaga, mending gak usah.

Mau nginep dimana?
So I've been hitting on my friends' instagram posts, dari dulu selalu penasaran sama Karang Aji Beach Villa karena 1) Hotelnya ada di ketinggian (ya walaupun gue gak suka ketinggian, but I guess I am up to adventures), 2) Terbuat dari kayu, 3) Temanya messy artistic dengan ornamen Buddha/Hindu (??) dan interior kesannya beautifully weird (??), 4) Kamar superior-nya langsung menghadap laut, dengan bathtub dan WC yang terbuka menghadap laut juga (wow I'm up for being totally open on the heights). Plan gue nginep di sana. Jaraknya sekitar 20 km dari Terminal Pelabuhan Ratu, relatif jauh juga, tapi saat gue sudah klik ke Palabuhan Ratu, gue langsung book kamar disana supaya gak kehabisan dan juga supaya semangat menerjang medan jalanan karena sudah punya tujuan untuk nginep.

Temen gue bilang, "Nginep di hotel yang ada kamar Nyi Roro Kidul-nya aja.". Gue cuma bilang, "Kayaknya gak dulu".

Gambar ilustrasi diambil dari Detik. Terima kasih.

Tujuannya apa sih? Agar disesuaikan dengan itinerary-nya
Tujuannya ya apa lagi sih, selain healing? Slow paced sea-side life, bangun cari sunrise, setelahnya jalan di pinggir pantai, duduk di pasir sambil baca buku dan denger lagu, dengan background suara ombak, siangnya leyeh-leyeh bobo siang di kamar hotel yang nyaman, sorenya balik lagi menikmati hawa pantai sambil cari sunset. Sesimpel itu. Jadi ya gak ada itinerary gimana-gimana, just take it slow.

Mau berapa lama staynya?
Preferably 2 malam, but we'll see.

Setelah menemukan jawaban-jawaban dari segala pertanyaan, akhirnya gue cao ke Bogor dengan sepeda motor, berangkat pun sebenernya udah agak telat dan pace berkendara cukup lambat karena banyak hambatan. Setelah 2.5 jam berkendara, akhirnya gue menyentuh Kota Bogor jam 2 siang lewat sedikit dan makan siang di Baked and Brewed sambil menikmati teduhnya Jl. Pangrango. Personally speaking sebagai orang yang jarang ke Bogor, bagian Bogor yang paling mudah dinikmati adalah jalan-jalan besar di sekitar Kebun Raya Bogor dan Istana Kepresidenan, lain dari itu rasanya Bogor masih sama tidak meratanya dengan kota-kota lain, seperti Jakarta atau Tangerang (yang elok cuma pusatnya aja, kepinggirnya masih underdeveloped bahkan beberapa poin terasa zonk). Setelah makan siang, gue melanjutkan perjalanan ke tempat penitipan motor sekitar Terminal Baranangsiang dan muter-muter goblok beberapa kali karena Google Maps menunjukan rute yang zonk ditambah dengan sistem one-way Bogor yang bikin gue sakit kepala dan kemacetan serta kesemrawutan. Udah belok ke Tugu Kujang, eh ternyata one-way dan belokan ke tempat penitipan motornya udah lewat. Begitu terus. Sampe akhirnya gue memutuskan untuk lurus aja masuk ke arah pintu tol Bogor, terus puter balik dan kembali menyusuri pinggiran jalan Baranangsiang sana untuk cari tempat penitipan motor. Sebenernya masalahnya mungkin ada di gue yang tidak mahir membaca peta tapi yaudahlah it's a good day to blame Bogor's one-way system dan kemacetannya yang tijel alias tidak jelas.

Makan dulu biar gak pingsan


Setelah berhasil menitipkan motor, gue berjalan ke Terminal Baranangsiang dan mencari bis mini Bogor-Palabuhan Ratu. Ketemulah akhirnya bisnya, gue penumpang pertama yang ada di bis. Gue mulai masuk bis sekitar jam 15. Setelah 1 jam 15 menit ngetem dan bis terisi penumpang sekitar 3/4 kapasitas tempat duduk, bis mulai berjalan memasuki tol. Jujur, udah lama gak naik transportasi umum yang gak tenggo; bahkan di Jakarta, angkotpun jarang yang ngetem lama banget apalagi kalau pake angkot mikroTrans Jaklingko. Begitulah pemirsa, aku sudah gedeg sedari awal perjalanan. Bis melaju di dalam tol dan keluar gerbang Tol Ciawi, bisnya ngetem lagi. Ngetem lagi pemirsa, kurang lebih 45 menit. Jadilah gue dari jam 15 sampe 17.30 gak nyampe mana-mana alias Palabuhan Ratu terasa masih sangat jauh. Di gerbang tol Ciawi gue mulai menyesali kenapa gue gak naik kereta aja dari Bogor sampe Cibadak. Durasi tempuh kereta cuma 1 jam 30 menit, mungkin kalo naik kereta jam 14, sekarang gue udah mau sampe hotel dan check in.


Penderitaan belum selesai sampai sana, baru enak-enak jalan lancar, gak lama macet – dan macet berlangsung terus menerus dengan durasi yang sangat lama sampe Cibadak. Gue sendiri menjadi saksi mata hidup menyaksikan serabutan jalanan Ciawi-Cibadak yang penuh orang-orang pulang pabrik dengan populasi manusia + motor + mobil semuanya bisa bergerak ke arah yang berbeda-beda dan lawan arah. Super semrawut dan chaotic at its best. Sebagai orang yang gak pernah kesulitan tidur dimanapun kapanpun di situasi bagaimanapun, gue akhirnya menidurkan diri dan amazingly masih terbangun berkali-kali dan mendapati diri masih dalam kemacetan yang sama. Suasana di dalam bis sih biasa-biasa aja, gak panas juga dan masih cenderung nyaman – tentunya dengan remix Tiktok koplo karya DJ OPUS yang bergema-gema nonstop. Entah udah berapa kali remix lagu "Angel"-nya Troye Sivan ngulang-ngulang. Intinya, jam 20 gue baru berhasil sampe Cibadak. Menurut Google, masih 1 jam jarak tempuh dari Cibadak sampai Terminal Palabuhan Ratu dan masih 14 km dari Palabuhan Ratu ke hotel tujuan gue. Gila, mau nyampe jam berapa gue.

Gue akhirnya landing ke Terminal Palabuhan Ratu sekitar jam 21 lewat, hampir setengah 10 malam. Posisinya gue menjadi last woman standing di dalem bus yang isinya semua laki-laki. Terminal Palabuhan Ratu jam 21 terlihat sepi, remang – cenderung gelap, dan penuh laki-laki. Been doing research selama di bus: 1) Masih ada ojek online di Palabuhan Ratu, 2) Jarak dari Terminal Palabuhan Ratu ke hotel yang sudah gue book (Karang Aji) itu sekitar 17 km, wow fantastis bund. Gue gak berani sih naik gocar/grab car at this rate, 3) I should prepare for plan B.

Mana hujan, mana sendiri, mana asing

Akhirnya dengan mengetahui, menstratifikasi risiko, dan menimbang, gue book hotel yang lain selama menit-menit terakhir di bus. Akhirnya setelah tau dan berpasrah kalo kayaknya gue gak akan nyampe Karang Aji, gue book hotel di tempat yang ada kamar Nyi Roro Kidul-nya. Ya sob, tempat yang di rekomendasikan salah satu sobat Sukabumi-ku, yang awalnya aku bilang "Gak dulu deh" karena gak mau liburan mistis, akhirnya menjadi tempat tujuan boboku malam itu. Jarak dari terminal Palabuhan Ratu ke hotel Nyi Roro Kidul kurang lebih 10 km. Still a long way to go, but seemed more visible.

Gue keluar dari bis dan unggah-ungguh ke beberapa laki-laki yang menawari ojek dan mengikuti. Gue udah pesen ojek online dari pas sebelum turun bis. Gue jalan kaki selama 10 menit menjauhi terminal, numpang duduk di tangga depan salon, bersembunyi di belakang mobil dari laki-laki yang masih banyak berkerumun, sampe akhirnya ojek online dateng dan bilang, "Mbak berani banget jam segini masih di luar dan mesen ojek online deket terminal."

I thought I was brave enough sampe akhirnya gue sadar gue masih takut jalan-jalan di luar sendiri, gelap, di daerah yang gue gak tau, dan dikelilingi banyak lelaki. Alasan gue memilih ojek online dibandingkan mobil juga adalah karena main reason: Kalo abangnya macem-macem dan gue dibawa ke daerah gak jelas, gue bisa lompat anytime dan lari dari ojek. Gue rasa itu tidak visible dilakukan jika gue naik mobil.

Perjalanan dari terminal ke hotel berlangsung damai dan tentram. Gue dapet abang yang gak banyak nanya, terus melintasi jalanan besar yang berliku di pinggir pantai. Suara ombak, angin sumuk, dan keremangan jalan semuanya gue cerna baik-baik. Akhirnya setelah menempuh perjalanan yang sangat irrationally boros waktu, gue sampai ke Palabuhan Ratu; The home of the Queen – dan akan bermalam di hotel dengan room of the Queen.

Jam 22 kurang gue sampe di hotel dan berhasil checkin karena batas checkin jam 10 malam dari Traveloka (?) – well idk, gue gak sengaja pilih bayar cash di resepsionis. Wow sungguh liburan yang boros waktu dan boros duit yang agaknya tidak worth it. Gue melintas dari lobby yang sepi ke lift, papasan dengan karyawan hotel yang mau nganter room service ke lantai gue, sambil basa basih tanya, "Lagi rame Mbak hotelnya?" dan dijawab Mbaknya, "Oh nggak, lagi sepi, Mbak."

Gue berhasil landing di kasur hotel jam 22 malam dengan kamar yang terbilang sangat besar untuk harga yang diberikan. Here I get you the verbal pic: Kamar hotel dengan king-sized bed dan 6 buah bantal, rak televisi beserta televisi dengan siaran lokal (apa itu Netflix? apa itu Indihome?), dengan sofa, ketel elektrik, cangkir, serta komplimen standar hotel (kopi-teh-krimer-gula-air putih), dilengkapi dengan sliding door dan balkon dengan dua bangku yang langsung menghadap ke laut selatan. Also worth mentioning, kamar mandi dengan ukuran yang tidak terlalu besar tapi ada bathtub. This is literally my basic requirement for the holiday walaupun tidak yang seindah gue bayangkan apabila gue sampai ke Karang Aji.

Baru bebersih, pesen makanan dari room service, dan berusaha menikmati waktu, tiba-tiba mati listrik, gak lama nyala lagi. Abis itu, listrik mati lagi, dan nyala lagi. Gue rasa gue lagi terbawa pikiran aneh-aneh karena 1) Ini hotel yang udah berdiri dari tahun 1960-an alias hotel tertua di Palabuhan Ratu, 2) 3 lantai di bawah kamar gue adalah kamar pemujaan Nyi Roro Kidul, 3) Hotel ini pengunjungnya lagi sedikit – gue agak panic attack terus nelpon front desk karena lampu terus-terusan mati dan nyala di jam 22.30 malem dan gak diangkat, sampe akhirnya lampu beneran mati total dan gak nyala-nyala lagi. Gue, di dalam keheningan dan kegelapan, cuma bisa melek dengerin suara ombak di kejauhan setelah berusaha call admin dan DM instagram hotel terkait tapi gak ada respon. Di kamar sebesar ini sendiri, di pinggir laut, di hotel tua, I was uneasy. Seluruh perjalanan ini gue rasa mencapai satu konklusi bahwa I still have a lot of fear. I am fearful. Untuk bisa traveling sendiri butuh banyak keberanian dan I am nothing close to it.

Gue akhirnya memutuskan menaruh barang-barang di dekat kasur dan membuka lebar-lebar pintu kamar, kalau-kalau saja ada orang lewat yang bisa gue tanya. Akhirnya setelah nongkrong di depan pintu beberapa saat, ada satpam yang lewat. Satpamnya juga mungkin kaget liat siluet perempuan bogel pake daster berdiri dalam diam di ujung lorong. Akhirnya gue dikasih tau kalo listrik hotel lagi down, sialnya ya hotel ini doang, dan gue dibekelin lilin 2 biji sambil ditenangkan kalo karyawan hotel lagi berusaha cari solusi. Wow what a very thrilling night, setelah menghidupkan lilin dan menutup pintu, gue memandangi lautan yang hitam gelap sambil denger suara ombak, di langit bulan purnama bulat penuh. Mau gak mau, sedikit banyak jadi mikir apakah malam ini ada selebrasi khusus demit dan pengunjung hotel bakal dijadikan seserahan buat Ratu Kidul? Wah kalo misal pikiran liar gue malam itu bisa direkam dan dibukukan, mungkin gue bakal beralih jadi penulis cermis aja deh. Jujur di dalem pikiran gue yang terdalam, gue takut tidur karena takut pas bangun gue udah gak tau ada di alam yang mana.


Akhirnya kantuk gue mengalahkan segala ide-ide cerita misteri dan gue bisa tidur walau bangun setiap 2 jam sekali. Terakhir, akhirnya gue bangun jam setengah 6 pagi dan mendapati semburat oranye mulai mewarnai langit. Laut mulai terlihat birunya, siluet bukit-bukit Palabuhan Ratu mulai terbentuk. Gue memutuskan tidak tidur lagi dan duduk saja sambil ngabisin makanan room service yang belum habis semalem karena pikiran-pikiran cermis gue. Ada rasa syukur gue masih bangun pagi ini di dalam kamar hotel yang sama, tidak kurang sesuatu apapun. Akhirnya matahari terbit dan kamar gue terang, gue meniup lilin sambil mengucapkan hamdallah telah selesai malam yang menegangkan di kamar hotel ini.

Gue mandi, lalu mendapat kabar berita kucing-kucing gue sakit dan tidak mau makan. Menghela napas, gue kembali pasrah kalo kayaknya I can't stand another night di Palabuhan Ratu. Tadinya, gue pikir gue mau checkout jam 12 siang, lanjut susur pantai, ke beach club (merasa wow bisa menemukan beach club relatif baru dengan review dan visual per Google yang cukup oke di Palabuhan Ratu), lanjut check in ke Karang Aji (ya masih segitu penasarannya sama Karang Aji), sore ke pantai lagi baca buku sambil rebahan di pasir, malamnya istirahat sambil bathtub-an dengan ocean view. Setelah dikabarin harus balik, gue kembali cek jadwal kereta dari Cibadak ke Bogor (yes, sekapok itu naik bus Sukabumi-Bogor) ternyata semua tiket kereta hari ini jam 18 udah ludes dan tiket jam 12 serta jam 18 buat hari besok juga udah ludes. Wah memang gak diberkati untuk pulang besok sih, pikir gue. Tiket yang available adalah untuk kepulangan hari ini jam 12 dari stasiun Cibadak. Dengan sedih, gue packing tas (yang sama sekali gak ribet karena gue gak ngapa-ngapain juga di hotel) lalu turun breakfast untuk kemudian siap-siap checkout dan leha-leha di pantai.





Di restoran hotel, ternyata hotel ini tidak sesepi itu. Jumlah pengunjung gak terlalu sepi tapi juga gak terlalu rame. Demografi pengunjung kebanyakan traveling sendiri atau berdua, dengan rata-rata usia 38 ke atas (and so far I looked like I was the youngest?). Breakfast di hotel tidak mengecewakan; gue breakfast di outdoor seating, tepatnya di balkon yang lagi-lagi menghadap laut. Sinar matahari pagi jam 7 tidak terlalu menyilaukan, suara ombak ramah dan enak didengar, burung-burung berkicau, dan makanannya banyak jenis mulai dari makanan keSunda-Sundaan sampe makanan Western dan rasanya enak. Agak sedikit feeling surreal, gue yang kayak ABG planga-plongo ini makan sendirian di restoran hotel kayak orang kelaperan (I was amazingly hungry; mungkin karena malemnya ketakutan setengah mati), membawa tas jansport satu buah dan tas tenteng (gue membawa semua harta benda gue ke restoran dan ke pantai karena kamar masih mati lampu, gak bisa dikunci, dan gue mau langsung checkout dibandingkan harus bolak-balik kamar lewat tangga darurat). Setelahnya gue duduk di pantai sambil liat laut, liat orang berkuda, dan foto-foto gak jelas. Btw, hotel ini kayak punya private beach (?) jadi memang sangat nyaman untuk planga-plongo sendirian. Akhirnya gue bayar fotografer pinggir pantai untuk motretin dan videoin gue pake kamera dan hp gue, walaupun hasilnya mengsedih tapi ya gapapa gue senang-senang aja jadi ada temen ngobrol dan temen ngonten. Seenggaknya gue punya potret diri dari perjalanan solo ini yang bukan merupakan selfie.

Setelah berlari-larian menyusuri bibir pantai selama kurang lebih 1 jam setengah, gue akhirnya bersiap pulang di jam 9 pagi. I didn't even spend 12 hours in this hotel, agak mengsedih sih kayak udah capek-capek menahan amarah dengan full irama dangdut koplo di bus Bogor-Sukabumi dan sampe mengubah semua itinerary karena molor (cih, padahal itinerary juga gak punya), akhirnya gue harus pulang dan meninggalkan keinginan gue untuk 1) Beach strolling, 2) Mandi di bathtub dengan ocean view dari ketinggian, 3) Baca buku di tepi pantai sore-sore, dan tidak lupa 4) Mencicipi beach club Palabuhan Ratu.

Sampai gue check-out, listrik hotel masih belum menyala dan gue check-out bersama dengan pelanggan-pelanggan lain yang sepertinya kecewa dan memutuskan pindah hotel aja (sekaligus misuh-misuh minta refund). Gue? Jangan ditanya, gue udah kepalang capek dan sedih dengan vakansi ini, gue memutuskan untuk keluar dengan damai. Ngapain juga ribut-ribut nanti repot kalo telat terus ketinggalan kereta. Pagi itu mencari ojek online di sekitar hotel jadi peer banget dan lama, tapi gue berhasil menemukan abang-abang ojol yang baik dan bersedia mengantarkan gue sampe pemberhentian bis kesekian (bukannya di terminal, walaupun gue set distance-nya cuma sampe terminal) – katanya "Supaya si teteh gak stress nungguin ngetem bisnya, bisi ketinggalan kereta.". Terhura. Walaupun nunggu bis ngetem masih cukup lama, tapi setidaknya pemberhentian bis jauh lebih sedikit dan kubisa sampe stasiun Cibadak tepat waktu (bahkan kecepetan sedikit sampe sempet minum es teler dulu).


A little hint: Hotel ini didirikan circa 1960-an oleh eks-presiden Soekarno



Personally speaking this hotel was really decent, sayang aja mati lampu.


Perjalanan pulang berlangsung aman, damai, tentram, dan sejahtera. Tanpa banyak ba bi bu, langsung scan tiket dari Traveloka, tiket kereta langsung ke print dan otomatis check-in. Naik kereta dengan tentram, keretanya bagus banget dan dingin; sepertinya gerbong model baru karena terakhir kali naik kereta ke Sukabumi buat ke Situ Gunung, gerbongnya masih gerbong lama dengan kursi hadap-hadapan yang super keras. Sekarang kursinya satu arah semua. Waktu tempuh Sukabumi-Bogor cuma 1 jam dengan kereta dan itu bikin gue sedih banget karena menyadari betapa buang-buang waktunya hidup gue kemaren berusaha naik bis dari Bogor sampe Palabuhan Ratu; harusnya kemaren gue udah bisa leyeh-leyeh di Karang Aji sambil melihat matahari tenggelam di bathtub. Tapi yaudahlah, lessons learned. Traveling sendirian berarti adalah merencanakan hal-hal sendiri, merasakan dan menelan semua sendiri. It's a good way for reflecting and meditating, but I admit it was lonely at some points (and I feel scared some times). Tapi seperti pada umumnya dan yang biasa terjadi sebelumnya, what I like the most about traveling is the excitement, terutama sebelum perjalanan di mulai – kayak, you really nervous about switching your usual setting of work to vacay, the feeling is amazing. Dan setelah perjalanan selesai, mungkin tidak semua perjalanan menyenangkan dan memorable, tapi seenggaknya setelah traveling, gue selalu merasa gue jadi tambah kenal diri sendiri, kadar ekspektasi, termasuk tingkat keberanian. I think a journey doesn't always have to be beautiful, it's okay just to learn more about ourselves a bit from it.

Featuring abang ojol baik





Wah sungguh post yang sangat aneh, menurut gue, karena selain terbitnya udah basi, gue bisa merasakan mood gue berganti-ganti dalam tulisan ini mulai dari mood 1) males dan bodoh dalam merancang perjalan, 2) jengah dan mengutuk musik koplo remix DJ Opus sekaligus kesialan-kesialan lainnya yang terus terjadi bertubi-tubi, 3) legowo dan mengambil hikmah dari segala perjalanan kemarin. Tapi gapapa, seenggaknya gue sudah tulis semuanya dan semoga kelak kalo lagi bosen dan butuh penghiburan, post ini bisa menghibur gue.

Terima kasih sebelumnya untuk semua yang sudah coping dengan gue dan post yang panjang dan terlalu spill out termasuk hal-hal yang gak penting ini. Semoga semuanya sehat dan bahagia selalu. Semoga yang lagi punya masalah, masalahnya cepet selesai. Semoga yang punya salah, kesalahannya dimaafkan. Semoga yang sedang membenci, bisa segera memaafkan. Semoga yang menumpuk rindu, rindunya bisa dibayar tuntas tanpa kasbon. Semoga yang putus dan pingin balikan, bisa ada jalan kembali.

Sekian dan terima gaji. (Asyik akhir bulan!)

Salam sayang,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar